Kamis, 01 Januari 2015

'Musafir' Kawah Ijen, part II (2014)



Estimasi jarak dan waktu tempuh stasiun Karangasem-Paltuding
Menurut petanya mbah Google, seperti di atas itulah jarak dan waktu tempuh dari stasiun Karangasem ke Paltuding kalau ditempuh pakai jalan kaki. Jalan kaki? Ya, jalan kaki adalah alternatif terakhir kalau-kalau tidak ada kendaraan yang bisa ditumpangi. Tapi ya... syukur Alhamdulillah sejauh ini urusan transportasinya lancar-lancar saja, jadinya kita tidak perlu mengeksekusi rencana yang tergolong ekstrim itu, hehe..9989x

SABTU, 27 DESEMBER 2014
Pagi buta sekitar jam tiga saya terbangun. Tidur saya semalam rasanya kurang nyenyak. Saya berkali-kali terbangun karena bermacam-macam hal. Seringnya sih karena Ivan dan Ahmad yang ngoroknya kelewat keras (Masya Allah….).  Dan yang semakin nggak mengenakkan, saya bangun dalam kondisi flu. Penyakit kambuhan itu baru reda setelah saya ngoles balsem di sekitar hidung saya. Saya sebenernya semenjak belum berangkat emang agak kurang fit, tapi saya maksain diri aja buat berangkat. Soalnya kalo udah masuk ranah traveling, saya punya pedoman pribadi bahwa mereka yang gagal traveling itu bukan orang yang gagal nyampai tujuan, melainkan mereka yang gagal mengayunkan langkah untuk mengeksekusi rencana traveling. Gitu, ya? Super sekali pak, hehe…9989x. Suara lantunan ayat suci Alquran yang berlanjut dengan adzan Subuh terdengar keras mengalun, tapi diantara kita semua ini sepertinya pada males semua buat nyari masjid, hehe…9989x. Jadilah sholat subuh kita lakukan di mushola gudang. Lagipula pintu gerbang juga masih dikunci, nggak enak juga mau minta tolong sama penjaganya buat ngebukain. Apalagi kedatangan kita tadi malem kesannya kan sedikit ‘mengganggu’.
Seusai sholat subuh, saya dan keempat personil lain jalan-jalan berkeliling komplek gudang. Kita sempat bertemu dengan penjaga gudang yang sepertinya sudah ganti orang. Soalnya kali ini orangnya ramah sekali, dan menurut penuturan beliau sudah banyak kok para calon pendaki kawah Ijen yang sering nginap di gudang ini. Oh… berarti yang semalam itu bukan rejeki kita kali ya… hehe…9989x. Ya sudahlah ndak usah dibahas lagi. Masih menurut beliau, biasanya truk yang paling pagi berangkat ke Paltuding sekitar jam tujuh pagi. Wah, masih cukup lama berangkatnya. Ini juga baru jam lima pagi.

Gudang PT Candi Ngrimbi. Tadi malemnya di sini sepi sekali.
Suasana gudang PT Candi Ngrimbi di pagi hari. Truk merah itulah yang nanti akan membawa kita ke Paltuding.
Sambil menunggu keberangkatan truk, semua calon pendaki pun jalan-jalan pagi sambil nyari sarapan di desa sekitar gudang. Saya baru tahu kalau masjid yang tadi alunan adzan-nya keras sekali itu ternyata dekat sekali dengan gudang. Dan lazimnya di pedesaan lain, warga sini pun orangnya ramah-ramah. Bahkan salah seorang ibu bersedia mencarikan warung terdekat. Jadilah kita bersebelas makan di salah satu warung di dekat gudang. Lho, kok bersebelas? Angga sejak tadi memang tidak ikut, dia milih ngobrol aja sama penjaga gudang. Saya sendiri pagi itu kurang nafsu makan, jadi saya cuma minum segelas teh panas saja. Seperti yang sudah-sudah, segelas teh panas memang untuk sementara waktu selalu cukup untuk mengisi energi saya. 

Masjid yang ternyata dekat sekali dengan gudang PT Candi Ngrimbi
Tuh dia, kawah Ijen ada di gunung itu tuh...
Jalan-jalan pagi nyari sarapan
Ngisi energi dulu
Habis sarapan, kita semua balik ke gudang. Di sana udah nunggu 4 orang mas-mas dari Klaten yang baru datang dan juga hendak pergi ke kawah Ijen. Tapi karena truknya udah nggak muat, maka mereka pun bersedia naik truk yang satunya lagi. Rombongan kita yang berjumlah total 11 orang pun naik ke atas truk bersama beberapa penambang belerang dan juga penduduk sekitar plus barang dagangan yang akan mereka jajakan di kawah Ijen. Untuk menumpang truk, tiap orang bayar 10 ribu aja. Nggak mahal kan? Semoga aja nggak, hehe…9989x. Dan sebagai tanda terima kasih udah dibolehin nginep, kita per orang pun juga ngasih 5 ribu ke penjaga gudang. Semoga barokah.
Siap-siap naik ke atas truk
Truk pun berangkat. Jalan yang dilalui terus menanjak. Sesekali truk berhenti untuk menaikkan para penambang yang mau berangkat ke kawah Ijen. Jadilah kondisi di dalam truk semakin sesak saja. Kita para pelancong yang mungkin nggak terbiasa naik truk pun berusaha berpegangan sebisanya pada apa saja yang bisa digenggam. Sementara para penambang belerang itu mah santai-santai saja. Mereka sepanjang perjalanan terus mengobrol dan bercanda bersama rekan seprofesi. Tak tampak sedikitpun kehebohan atau ketegangan di wajah mereka ketika truk yang kita naiki ini bergoncang ketika menggilas lubang ataupun berhenti mendadak karena tidak kuat menanjak. Tentu beda dengan kita orang-orang yang mungkin tiap hari kakinya hanya dipakai buat nginjak pedal saja, hehe…9989x. Oh iya, tekstur jalan yang kita lewati ini sudah sangat baik lho gan, semua sudah diaspal. Beda jauh dengan ketika saya lewat sini naik mobil pas tahun 2009 dulu. Jalannya sangat hancur. Nggak ada tuh yang namanya aspal, semuanya batu dan batu. Kalau ada ibu hamil tua lewat sini, pasti bayinya langsung mbrojol di tempat…! Tapi Alhamdulillah waktu itu kita masih diberi perlindungan hingga kita bisa pulang ke Malang dengan selamat, sentosa, dan mengantarkan kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan…. (@$@%$#%$^kita nih lagi ngomongin apa sih…?)

Truknya penuh sesak. Sebenernya mungkin kita-lah yang bikin tambah sesak, hehe..9989x
Human interest. Memotret wajah perkasa para penambang belerang dari dekat.
Sosok ibu yang hendak menjajakan dagangannya di kawah Ijen.
Tenang, Bu... Ini barang dagangannya udah ada yang njagain, hehe..9989x
Naik truk seperti ini sendiri mengingatkan saya akan perjalanan dari Tumpang menuju Ranupane. Jalanan yang terus menanjak dengan dihiasi pemandangan indah di kiri dan kanannya. Sepanjang perjalanan, mayoritas pemandangan didominasi oleh hutan tropis dengan pohon-pohon besar tinggi menjulang. Sesekali garis pantai ujung timur pulau Jawa juga terlihat. Ini bener-bener pemandangan yang nggak bisa setiap hari kita saksikan, gan… Cuma para traveler yang bisa menikmati hal-hal seperti ini, huahahah…. (ketawa bangga)
Samar-samar selat Bali pun terlihat.
Pucuk-pucuk pohon di samping jalan.
Sekitar satu jam berjalan, sampailah truk kita di basecamp-nya para penambang. Awalnya kita bingung, ini kita diturunin di mana, ya…? Soalnya waktu saya ke sini dulu nggak pernah ngedatengin basecemp ini sama sekali. Oh, ternyata kita masih harus jalan lagi sekitar 50 meteran menuju Paltuding dan area buat turis.
Lewat situ tuh kalo mau ke Paltuding
Nyampai Paltuding, kita pun lagi-lagi masih bingung dan muter-muter lagi dimana beli tiket buat masuk. Oh… ternyata loketnya itu cuma berupa tenda dome yang didirikan di dekat gapura trek pendakian menuju puncak Ijen. Setelah beli tiket (5 ribu per orang), Ivan dan Ahmad yang bertubuh subur berangkat terlebih dahulu (soalnya pasti nanti mereka kesalip juga, hehe…9989x). Sementara saya, Angga, dan Danang mbantu-mbantu teman serombongan ngediriin tenda dulu. Mereka ini rencananya mau nge-camp di sini buat lihat blue fire malam nanti. Dan mereka pun juga punya niat mau lihat-lihat kondisi trek dulu setelah mendirikan tenda. Karenanya, kita okelah habis ini nanjak bareng-bareng.

'Mbantu' temen serombongan mendirikan tenda.
Tenda dome yang ngerangkap jadi loket.
Setelah tenda berdiri, sekitar pukul 08.32 kita pun berangkat. Awalnya yang berangkat sih sembilan orang, tapi entah kenapa rombongan si mas plus ketiga cewek temennya tiba-tiba balik kucing. Jadilah yang mendaki ini tinggal Angga, Danang, saya, dan dua sekawan yang kesemuanya cewek petualang itu.
Belum jauh melangkah, ternyata kita udah nemuin beberapa pengunjung yang udah ngos-ngosan. Ya… wajar sih. Yang datang ke sini sebagian besar mungkin bukan mereka yang sering mendaki gunung, melainkan para keluarga atau mereka yang berniat melakukan darmawisata. Jadi ya gitu lah… tiap beberapa meter melangkah, pasti kita ketemu sama mereka yang beristirahat di tepi jalan. Bahkan seorang ibu-ibu sampai ngeluh ke saya. “Duh, mas. Aku gendongen opo’o, mas…”, keluh si ibu minta digendong. Entah serius apa nggak si ibu ngomong gitu (semoga sih becanda aja ya bu, ya… hehe…9989x).

Medan awalnya kayak gini nih. Nggak berat kan?
Tuh mulai nanjak
Semakin nanjak
Kalau ke kawah Ijen, nggak mungkin nggak ketemu sama bapak-bapak perkasa ini. Sebagai bentuk toleransi, kalau berpapasan biarkan mereka lewat terlebih dahulu.
Di tengah perjalanan, saya pun berkenalan dengan dua orang cewek petualang yang sejak kemarin terus jadi teman satu rombongan kita. Mbak yang satu namanya Tuti. Sedangkan yang satunya lagi namanya sama kayak saya, hanya saja yang ini versi cewek, namanya Adifah, hehe…9989x. Karena udah kenal, maka perjalanan pun semakin nyenengin soalnya saya dan Danang jadi bisa tukar cerita dengan mereka tentang perjalanan-perjalanan kita terdahulu plus rencana-rencana ke depannya gimana. Sedangkan Angga… lho, Angga kemana, ya? Dia sering ketinggalan di belakang. Maklumlah, dia kan sebenernya juga agak ndut kontur tubuhnya, plus punya penyakit asma juga. Tapi tentu tetap kita tunggu biar dia nggak ketinggalan jauh-jauh. Medan perjalanan? Ya… namanya gunung pasti banyak nanjaknya lah, ya… Awal-awal perjalanan medannya relatif landai. Tapi lama-lama nanjak dan nanjak terus. Pemandangannya? Lihat di foto-foto ini aja, ya…

 
Bekas-bekas kebakaran hutan
Sekilas mirip pohon sakura



Sekitar 1 kilometer sebelum puncak, kita akhirnya ketemu lagi sama Ahmad. Dia duduk selonjor sendirian di pinggir jurang. Lho, Ivan kemana? Katanya, Ivan disuruhnya berangkat duluan. Dengan ditemenin Angga akhirnya si Ahmad kembali berangkat duluan. Sementara keempat personil tersisa foto-foto terlebih dahulu. Foto-foto itu penting banget lho gan, hehe…9989x.
Setelah sekitar satu setengah jam berjalan menelusuri trek menanjak sejauh tiga kilometer, sampailah kita di… Kawah Ijen….! Voilaaaaaa….! Sampai juga kita di sini, sobat….! Saya akhirnya bisa ke sini lagi. Hiks… hiks… terharu… (lebay mode: on) Nih beberapa dokumentasinya….






Saya dulu pernah hampir pingsan waktu nyoba turun ke dekat pusat penambangan belerang sana. Makanya saya kapok udah... nggak mau turun ke sana lagi.
Cuacanya sangat teduh, iya emang sedang mendung.



Kapan lagi bisa ke sini..?
Udahan dulu foto-fotonya
Sekitar jam setengah dua belas. Kita semua pun turun. Perjalanan turun ini bisa dibilang sama sekali nggak menguras tenaga. Cuma butuh kewaspadaan tinggi dalam menjaga langkah kaki biar nggak kepleset atau nyelonong masuk jurang gara-gara lupa ngerem. Lho, Ivan, Angga, sama Ahmad di mana? Kayaknya mereka ketinggalan jauh di belakang. Jadinya, saya, Danang, Tuti, dan Adifah-lah yang sampai di bawah terlebih dahulu. Kedua mbak dari Jakarta itu langsung pamit nyari makan. Saya pun juga melakukan hal yang sama. Saya pergi ke warung terdekat buat beli pop mi, lalu ngobrol bareng Danang di halaman bangunan guest house sembari menunggu kedatangan ketiga teman kita.
Beberapa saat kemudian datanglah sosok bertubuh subur yang tak lain dan tak bukan adalah Ivan. Tak lama setelahnya hujan pun turun dengan deras. Kita sempat khawatir dengan keadaan kedua teman kita yang belum datang itu. Soalnya waktu terus berjalan, dan kita juga masih harus nyari angkutan buat turun ke kota. Setelah setengah jam menungu, akhirnya kedua orang teman kita itu datang dengan bermantel jas hujan.

Duo Asterix dan Obelix, hehe..9989x
Tak berapa lama kemudian, Adifah dan Tuti datang. Setelah bertukar kontak dengan mereka, rombongan kita pun pamitan dengan mereka. Tak lupa juga kita pamitan dengan si mas plus ketiga temen ceweknya yang lagi makan di warung. Hujan masih turun rintik-rintik, langit pun masih mendung. Langkah kaki tetap kita ayunkan menuju gerbang, yang ternyata Alhamdulillah langsung ada mobil pick up mau lewat. Langsung aja kita stop itu mobil pickup. Setelah melakukan tawar menawar, tercapailah kesepakatan bahwa kita akan diantarkan ke pelabuhan Ketapang dengan harga 30 ribu rupiah saja per orang. Wah… muangstab…! Dari kawah Ijen ke pelabuhan Ketapang, tanpa perlu transit di gudangnya PT Candi Ngrimbi di Licin, tanpa perlu nyari orang lain buat diajak patungan, dan tanpa perlu nyari angkot lagi, kita pikir harga 30 ribu itu sudah sangat murah lho, sobat…! Ini rejeki yang nggak diduga-duga. Belakangan baru diketahui kalau tim kita ini bukanlah penumpang satu-satunya. Di samping supir, ada tiga orang penumpang yang kesemuanya adalah ibu-ibu.
Medan yang terus menurun membuat laju mobil pick up seringkali overspeed. Di saat seperti ini, si Ivan-lah yang suka ngomel sendiri tentang teknik nyetirnya si sopir yang mungkin dianggapnya ugal-ugalan. Cuma dia aja sih yang heboh, padahal keempat temennya ini nyantai-nyantai aja lho. Kalo saya mah… saya lebih berani naik ginian daripada naik roller coaster, hehe…9989x. Sementara itu hujan kembali turun, dan kali ini nggak pakai gerimis lagi tapi langsung hujan deras. Kita pun langsung pasang mantel. Dan untuk beberapa saat ke depan, kita akan menembus jalanan menurun di tengah hutan tropis dengan guyuran hujan pegunungan yang dingin.

Hujan-hujanan di mobil pick up
Keluar dari hutan, hujan mulai berangsur-angsur reda. Saya melihat ke langit jauh di sana, ada seberkas warna biru yang semakin meluas mengikis mendung kelabunya (ciee… mendadak puitis) Lha kondisi alamnya memang begitu kok gan, hehe…9989x. Sepertinya hujan akan segera berlalu. Maka kita pun langsung lepas mantel. Di beberapa desa yang kita lewati, mobil pick up tiga kali berhenti untuk menurunkan penumpang. Semakin ke kota, cuaca semakin cerah. Cuaca yang cerah membuat pakaian kita yang basah karena sempat kehujanan jadi cepat kering. Tapi gara-gara hujan barusan itu, flu saya yang tadi sempat sembuh jadi kambuh lagi.
Sekitar jam setengah tiga, sampailah kita di depan pelabuhan Ketapang. Setelah menyeruput teh hangat di warung terdekat, langkah kaki kembali kita ayunkan menuju masjid terdekat. Masjid inilah yang nantinya akan jadi tempat menginap kita sebelum pulang keesokan subuh.
Setelah sholat dan mandi, kita pun kembali mengayunkan langkah menuju stasiun Banyuwangi Baru yang letaknya nggak begitu jauh dari pelabuhan Ketapang. Maksudnya sih nyari tempat yang lebih dekat dengan stasiun dan bisa dipakai buat tempat nginap biar besok nggak ketinggalan kereta. Tapi hingga menjelang maghrib kita belum nemu juga. Capek dan lapar, tentu semua juga merasakan itu. Apalagi saya, yang lagi-lagi kena flu. Hal-hal semacam itu kadang membuat setiap orang keluar ego pribadinya. Saya yang kayak gini, mereka yang kayak gitu, jadi bisa kelihatan semua. Belum lagi, kita juga masih nggak tahu nanti malam mau tidur di mana. Sementara hujan bisa saja datang sewaktu-waktu. Ditambah lagi, waktu pemberangkatan keretanya juga masih sangat lama (masih besok paginya…!). Walhasil, kita tetap duduk-duduk saja di lounge-nya stasiun Banyuwangi Baru. Semua pada nggak ngerti mau ngelakuin apa lagi buat ngisi waktu. Barulah setelah adzan Maghrib berkumandang, kita jadi ngerti ada masjid di dekat stasiun Banyuwangi Baru. Letaknya ada di sebelah utara stasiun, sedikit masuk ke dalam perkampungan. Kita pun menunaikan sholat mahgrib dan sempat beristirahat sejenak di situ sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar mencari makan malam.

Ngentang di lounge stasiun Banyuwangi Baru. Sekilas lebih mirip bank daripada stasiun, hehe...9989x
Acara makan malam selesai, kita pun kembali ke masjid yang tadi. Yang mengherankan, hingga masuk waktu Isya’, adzan belum juga berkumandang. Ditunggu hingga lima belas menitan, masjid masih saja kosong melompong dan gelap. Tak ada seorang pun yang datang meskipun pintu gerbangnya dibiarkan menganga. Ya udahlah, akhirnya kita putuskan untuk sholat isya’ sendiri, selanjutnya minta ijin ke warga sekitar buat tidur di masjid ini. Dan belum juga kita lakukan niatan kita itu, tiba-tiba datang seorang mas-mas bersepeda yang nyuruh kita keluar dari masjid. Katanya masjidnya mau ditutup. Intinya, kita nggak boleh nginep gitu. Nggak boleh sih nggak boleh, mas… tapi ngomongnya ya yang enak dikit napa…?

Kita ndak jadi nginep di masjid ini karena... ah sudahlah
Ya sudahlah, kita akhirnya pergi menuju masjid yang pertama kali kita datangi tadi, masjid di seberangnya pelabuhan Ketapang. Kita baru tahu kalau masjid ini emang buka selama 24 jam. Tempat parkirnya yang teduh juga difungsikan buat bermalam para traveler, dengan syarat harus ikut sholat berjamaah. Syarat yang sangat guampangggg…. Oleh pengelola masjidnya, sudah disediakan karpet buat tidur-tiduran. Suasana di ‘penginapan’ ini sendiri sebenarnya cukup panas dan pengap. Selain karena dekat dengan laut, juga atapnya terlalu rendah. Tapi kita sudah nggak ada pilihan lain lagi, karenanya mau nggak mau ya kita nginep di sini saja. Toh, sedikit ketidaknyamanan itu juga terobati dengan keberadaan minimarket tepat di samping masjid. Sebelum tidur, saya sempat mampir sebentar ke minimarket tersebut, mau beli tisu buat ngelap ingus yang terus ngocor gara-gara pilek saya semakin parah. Sekitar jam 9 malam, Ivan dan Ahmad pamit untuk ‘menyeberang’ sebentar ke Bali. Sejak tadi sore, memang kedua kawan kita itu kayaknya berambisi banget buat pergi ke sana. Sementara Danang dan Angga, terutama saya yang lagi collapse (dan jujur saja sedikit takut naik kapal laut, hehe) tetap milh tiduran saja di masjid ini. Saya emang nggak cocok kerja di air, hehe..9989x.

Pelabuhan Ketapang
Nyebrang ke Bali
Hayo kalian berdua... jangan main Titanic-Titanic-an lho ya... hehe...9989x
Suasana 'penginapan'. Sori gelap.
Udara yang panas, ditambah pilek saya yang nggak kunjung sembuh bikin saya nggak bisa tidur. Hingga menjelang tengah malam, saya, Angga, dan Danang milih ngobrol-ngobrol aja di pelataran masjid. Barulah sekitar jam setengah satu malam, rasa kantuk mulai datang. Kita pun mencoba tidur lagi. Tapi tidur saya ternyata tak kunjung bisa nyenyak juga. Entah kapan, menjelang subuh saya seperti mendengar suara Ivan dan Ahmad. Ternyata mereka sudah kembali dari Bali. Dan benar saja, ketika saya bangun, saya udah mendapati tubuh besar mereka terbaring sambil ngorok.
Setelah mandi plus sholat subuh berjamaah, kita pun berpamitan ke penjaga masjid dan ngasih uang lima ribu rupiah per orang sebagai, ya… anggap saja ongkos hotel lah, hehe…9989x. Langkah kaki kemudian kita ayunkan menuju stasiun Banyuwangi Baru untuk naik kereta api Tawangalun yang akan berangkat pukul 05.15 dan membawa kita berlima pulang ke kota Malang.

Pamitan dulu ke pak penjaga mesjidnya.
Rincian Biaya
Berikut rincian biaya kita kemaren (di luar biaya makan dan biaya tak terduga):
  • Tiket KA Tawangalun Malang – Banyuwangi Baru, Rp 30.000 per orang (PP jadi 60 ribu). Ini harga tahun 2014 ya sobat… Soalnya denger-denger subsidinya mau dicabut, jadi siap-siap aja mungkin harga tiketnya nanti bakal lebih mahal.
  • Angkot carteran dari stasiun Karangasem ke gudang PT Candi Ngrimbi di Licin. Sekitar 200 ribuan (bisa lebih, tapi sulit kurang, hehe…9989x). Kemaren per orang bayar 20 ribu.
  • Nginap di gudang PT Candi Ngrimbi, 5 ribu.
  • Truk belerang dari gudang PT Candi Ngrimbi – Paltuding Kawah Ijen, 10 ribu per orang.
  • Tiket masuk Kawah Ijen, 5 ribu per orang.
  • Pick up Kawah Ijen-Pelabuhan Ketapang, 30 ribu per orang. Sebaiknya jangan terlalu berharap dapat tumpangan murah seperti ini, soalnya ini sifatnya rejeki-rejekian ya sobat… Rencana kita semula sih nunggu truk pengangkut belerang yang turun ke gudang PT Candi Ngrimbi sekitar jam 3 sorean,tapi karena dapet rejeki berupa tumpangan pick up murah ini akhirnya kita nggak jadi naik truk belerang.
  • Nginap di masjid depannya pelabuhan Ketapang, 5 ribu per orang.
Jadi kalau ditotal, pengeluaran kita per orang kemarin itu (di luar biaya makan dan biaya tak terduga) sekitar 135 ribu rupiah saja lho sobat. Murah meriah kan..? Kalau sekarang sih nggak tau, ya. Terutama untuk harga tiket kereta apinya.
Ndak lupa juga nih saya kasih nomornya pak supir angkot di Banyuwangi yang mungkin bisa dihubungi:
  • P. Siswandi (081 934 895 273)
  • Mas Danis (0877 556 449 73)
Terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada:
  • Allah SWT yang telah memberikan perlindungannya hingga rombongan kita dapat mencapai tujuan perjalanan kita dan kembali ke rumah dengan selamat tanpa kurang suatu apa,
  • Pada orang tua kita yang ngasih restu kita buat jadi musafir,
  • Para supir angkot, supir truk belerang, penjaga gudang PT Candi Ngrimbi, dan warga sekitarnya,
  • Temen-temen traveler yang telah saling bantu dalam meringankan cost transportasi. Semoga silaturahmi tetap terjaga.
  • Dan semua pihak yang nggak bisa disebutin satu persatu.
Demikian catatan perjalanan ini saya tulis. Maaf beribu maaf kalo ada kata-kata yang kurang berkenan, ceritanya ada yang kurang (atau mungkin malah kepanjangan? Hehe…9989x. Kalau pengen baca perjalanan kita pas berangkat kemaren, silahken klik 'Musafir' Kawah Ijen Part I

“A Wise Man Travels to Discover Himself” (James Rusell Lowell)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar