Jumat, 26 Mei 2017

Catatan Perjalanan: Dari Malang ke Jogja ke Borobudur Ke Jogja ke Malang lagi. Pt.2





Turun dari Candi Borobudur, pedestrian di tamannya akan mengarahkan langkah kaki kita menuju pintu keluar melintasi semacam pasar tempat berjualan souvenir. Setelah berjalan sekitar sepuluh menit mengikuti alur jalan yang berkelok-kelok di dalam pasar tersebut (kalau nggak pakai acara belanja), barulah saya sampai di pintu keluar. Masih dengan berjalan kaki, saya kembali menyusuri jalanan menuju terminal Borobudur. 

Ngikut rombongan orang biar nggak nyasar di pasar
Begitu saya melompat masuk ke dalam bus, pak supirnya langsung tancap gas. Saya kembali membayar dua puluh ribu ke keneknya dan (lagi-lagi) tidak mendapatkan kembalian. Ya sudahlah, barangkali memang itulah tarif untuk seorang pelancong. Jalanan sedikit lebih padat dibandingkan ketika berangkat tadi. Bus yang saya naiki ini pun sempat masuk ke dalam sebuah terminal kecil. Terminal apa ini, ya? Saya tak sempat melihat papan namanya. Awalnya saya sempat menduga bahwa bus ini akan ngetem lama hingga busnya penuh, tapi ternyata tak sampai lima menit bus ini sudah kembali berangkat. Meskipun digetok pakai tarif turis, tapi overall saya puas dengan bus ini yang tidak ngetem dan selalu berusaha berjalan secepat yang mereka bisa. Jadi jangan dilihat fisiknya yang kumal dan ngenes, ya…. Saya juga sempat tertidur untuk beberapa saat, sebelum akhirnya kembali terjaga ketika saya merasa ada yang nimpuk batu ke bus yang saya naiki ini.

Masih di posisi kursi yang sama
Berkali-kali papasan dengan rombongan bus parwisata
Perjalanan menuju Jogja seingat saya sedikit lebih lama dibandingkan ketika berangkat. Semakin siang, lalu lintasnya semakin padat. Masih dari sisa-sisa ingatan saya, bus juga berkali-kali berhenti terkena lampu merah. Pulangnya memakan waktu satu jam lebih sebelum akhirnya sampai di terminal Jombor. Di terminal ini saya langsung berjalan menuju halte Trans Jogja. Setelah menunggu sekitar lima belas menitan, bus 2A yang akan mengantarkan saya menuju Malioboro akhirnya datang. Rencananya di halte Malioboro nanti saya akan berganti bus dengan trayek 1A yang menuju ke halte Prambanan. 
Jalanan yang padat membuat bus Trans Jogja ini juga tak bisa berjalan cepat. Setengah jam lebih barulah bus yang saya naiki ini sampai di halte Mangkubumi di sebelah utara Malioboro, di dekat tugu. Saya turun di halte ini dan setelah menunggu sepuluh menitan, bus 1A yang saya tunggu akhirnya datang. Saya sempat berdiri sebentar sebelum akhirnya bisa duduk setelah penumpangnya banyak yang turun di halte Malioboro. Rute 1A ini lintasannya banyak yang berada di tengah kota Jogja, karenanya perjalanannya sedikit-sedikit terhenti oleh traffic light. Yang bikin rada bĂȘte, sopirnya kurang fokus.  Tiap ada kesempatan berhenti sedikit saja pasti digunakannya buat chatting. Jadi pas ada kesempatan buat jalan lagi, dia kurang tanggap lantaran masih bingung dengan hapenya. Di bus ini juga saya mendapat sesuatu yang kurang menyenangkan pada hape saya, dimana tombol power-nya copot tak tahu dimana. 

Peta rute Trans Jogja (Sumber: )



Bus 1A yang saya naiki ini sendiri kini sudah berada di jalan raya Jogja-Solo, yang artinya candi Prambanan sudah dekat. Kerusakan yang terjadi pada hape saya membuat saya akhirnya mengurungkan niat saya untuk mengunjungi candi Prambanan. Saya pribadi jujur saja tak berniat selfie-selfie. Tapi dengan kondisi hape seperti itu, ditambah baterainya yang semakin menipis, maka pasti acara jalan-jalan di sana tidak akan bisa berjalan maksimal karena jadi tidak bisa mengabadikan obyek-obyek di sana. Jadi sayapun akhirnya cuma sebatas naik bus ini saja, ngikut bus ini muter-muter hingga akhirnya sampai di halte Prambanan. Di halte yang sebenarnya sudah berada di seberang kompleks candi Prambanan itu saya langsung keluar dan mencari masjid terdekat untuk sholat Dhuhur. Setelah sholat Dhuhur, saya kembali berjalan menuju halte Prambanan dan langsung masuk ke dalam bus 1A yang akan membawa saya kembali ke Malioboro. Perjalanan menuju Malioboro ini sedikit lebih cepat karena tidak lagi melintasi daerah tengah kota Jogja, melainkan lewat jalan raya Jogja-Solo. 

"...and the earth becomes my throne
I adapt to the unknown
Under wandering stars I've grown
By myself but not alone
I ask no one

...and my ties are severed clean
The less I have the more I gain
Off the beaten path I reign

Rover, wanderer
Nomad, vagabond
Call me what you will

But I'll take my time anywhere
I'm free to speak my mind anywhere
And I'll never mind anywhere

Anywhere I roam
Where I lay my head is home
"
(Metallica - Wherever I may roam)

Saya turun di halte Malioboro II dan langsung berjalan mencari warung Sop Ayam Pak Min Klaten yang katanya Google Map tak terlalu jauh letaknya dari Malioboro. Lokasinya ternyata sedikit melenceng dari peta, jadi saya masih perlu berjalan sedikit lebih jauh dari tampilan di Google Map. Dari namanya, tentu sop ayam ini bukanlah menu khas Jogja. Tapi saya nggak lagi nyari menu khas mana-mana. Saya nyari warung ini soalnya menu utamanya yang berupa sop ayam adalah favorit saya, yang mana merupakan salah satu dari sedikit makanan yang saya doyan. Saya memang rada susah kalau urusan makan, hehe. Warung ini punya cabang dimana-mana, termasuk di Malang. Di Malang sendiri saya cukup sering makan di warung itu. Nah di Jogja ini, pilihan menu dan harganya ternyata juga sama. Sayangnya pilihan menunya tinggal sedikit soalnya sudah banyak yang habis. Sop sayap ayam+nasi+es teh jadi menu makan siang saya. Totalnya saya habis 13 ribu buat makan siang. 

lokasinya sop ayam pak min dekat malioboro
Setelah  perut kenyang, saya kembali melangkahkan kaki ke Malioboro untuk selanjutnya mencari penginapan yang sudah saya booking di daerah jalan Dagen. Di salah satu toko aksesoris handphone di Malioboro, saya sempat mampir dan tanya-tanya apa mereka punya hard case-nya Nokia X, yang ternyata nihil hasilnya. Yahhh tampaknya saya harus melalui sisa-sisa perjalanan saya dengan hape tanpa tombol power.  Kalau mau nyalain atau matiin jadi harus merogoh lubang power di hape itu pakai benda kecil atau ujung jari kelingking. Sungguh tidak praktis dan bikin ribet. Tapi mau gimana lagi namanya musibah ya... Riak-riak dalam perjalanan semacam ini kadang justru yang bikin greget (gregetan maksudnya).
Setelah mandi-mandi dan istirahat sebentar, menjelang maghrib saya jalan-jalan ke arah keraton. Bukan mau ke keratonnya sih sebenarnya, tapi nyari bakmi Pak Pele yang konon enak banget itu. Di sekitaran lapangan alun-alun lor-nya keraton itu, jalan kaki rasanya bisa sedikit lebih leluasa karena trotoarnya tidak se-crowded di Malioboro. Cahayanya juga bisa dibilang jauh dari kata gemerlap, cenderung gelap malah. Dua pohon beringin besar di tengah alun-alun membuat keremangan sore itu semakin terasa begitu lain. Ada semacam aura mistis-mistisnya begitu lho, tapi Alhamdulillah itu tidak sampai membuat insting paranoid saya terusik. Sayup-sayup suara adzan maghrib dan orang mengaji yang terdengar dari masjid keraton meredam semua hawa-hawa yang cenderung nggak enak itu, dan perlahan mengubahnya menjadi sesuatu yang menenteramkan dan menyentuh ini nih (nunjuk hati). Sayangnya saya lupa tak sempat mengabadikan suasana di alun-alun lor sore itu. Dan sayangnya lagi… saya harus menikmati ini sendirian. Tak mengapalah, disyukuri saja. Jalan-jalan sore di Jogja itu memang enaaak banget suasananya,  feels like home.

"Sometimes I feel like I don't have a partner,
Sometimes I feel like my only friend
Is the city I live in, The city of angel
Lonely as I am, together we cry"
(Red Hot Chilli Pepper - Under The Bridge)

Sampailah saya di warung Pak Pele. Kalau dilihat dari atas, Bakmi Pak Pele letaknya di sudut tenggara alun-alun utara keraton Jogja. Lantaran sudah menemukan dan melihat langsung lokasinya, saya pun balik kucing sebentar untuk melaksanakan sholat maghrib di musholla terdekat. Pasalnya kalau mau sholat di masjidnya keraton, saya harus berjalan dengan jarak yang cukup jauh. Jadi nanti bisa-bisa selain saya sudah telat sholatnya, ehh… warung bakminya sudah ramai. 

Lokasi Bakmi Pak Pele
Usai sholat, saya kembali ke warung Pak Pele dan langsung memesan seporsi bakmi kuah dan es teh. Saat saya ke warung itu, pengunjungnya masih sedikit. Alhamdulillah, jadi pesanan saya langsung dimasak tanpa perlu antri. Saya memang sengaja datang ke warung itu pas maghrib-maghrib, pas warungnya baru buka, karena konon menurut blog-blog yang saya baca semakin malam maka akan semakin ramai warungnya. Dan tak berapa lama kemudian pesanan saya pun datang. Sepiring bakmi kuah itu ditemani semangkok acar mentimun, dan semangkok cabe ijo. Iya, acar mentimun dan cabenya nggak lagi cuma beberapa biji yang ditaruh di tepian piring, tapi ditempatkan di mangkok tersendiri! Jadi ya buanyak banget acar dan cabenya, padahal bakminya cuma sepiring. Melihat tampilan bakminya saya langsung tak tahan untuk segera mencicipinya, yang ternyata memang uenaak tenan… ! Top markotop surotop kalau kata Pak Bondan. Puas menikmati bakmi Pak Pele, saya kembali melangkahkan kaki menuju penginapan, sholat isya’, lalu tidur.

Bakmi Pak Pele-nya

RABU, 17 MEI 2017
Sekitar jam setengah tujuh, saya check out meninggalkan tempat saya menginap semalam. Pagi hari di jalan Malioboro ternyata juga bisa sepi ya… Lapak-lapak yang biasanya digelar di depan pertokoan sepanjang trotoarnya tampak tutup. Pun warung-warung dan angkringannya juga menunjukkan kondisi serupa, terlihat dari pemiliknya yang lagi nyuci-nyuci peralatan makan dan minum bekas pembelinya semalam. Sambil jalan ke stasiun ini saya sebenarnya juga nyari sarapan, tapi lha banyak yang tutup iki piye jal…? Langkah saya sejenak terhenti oleh mas-mas yang tadinya jogging, ternyata minta difotoin di bawah plang tiang nama jalan Malioboro. Yaaa… pada akhirnya saya minta tolong difotoin juga, hehe… tapi nyantai aja, foto saya itu tidak akan saya pajang di sini. Toh pembaca sekalian mbuka blog saya ini bukan buat nyari foto saya kan…? Hehehe…9989x.

Pertanda kalau sudah ke Jogja
Karena masih ada cukup waktu, saya kemudian berbelok ke arah jalan pasar kembang. Siapa tau masih ada warung yang buka dan agak sepi. Memang ada beberapa yang buka, tetapi semua-muanya ruamai. Saya pun terus melanjutkan jalan kaki saya, mencari angkringan yang saya datangi kemarin lusa pas saya minum teh panas. Soalnya tempatnya agak jauh dari pintu stasiun, jadi kemungkinan agak sepi lah. Tapi pas sampai di TKP, ternyata warung yang saya cari itu juga tutup. Yahh… tak mengapalah. 
Akhirnya di daerah jalan Mangkubumi saya nemu warung yang sepi. Sepi pembeli dan juga penjual. Lhah piye toh...? Yang jualan tidak tampak batang hidungnya. Warungnya buka, tapi pemiliknya tak diketahui dimana rimbanya. Langkah kaki saya pun kemudian terhenti di sebuah warung soto ayam  yang beberapa mejanya terlihat kosong. ‘Soto ayam Pak Gareng’, begitu yang tertulis di banner warungnya. Cicipan pertama pada semangkok soto itu membuat saya langsung berujar, “Wah nanti kalau ke Jogja lagi harus ke warung ini lagi…”. Harganya juga teramat sangat ramah. Semangkok soto ayam plus segelas teh panas cuma ditotal seharga 12 ribu rupiah saja. Awalnya saya sebenarnya agak malas mau makan di sekitar tempat yang banyak wisatawannya, terlebih karena saya juga lagi bawa tas ransel yang padat berisi. Pasti berpotensi bakal digetok pakai harga turis. Tapi Alhamdulillah lah yaa… ternyata makan di warung ini harganya normal sekali. Kalau makan bakmi di Pak Pele kemarin itu, saya habis 25 ribu. Agak kaget  sih sebenernya, tapi karena rasanya yang luar biasa enak itu saya pikir worth it lah harganya segitu. Terlebih karena konon telur yang dipakai bukan telur ayam melainkan telur bebek yang harganya mahalan.
Tengok-tengok jam tangan, ternyata masih ada waktu tersisa untuk jalan-jalan tipis-tipis. Kaki pun saya ayunkan menyusuri sekitaran jembatan Kewek, terus muter lewat bawahnya jembatan kereta api, hingga akhirnya finish di stasiun Tugu. Tak lupa juga saya mampir di monumen yang ada tulisannya ‘Yogyakarta Berhati Nyaman’ itu. Tapi pas hendak berswafoto, rasa malu dan sungkan mendadak hinggap lantaran ada dua orang ibu-ibu duduk-duduk di sekitarnya. 

Jembatan Kewek
Tetenger
Kereta api Sancaka rute Jogja  - Surabaya
Langsiran lokomotif
under the bridge
Pukul 07.45, kereta Malioboro Ekspres perlahan bergerak meninggalkan stasiun Yogyakarta. Di satu sisi, ada perasaan puas dan lega karena ‘relatif’ berhasil mengeksekusi rencana yang telah disusun sekitar sebulanan yang lalu. Tetapi di sisi lain ada hal yang begitu mengganjal juga ketika kereta ini tadi diberangkatkan dari stasiun. Ada semacam kerinduan yang mulai muncul dan juga pertanyaan yang mendadak timbul, “Kapan ke sini lagi?” 


Menurut tulisan yang tertera di tiket, perjalanan ini baru akan berakhir di Malang pukul 15.43. Jadi perjalanan kereta ini akan memakan waktu hampir 8 jam. Tak seperti saat berangkat, perjalanan pulang ini saya tempuh menggunakan yang kelas eksekutif. Hatiku (wih… hatiku rek…) sungguh tercengang mendapati kereta eksekutif ini begitu penuh penumpang. Full. Tak ada satupun kursi tersisa. Padahal kereta eksekutif itu tarifnya bisa dibilang sungguh sukar dikatakan ramah terhadap kantong lho. Tapi ternyata begitu banyak ya orang yang rejeki finansialnya berlebih di Indonesia ini, hahaha... Yang Alhamdulillah saya masih dalam proses perjalanan yang teramat sangat panjang menuju ke arah sana. Yap… masih perjalanan, dan saya maknai saja sebagai sebuah perjalanan. Karena itulah saya menyukainya. 


Alhamdulillah… selesai sudah catatan perjalanan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar