![]() |
Saya juga boleh bepergian kan? |
SENIN, 15 MEI 2017
Sekitar dua jam sebelum berangkat sempat terjadi insiden
yang rada bikin jengkel. Data-data di dalam hape saya ilang semua. Sambil ngopy
data dari laptop, saya pun melanjutkan packing. Kadang-kadang perencanaan yang telah dibuat dengan sangat rapi memang tak selalu berjalan mulus menjelang proses eksekusinya.
Setelah sholat Isya’, saya langsung bertolak ke stasiun
Malang Kotabaru. Jalan kaki saja, toh tak sampai 10 menit. Naik angkot
juga nanggung, naiknya masih harus jalan agak jauh dari rumah. Sehingga nanti
baru naik, eh… tau-tau sudah nyampe. Belum lagi nanti kalau masih harus
tiba-tiba ngetem, kan nggak enak jadinya. Jadi ya mending jalan kaki.
Stasiun Malang Kotabaru malam hari itu kelihatan begitu ramai. Meskipun harga tiket kereta bisa dibilang relatif lebih mahal, tapi tampaknya calon penumpangnya nggak pernah berkurang. Malah yang ada justru tambah banyak. Pasalnya, naik kereta jaman sekarang itu jauh lebih nyaman dibandingkan jaman baheula.
Stasiun Malang Kotabaru malam hari itu kelihatan begitu ramai. Meskipun harga tiket kereta bisa dibilang relatif lebih mahal, tapi tampaknya calon penumpangnya nggak pernah berkurang. Malah yang ada justru tambah banyak. Pasalnya, naik kereta jaman sekarang itu jauh lebih nyaman dibandingkan jaman baheula.
![]() |
Stasiun Malang Kotabaru di malam hari |
![]() |
Peron 1 stasiun Malang yang bersih dan kinclong lantainya |
Yang lebih enak lagi, ternyata saya dapat teman duduk yang
enak banget diajak ngobrol. Seorang cewek mahasiswa semester akhir di salah
satu peruguruan tinggi negeri di Malang. Dalam obrolan-obrolan kami, dia bilang
kalau dia lagi mudik ke kampung halamannya di Grobogan, Jawa Tengah. Jadi nanti
dia katanya mau turun di stasiun Solo Balapan untuk selanjutnya dijemput
saudaranya.
"Chi trova un amico, trova un tesoro*"
(Float - Surrender)
Berhubung perjalanannya malam hari, jadi tidak banyak
pemandangan yang bisa dilihat. Di luar kereta pastinya cuma ada gelap dan gelap
yang sesekali diselingi oleh lampu-lampu rumah maupun jalan raya. Dan karena
ini kelas ekonomi, maka tidak ada fasilitas hiburan bagi penumpangnya. Meskipun
begitu, sepanjang perjalanan selalu terdengar alunan lagu-lagu yang entah dari
mana asalnya, dari hape salah seorang penumpang ataukah memang itu dari loud speaker-nya kereta.
Tapi untunglah waktu perjalanan selama tujuh jam lebih itu
kadar kebosanannya bisa sedikit tereduksi dengan kehadiran teman seperjalanan
saya ini. Dia juga nanya-nanya ke saya… “Masih kuliah apa…”, yang belum selesai
dia nanya udah saya jawab aja langsung, “Udah lulus, udah kerja.”. “Oh.. udah
lulus, tahun berapa?”, “Malu, ah. Tua, hahahah”, dia cuma senyum lalu nanya
lagi, “kalau kerjanya apa?”,”frilen, jualan di internet”,”Ohh… pantes hari
senin gini bisa jalan-jalan…”,”Iya… enak kan…?”,”Iya-iya, enak. Kok sendirian?”,”Temen-temen
saya udah pada nikah”. Dan… dan… sejenak pembicaraan mendadak terhenti. %$$%^&&*((%%
![]() |
Kira-kira kayak gini lah ya... tapi ya.. nggak kayak gini juga |
Obrolan pun terus berlanjut hingga mbak di depan saya
ngantuk. Saya pun sebenarnya juga sama ngantuknya. Sesekali saya mendongakkan
kepala siapa tahu karcisnya mau diperiksa. Takutnya nanti baru mulai
enak-enaknya tidur, harus dibangunkan gara-gara ada pemeriksaan karcis. Meskipun begitu, mbak di depan saya tenyata kelihatan
nyenyak juga tidurnya. Sambil masih nunggu pemeriksaan karcis, saya nyamil
jamur crispy yang saya bawa dari
rumah. Yaa… buat ganjal perut, juga buat menuhin syarat minum obat. Iya saya
emang lagi gak bener-bener sehat pas berangkat itu. Telinga kanan saya nyeri
luar biasa, jadinya obat yang bisa meredam rasa nyeri itu saya masukkan juga ke
dalam daftar barang bawaan. Tak lupa juga saya membawa obat masuk angin dan
minyak kayu putih buat menangkal udara dingin dari AC kereta. Bukan apa-apa,
buat jaga-jaga saja biar nanti nggak sampai masuk angin, terus perut mules,
terus pengen BAB. Biarpun toilet di kereta lumayan bersih dan wangi serta
airnya cukup banyak, tapi kayaknya BAB di kereta itu tetap bakalan menyusahkan.
![]() |
Toiletnya kereta api Malioboro Ekspress yang kelas ekonomi |
SELASA, 16 MEI 2017
Barulah selepas stasiun Madiun, karcisnya diperiksa. Itupun
yang diperiksa cuma mereka yang baru naik dari Madiun. Barangkali penumpang
yang berangkat dari tempat yang lebih jauh (dan pastinya sudah terlelap tidur)
mendapatkan dispensasi dengan tidak diperiksa karcisnya supaya istirahat mereka
tidak terganggu. Wah enak juga yaa… tau gini saya tidur dari tadi. Sistem boarding pass yang diterapkan di kereta
api jaman sekarang memang tidak memungkinkan penumpang tak bertiket untuk masuk
ke kereta. Jangankan ke kereta, masuk peron saja sudah dilarang. Jadinya para
penumpang gelap tak ada yang bisa masuk dan menumpang seenaknya di kereta.
Okelah, saya akhirnya bisa tertidur lumayan nyenyak hingga
terbangun oleh suara announcer yang
memberitahukan bahwa kereta sudah hendak sampai di Solo Balapan. Berhubung sudah hampir sampai di tempat tujuannya, si mbak yang belum sempat
saya ajak kenalan itu pun pamit turun. Tak usah diajak kenalan lah yaaa… nanti
yang baca blog ini jadi berharap ada kelanjutan kisahnya, hahahaha…. Tempat kosong di hadapan saya pun saya
manfaatkan untuk selonjor sepuasnya. Saya kemudian melanjutkan tidur hingga
akhirnya terbangun lagi oleh suara announcer
yang memberitahukan bahwa sebentar lagi kereta akan sampai di stasiun Yogyakarta.
"Pulang ke kotamu,
ada setangkup haru dalam rindu.
Masih seperti dulu...
Tiap sudut menyapaku bersahabat...
Penuh selaksa makna..."
(Yogyakarta - Kla Project)
Kereta api Malioboro Ekspress tiba tepat waktu pukul 03.35.
Dan karena waktu tersebut belum masuk waktunya sholat subuh, saya pun
melanjutkan tidur-tiduran di kursi peron stasiun Yogyakarta alias stasiun Tugu.
Sekalipun tampaknya berasal dari golongan berada, beberapa penumpang tampaknya tak
sungkan merebahkan badannya di manapun tempat yang dirasa nyaman untuk untuk
tidur. Kalau saya sih bukan orang berada, jadi suantaii aja lah mau tidur mana
saja, hahahaha… Stasiun ini sendiri denyut aktifitasnya nyaris tak pernah
berhenti. Hampir selalu ada aktifitas lalu lintas kereta api. Jadi buat saya
yang memang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan kereta api, menikmati
pemandangan si ular besi itu tentu menjadi keasyikan tersendiri. Baru sekitar
jam setengah enam, saya buka sarapan saya berupa nasi goreng bikinan sendiri.
Sudah dingin pastinya, soalnya saya bikinnya kemarin sore. Makanan itu sendiri
tidak saya habiskan. Sebenarnya agak nggak tega juga, tapi saya sudah terlanjur
kekenyangan.
Saya juga sempat BAB sebentar di toiletnya stasiun Tugu.
Iseng-iseng saya nanya ke pak cleaning
service di toiletnya stasiun Tugu perihal jam pagi-pagi begini bus Trans Jogja-nya
sudah ada apa belum. Menurut si bapak, bus trans Jogja baru ada jam 6-an. Si
bapak kemudian balik bertanya tentang tujuan perjalanan saya, yang langsung
saya jawab hendak ke Borobudur. Saran untuk naik bus Damri pun langsung keluar
dari mulut si bapak. “Naik bus Damri enak mas, nggak pakai berhenti di terminal Njombor. Jadi njenengan langsung
nyampai Borobudur”, tutur si bapak. “Oh iya… iya… berapa pak harga karcis
bisnya itu?”, tanya saya. “60 ribu, mas. Enak nggak pakai muter-muter dulu.
Kalau njenengan naik Trans Jogja ya…
paling satu jam baru nyampai Njombor”,
jawab si bapak. Langsung saja saya berterima kasih sambil ‘berakting’ mengangguk
sambil pamit. Iya, pakai akting dikit lah ya… karena nggak mungkin juga saya
ngomong, “Wah, Mahal!!!”. Saya pun langsung melangkahkan kaki menuju pintu
keluar stasiun Tugu.
Sejak beberapa bulan yang lalu, penumpang yang hendak keluar
dari stasiun Tugu diarahkan lewat pintu yang mengarah ke jalan Pasar Kembang. Dari
pintu keluar ini, saya berjalan belok ke kanan menyusuri sepanjang jalan Pasar
Kembang dan jalan Jlagran Lor. Saya sempat mampir sebentar di sebuah warung
untuk menyeruput segelas teh panas. Setelah itu perjalanan saya lanjutkan
menuju halte Tentara Pelajar untuk naik bus Trans Jogja rute 2B dengan tujuan
Terminal Jombor. Sebenarnya kalau mau lebih dekat dari stasiun, ada sih rute 2B
yang bisa diakses dari halte Mangkubumi atau halte Malioboro, tetapi itu
berdampak pada lamanya waktu perjalanan yang akan ditempuh. Kalau naik dari
halte Mangkubumi atau halte Malioboro, maka kita masih akan dibawa jalan-jalan
dan muter-muter dulu oleh itu bis Trans Jogja. Sedangkan kalau naik dari halte
Tentara Pelajar, waktu tempuhnya akan lebih singkat. Meskipun perlu berjalan
kaki agak jauh dari pintu keluar di Pasar Kembang tadi, tapi saya tetap enjoy
aja melangkahkan kaki sambil menikmati suasana Jogja di pagi hari yang cerah. Selama
berjalan kaki itu saya hampir selalu bertemu dengan tukang ojek, supir taksi,
dan tukang becak yang menawarkan jasanya. Saya tolak dengan halus saja. Spanduk
penolakan para ‘driver konvensional’ terhadap
keberadaan driver online yang
kekinian tampak terpasang di beberapa titik pinggir jalan. Saya sendiri belum
tertarik menggunakan jasa pengemudi online
itu, karena menurut saya cara terbaik untuk menikmati sebuah kota adalah dengan
menjelajahinya dengan berjalan kaki. Dan menariknya, ternyata para pengemudi online itu tetap banyak yang dengan
santainya bergerombol ngopi pakai atribut lengkap di angkringan-agkringan yang
berdekatan dengan spanduk penolakan terhadap keberadaan mereka.
![]() |
Menyusuri jalanan kita Jogja di pagi hari |
![]() |
Rute pintu keluar Stsiun Tugu via Pasar Kembang - Halte Trans Jogja Tentara Pelajar |
![]() | ||||
Peta rute Trans Jogja (Sumber:
) |
![]() |
Di dalam bus Trans Jogja 2B |
![]() |
Dalemannya bus jurusan terminal Borobudur |
![]() |
Gapura perbatasan DIY - Jawa Tengah |
Perjalanan dari terminal Jombor di Jogja menuju terminal
Borobudur memakan waktu kurang lebih satu jam, yang Alhamdulillah tidak pakai acara
ngetem-ngetem segala. Saya adalah salah satu dari tiga penumpang yang tersisa di
bus jurusan Borobudur itu. Beberapa tukang ojek dan becak langsung mengerubuti bus
yang saya naiki ini meskipun busnya
belum benar-benar berhenti. Sebelum turun dari bus, saya bertanya kepada pak
tua kenek bus perihal arah jalan menuju candi Borobudur kalau mau jalan kaki. Pak
kenek pun menunjukkan jalan yang harus lewati, yang mana perlu menembus
sela-sela warung sebelum bertemu jalan lebar di depan pasar yang mengarah ke
arah candi. Dan karena cuma saya sendirian yang punya tampang turis (emang iya…?!!!),
jadinya saya kembali jadi subyek sasaran penawaran para tukang ojek dan tukang
becak yang hendak menawarkan jasa mereka. Para tukang ojek bahkan berani banting harga
hingga cuma lima ribu rupiah untuk mengantarkan saya hingga ke gerbang kompleks
candi. Saya tolak saja dengan halus tawaran mereka. Saya memang ingin berjalan
kaki. Kata literatur-literatur yang saya baca di internet jarak dari terminal
Borobudur hingga kompleks candi itu tidak terlalu jauh. Ketika saya periksa
pakai Google Maps pun memang benar jaraknya masih sangat layak untuk ditempuh
dengan jalan kaki. Jadi ya saya jalan
kaki saja, lagipula cuacanya sangat cerah dan udaranya sangat sejuk sehingga
jalan kakinya bisa dipakai sebagai olahraga. BTW… BTW… jalan kaki di sini saya
nggak nyaranin lho ya… soalnya nanti di kompleks candi kita masih perlu jalan
kaki dan nanjak-nanjak hingga ke puncaknya candi Borobudur. Jadi pastilah akan ada
potensi capek-capeknya. Tapi kalau memang bersikukuh pengen jalan kaki ya monggo kerso…
![]() | |
Jalan raya dari terminal Borobudur menuju Taman Wisata Candi Borobudur. |
![]() |
Rute, jarak, dan waktu tempuh dari terminal Borobudur menuju candi Borobudur (katanya Google Map) |
Lantaran masih sepi, saya sendiri tak perlu antri unntuk mendapatkan tiket masuk candi. Untuk turis lokal seperti saya, tarifnya dipatok sebesar Rp 40.000. Naik sepuluh ribu semenjak 1 Mei 2017 lalu. Di tempat pemeriksaan karcis, barang bawaan kita akan diperiksa. Kita akan diminta membuka tas kita. Yahh… namanya situs warisan dunia ya, tentu penjagaannya harus ekstra ketat. Siapa tahu ada teroris berkedok wisatawan yang bawa bom, kan ayahab (baca: bahaya). Tapi tentulah di dalam tas saya mereka tidak menemukan sebiji bom pun, yang mereka temukan adalah kotak makan berisi kurma dan dua botol air minum, plus payung. Sisanya adalah baju-baju saya. Karenanya, saya dipersilahkan masuk dengan diperingatkan lebih dahulu supaya tidak buang sampah sembarangan. Oh.. tenang saja, Bu… gini-gini saya pernah jadi pendaki gunung, jadi saya paham betullah soal kebersihan dan kelestarian alam. Okay..? Yuk lanjut…
![]() |
Ini loketnya |
![]() |
Ini tiketnya |
![]() |
Ini nanti di-scan di pintu pemeriksaan tiket. |
Bangunan utama Candi Borobudur terdiri dari tiga tingkatan;
Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu, yang dihubungkan oleh anak-anak tangga berlapis
papan-papan kayu. Untuk yang sudah mulai berumur, nanjak di tangga-tangga ini
lumayan memforsir kinerja dengkul dan pernafasan lho. Pun juga dengan cuacanya,
yang meskipun masih pagi begini sudah begitu terik. Jadi sebaiknya kita pakai
topi, payung, ataupun pakaian apa aja yang bisa melindungi tubuh dan kepala
kita dari sengatan sinar matahari. Tiap-tiap tingkatan candi Borobudur saya putari
bagian teratasnya hingga akhirnya saya sampai di lingkar paling atas candi
dimana stupa terbesarnya berdiri. Di beberapa titik terpasang papan larangan
untuk memanjat tubuh candi. Namanya bangunan cagar budaya, pastilah umurnya sudah teramat sangat uzur, jadi potensi kerusakan pastilah tetap akan ada karena tiap hari dikunjungi orang. Apalagi kalau sampai ada yang nekad manjat hingga membuat struktur bebatuannya ambrol.
Semakin siang, pengunjung candi Borobudur semakin ramai. Yang terlihat paling dominan adalah rombongan-rombongan anak sekolahan. Turis bule juga banyak. Barangkali yang sendirian cuma saya sendiri, hiks.. hiks.. hiks... nyantai ajalah tapi ya... Dari celetukan-celetukan pengunjung itu, saya jadi tahu bahwa sebuah mitos lama yang berkembang di Candi Borobudur ternyata masih ada. Konon, kalau kita memasukkan tangan ke dalam lubang stupa dan bisa menyentuh tubuh patung di dalamnya, keinginan kita akan terkabul. Saya tak tahu apakah pengunjung tersebut jadi memasukkan tangannya ke dalam stupa, karena sudah jelas ada aturan bahwa tidak boleh memanjat tubuh candi. Kalau saya pribadi sih, ada atau tidak adanya aturan itu saya tetap tidak akan pernah mencoba melakukan ritual seperti yang ada di dalam mitos itu, karena saya memang tidak percaya pada hal-hal semacam itu.
Ternyata saya tak sampai satu jam lho memutari tubuh candi
Borobudur itu. Iya memang saya tidak banyak berhenti dan tidak terlalu banyak
foto-foto (demi menghemat baterai). Puas telah mencapai tujuan saya, saya pun turun dari candi untuk
selanjutnya menuju pintu keluar. Dan karena hari masih pagi, di benak saya
langsung terbesit ide untuk lanjut ke destinasi selanjutnya, Candi Prambanan.
*Siapa yang menemukan sahabat, dia menemukan harta karun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar