Sabtu, 21 April 2018

Catatan Perjalanan Pendakian Gunung Merbabu via Selo



 Someone said life is for the taking
Here I am with my hand out waiting for a ride
I've been living on my great expectation
What good is it when I'm stranded here
And world just passes by
Where are the signs
To help me get out of this place
(Going Where The Wind BlowsMr.Big)

Secara tiba-tiba, pada hari Jumat tanggal 6 April 2018 kemaren saya mendapatkan Whatsapp dari Seto teman saya di Solo yang isinya berupa ajakan mendaki ke gunung Merbabu. Dalam hati saya sebenarnya pengen langsung bilang ‘iya’, soalnya saya dari dulu memang pengen banget pergi ke sana tapi males nyari dan ngordinir pasukan, hehehe. Pengen bilang iya, tetapi saya masih ragu soalnya sebenarnya sekitar tanggal 28 April nanti saya rencananya juga mau ke Semeru. Sekalian saya ngajak Ivan temen saya barangkali dia mau ikut ke Merbabu. Dan benar saja dia langsung mengiyakan dan menyatakan mau  mau ikut, tapi memang bukan rejekinya dia dimana dia tidak diberi cuti oleh kantornya. 
Memang rencana ke Merbabu ini sedianya bakal dieksekusi pada weekday alias pas hari-hari kerja, jadi maklumlah kalau kantornya Ivan tidak memberikan cuti baginya. Kalau si Seto, belakangan dia baru bilang kalau liburnya dia memang pas lagi weekday, kalau weekend malah masuk. Wuihhh… Dan akhirnya saya iyakan juga ajakan si Seto buat melakukan pendakian ke Merbabu. Turut ikut juga Wowo rekan sekampung Seto, dan belakangan mas Ari dari Malang juga menyatakan keikutsertaannya. Wah mantap nih saya ada teman seperjalanan ke Solo dan pulang ke Malang juga.
Gunung Merbabu yang akan kami daki ini memiliki beberapa jalur pendakian. Via Selo (dari Boyolali), via Kopeng  (dari Salatiga), via Wekas  (dari Magelang), via Chuntel (dari Magelang), serta Suwanting (juga dari Magelang). Sejak awal, tim kami sudah sepakat untuk lewat jalur Selo. Dari blog-blog yang saya baca, jalur Selo ini merupakan jalur yang medannya relatif paling mudah dan paling indah. Di samping itu, Selo juga relatif mudah diakses dengan transportasi umum dari kota Solo yg mana merupakan kotanya dua personel tim kami yaitu Seto dan Wowo.


16 APRIL 2018

journey of a thousand miles begins with a single step

Kereta api Malioboro Ekspress yang saya tumpangi bersama mas Ari merapat di stasiun Solo Balapan sekitar setengah 3 pagi. Sebenarnya kami janjian ketemu dengan Seto dan Wowo di stasiun Purwosari, tetapi kereta api Malioboro Ekspress ini setelah lepas dari stasiun Solo Balapan langsung melenggang menuju Jogja dan tidak berhenti di stasiun Purwosari. Karenanya nanti jam 5 kami mau nerusin ke stasiun Purwosari naik kereta Prameks (Prambanan Ekspress). Jarak antara stasiun Solo Balapan dengan stasiun Purwosari sebenarnya tidak terlalu jauh (3,8 km) sehingga bisa ditempuh dengan becak atau dengan jalan kaki (kalau mau). Mas-mas petugas loketnya sempat rada kaget pas kami beli karcis Prameksnya, pasalnya kami ngomongnya mau turun di Purwosari, padahal Purwosari itu dekat banget, hehehe. Bingung juga sebenarnya mau ngapain di stasiun sampai kereta Prameks-nya berangkat nanti. Akhirnya waktupun kami isi dengan duduk-duduk dan tidur-tiduran di area stasiun, seperti yang dilakukan oleh beberapa rombongan pendaki yang sempat kami temui. Sholat subuh juga kami lakukan di  musholanya stasiun Solo Balapan ini.
Pukul 05.00, kereta Prameks bergerak perlahan meninggalkan stasiun Solo Balapan. Di dalam kereta , kami sempat ketemu dengan serombongan pendaki yang ternyata baru turun dari Merbabu. Dari mereka kami dapat info bahwa di Merbabu cuaca lagi bagus. Alhamdulillah, setidaknya ada harapan cuaca nanti akan tetap bersahabat. Soalnya perkiraan cuaca sempat memprediksi bahwa di Boyolali dan Merbabu cuacanya bakal jelek. Sekitar lima menit berjalan, kereta Prameks tiba di stasiun Purwosari.

Solo - Selo
Baru sekitar jam 7-an, Seto nelpon kalau dia dan Wowo sudah ada di seberangnya stasiun Purwosari. Saya dan mas Ari pun langsung menemui mereka di seberang stasiun, lantas berjalan kaki sekitar 20 menit menyusuri jalan Slamet Riyadi menuju sebuah pertigaan yang saya lupa namanya. Pertigaan tersebut sepertinya setiap harinya dijadikan tempat pemberhentian bus trayek Solo-Semarang. Sekitar 10 menit menanti, bus tujuan Semarang itu pun datang. Sepintas dari luar fisik bus tersebut terlihat kurang begitu baik, tetapi setelah masuk ternyata ya… lumayan juga. Mirip-mirip bus AC biasa tujuan Malang-Surabaya yang sering saya naiki. Bus itu sendiri terlihat tak begitu penuh. Kami berempat duduk di jok belakang bus. Kata kondekturnya, kalau mau ke Merbabu nanti di Boyolali turunnya di RS Pandanarang, terus ganti bus kecil jurusan Selo. Tarif bus dari Solo ke Boyolali ini 10 ribu rupiah.

Boyolali... Semarang... Boyolali... Semarang...!
Peserta pendakian. Atas, ki-ka: Mas Ari, saya (Adif). Bawah, ki-ka: Seto, Wowo
Dari Solo, perjalanan menuju  Boyolali memakan waktu sekitar satu jam. Dalam perjalanan menuju Boyolali saya lebih banyak tidurnya. Tahu-tahu saya dibangunkan lantaran busnya sudah mau sampai. Kami tidak diturunkan tepat di dean RS Pandanarang, melainkan agak maju ke depan di sebuah perempatan. Tanpa perlu mencari, ternyata bus kecil tujuan Selo sudah terlihat ngetem di perempatan tersebut. Setelah nunggu beberapa saat, terjadilah negosiasi dengan awak bus tersebut yang menghasilkan kesepakatan bahwa mereka bersedia mengantar kami sampai basecamp-nya Pak Bari di Selo tanpa ngetem lagi termasuk bersedia nunggu kami yang masih mau belanja logistik dulu di pasar Cepogo.  Harganya harga rombongan, dipatok 200 ribu berapapun jumlah personelnya. Menurut mereka, tarif segitu  termasuk murah karena kalau masih perlu ganti-ganti kendaraan dan ojek nanti jatuhnya per orang malah lebih mahal. Di samping itu, kalau harganya kurang dari segitu menurut mereka nggak nutup buat biaya operasionalnya. Ya sudahlah tak mengapa. Kami berempat pun patungan @50 ribu. Lumayanlah, seperti bus pribadi  jadinya.

Bus trayek Boyolali - Cepogo - Selo
Ngetem
Keluaran Mbelgedes Bandz lho...
Di pasar Cepogo kami berhenti sebentar untuk belanja logistik sekalian jajan. Oleh supir busnya, kami dikasih waktu maksimal 30 menit untuk belanja. Tak lupa kami membeli air minum 8 botol @1,5 liter. Jadi nanti tiap personel membawa 2 botol besar itu, dimana masih ditambah dengan botol-botol kecil untuk bekal nanjak nanti. Jumlah air memang perlu diperhitungkan dengan matang karena sepanjang perjalanan nanti kita tidak akan ketemu sumber air. Setelah  molor-molor dikit, akhirnya bus kembali berangkat.

Pasar Cepogo
Saya lagi-lagi tak bisa menahan rasa kantuk sehingga saya kembali tertidur selepas pasar Cepogo. Sebenarnya saya cukup menyayangkan kalau harus menempuh perjalanan melintasi tempat yang belum pernah saya datangi  dengan tidur-tiduran, karena itu artinya saya telah melewatkan kesempatan untuk menikmati pemandangan-pemandangan baru yang belum pernah saya saksikan. Saya baru terbangun kembali ketika bus berhenti di sebuah jalan desa untuk membayar semacam ‘retribusi’. Jalan menuju basecamp di Selo sendiri berliku-liku, sempit, dan menanjak membelah pedesaan dan perkebunan dengan latar belakang gunung Merapi yang gagah. Di tengah perjalanan, bus yang kami naiki sempat harus berpapasan dengan mobil pick-up yang diluar dugaan ternyata dikemudikan oleh seorang ibu-ibu muda. Bus yang kami naiki harus mengalah dengan mundur beberapa meter hingga sampai ke titik yang memungkinkan untuk berpapasan. Baik supir bus ini maupun ibu muda pengemudi mobil pick-up itu terlihat begitu menguasai medan. Dengan jalur menikung dan menurun tajam, si supir bus ini mampu memundurkan busnya hingga sampai ke depan sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas sehingga persilangan dengan mobil pick-up tersebut bisa berjalan dengan mulus.





Pemandangan-pemandangan alam sepanjang perjalanan menuju basecamp.
Sekitar pukul 10.19, supir bus menurunkan kami di depan sebuah rumah kecil. Untuk menuju basecamp pak Bari, kami masih harus berjalan menanjak sekitar lima menitan. Di basecamp yang juga merupakan rumah pak Bari tersebut, kami sarapan merangkap makan siang sekalian re-packing dan juga sholat dhuhur dirangkap dengan sholat asar. Di basecamp tersebut, waktu itu kami ketemu dengan seorang traveler yang  tidak hendak mendaki. Dia cuma ingin nginep saja di rumah pak Bari. Rumah Pak Bari cukup besar. Ruang tengahnya berupa ruangan yang besar mirip aula tanpa terlalu banyak furniture. Lantai porselennya digelari tikar-tikar sebagai tempat tidur untuk para pejalan yang ingin menginap. Oh iya, basecamp di sini bukan cuma rumahnya Pak Bari saja. Seingat saya masih ada dua basecamp lagi, Basecamp-nya Pak Parman dan juga Basecamp Mas Bowo. Bisa dipilih sendiri nanti kalau mau ke sana. Kita milih ke Pak Bari karena rata-rata dari catper-catper yang dibaca mereka singgahnya di Pak Bari.

Mirip dengan adegan yang biasanya ada di film-film tentang road trip, hehehe
Basecamp Pak Bari
Suasana yanng menyejukkan
Entahlah bagi teman-teman saya, saya pribadi merasa begitu tenang dan nyaman dengan suasana di pedesaan sekitar sini. Benar-benar suasana yang saya cari dan teramat jarang saya temukan. Sangat jauh dari hiruk pikuk, hingar bingar, serta berisiknya perkotaan. Suara raungan kendaraan bermotor pun teramat jarang terdengar. Karenanya saya maklum kalau ada traveler yang sengaja datang jauh ke pedasaan di kaki gunung seperti ini hanya untuk menginap beberapa malam. Atmosfernya memang benar-benar membuat pikiran rileks. Cocok sekali untuk membersihkan pikiran yang tiap hari sudah terlalu sering dijejali hoax, isu-isu kekinian yang nggak jelas, serta isu-isu politik dan SARA yang isinya cuma bikin kita pesimis.
 
“Emancipate yourself from mental slavery,
None but ourselves can free our mind.
Have no fear for atomic energy,
‘Cause none of them can stop the time.”
(Redemption Songs – Bob Marley)


0 km – Pos 1 Dok Malang

“Kabut dingin merendah
perlahan datang menyapa
semak-semak tanah basah
Langkah kaki seiring
pandangan hijau terhampar
di tepi hutan cemara
Setelah lelah bertarung
dalam kerasnya hidup
kubutuh untuk sejenak
menenangkan nurani
…”
(Meniti Hutan Cemara  - Katon Bagaskara)


0 km jalur pendakian Gunung Merbabu via Selo
Pukul 12.20 setelah melakukan registrasi (15 ribu/orang) dan berdoa bersama, kami mulai melangkahkan kaki. Setelah gapura, kami disambut oleh tempat pembakaran sampah di kanan jalan. Awal-awal jalur pendakian jalurnya masih landai dan cukup lebar. Tapi… ini tidak sampai 100 meter. Jalur yang kami tempuh semakin menanjak dan terus menanjak. Saya mulai merasa kena tipu blog-blog yang sudah saya baca, dimana mereka bilang kalau jalur dari start pendakian menuju pos 1 itu landai. Landai dimananya coba…? Temen-temen serombongan saya yang juga sudah beberapa kali naik gunung juga sepakat kalau jalur menuju pos 1 itu nanjak, dan jauh pula. Ya itulah keseruan naik gunung. Kalau mau datar sana main aja di lapangan bola, hehehe. Biarpun beberapa kali ngeluh soal tanjakan, kami berempat tetap enjoy-enjoy saja. Jalur menuju pos 1 ini banyak percabangannya, yang ‘sepertinya’ tetap berujung pada lintasan yang sama. Lhah kok sepertinya? Iya soalnya saya nggak begitu yakin. Tetapi buktinya kami berempat nggak nyasar kan?

“…
Wahai alam dekaplah jiwaku
gelisah dan mencari
Di langit ingin kubasuh wajahmu
biar segar meraja
Mentari dini kuperlu hangatmu
menyusup buluh nadi
Membuka hari yang baru yang untukku
songsong apa terjadi”
(Meniti Hutan Cemara  - Katon Bagaskara)



Bagi saya pribadi, tantangan paling bikin keder adalah ketika dihadang monyet di tengah jalan. Saya sama mas Ari sampai kuat lari di tanjakan gara-gara hewan primata ini, yang ternyata masih aja ngikutin kami sampai di  pos 1. Untunglah di pos 1 kami ketemu rombongan pendaki yang mau turun dan lagi istirahat di situ. Tak berapa lama kemudian Seto dan Wowo sampai di pos 1. Dan, monyet yang ngikutin kami tadi itu ternyata nggak sendirian. Di pos 1 ini ada kerabatnya juga yang nyari makan dari sisa-sisa bungkus makanan para pendaki kenthir yang dibuang seenak udel-nya. Monyet-monyet ini sama sekali nggak takut dengan kehadiran manusia. Dan memang sebenarnya di hutan seperti ini merekalah tuan rumahnya, sedangkan kita manusia ini hanyalah sebatas tamu. Oh iya, menurut plang di start pendakian tadi, estimasi waktu yang dibutuhkan dari 0 km sampai pos 1 adalah 1 jam. Kami berempat menghabiskan waktu sekitar… persis 1 jam! Itu sudah cepat gara-gara tadi sempat lari pas ketemu monyet.

Liar, nakal, brutal, membuat semua orang menjadi gempar...
Pos 1 Dok Malang

Pos 1 Dok Malang - Pos Kota Simpang Macan
Perjalanan dilanjut menuju pos 2. Karakteristik jalurnya masih sama, masih menanjak dengan pepohonan rapat di kanan dan kiri. Waktu belum berangkat, saya sempat bingung tentang keberadaan pos 2. Ada yang nyebutnya Pos Kota Simpang Macan, ada juga yang bilang namanya Pos Pandean. Setelah dieksekusi, ternyata Pos Kota Simpang Macan itu adalah semacam pos bayangan sebelum Pos 2 yang sebenarnya (Pos 2 Pandean). Sempat juga terjadi diskusi tanpa kesimpulan perihal asal-usul pemberian nama Simpang Macan, apa di sini jalur lintasannya hewan karnivora itu apa gimana ya... nggak ada yang tahu. Termasuk kenapa kok di sini dijadikan pos bayangan, nggak langsung pos 2-nya saja  yang ditaruh di sini. Dari Pos 1 ke Pos Simpang Macan ini kami menempuh waktu sekitar 35 menit. Lebih cepat 5 menit dibandingkan dengan estimasi waktu yang tertulis  di Pos 1 tadi. Itu juga sudah termasuk waktu rehat beberapa kali dengan estimasi durasi rehat tak sampai 1 menit, yang penting cukup untuk minum beberapa teguk air sekedar untuk membasahi kerongkongan. Hebat ya kami? Alhamdu… lillah… hehehe.

Medan pendakian menuju Pos Kota Simpang Macan
Pos Kota Simpang Macan

Pos Kota Simpang Macan - Pos 2 Pandean
Setelah istirahat sebentar, langkah kaki pun kembali terayun menyusuri tanjakan menuju Pos 2 Pandean. Di tengah perjalanan, kami berempat sempat menemui pemandangan bekas tanah longsor di tebing sebelah kanan. Menjelang Pos 2 Pandean, jalur yang tadinya didominasi hutan yang rapat mulai perlahan terbuka. Kami berempat menghabiskan waktu sekitar 47 menit dari Pos Kota Simpang Macan menuju Pos 2 Pandean. Kali ini rada molor dibandingkan estimasi di plang-nya Pos Simpang Macan yang katanya untuk menuju Pos 2 ‘cuma’ butuh 40 menit.

Longsoran tanah
Pos 2 Pandean
Area perkemahan di pos 2
Kabut mulai turun
Pos 2 Pandean berada di area yang bergitu luas sehingga mungkin cukup untuk menampung puluhan tenda. Meskipun areanya luas, pos 2 ini kurang direkomendasikan untuk dijadikan tempat nge-camp terakhir sebelum muncak, karena ya.. masih jauh banget dari puncak. Kebanyakan pendaki yang mau muncak dari jalur Selo lebih memilih untuk nge-camp minimal di pos 3 atau sabana 1. Di pos 2 ini sendiri terdapat sebuah gazebo yang atapnya sudah bolong lantaran penutup sengnya terbang terhempas angin. Terdapat juga toilet yang sama-sama sudah tak lagi beratap. Ketika kami sampai, ada dua tenda yang kata penghuninya sebentar lagi mau diberesi lantaran mereka mau pulang. Selain ketemu mereka sesama manusia, di pos ini kami ketemu lagi sama monyet penghuni hutan Merbabu. Dari pos 2 ini kami sudah mulai bisa menerka-nerka seperti apa indahnya pemandangan Gunung Merbabu di pos-pos berikutnya, juga jalur-jalur selanjutnya yang tampaknya tak bakal lebih gampang.

Akan semakin banyak tanjakan sebentar lagi
Everything seems surreal
Pos 2 Pandean – Pos 3 Batu Tulis
Setelah istirahat sekitar setengah jam, perjalanan kami lanjutkan menuju Pos 3 Batu Tulis. Jalur menuju Pos 3 ini sudah tidak lagi menembus hutan, melainkan di  punggung gunung yang terbuka dengan semak-semak di kanan dan kirinya. Lantaran pendakian  ini kami lakukan di siang hari, jadi panasnya cukup terasa menyengat. Terlebih lagi depanjang jalur menuju pos 3 sama sekali tidak ada bonus. Isinya tanjakan semua. Sebelum sampai di Pos 3, kami akan menemukan plang bertuliskan puncak dengan anak panah menuju ke atas. Saya yang matanya memang tak lagi sehat sempat mengira kalau plang itu adalah pos 3, ternyata waktu sampai saya baru tahu kalau itu cuma petunjuk ke arah puncak. Jalur pendakiannya pun masih terus berlanjut dan terus menanjak. Lha pos 3-nya di mana..?! Kata pendaki yang mau turun, “Oh sudah deket, mas. Semangat ya!” Yang udah pernah naik gunung pasti tahu kalau ada yang bilang sudah dekat itu berarti belum tentu bener-bener sudah dekat, bisa saja itu cuma penyemangat padahal tempat tujuannya masih jauh, hehehe.

Plang 'Puncak' sebelum pos 3
Barulah 20 mnit dari plang ‘Puncak’ itu, saya dan Seto datang terlebih dahulu di pos 3, menyusul Wowo dan Mas ari 15 menit kemudian. Saya lupa mencatat berapa menit waktu tempuh dari dari Pos 2 menuju Pos 3. Saya juga lupa tidak memotret plang di pos 3. Jadi untuk sekedar informasi, kami estimasikan sekitar 40 menit mengikuti tulisan di plang Pos 2. Tetapi seingat saya, butuh waktu 1 jam lebih untuk mendaki dari Pos 2 menuju Pos 3 ini.
Pos 3 juga berupa area yang luas dan terbuka, yang biasanya dijadikan tempat nge-camp terakhir sebelum muncak selain di Sabana 1 ataupun Sabana 2. Dari Pos 3 ini terlihat betapa terjal jalur menuju Sabana 1. Wowo yang menderita anyang-anyangan sempat minta untuk nge-camp di pos 3 ini saja. Tetapi setelah diyakinkan oleh Seto dan dibantu membawakan bebannya, akhirnya Wowo bersedia lanjut. 

“Woah, we're half way there
Woah, livin' on a prayer
Take my hand, we'll make it I swear
Woah, livin' on a prayer…”
(Livin’ on a prayer – Bon Jovi)


Pos 3 Batu Tulis – Sabana 1
Menurut blog-blog yang saya baca, jalur dari Pos 3 menuju Sabana 1 adalah yang terberat. Setelah dijalani, memang benar demikian adanya. Jalur yang kami daki ternyata lebih jauh daripada yang terlihat dari Pos 3. Setelah sampai di titik di atas bukit yang sempat kami kira itu sudah hampir finish, ternyata masih berkelok dan terus menanjak. Derajat kemiringannya jangan ditanya, sepertinya sudah di atas 60 derajat. Di beberapa titik sampai harus dilengkapi tali pengaman untuk mempermudah pendakian. Saya juga lupa tidak memotret plang-nya Pos 3 sehingga tidak bisa memberikan informasi lebih lanjut mengenai estimasi waktu dari Pos 3 menuju Sabana 1. Seingat saya, rombongan kami baru sampai di Sabana 1 sekitar jam 5 sore. Jadi kalau ditotal dari sejak berangkat di 0 km tadi, kami berempat butuh waktu 4 jam 40 menit untuk sampai di Sabana 1. Itu sudah termasuk waktu istirahat.

View Gunung Merapi, hiburan di tengah tanjakan
Medan pendakian menuju Sabana 1
Sabana 1
Sesampainya di Sabana 1, kami berempat langsung mendirikan tenda. Ada 4 perut yang sudah menunggu untuk segera diisi asupan energi. Di Sabana 1 ini sesekali angin memang berhembus kencang dan kadang diiringi oleh beberapa titik gerimis., tetapi syukur Alhamdulillah itu tidak berlangsung lama. Selama perjalanan hingga menuju Sabana 1 ini cuaca cukup bersahabat, berbeda jauh dengan prediksi prakiran cuaca.

“Perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang
Cahaya kota kelam mesra menyambut sang petang
Di sini ku berdiskusi dengan alam yg lirih
Kenapa matahari terbit menghangatkan bumi
Aku orang malam yg membicarakan terang
Aku orang tenang yg menentang kemenangan oleh pedang”
(Cahaya Bulan – Eross feat. Okta)


17 APRIL 2018
Sabana 1 – Sabana 2 – Watu Lumpang
Sesuai dengan kesepakatan, sekitar jam 3 dinihari  kami berempat sama-sama bangun. Setelah ngobrol-ngobrol nggak jelas perihal rencana muncak, kami yang masih ngantuk lantas kembali masuk ke dalam balutan sleeping bag. Udara yang dingin membuat kami berempat malas keluar dari tenda, padahal rencana yang disusun tadi malam adalah kami mau berangkat muncak pas subuh biar bisa lihat sunrise. Tapi memang rasa kantuk tak pernah bisa dibohongi. Barulah sekitar setengah enam pagi tanpa sarapan kami berempat mulai bergerak berjalan menuju puncak. Jalur dari Sabana 1 menuju Sabana 2 awalnya datar, kemudian menanjak melintasi punggung bukit. Di puncak tanjakan, Wowo yang merasa kurang fit memutuskan untuk kembali ke tenda. Jadilah tinggal saya, Seto, dan Mas Ari yang melanjutkan perjalanan. Trek yang kami lintasi kemudian sedikit menurun menuju padang rerumputan di Sabana 2.
Di sabana 2 yang begitu luas itu waktu itu kondisinya sangat lengang, hanya ada dua buah tenda yang saling tersambung dengan flysheet. Di Sabana 2 ini juga terdapat toilet. Jalur dari Sabana 2 menuju Watu Lumpang awal-awalnya berupa area datar yang dikelilingi oleh bukit-bukit hijau mirip bukit-bukit di Oro-Oro Ombo-nya Semeru. Setelah itu jalur berupa turunan landai yang lantas mengantarkan langkah kami menuju trek terjal di depan mata.

Awal-awal jalur dari Sabana 2 menuju Watu Lumpang
Tanjakan menuju Watu Lumpang
Di tengah perjalanan, cuaca berubah mejadi berkabut. Jarak pandang barangkali tinggal 10 meteran saja. Dalam hati saya cuma bisa berdoa saja semoga cuaca tidak menjadi lebih buruk. Syukur-syukur kalau kabutnya jadi hilang sehingga pemandangan indah di puncak nanti bisa kami nikmati. Tanjakan yang tadi sekilas begitu jauh dan tinggi itu setelah dijalani ternyata tak memakan waktu terlalu lama. Sesuai estimasi di plangnya Sabana 2, perjalanan menuju Watu Lumpang ini kami tempuh dalam waktu setengah jam.

Watu Lumpang.
Pos Watu Lumpang

Watu Lumpang  - Puncak Triangulasi


“To the future we surrender.
Life’s to live and love’s to love.”
(Surrender - Float)

Gunung Merbabu konon punya banyak puncak; puncak Syarif, puncak Triangulasi, puncak Watugubuk, puncak Watutulis, puncak Gegersapi, puncak Ondorante dan puncak Kenteng Songo. Tetapi yang terdekat dari jalur Selo ini adalah Puncak Triangulasi dan juga Puncak Kenteng Songo.
 Dari Watu Lumpang, kami terus melanjutkan perjalanan di trek yang cukup menanjak, sebelum akhirnya menemukan percabangan dimana kalau menuju ke kiri kami akan menuju Puncak Triangulasi, sedangkan ke kanan adalah ke Puncak Kenteng Songo. Kami memutuskan untuk ke Puncak Triangulasi terlebih dahulu. Lantaran kabut masih tebal, pemandangan indah dari puncak tertinggi Merbabu ini tidak bisa kami nikmati. Waktu kami datang, Puncak Triangulasi ini masih sepi. Sesekali terdengar suara-suara pendaki, yang sepertinya berasal dari Puncak Kenteng Songo yang konon tidak jauh dari tempat kami berdiri ini.  

Puncak Triangulasi Gunung Merbabu. Kabut menyembunyikan pemandangan indah yang bisa dinikmati dari atas sini
 
Puncak Triangulasi – Puncak Kenteng Songo
Cuaca masih didominasi kabut yang sesekali diselingi oleh angin kencang yang membawa rintik-rintik air. Setelah membuat ‘dokumentasi’ (baca: narsis), kami bertiga melanjutkan perjalanan menuju Puncak Kenteng Songo. Puncak Kenteng Songo ternyata letaknya lebih dekat dari percabangan menuju Puncak Triangulasi tadi. Dan benar saja di puncak Kenteng Songo ternyata lebih ramai oleh pendaki. Tak terlalu lama juga kami berada di puncak Kenteng Songo ini. Kami memutuskan untuk lekas turun kembali ke camp. Sayang sekali kami cuma bertiga yang menikmati puncak ini. Dan yang juga masih terasa sayang adalah tidak adanya pemandangan indah yang bisa diabadikan lantaran kepungan kabut tebal. Tak mengapalah, toh bonus berupa puncak sudah diraih. Allhamdulillah.

Puncak Kenteng Songo
Quotation 1
Papan petunjuk jalur pendakian di Puncak Kenteng Songo
Perjalanan turun tak selalu berarti lebih mudah, setidaknya bagi saya. Saya jujur saja merupakan orang yang body balance-nya jelek sehingga perjalanan turun yang harusnya nggak memakan terlalu banyak tenaga malah menghabiskan tenaga lebih banyak buat menjaga tubuh biar nggak sampai jatuh. Alhamdulillah waktu itu medannya sama sekali tidak licin. Kalau saja medannya licin, bisa-bisa saya akan lebih lama lagi nyampai ke tenda, dan juga lebih lama lagi saat perjalanan pulang nanti.

Sabana 1 – 0 km

Kenikmatan  hqq
Setelah sarapan dirangkap dengan makan siang, acara pun berlanjut pada prosesi packing. Barang bawaan sedikit lebih ringan karena air minum sudah banyak terpakai selama di camp. Belakangan saya baru tahu kalau di Sabana 1 juga ada toiletnya. Pukul 12.00 tet kami mulai meninggalkan Sabana 1, yang tentunya langsung berhadapan dengan turunan tajam menuju Pos 3. Saya yang tadinya khawatir jatuh ternyata masih mampu melintasi turunan-turunan tersebut dengan aman. Kalau  ketiga teman saya mah jangan ditanya, biarpun katanya dengkulnya sakit tapi ternyata masih bisa ngebut juga. Saya baru merasa payah selepas Pos 2, yang mana jempol kaki saya mulai cenat-cenut, ditambah lagi celana saya yang gampang melorot akibat tertimpa beban tas carrier, semakin memperlambat laju langkah saya. Seto dan Mas Ari sudah tak tampak lagi karena mereka sudah jauh di depan. Tinggal saya dan Wowo saja yang kakinya bermasalah ini harus jalan pelan-pelan. Lantaran saking fokusnya nahan sakit di jempol kaki, saya sudah nggak sempat mikir bakal ketemu sama monyet lagi. Pengennya cepet-cepet sampai di basecamp, minum teh panas, terus mandi. Oh iya, biarpun saya dan ketiga teman saya kondisinya sudah sama payahnya, ternyata dalam perjalanan turun ini kami cuma butuh waktu 1 jam 45 menit saja. Beda jauh dengan ketika berangkat yang memakan waktu 4 jam lebih. Sebelum jam 2 siang, kami sudah sampai di basecamp. 

Mission accomplished!
Sambil menunggu jemputan Mas Fulan (saya sebut demikian karena saya tidak tahu namanya, dan beliaunya sebenarnya juga bukan penyedia jasa antar jemput) yang merupakan kenalannya Mas Ari, kami pun repacking, dan tak lupa… minum segelas tes panas yang seketika lagsung menggantikan energi kami yang terkuras selama proses turun gunung.

Soto Seger Ibu Hj Fatimah Boyolali
Makanan yang sebelumnya sudah enak,biasanya akan berkali-kali lipat lebih nikmat ketika disantap setelah mendaki gunung, hehehe
Monumen Arjuna Wijaya Simpang Lima Boyolali
Di kota Boyolali kami mampir di warung Soto Seger ibu Hj Fatimah. Seperti namanya, sotonya emang seger dan top markotop rasanya. Kamu juga sempat jajan beli jadah bakar. Di kota Solo, kami berpisah dengan Solo dan Wowo yang masih akan melanjutkan perjalanan menuju rumah mereka dengan naik bus. Sedangkan saya dan Mas Ari langsung diantarkan Mas Fulan  menuju stasiun Solo Balapan. Alhamdulillah, selesai sudah acara pendakian kami.

 
Puncak hanyalah bonus, pulang ke rumah dengan selamat adalah sukses yang sejati.
.
Sekian.

Ultimate quotation

1 komentar:

  1. Terima ksh buat ceritanya. Sy suka krn jujur dlm bercerita terutama soal basecamp ke pos 1 yg katanya (cerita di blog2 orang)tdk menanjak ternyata menanjak, krn sy sering juga ngomel gara2 baca blog org katanya gak nanjak ternyata nanjak hahaha. Dan, benar, kl pas pasan dg pendaki lain yg bilangnya sdh dekat pdhl belum pdhl itu tdk menghibur ya hahaha apalagi kl pundak mulai terasa pegal dan napas tersengal2. Skl lg terima ksh, kl Allah ijinkan, sy mau ke merbabu jg.

    BalasHapus