Jumat, 26 Mei 2017

Catatan Perjalanan: Dari Malang ke Jogja ke Borobudur Ke Jogja ke Malang lagi. Pt.2





Turun dari Candi Borobudur, pedestrian di tamannya akan mengarahkan langkah kaki kita menuju pintu keluar melintasi semacam pasar tempat berjualan souvenir. Setelah berjalan sekitar sepuluh menit mengikuti alur jalan yang berkelok-kelok di dalam pasar tersebut (kalau nggak pakai acara belanja), barulah saya sampai di pintu keluar. Masih dengan berjalan kaki, saya kembali menyusuri jalanan menuju terminal Borobudur. 

Ngikut rombongan orang biar nggak nyasar di pasar
Begitu saya melompat masuk ke dalam bus, pak supirnya langsung tancap gas. Saya kembali membayar dua puluh ribu ke keneknya dan (lagi-lagi) tidak mendapatkan kembalian. Ya sudahlah, barangkali memang itulah tarif untuk seorang pelancong. Jalanan sedikit lebih padat dibandingkan ketika berangkat tadi. Bus yang saya naiki ini pun sempat masuk ke dalam sebuah terminal kecil. Terminal apa ini, ya? Saya tak sempat melihat papan namanya. Awalnya saya sempat menduga bahwa bus ini akan ngetem lama hingga busnya penuh, tapi ternyata tak sampai lima menit bus ini sudah kembali berangkat. Meskipun digetok pakai tarif turis, tapi overall saya puas dengan bus ini yang tidak ngetem dan selalu berusaha berjalan secepat yang mereka bisa. Jadi jangan dilihat fisiknya yang kumal dan ngenes, ya…. Saya juga sempat tertidur untuk beberapa saat, sebelum akhirnya kembali terjaga ketika saya merasa ada yang nimpuk batu ke bus yang saya naiki ini.

Masih di posisi kursi yang sama
Berkali-kali papasan dengan rombongan bus parwisata
Perjalanan menuju Jogja seingat saya sedikit lebih lama dibandingkan ketika berangkat. Semakin siang, lalu lintasnya semakin padat. Masih dari sisa-sisa ingatan saya, bus juga berkali-kali berhenti terkena lampu merah. Pulangnya memakan waktu satu jam lebih sebelum akhirnya sampai di terminal Jombor. Di terminal ini saya langsung berjalan menuju halte Trans Jogja. Setelah menunggu sekitar lima belas menitan, bus 2A yang akan mengantarkan saya menuju Malioboro akhirnya datang. Rencananya di halte Malioboro nanti saya akan berganti bus dengan trayek 1A yang menuju ke halte Prambanan. 
Jalanan yang padat membuat bus Trans Jogja ini juga tak bisa berjalan cepat. Setengah jam lebih barulah bus yang saya naiki ini sampai di halte Mangkubumi di sebelah utara Malioboro, di dekat tugu. Saya turun di halte ini dan setelah menunggu sepuluh menitan, bus 1A yang saya tunggu akhirnya datang. Saya sempat berdiri sebentar sebelum akhirnya bisa duduk setelah penumpangnya banyak yang turun di halte Malioboro. Rute 1A ini lintasannya banyak yang berada di tengah kota Jogja, karenanya perjalanannya sedikit-sedikit terhenti oleh traffic light. Yang bikin rada bĂȘte, sopirnya kurang fokus.  Tiap ada kesempatan berhenti sedikit saja pasti digunakannya buat chatting. Jadi pas ada kesempatan buat jalan lagi, dia kurang tanggap lantaran masih bingung dengan hapenya. Di bus ini juga saya mendapat sesuatu yang kurang menyenangkan pada hape saya, dimana tombol power-nya copot tak tahu dimana. 

Peta rute Trans Jogja (Sumber: )



Bus 1A yang saya naiki ini sendiri kini sudah berada di jalan raya Jogja-Solo, yang artinya candi Prambanan sudah dekat. Kerusakan yang terjadi pada hape saya membuat saya akhirnya mengurungkan niat saya untuk mengunjungi candi Prambanan. Saya pribadi jujur saja tak berniat selfie-selfie. Tapi dengan kondisi hape seperti itu, ditambah baterainya yang semakin menipis, maka pasti acara jalan-jalan di sana tidak akan bisa berjalan maksimal karena jadi tidak bisa mengabadikan obyek-obyek di sana. Jadi sayapun akhirnya cuma sebatas naik bus ini saja, ngikut bus ini muter-muter hingga akhirnya sampai di halte Prambanan. Di halte yang sebenarnya sudah berada di seberang kompleks candi Prambanan itu saya langsung keluar dan mencari masjid terdekat untuk sholat Dhuhur. Setelah sholat Dhuhur, saya kembali berjalan menuju halte Prambanan dan langsung masuk ke dalam bus 1A yang akan membawa saya kembali ke Malioboro. Perjalanan menuju Malioboro ini sedikit lebih cepat karena tidak lagi melintasi daerah tengah kota Jogja, melainkan lewat jalan raya Jogja-Solo. 

"...and the earth becomes my throne
I adapt to the unknown
Under wandering stars I've grown
By myself but not alone
I ask no one

...and my ties are severed clean
The less I have the more I gain
Off the beaten path I reign

Rover, wanderer
Nomad, vagabond
Call me what you will

But I'll take my time anywhere
I'm free to speak my mind anywhere
And I'll never mind anywhere

Anywhere I roam
Where I lay my head is home
"
(Metallica - Wherever I may roam)

Saya turun di halte Malioboro II dan langsung berjalan mencari warung Sop Ayam Pak Min Klaten yang katanya Google Map tak terlalu jauh letaknya dari Malioboro. Lokasinya ternyata sedikit melenceng dari peta, jadi saya masih perlu berjalan sedikit lebih jauh dari tampilan di Google Map. Dari namanya, tentu sop ayam ini bukanlah menu khas Jogja. Tapi saya nggak lagi nyari menu khas mana-mana. Saya nyari warung ini soalnya menu utamanya yang berupa sop ayam adalah favorit saya, yang mana merupakan salah satu dari sedikit makanan yang saya doyan. Saya memang rada susah kalau urusan makan, hehe. Warung ini punya cabang dimana-mana, termasuk di Malang. Di Malang sendiri saya cukup sering makan di warung itu. Nah di Jogja ini, pilihan menu dan harganya ternyata juga sama. Sayangnya pilihan menunya tinggal sedikit soalnya sudah banyak yang habis. Sop sayap ayam+nasi+es teh jadi menu makan siang saya. Totalnya saya habis 13 ribu buat makan siang. 

lokasinya sop ayam pak min dekat malioboro
Setelah  perut kenyang, saya kembali melangkahkan kaki ke Malioboro untuk selanjutnya mencari penginapan yang sudah saya booking di daerah jalan Dagen. Di salah satu toko aksesoris handphone di Malioboro, saya sempat mampir dan tanya-tanya apa mereka punya hard case-nya Nokia X, yang ternyata nihil hasilnya. Yahhh tampaknya saya harus melalui sisa-sisa perjalanan saya dengan hape tanpa tombol power.  Kalau mau nyalain atau matiin jadi harus merogoh lubang power di hape itu pakai benda kecil atau ujung jari kelingking. Sungguh tidak praktis dan bikin ribet. Tapi mau gimana lagi namanya musibah ya... Riak-riak dalam perjalanan semacam ini kadang justru yang bikin greget (gregetan maksudnya).
Setelah mandi-mandi dan istirahat sebentar, menjelang maghrib saya jalan-jalan ke arah keraton. Bukan mau ke keratonnya sih sebenarnya, tapi nyari bakmi Pak Pele yang konon enak banget itu. Di sekitaran lapangan alun-alun lor-nya keraton itu, jalan kaki rasanya bisa sedikit lebih leluasa karena trotoarnya tidak se-crowded di Malioboro. Cahayanya juga bisa dibilang jauh dari kata gemerlap, cenderung gelap malah. Dua pohon beringin besar di tengah alun-alun membuat keremangan sore itu semakin terasa begitu lain. Ada semacam aura mistis-mistisnya begitu lho, tapi Alhamdulillah itu tidak sampai membuat insting paranoid saya terusik. Sayup-sayup suara adzan maghrib dan orang mengaji yang terdengar dari masjid keraton meredam semua hawa-hawa yang cenderung nggak enak itu, dan perlahan mengubahnya menjadi sesuatu yang menenteramkan dan menyentuh ini nih (nunjuk hati). Sayangnya saya lupa tak sempat mengabadikan suasana di alun-alun lor sore itu. Dan sayangnya lagi… saya harus menikmati ini sendirian. Tak mengapalah, disyukuri saja. Jalan-jalan sore di Jogja itu memang enaaak banget suasananya,  feels like home.

"Sometimes I feel like I don't have a partner,
Sometimes I feel like my only friend
Is the city I live in, The city of angel
Lonely as I am, together we cry"
(Red Hot Chilli Pepper - Under The Bridge)

Sampailah saya di warung Pak Pele. Kalau dilihat dari atas, Bakmi Pak Pele letaknya di sudut tenggara alun-alun utara keraton Jogja. Lantaran sudah menemukan dan melihat langsung lokasinya, saya pun balik kucing sebentar untuk melaksanakan sholat maghrib di musholla terdekat. Pasalnya kalau mau sholat di masjidnya keraton, saya harus berjalan dengan jarak yang cukup jauh. Jadi nanti bisa-bisa selain saya sudah telat sholatnya, ehh… warung bakminya sudah ramai. 

Lokasi Bakmi Pak Pele
Usai sholat, saya kembali ke warung Pak Pele dan langsung memesan seporsi bakmi kuah dan es teh. Saat saya ke warung itu, pengunjungnya masih sedikit. Alhamdulillah, jadi pesanan saya langsung dimasak tanpa perlu antri. Saya memang sengaja datang ke warung itu pas maghrib-maghrib, pas warungnya baru buka, karena konon menurut blog-blog yang saya baca semakin malam maka akan semakin ramai warungnya. Dan tak berapa lama kemudian pesanan saya pun datang. Sepiring bakmi kuah itu ditemani semangkok acar mentimun, dan semangkok cabe ijo. Iya, acar mentimun dan cabenya nggak lagi cuma beberapa biji yang ditaruh di tepian piring, tapi ditempatkan di mangkok tersendiri! Jadi ya buanyak banget acar dan cabenya, padahal bakminya cuma sepiring. Melihat tampilan bakminya saya langsung tak tahan untuk segera mencicipinya, yang ternyata memang uenaak tenan… ! Top markotop surotop kalau kata Pak Bondan. Puas menikmati bakmi Pak Pele, saya kembali melangkahkan kaki menuju penginapan, sholat isya’, lalu tidur.

Bakmi Pak Pele-nya

RABU, 17 MEI 2017
Sekitar jam setengah tujuh, saya check out meninggalkan tempat saya menginap semalam. Pagi hari di jalan Malioboro ternyata juga bisa sepi ya… Lapak-lapak yang biasanya digelar di depan pertokoan sepanjang trotoarnya tampak tutup. Pun warung-warung dan angkringannya juga menunjukkan kondisi serupa, terlihat dari pemiliknya yang lagi nyuci-nyuci peralatan makan dan minum bekas pembelinya semalam. Sambil jalan ke stasiun ini saya sebenarnya juga nyari sarapan, tapi lha banyak yang tutup iki piye jal…? Langkah saya sejenak terhenti oleh mas-mas yang tadinya jogging, ternyata minta difotoin di bawah plang tiang nama jalan Malioboro. Yaaa… pada akhirnya saya minta tolong difotoin juga, hehe… tapi nyantai aja, foto saya itu tidak akan saya pajang di sini. Toh pembaca sekalian mbuka blog saya ini bukan buat nyari foto saya kan…? Hehehe…9989x.

Pertanda kalau sudah ke Jogja
Karena masih ada cukup waktu, saya kemudian berbelok ke arah jalan pasar kembang. Siapa tau masih ada warung yang buka dan agak sepi. Memang ada beberapa yang buka, tetapi semua-muanya ruamai. Saya pun terus melanjutkan jalan kaki saya, mencari angkringan yang saya datangi kemarin lusa pas saya minum teh panas. Soalnya tempatnya agak jauh dari pintu stasiun, jadi kemungkinan agak sepi lah. Tapi pas sampai di TKP, ternyata warung yang saya cari itu juga tutup. Yahh… tak mengapalah. 
Akhirnya di daerah jalan Mangkubumi saya nemu warung yang sepi. Sepi pembeli dan juga penjual. Lhah piye toh...? Yang jualan tidak tampak batang hidungnya. Warungnya buka, tapi pemiliknya tak diketahui dimana rimbanya. Langkah kaki saya pun kemudian terhenti di sebuah warung soto ayam  yang beberapa mejanya terlihat kosong. ‘Soto ayam Pak Gareng’, begitu yang tertulis di banner warungnya. Cicipan pertama pada semangkok soto itu membuat saya langsung berujar, “Wah nanti kalau ke Jogja lagi harus ke warung ini lagi…”. Harganya juga teramat sangat ramah. Semangkok soto ayam plus segelas teh panas cuma ditotal seharga 12 ribu rupiah saja. Awalnya saya sebenarnya agak malas mau makan di sekitar tempat yang banyak wisatawannya, terlebih karena saya juga lagi bawa tas ransel yang padat berisi. Pasti berpotensi bakal digetok pakai harga turis. Tapi Alhamdulillah lah yaa… ternyata makan di warung ini harganya normal sekali. Kalau makan bakmi di Pak Pele kemarin itu, saya habis 25 ribu. Agak kaget  sih sebenernya, tapi karena rasanya yang luar biasa enak itu saya pikir worth it lah harganya segitu. Terlebih karena konon telur yang dipakai bukan telur ayam melainkan telur bebek yang harganya mahalan.
Tengok-tengok jam tangan, ternyata masih ada waktu tersisa untuk jalan-jalan tipis-tipis. Kaki pun saya ayunkan menyusuri sekitaran jembatan Kewek, terus muter lewat bawahnya jembatan kereta api, hingga akhirnya finish di stasiun Tugu. Tak lupa juga saya mampir di monumen yang ada tulisannya ‘Yogyakarta Berhati Nyaman’ itu. Tapi pas hendak berswafoto, rasa malu dan sungkan mendadak hinggap lantaran ada dua orang ibu-ibu duduk-duduk di sekitarnya. 

Jembatan Kewek
Tetenger
Kereta api Sancaka rute Jogja  - Surabaya
Langsiran lokomotif
under the bridge
Pukul 07.45, kereta Malioboro Ekspres perlahan bergerak meninggalkan stasiun Yogyakarta. Di satu sisi, ada perasaan puas dan lega karena ‘relatif’ berhasil mengeksekusi rencana yang telah disusun sekitar sebulanan yang lalu. Tetapi di sisi lain ada hal yang begitu mengganjal juga ketika kereta ini tadi diberangkatkan dari stasiun. Ada semacam kerinduan yang mulai muncul dan juga pertanyaan yang mendadak timbul, “Kapan ke sini lagi?” 


Menurut tulisan yang tertera di tiket, perjalanan ini baru akan berakhir di Malang pukul 15.43. Jadi perjalanan kereta ini akan memakan waktu hampir 8 jam. Tak seperti saat berangkat, perjalanan pulang ini saya tempuh menggunakan yang kelas eksekutif. Hatiku (wih… hatiku rek…) sungguh tercengang mendapati kereta eksekutif ini begitu penuh penumpang. Full. Tak ada satupun kursi tersisa. Padahal kereta eksekutif itu tarifnya bisa dibilang sungguh sukar dikatakan ramah terhadap kantong lho. Tapi ternyata begitu banyak ya orang yang rejeki finansialnya berlebih di Indonesia ini, hahaha... Yang Alhamdulillah saya masih dalam proses perjalanan yang teramat sangat panjang menuju ke arah sana. Yap… masih perjalanan, dan saya maknai saja sebagai sebuah perjalanan. Karena itulah saya menyukainya. 


Alhamdulillah… selesai sudah catatan perjalanan ini.

Sabtu, 20 Mei 2017

Catatan Perjalanan: Dari Malang ke Jogja ke Borobudur Ke Jogja ke Malang lagi. Pt.1



Saya juga boleh bepergian kan?

SENIN, 15 MEI 2017 
Sekitar dua jam sebelum berangkat sempat terjadi insiden yang rada bikin jengkel. Data-data di dalam hape saya ilang semua. Sambil ngopy data dari laptop, saya pun melanjutkan packing. Kadang-kadang perencanaan yang telah dibuat dengan sangat rapi memang tak selalu berjalan mulus menjelang proses eksekusinya.
Setelah sholat Isya’, saya langsung bertolak ke stasiun Malang Kotabaru. Jalan kaki saja, toh tak sampai 10 menit. Naik angkot juga nanggung, naiknya masih harus jalan agak jauh dari rumah. Sehingga nanti baru naik, eh… tau-tau sudah nyampe. Belum lagi nanti kalau masih harus tiba-tiba ngetem, kan nggak enak jadinya. Jadi ya mending jalan kaki.
Stasiun Malang Kotabaru malam hari itu kelihatan begitu ramai. Meskipun harga tiket kereta bisa dibilang relatif lebih mahal, tapi tampaknya calon penumpangnya nggak pernah berkurang. Malah yang ada justru tambah banyak. Pasalnya, naik kereta jaman sekarang itu jauh lebih nyaman dibandingkan jaman baheula.

Stasiun Malang Kotabaru di malam hari
Peron 1 stasiun Malang yang bersih dan kinclong lantainya
Tepat pukul 20.10, kereta api Malioboro Ekspress bertolak dari peron 1 stasiun Malang Kotabaru. Saya berangkat naik yang kelas ekonomi. Biarpun namanya kelas ekonomi, keretanya cukup nyaman. Dan nggak seperti kereta ekonomi pada umumnya yang AC-nya merupakan tempelan AC rumah, kereta ekonominya si Malioboro ini pakai AC kereta beneran (AC central). Jadi ademnya lebih merata. Pun kursi-kursinya juga sedikit lebih lega soalnya pakai konfigurasi kursi 2-2 (2 di sisi kanan dan 2 di sisi kiri), tidak seperti kereta ekonomi jadul yang kursinya pakai 2-3. 

Yang lebih enak lagi, ternyata saya dapat teman duduk yang enak banget diajak ngobrol. Seorang cewek mahasiswa semester akhir di salah satu peruguruan tinggi negeri di Malang. Dalam obrolan-obrolan kami, dia bilang kalau dia lagi mudik ke kampung halamannya di Grobogan, Jawa Tengah. Jadi nanti dia katanya mau turun di stasiun Solo Balapan untuk selanjutnya dijemput saudaranya.


"Chi trova un amico, trova un tesoro*"
(Float - Surrender)


Berhubung perjalanannya malam hari, jadi tidak banyak pemandangan yang bisa dilihat. Di luar kereta pastinya cuma ada gelap dan gelap yang sesekali diselingi oleh lampu-lampu rumah maupun jalan raya. Dan karena ini kelas ekonomi, maka tidak ada fasilitas hiburan bagi penumpangnya. Meskipun begitu, sepanjang perjalanan selalu terdengar alunan lagu-lagu yang entah dari mana asalnya, dari hape salah seorang penumpang ataukah memang itu dari loud speaker-nya kereta.
Tapi untunglah waktu perjalanan selama tujuh jam lebih itu kadar kebosanannya bisa sedikit tereduksi dengan kehadiran teman seperjalanan saya ini. Dia juga nanya-nanya ke saya… “Masih kuliah apa…”, yang belum selesai dia nanya udah saya jawab aja langsung, “Udah lulus, udah kerja.”. “Oh.. udah lulus, tahun berapa?”, “Malu, ah. Tua, hahahah”, dia cuma senyum lalu nanya lagi, “kalau kerjanya apa?”,”frilen, jualan di internet”,”Ohh… pantes hari senin gini bisa jalan-jalan…”,”Iya… enak kan…?”,”Iya-iya, enak. Kok sendirian?”,”Temen-temen saya udah pada nikah”. Dan… dan… sejenak pembicaraan mendadak terhenti. %$$%^&&*((%%

Kira-kira kayak gini lah ya... tapi ya.. nggak kayak gini juga
Obrolan pun terus berlanjut hingga mbak di depan saya ngantuk. Saya pun sebenarnya juga sama ngantuknya. Sesekali saya mendongakkan kepala siapa tahu karcisnya mau diperiksa. Takutnya nanti baru mulai enak-enaknya tidur, harus dibangunkan gara-gara ada pemeriksaan karcis. Meskipun  begitu, mbak di depan saya tenyata kelihatan nyenyak juga tidurnya. Sambil masih nunggu pemeriksaan karcis, saya nyamil jamur crispy yang saya bawa dari rumah. Yaa… buat ganjal perut, juga buat menuhin syarat minum obat. Iya saya emang lagi gak bener-bener sehat pas berangkat itu. Telinga kanan saya nyeri luar biasa, jadinya obat yang bisa meredam rasa nyeri itu saya masukkan juga ke dalam daftar barang bawaan. Tak lupa juga saya membawa obat masuk angin dan minyak kayu putih buat menangkal udara dingin dari AC kereta. Bukan apa-apa, buat jaga-jaga saja biar nanti nggak sampai masuk angin, terus perut mules, terus pengen BAB. Biarpun toilet di kereta lumayan bersih dan wangi serta airnya cukup banyak, tapi kayaknya BAB di kereta itu tetap bakalan menyusahkan.

Toiletnya kereta api Malioboro Ekspress yang kelas ekonomi

SELASA, 16 MEI 2017
Barulah selepas stasiun Madiun, karcisnya diperiksa. Itupun yang diperiksa cuma mereka yang baru naik dari Madiun. Barangkali penumpang yang berangkat dari tempat yang lebih jauh (dan pastinya sudah terlelap tidur) mendapatkan dispensasi dengan tidak diperiksa karcisnya supaya istirahat mereka tidak terganggu. Wah enak juga yaa… tau gini saya tidur dari tadi. Sistem boarding pass yang diterapkan di kereta api jaman sekarang memang tidak memungkinkan penumpang tak bertiket untuk masuk ke kereta. Jangankan ke kereta, masuk peron saja sudah dilarang. Jadinya para penumpang gelap tak ada yang bisa masuk dan menumpang seenaknya di kereta. 

Okelah, saya akhirnya bisa tertidur lumayan nyenyak hingga terbangun oleh suara announcer yang memberitahukan bahwa kereta sudah hendak sampai di Solo Balapan. Berhubung sudah hampir sampai di tempat tujuannya, si mbak yang belum sempat saya ajak kenalan itu pun pamit turun. Tak usah diajak kenalan lah yaaa… nanti yang baca blog ini jadi berharap ada kelanjutan kisahnya, hahahaha….  Tempat kosong di hadapan saya pun saya manfaatkan untuk selonjor sepuasnya. Saya kemudian melanjutkan tidur hingga akhirnya terbangun lagi oleh suara announcer yang memberitahukan bahwa sebentar lagi kereta akan sampai di stasiun Yogyakarta.  

"Pulang ke kotamu, 
ada setangkup haru dalam rindu.
Masih seperti dulu...
Tiap sudut menyapaku bersahabat...
Penuh selaksa makna..."
(Yogyakarta - Kla Project)

Kereta api Malioboro Ekspress tiba tepat waktu pukul 03.35. Dan karena waktu tersebut belum masuk waktunya sholat subuh, saya pun melanjutkan tidur-tiduran di kursi peron stasiun Yogyakarta alias stasiun Tugu. Sekalipun tampaknya berasal dari golongan berada, beberapa penumpang tampaknya tak sungkan merebahkan badannya di manapun tempat yang dirasa nyaman untuk untuk tidur. Kalau saya sih bukan orang berada, jadi suantaii aja lah mau tidur mana saja, hahahaha… Stasiun ini sendiri denyut aktifitasnya nyaris tak pernah berhenti. Hampir selalu ada aktifitas lalu lintas kereta api. Jadi buat saya yang memang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan kereta api, menikmati pemandangan si ular besi itu tentu menjadi keasyikan tersendiri. Baru sekitar jam setengah enam, saya buka sarapan saya berupa nasi goreng bikinan sendiri. Sudah dingin pastinya, soalnya saya bikinnya kemarin sore. Makanan itu sendiri tidak saya habiskan. Sebenarnya agak nggak tega juga, tapi saya sudah terlanjur kekenyangan.

Saya juga sempat BAB sebentar di toiletnya stasiun Tugu. Iseng-iseng saya nanya ke pak cleaning service di toiletnya stasiun Tugu perihal jam pagi-pagi begini bus Trans Jogja-nya sudah ada apa belum. Menurut si bapak, bus trans Jogja baru ada jam 6-an. Si bapak kemudian balik bertanya tentang tujuan perjalanan saya, yang langsung saya jawab hendak ke Borobudur. Saran untuk naik bus Damri pun langsung keluar dari mulut si bapak. “Naik bus Damri enak mas, nggak pakai berhenti di terminal Njombor. Jadi njenengan langsung nyampai Borobudur”, tutur si bapak. “Oh iya… iya… berapa pak harga karcis bisnya itu?”, tanya saya. “60 ribu, mas. Enak nggak pakai muter-muter dulu. Kalau njenengan naik Trans Jogja ya… paling satu jam baru nyampai Njombor”, jawab si bapak. Langsung saja saya berterima kasih sambil ‘berakting’ mengangguk sambil pamit. Iya, pakai akting dikit lah ya… karena nggak mungkin juga saya ngomong, “Wah, Mahal!!!”. Saya pun langsung melangkahkan kaki menuju pintu keluar stasiun Tugu.

Menyusuri jalanan kita Jogja di pagi hari
Sejak beberapa bulan yang lalu, penumpang yang hendak keluar dari stasiun Tugu diarahkan lewat pintu yang mengarah ke jalan Pasar Kembang. Dari pintu keluar ini, saya berjalan belok ke kanan menyusuri sepanjang jalan Pasar Kembang dan jalan Jlagran Lor. Saya sempat mampir sebentar di sebuah warung untuk menyeruput segelas teh panas. Setelah itu perjalanan saya lanjutkan menuju halte Tentara Pelajar untuk naik bus Trans Jogja rute 2B dengan tujuan Terminal Jombor. Sebenarnya kalau mau lebih dekat dari stasiun, ada sih rute 2B yang bisa diakses dari halte Mangkubumi atau halte Malioboro, tetapi itu berdampak pada lamanya waktu perjalanan yang akan ditempuh. Kalau naik dari halte Mangkubumi atau halte Malioboro, maka kita masih akan dibawa jalan-jalan dan muter-muter dulu oleh itu bis Trans Jogja. Sedangkan kalau naik dari halte Tentara Pelajar, waktu tempuhnya akan lebih singkat. Meskipun perlu berjalan kaki agak jauh dari pintu keluar di Pasar Kembang tadi, tapi saya tetap enjoy aja melangkahkan kaki sambil menikmati suasana Jogja di pagi hari yang cerah. Selama berjalan kaki itu saya hampir selalu bertemu dengan tukang ojek, supir taksi, dan tukang becak yang menawarkan jasanya. Saya tolak dengan halus saja. Spanduk penolakan para ‘driver konvensional’ terhadap keberadaan driver online yang kekinian tampak terpasang di beberapa titik pinggir jalan. Saya sendiri belum tertarik menggunakan jasa pengemudi online itu, karena menurut saya cara terbaik untuk menikmati sebuah kota adalah dengan menjelajahinya dengan berjalan kaki. Dan menariknya, ternyata para pengemudi online itu tetap banyak yang dengan santainya bergerombol ngopi pakai atribut lengkap di angkringan-agkringan yang berdekatan dengan spanduk penolakan terhadap keberadaan mereka. 

Rute pintu keluar Stsiun Tugu via Pasar Kembang - Halte Trans Jogja Tentara Pelajar
Peta rute Trans Jogja (Sumber:
)




 Saya datang hampir bersamaan dengan kedatangan bus trans Jogja 2B di halte Tentara Pelajar. Tarifnya sebesar Rp 3500, sungguh sangat murah meriah untuk dipakai berkeliling Jogja! Pagi hari di kota Jogja ternyata tak jauh beda dengan kota-kota lain yang pernah saya datangi. Terlebih di hari kerja efektif seperti saat ini, jalanan pagi  hari dipenuhi oleh kendaraan orang-orang yang hendak menuju tempat aktifitasnya. Meskipun begitu, bus yang saya naiki ini tetap bisa bermanuver dengan lincah di tengah padatnya jalan raya. Bus ini sendiri tidak begitu penuh. Heran juga ya, padahal busnya sudah senyaman ini lho. 

Di dalam bus Trans Jogja 2B
Sekitar dua puluh menit kemudian, bus 2B yang saya naiki ini sampai di terminal Jombor. Sesuai informasi yang saya dapatkan dari internet, saya langsung mencari bus jurusan terminal Borobudur. Tak terlalu susah kok mencarinya, baru berjalan keluar sedikit dari halte Trans Jogja, langsung ada kenek yang teriak-teriak, “Borobudur-borobudur…!”. Dan… itu dia busnya. Bus jurusan Jogja –Terminal Borobudur yang berangkat dari Terminal Jombor ini wujudnya berupa bus kecil ukuran tiga perempat yang tampak kusam. Ya… ukurannya mirip-mirip bus kecil di daerah Gempol dan Japanan atau bus ijo jurusan Mojokerto-Surabaya begitulah. Tadinya saya kira bus ini bakal berhenti lama, tapi ternyata setelah ada satu orang lagi yang naik, sopirnya langsung tancap gas meninggalkan terminal Jombor.

Dalemannya bus jurusan terminal Borobudur
Di bus jurusan Borobudur itu saya duduk tepat di belakang pak supir yang sedang bekerja, mengendarai kuda supaya baik jalannya… (lho.. kayaknya ada yang salah ya…?) Posisi duduk saya itu memungkinkan untuk menikmati pemandangan sepanjang perjalanan dengan lebih leluasa. Yang bikin rada seru, ternyata bus yang uzur ini masih bisa lho dipakai ngebut. Ngebutnya pun masih dalam taraf wajar-wajar saja alias nggak sampai ugal-ugalan. Perlunya ngebut ini barangkali memang disesuaikan dengan karakteristik penumpangnya yang mayoritas adalah pekerja, jadi biar mereka bisa cepat sampai di tempat kerjanya. Ya, penumpangnya rata-rata memang berpenampilan seperti pekerja, beberapa penumpang tampak berseragam PNS, beberapa lagi pegawai kantoran biasa, sisanya warga-warga lokal, dan  hampir bisa dipastikan kalau satu-satunya turis di bus itu adalah… eng ing eng… saya! Saya sendiri tak tahu tarif bus yang saya naiki ini. Saya kasih dua pluh ribu kok tidak dikasih kembalian. Tarifnya memang dua puluh ribu itu atau berapa. Ah, biarlah… anggap saja amal lah yaaa.. nanti ada yang nuduh saya gak ikhlas lagi. Barangkali stigma turis di mata masyarakat sudah terlanjur dianggap sebagai orang yang punya duit banyak, jadi si turis itu pasti mau disuruh bayar berapa saja. Tak peduli itu pejalan yang bawa koper atau cuma bawa ransel seperti saya.

Gapura perbatasan DIY - Jawa Tengah
Perjalanan dari terminal Jombor di Jogja menuju terminal Borobudur memakan waktu kurang lebih satu jam, yang Alhamdulillah tidak pakai acara ngetem-ngetem segala. Saya adalah salah satu dari tiga penumpang yang tersisa di bus jurusan Borobudur itu. Beberapa tukang ojek dan becak langsung mengerubuti bus yang saya naiki ini meskipun busnya belum benar-benar berhenti. Sebelum turun dari bus, saya bertanya kepada pak tua kenek bus perihal arah jalan menuju candi Borobudur kalau mau jalan kaki. Pak kenek pun menunjukkan jalan yang harus lewati, yang mana perlu menembus sela-sela warung sebelum bertemu jalan lebar di depan pasar yang mengarah ke arah candi. Dan karena cuma saya sendirian yang punya tampang turis (emang iya…?!!!), jadinya saya kembali jadi subyek sasaran penawaran para tukang ojek dan tukang becak yang hendak menawarkan jasa mereka. Para tukang ojek bahkan berani banting harga hingga cuma lima ribu rupiah untuk mengantarkan saya hingga ke gerbang kompleks candi. Saya tolak saja dengan halus tawaran mereka. Saya memang ingin berjalan kaki. Kata literatur-literatur yang saya baca di internet jarak dari terminal Borobudur hingga kompleks candi itu tidak terlalu jauh. Ketika saya periksa pakai Google Maps pun memang benar jaraknya masih sangat layak untuk ditempuh dengan jalan kaki. Jadi  ya saya jalan kaki saja, lagipula cuacanya sangat cerah dan udaranya sangat sejuk sehingga jalan kakinya bisa dipakai sebagai olahraga. BTW… BTW… jalan kaki di sini saya nggak nyaranin lho ya… soalnya nanti di kompleks candi kita masih perlu jalan kaki dan nanjak-nanjak hingga ke puncaknya candi Borobudur. Jadi pastilah akan ada potensi capek-capeknya. Tapi kalau memang bersikukuh pengen jalan kaki ya monggo kerso

Jalan raya dari terminal Borobudur menuju Taman Wisata Candi Borobudur.
Rute, jarak, dan waktu tempuh dari terminal Borobudur menuju candi Borobudur (katanya Google Map) 
Sampai di kompleks candi saya bingung harus masuk dari mana. Apa iya saya kepagian dan candinya belum dibuka ya? Ah pasti nggak begitu. Tuh di dalam sudah banyak mobil-mobilnya. Di sebuah pertigaan, saya belok ke kanan menyusuri pinggir pagar candi. Beberapa gerbang kecil tampak menganga sedikit mengundang saya untuk menerobos masuk ke dalamnya. Pasalnya, higga sejauh saya berjalan saya belum sekalipun melihat penampakan pintu gerbang resmi buat pejalan kaki seperti saya. Sementara pintu buat parkir bus juga belum kelihatan. Akhirnya saya pun nerobos sela-sela gerbang itu, ngikutin salah seorang petugas pemotong rumput yang juga lewat celah gerbang itu. Berhasil masuk ke area taman saya juga masih bingung dengan keberadaan loket pintu masuknya. Setelah bertanya pada salah seorang petugas di sana, barulah saya diarahkan menuju loket. Karena masih pagi, loket itu masih sangat sepi. Selain saya, pengujung paling banyak adalah rombongan-rombongan anak sekolah yang lagi rekreasi. Rombongan-rombongan ini… belum juga nyampai candi… sudah bingung foto-foto… duh…
Lantaran masih sepi, saya sendiri tak perlu antri unntuk mendapatkan tiket masuk candi. Untuk turis lokal seperti saya, tarifnya dipatok sebesar Rp 40.000. Naik sepuluh ribu semenjak 1 Mei 2017 lalu. Di tempat pemeriksaan karcis, barang bawaan kita akan diperiksa. Kita akan diminta membuka tas kita. Yahh… namanya situs warisan dunia ya, tentu penjagaannya harus ekstra ketat. Siapa tahu ada teroris berkedok wisatawan yang bawa bom, kan ayahab (baca: bahaya). Tapi tentulah di dalam tas saya mereka tidak menemukan sebiji bom pun, yang mereka temukan adalah kotak makan berisi kurma dan dua botol air minum, plus payung. Sisanya adalah baju-baju saya. Karenanya, saya dipersilahkan masuk dengan diperingatkan lebih dahulu supaya tidak buang sampah sembarangan. Oh.. tenang saja, Bu… gini-gini saya pernah jadi pendaki gunung, jadi saya paham betullah soal kebersihan dan kelestarian alam. Okay..? Yuk lanjut…

Ini loketnya
Ini tiketnya
Ini nanti di-scan di pintu pemeriksaan tiket.
Keberadaan papan penunjuk jalan memermudah langkah saya menyusuri pedestrian di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur. Sekitar lima menit berjalan dari tempat pemeriksaan karcis, mata saya kemudian langsung menangkap pemandangan di kejauhan yang terakhir kali saya lihat adalah saat rekreasi menjelang perpisahan SD 16 tahun yang lalu. Dari sela-sela pepohonan di kanan kiri jalan, Candi Borobudur tampak berdiri menyembul di atas bukit. Berjalan semakin dekat, kemegahannya semakin tampak dan menjadikan sosoknya memang layak menjadi situs warisan dunia.

 




Bangunan utama Candi Borobudur terdiri dari tiga tingkatan; Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu, yang  dihubungkan oleh anak-anak tangga berlapis papan-papan kayu. Untuk yang sudah mulai berumur, nanjak di tangga-tangga ini lumayan memforsir kinerja dengkul dan pernafasan lho. Pun juga dengan cuacanya, yang meskipun masih pagi begini sudah begitu terik. Jadi sebaiknya kita pakai topi, payung, ataupun pakaian apa aja yang bisa melindungi tubuh dan kepala kita dari sengatan sinar matahari. Tiap-tiap tingkatan candi Borobudur saya putari bagian teratasnya hingga akhirnya saya sampai di lingkar paling atas candi dimana stupa terbesarnya berdiri. Di beberapa titik terpasang papan larangan untuk memanjat tubuh candi. Namanya bangunan cagar budaya, pastilah umurnya sudah teramat sangat uzur, jadi potensi kerusakan pastilah tetap akan ada karena tiap hari dikunjungi orang. Apalagi kalau sampai ada yang nekad manjat hingga membuat struktur bebatuannya ambrol.





Semakin siang, pengunjung candi Borobudur semakin ramai. Yang terlihat paling dominan adalah rombongan-rombongan anak sekolahan. Turis bule juga banyak. Barangkali yang sendirian cuma saya sendiri, hiks.. hiks.. hiks... nyantai ajalah tapi ya... Dari celetukan-celetukan pengunjung itu, saya jadi tahu bahwa sebuah mitos lama yang berkembang di Candi Borobudur ternyata masih ada. Konon, kalau kita memasukkan tangan ke dalam lubang stupa dan bisa menyentuh tubuh patung di dalamnya, keinginan kita akan terkabul. Saya tak tahu apakah pengunjung tersebut jadi memasukkan tangannya ke dalam stupa, karena sudah jelas ada aturan bahwa tidak boleh memanjat tubuh candi. Kalau saya pribadi sih, ada atau tidak adanya aturan itu saya tetap tidak akan pernah mencoba melakukan ritual seperti yang ada di dalam mitos itu, karena saya memang tidak percaya pada hal-hal semacam itu.



 



Ternyata saya tak sampai satu jam lho memutari tubuh candi Borobudur itu. Iya memang saya tidak banyak berhenti dan tidak terlalu banyak foto-foto (demi menghemat baterai). Puas telah mencapai tujuan saya, saya pun turun dari candi untuk selanjutnya menuju pintu keluar. Dan karena hari masih pagi, di benak saya langsung terbesit ide untuk lanjut ke destinasi selanjutnya, Candi Prambanan.


*Siapa yang menemukan sahabat, dia menemukan harta karun