Turun dari Candi Borobudur, pedestrian di tamannya akan
mengarahkan langkah kaki kita menuju pintu keluar melintasi semacam pasar tempat
berjualan souvenir. Setelah berjalan
sekitar sepuluh menit mengikuti alur jalan yang berkelok-kelok di dalam pasar
tersebut (kalau nggak pakai acara belanja), barulah saya sampai di pintu
keluar. Masih dengan berjalan kaki, saya kembali menyusuri jalanan menuju
terminal Borobudur.
![]() |
Ngikut rombongan orang biar nggak nyasar di pasar |
Begitu saya melompat masuk ke dalam bus, pak supirnya
langsung tancap gas. Saya kembali membayar dua puluh ribu ke keneknya dan
(lagi-lagi) tidak mendapatkan kembalian. Ya sudahlah, barangkali memang itulah
tarif untuk seorang pelancong. Jalanan sedikit lebih padat dibandingkan ketika
berangkat tadi. Bus yang saya naiki ini pun sempat masuk ke dalam sebuah terminal
kecil. Terminal apa ini, ya? Saya tak sempat melihat papan namanya. Awalnya
saya sempat menduga bahwa bus ini akan ngetem lama hingga busnya penuh, tapi
ternyata tak sampai lima menit bus ini sudah kembali berangkat. Meskipun
digetok pakai tarif turis, tapi overall
saya puas dengan bus ini yang tidak ngetem dan selalu berusaha berjalan secepat
yang mereka bisa. Jadi jangan dilihat fisiknya yang kumal dan ngenes, ya…. Saya juga sempat tertidur
untuk beberapa saat, sebelum akhirnya kembali terjaga ketika saya merasa ada
yang nimpuk batu ke bus yang saya naiki ini.
![]() |
Masih di posisi kursi yang sama |
![]() |
Berkali-kali papasan dengan rombongan bus parwisata |
Perjalanan menuju Jogja seingat saya sedikit lebih lama
dibandingkan ketika berangkat. Semakin siang, lalu lintasnya semakin padat.
Masih dari sisa-sisa ingatan saya, bus juga berkali-kali berhenti terkena lampu
merah. Pulangnya memakan waktu satu jam lebih sebelum akhirnya sampai di
terminal Jombor. Di terminal ini saya langsung berjalan menuju halte Trans
Jogja. Setelah menunggu sekitar lima belas menitan, bus 2A yang akan
mengantarkan saya menuju Malioboro akhirnya datang. Rencananya di halte
Malioboro nanti saya akan berganti bus dengan trayek 1A yang menuju ke halte
Prambanan.
Jalanan yang padat membuat
bus Trans Jogja ini juga tak bisa berjalan cepat. Setengah jam lebih barulah bus yang saya naiki ini sampai di
halte Mangkubumi di sebelah utara Malioboro, di dekat tugu. Saya turun di halte
ini dan setelah menunggu sepuluh menitan, bus 1A yang saya tunggu akhirnya
datang. Saya sempat berdiri sebentar sebelum akhirnya bisa duduk setelah
penumpangnya banyak yang turun di halte Malioboro. Rute 1A ini lintasannya
banyak yang berada di tengah kota Jogja, karenanya perjalanannya
sedikit-sedikit terhenti oleh traffic light.
Yang bikin rada bĂȘte, sopirnya kurang fokus. Tiap ada kesempatan berhenti sedikit saja
pasti digunakannya buat chatting.
Jadi pas ada kesempatan buat jalan lagi, dia kurang tanggap lantaran masih
bingung dengan hapenya. Di bus ini juga saya mendapat sesuatu yang kurang
menyenangkan pada hape saya, dimana tombol power-nya
copot tak tahu dimana.
![]() | |||||
|
Bus 1A yang saya naiki ini sendiri kini sudah berada di
jalan raya Jogja-Solo, yang artinya candi Prambanan sudah dekat. Kerusakan yang
terjadi pada hape saya membuat saya akhirnya mengurungkan niat saya untuk
mengunjungi candi Prambanan. Saya pribadi jujur saja tak berniat selfie-selfie. Tapi dengan kondisi hape
seperti itu, ditambah baterainya yang semakin menipis, maka pasti acara jalan-jalan
di sana tidak akan bisa berjalan maksimal karena jadi tidak bisa mengabadikan
obyek-obyek di sana. Jadi sayapun akhirnya cuma sebatas naik bus ini saja,
ngikut bus ini muter-muter hingga akhirnya sampai di halte Prambanan. Di halte
yang sebenarnya sudah berada di seberang kompleks candi Prambanan itu saya
langsung keluar dan mencari masjid terdekat untuk sholat Dhuhur. Setelah sholat
Dhuhur, saya kembali berjalan menuju halte Prambanan dan langsung masuk ke
dalam bus 1A yang akan membawa saya kembali ke Malioboro. Perjalanan menuju
Malioboro ini sedikit lebih cepat karena tidak lagi melintasi daerah tengah kota
Jogja, melainkan lewat jalan raya Jogja-Solo.
"...and the earth becomes my throne
I adapt to the unknown
Under wandering stars I've grown
By myself but not alone
I ask no one
...and my ties are severed clean
The less I have the more I gain
Off the beaten path I reign
Rover, wanderer
Nomad, vagabond
Call me what you will
But I'll take my time anywhere
I'm free to speak my mind anywhere
And I'll never mind anywhere
Anywhere I roam
Where I lay my head is home"
I adapt to the unknown
Under wandering stars I've grown
By myself but not alone
I ask no one
...and my ties are severed clean
The less I have the more I gain
Off the beaten path I reign
Rover, wanderer
Nomad, vagabond
Call me what you will
But I'll take my time anywhere
I'm free to speak my mind anywhere
And I'll never mind anywhere
Anywhere I roam
Where I lay my head is home"
(Metallica - Wherever I may roam)
Saya turun di halte Malioboro II dan langsung berjalan
mencari warung Sop Ayam Pak Min Klaten yang katanya Google Map tak terlalu jauh
letaknya dari Malioboro. Lokasinya ternyata sedikit melenceng dari peta, jadi
saya masih perlu berjalan sedikit lebih jauh dari tampilan di Google Map. Dari
namanya, tentu sop ayam ini bukanlah menu khas Jogja. Tapi saya nggak lagi
nyari menu khas mana-mana. Saya nyari warung ini soalnya menu utamanya yang
berupa sop ayam adalah favorit saya, yang mana merupakan salah satu dari
sedikit makanan yang saya doyan. Saya memang rada susah kalau urusan makan, hehe. Warung ini punya cabang dimana-mana, termasuk
di Malang. Di Malang sendiri saya cukup sering makan di warung itu. Nah di
Jogja ini, pilihan menu dan harganya ternyata juga sama. Sayangnya pilihan
menunya tinggal sedikit soalnya sudah banyak yang habis. Sop sayap ayam+nasi+es
teh jadi menu makan siang saya. Totalnya saya habis 13 ribu buat makan siang.
![]() |
lokasinya sop ayam pak min dekat malioboro |
Setelah perut kenyang, saya kembali melangkahkan kaki ke
Malioboro untuk selanjutnya mencari penginapan yang sudah saya booking di daerah jalan Dagen. Di salah
satu toko aksesoris handphone di
Malioboro, saya sempat mampir dan tanya-tanya apa mereka punya hard case-nya Nokia X, yang ternyata
nihil hasilnya. Yahhh tampaknya saya harus melalui sisa-sisa perjalanan saya
dengan hape tanpa tombol power. Kalau mau nyalain atau matiin jadi harus
merogoh lubang power di hape itu pakai benda kecil atau ujung jari kelingking. Sungguh
tidak praktis dan bikin ribet. Tapi mau gimana lagi namanya musibah ya... Riak-riak dalam perjalanan semacam ini kadang justru yang bikin greget (gregetan maksudnya).
Setelah mandi-mandi dan istirahat sebentar, menjelang
maghrib saya jalan-jalan ke arah keraton. Bukan mau ke keratonnya sih
sebenarnya, tapi nyari bakmi Pak Pele yang konon enak banget itu. Di sekitaran lapangan
alun-alun lor-nya keraton itu, jalan
kaki rasanya bisa sedikit lebih leluasa karena trotoarnya tidak se-crowded di Malioboro. Cahayanya juga
bisa dibilang jauh dari kata gemerlap, cenderung gelap malah. Dua pohon
beringin besar di tengah alun-alun membuat keremangan sore itu semakin terasa
begitu lain. Ada semacam aura mistis-mistisnya begitu lho, tapi Alhamdulillah
itu tidak sampai membuat insting paranoid saya terusik. Sayup-sayup suara adzan
maghrib dan orang mengaji yang terdengar dari masjid keraton meredam semua
hawa-hawa yang cenderung nggak enak itu, dan perlahan mengubahnya menjadi
sesuatu yang menenteramkan dan menyentuh ini nih (nunjuk hati). Sayangnya saya
lupa tak sempat mengabadikan suasana di alun-alun lor sore itu. Dan sayangnya
lagi… saya harus menikmati ini sendirian. Tak mengapalah, disyukuri saja. Jalan-jalan
sore di Jogja itu memang enaaak banget suasananya, feels
like home.
"Sometimes I feel like I don't have a partner,
Sometimes I feel like my only friend
Is the city I live in, The city of angel
Lonely as I am, together we cry"
(Red Hot Chilli Pepper - Under The Bridge)
Sampailah saya di warung Pak Pele. Kalau dilihat dari atas,
Bakmi Pak Pele letaknya di sudut tenggara alun-alun utara keraton Jogja. Lantaran
sudah menemukan dan melihat langsung lokasinya, saya pun balik kucing sebentar
untuk melaksanakan sholat maghrib di musholla terdekat. Pasalnya kalau mau
sholat di masjidnya keraton, saya harus berjalan dengan jarak yang cukup jauh.
Jadi nanti bisa-bisa selain saya sudah telat sholatnya, ehh… warung bakminya
sudah ramai.
![]() |
Lokasi Bakmi Pak Pele |
Usai sholat, saya kembali ke warung Pak Pele dan langsung memesan
seporsi bakmi kuah dan es teh. Saat saya ke warung itu, pengunjungnya masih
sedikit. Alhamdulillah, jadi pesanan saya langsung dimasak tanpa perlu antri.
Saya memang sengaja datang ke warung itu pas maghrib-maghrib, pas warungnya
baru buka, karena konon menurut blog-blog yang saya baca semakin malam maka
akan semakin ramai warungnya. Dan tak berapa lama kemudian pesanan saya pun
datang. Sepiring bakmi kuah itu ditemani semangkok acar mentimun, dan semangkok
cabe ijo. Iya, acar mentimun dan cabenya nggak lagi cuma beberapa biji yang
ditaruh di tepian piring, tapi ditempatkan di mangkok tersendiri! Jadi ya
buanyak banget acar dan cabenya, padahal bakminya cuma sepiring. Melihat
tampilan bakminya saya langsung tak tahan untuk segera mencicipinya, yang
ternyata memang uenaak tenan… ! Top
markotop surotop kalau kata Pak Bondan. Puas menikmati bakmi Pak Pele, saya
kembali melangkahkan kaki menuju penginapan, sholat isya’, lalu tidur.
![]() |
Bakmi Pak Pele-nya |
RABU, 17 MEI 2017
Sekitar jam setengah tujuh, saya check out meninggalkan tempat saya menginap semalam. Pagi hari di
jalan Malioboro ternyata juga bisa sepi ya… Lapak-lapak yang biasanya digelar
di depan pertokoan sepanjang trotoarnya tampak tutup. Pun warung-warung dan angkringannya
juga menunjukkan kondisi serupa, terlihat dari pemiliknya yang lagi nyuci-nyuci
peralatan makan dan minum bekas pembelinya semalam. Sambil jalan ke stasiun ini
saya sebenarnya juga nyari sarapan, tapi lha
banyak yang tutup iki piye jal…? Langkah
saya sejenak terhenti oleh mas-mas yang tadinya jogging, ternyata minta difotoin di bawah plang tiang nama jalan
Malioboro. Yaaa… pada akhirnya saya minta tolong difotoin juga, hehe… tapi
nyantai aja, foto saya itu tidak akan saya pajang di sini. Toh pembaca sekalian
mbuka blog saya ini bukan buat nyari
foto saya kan…? Hehehe…9989x.
![]() |
Pertanda kalau sudah ke Jogja |
Karena masih ada cukup waktu, saya kemudian berbelok ke arah
jalan pasar kembang. Siapa tau masih ada warung yang buka dan agak sepi. Memang ada beberapa
yang buka, tetapi semua-muanya ruamai. Saya pun terus melanjutkan jalan kaki
saya, mencari angkringan yang saya datangi kemarin lusa pas saya minum teh panas.
Soalnya tempatnya agak jauh dari pintu stasiun, jadi kemungkinan agak sepi lah.
Tapi pas sampai di TKP, ternyata warung yang saya cari itu juga tutup. Yahh… tak
mengapalah.
Akhirnya di daerah jalan Mangkubumi saya nemu warung yang sepi. Sepi pembeli dan juga penjual. Lhah piye toh...? Yang jualan tidak tampak batang hidungnya.
Warungnya buka, tapi pemiliknya tak diketahui dimana rimbanya. Langkah
kaki saya pun kemudian terhenti di sebuah warung soto ayam yang beberapa mejanya terlihat kosong. ‘Soto ayam
Pak Gareng’, begitu yang tertulis di banner
warungnya. Cicipan pertama pada semangkok soto itu membuat saya langsung
berujar, “Wah nanti kalau ke Jogja lagi harus ke warung ini lagi…”. Harganya
juga teramat sangat ramah. Semangkok soto ayam plus segelas teh panas cuma
ditotal seharga 12 ribu rupiah saja. Awalnya saya sebenarnya agak malas mau
makan di sekitar tempat yang banyak wisatawannya, terlebih karena saya juga
lagi bawa tas ransel yang padat berisi. Pasti berpotensi bakal digetok pakai
harga turis. Tapi Alhamdulillah lah yaa… ternyata makan di
warung ini harganya normal sekali. Kalau makan bakmi di Pak Pele kemarin itu,
saya habis 25 ribu. Agak kaget sih
sebenernya, tapi karena rasanya yang luar biasa enak itu saya pikir worth it lah harganya segitu. Terlebih
karena konon telur yang dipakai bukan telur ayam melainkan telur bebek yang
harganya mahalan.
Tengok-tengok jam tangan, ternyata masih ada waktu tersisa
untuk jalan-jalan tipis-tipis. Kaki pun saya ayunkan menyusuri sekitaran jembatan Kewek, terus muter lewat bawahnya jembatan kereta api, hingga akhirnya finish di stasiun Tugu. Tak lupa juga
saya mampir di monumen yang ada tulisannya ‘Yogyakarta Berhati Nyaman’ itu. Tapi
pas hendak berswafoto, rasa malu dan sungkan mendadak hinggap lantaran ada dua
orang ibu-ibu duduk-duduk di sekitarnya.
![]() |
Jembatan Kewek |
![]() |
Tetenger |
![]() |
Kereta api Sancaka rute Jogja - Surabaya |
![]() |
Langsiran lokomotif |
![]() |
under the bridge |
Pukul 07.45, kereta Malioboro Ekspres perlahan bergerak
meninggalkan stasiun Yogyakarta. Di satu sisi, ada perasaan puas dan lega
karena ‘relatif’ berhasil mengeksekusi rencana yang telah disusun sekitar
sebulanan yang lalu. Tetapi di sisi lain ada hal yang begitu mengganjal juga
ketika kereta ini tadi diberangkatkan dari stasiun. Ada semacam kerinduan yang
mulai muncul dan juga pertanyaan yang mendadak timbul, “Kapan ke sini lagi?”
Menurut tulisan yang tertera di tiket, perjalanan ini baru
akan berakhir di Malang pukul 15.43. Jadi perjalanan kereta ini akan memakan
waktu hampir 8 jam. Tak seperti saat berangkat, perjalanan pulang ini saya
tempuh menggunakan yang kelas eksekutif. Hatiku (wih… hatiku rek…) sungguh tercengang mendapati kereta eksekutif ini
begitu penuh penumpang. Full. Tak ada
satupun kursi tersisa. Padahal kereta eksekutif itu tarifnya bisa dibilang sungguh
sukar dikatakan ramah terhadap kantong lho. Tapi ternyata begitu banyak ya
orang yang rejeki finansialnya berlebih di Indonesia ini, hahaha... Yang Alhamdulillah
saya masih dalam proses perjalanan yang teramat sangat panjang menuju ke arah sana.
Yap… masih perjalanan, dan saya maknai saja sebagai sebuah perjalanan. Karena
itulah saya menyukainya.
Alhamdulillah… selesai sudah catatan perjalanan ini.