 |
Estimasi jarak dan waktu tempuh stasiun Karangasem-Paltuding |
Menurut petanya mbah Google, seperti di atas itulah jarak dan waktu tempuh dari stasiun Karangasem ke Paltuding kalau ditempuh pakai jalan kaki. Jalan kaki? Ya, jalan kaki adalah alternatif terakhir kalau-kalau tidak ada kendaraan yang bisa ditumpangi. Tapi ya... syukur Alhamdulillah sejauh ini urusan transportasinya lancar-lancar saja, jadinya kita tidak perlu mengeksekusi rencana yang tergolong ekstrim itu, hehe..9989x
SABTU, 27 DESEMBER 2014
Pagi buta sekitar jam tiga saya terbangun. Tidur
saya semalam rasanya kurang nyenyak. Saya berkali-kali terbangun karena
bermacam-macam hal. Seringnya sih karena Ivan dan Ahmad yang ngoroknya kelewat
keras (Masya Allah….). Dan yang semakin
nggak mengenakkan, saya bangun dalam kondisi flu. Penyakit kambuhan itu baru
reda setelah saya ngoles balsem di sekitar hidung saya. Saya sebenernya semenjak
belum berangkat emang agak kurang fit, tapi saya maksain diri aja buat
berangkat. Soalnya kalo udah masuk ranah traveling,
saya punya pedoman pribadi bahwa mereka yang gagal traveling itu bukan orang yang gagal nyampai tujuan, melainkan
mereka yang gagal mengayunkan langkah untuk mengeksekusi rencana traveling.
Gitu, ya? Super sekali pak, hehe…9989x. Suara lantunan ayat suci Alquran yang
berlanjut dengan adzan Subuh terdengar keras mengalun, tapi diantara kita semua
ini sepertinya pada males semua buat nyari masjid, hehe…9989x. Jadilah sholat subuh
kita lakukan di mushola gudang. Lagipula pintu gerbang juga masih dikunci,
nggak enak juga mau minta tolong sama penjaganya buat ngebukain. Apalagi
kedatangan kita tadi malem kesannya kan sedikit ‘mengganggu’.
Seusai sholat subuh, saya dan keempat personil lain
jalan-jalan berkeliling komplek gudang. Kita sempat bertemu dengan penjaga
gudang yang sepertinya sudah ganti orang. Soalnya kali ini orangnya ramah
sekali, dan menurut penuturan beliau sudah banyak kok para calon pendaki kawah Ijen yang sering nginap di gudang ini. Oh… berarti yang semalam itu bukan
rejeki kita kali ya… hehe…9989x. Ya sudahlah ndak usah dibahas lagi. Masih
menurut beliau, biasanya truk yang paling pagi berangkat ke Paltuding sekitar
jam tujuh pagi. Wah, masih cukup lama berangkatnya. Ini juga baru jam lima
pagi.
 |
Gudang PT Candi Ngrimbi. Tadi malemnya di sini sepi sekali. |
 |
Suasana gudang PT Candi Ngrimbi di pagi hari. Truk merah itulah yang nanti akan membawa kita ke Paltuding. |
Sambil menunggu keberangkatan truk, semua calon
pendaki pun jalan-jalan pagi sambil nyari sarapan di desa sekitar gudang. Saya
baru tahu kalau masjid yang tadi alunan adzan-nya keras sekali itu ternyata
dekat sekali dengan gudang. Dan lazimnya di pedesaan lain, warga sini pun orangnya
ramah-ramah. Bahkan salah seorang ibu bersedia mencarikan warung terdekat. Jadilah
kita bersebelas makan di salah satu warung di dekat gudang. Lho, kok
bersebelas? Angga sejak tadi memang tidak ikut, dia milih ngobrol aja sama
penjaga gudang. Saya sendiri pagi itu kurang nafsu makan, jadi saya cuma minum
segelas teh panas saja. Seperti yang sudah-sudah, segelas teh panas memang untuk
sementara waktu selalu cukup untuk mengisi energi saya.
 |
Masjid yang ternyata dekat sekali dengan gudang PT Candi Ngrimbi |
 |
Tuh dia, kawah Ijen ada di gunung itu tuh... |
 |
Jalan-jalan pagi nyari sarapan |
 |
Ngisi energi dulu |
Habis sarapan, kita semua balik ke gudang. Di sana
udah nunggu 4 orang mas-mas dari Klaten yang baru datang dan juga hendak pergi ke kawah
Ijen. Tapi karena truknya udah nggak muat, maka mereka pun bersedia naik truk
yang satunya lagi. Rombongan kita yang berjumlah total 11 orang pun naik ke
atas truk bersama beberapa penambang belerang dan juga penduduk sekitar plus
barang dagangan yang akan mereka jajakan di kawah Ijen. Untuk menumpang truk,
tiap orang bayar 10 ribu aja. Nggak mahal kan? Semoga aja nggak, hehe…9989x.
Dan sebagai tanda terima kasih udah dibolehin nginep, kita per orang pun juga ngasih
5 ribu ke penjaga gudang. Semoga barokah.
 |
Siap-siap naik ke atas truk |
Truk pun berangkat. Jalan yang dilalui terus
menanjak. Sesekali truk berhenti untuk menaikkan para penambang yang mau
berangkat ke kawah Ijen. Jadilah kondisi di dalam truk semakin sesak saja. Kita
para pelancong yang mungkin nggak terbiasa naik truk pun berusaha berpegangan
sebisanya pada apa saja yang bisa digenggam. Sementara para penambang belerang
itu mah santai-santai saja. Mereka sepanjang perjalanan terus mengobrol dan
bercanda bersama rekan seprofesi. Tak tampak sedikitpun kehebohan atau
ketegangan di wajah mereka ketika truk yang kita naiki ini bergoncang ketika
menggilas lubang ataupun berhenti mendadak karena tidak kuat menanjak. Tentu
beda dengan kita orang-orang yang mungkin tiap hari kakinya hanya dipakai buat
nginjak pedal saja, hehe…9989x. Oh iya, tekstur jalan yang kita lewati ini sudah
sangat baik lho gan, semua sudah
diaspal. Beda jauh dengan ketika saya lewat sini naik mobil pas tahun 2009
dulu. Jalannya sangat hancur. Nggak ada tuh yang namanya aspal, semuanya batu
dan batu. Kalau ada ibu hamil tua lewat sini, pasti bayinya langsung mbrojol di tempat…! Tapi Alhamdulillah
waktu itu kita masih diberi perlindungan hingga kita bisa pulang ke Malang
dengan selamat, sentosa, dan mengantarkan kita ke depan pintu gerbang
kemerdekaan…. (@$@%$#%$^kita nih lagi ngomongin apa sih…?)
 |
Truknya penuh sesak. Sebenernya mungkin kita-lah yang bikin tambah sesak, hehe..9989x | | | | |
|
 |
Human interest. Memotret wajah perkasa para penambang belerang dari dekat. |
 |
Sosok ibu yang hendak menjajakan dagangannya di kawah Ijen. |
 |
Tenang, Bu... Ini barang dagangannya udah ada yang njagain, hehe..9989x |
Naik truk seperti ini sendiri mengingatkan saya
akan perjalanan dari Tumpang menuju Ranupane. Jalanan yang terus menanjak
dengan dihiasi pemandangan indah di kiri dan kanannya. Sepanjang perjalanan,
mayoritas pemandangan didominasi oleh hutan tropis dengan pohon-pohon besar
tinggi menjulang. Sesekali garis pantai ujung timur pulau Jawa juga terlihat.
Ini bener-bener pemandangan yang nggak bisa setiap hari kita saksikan, gan… Cuma
para traveler yang bisa menikmati
hal-hal seperti ini, huahahah…. (ketawa bangga)
 |
Samar-samar selat Bali pun terlihat. |
 |
Pucuk-pucuk pohon di samping jalan. |
Sekitar satu jam berjalan, sampailah truk kita di basecamp-nya para penambang. Awalnya
kita bingung, ini kita diturunin di mana, ya…? Soalnya waktu saya ke sini dulu
nggak pernah ngedatengin basecemp ini
sama sekali. Oh, ternyata kita masih harus jalan lagi sekitar 50 meteran menuju
Paltuding dan area buat turis.
 |
Lewat situ tuh kalo mau ke Paltuding |
Nyampai Paltuding, kita pun lagi-lagi masih bingung dan muter-muter
lagi dimana beli tiket buat masuk. Oh… ternyata loketnya itu cuma berupa tenda dome yang didirikan di dekat gapura trek
pendakian menuju puncak Ijen. Setelah beli tiket (5 ribu per orang), Ivan dan
Ahmad yang bertubuh subur berangkat terlebih dahulu (soalnya pasti nanti mereka
kesalip juga, hehe…9989x). Sementara saya, Angga, dan Danang mbantu-mbantu
teman serombongan ngediriin tenda dulu. Mereka ini rencananya mau nge-camp di sini buat lihat blue fire malam nanti. Dan mereka pun juga punya niat mau lihat-lihat kondisi trek dulu setelah mendirikan tenda. Karenanya, kita okelah habis ini nanjak bareng-bareng.
 |
'Mbantu' temen serombongan mendirikan tenda. |
 |
Tenda dome yang ngerangkap jadi loket. |
Setelah tenda berdiri, sekitar pukul 08.32 kita pun
berangkat. Awalnya yang berangkat sih sembilan orang, tapi entah kenapa
rombongan si mas plus ketiga cewek temennya tiba-tiba balik kucing. Jadilah
yang mendaki ini tinggal Angga, Danang, saya, dan dua sekawan yang kesemuanya
cewek petualang itu.
Belum jauh melangkah, ternyata kita udah nemuin
beberapa pengunjung yang udah ngos-ngosan. Ya… wajar sih. Yang datang ke sini sebagian
besar mungkin bukan mereka yang sering mendaki gunung, melainkan para keluarga atau
mereka yang berniat melakukan darmawisata. Jadi ya gitu lah… tiap beberapa
meter melangkah, pasti kita ketemu sama mereka yang beristirahat di tepi jalan.
Bahkan seorang ibu-ibu sampai ngeluh ke saya. “Duh, mas. Aku gendongen opo’o, mas…”, keluh si ibu
minta digendong. Entah serius apa nggak si ibu ngomong gitu (semoga sih becanda
aja ya bu, ya… hehe…9989x).
 |
Medan awalnya kayak gini nih. Nggak berat kan? |
 |
Tuh mulai nanjak |
 |
Semakin nanjak |
 |
Kalau ke kawah Ijen, nggak mungkin nggak ketemu sama bapak-bapak perkasa ini. Sebagai bentuk toleransi, kalau berpapasan biarkan mereka lewat terlebih dahulu. |
Di tengah perjalanan, saya pun berkenalan dengan dua
orang cewek petualang yang sejak kemarin terus jadi teman satu rombongan kita. Mbak yang satu namanya Tuti. Sedangkan yang satunya lagi namanya sama kayak saya, hanya saja yang
ini versi cewek, namanya Adifah, hehe…9989x. Karena udah kenal, maka perjalanan
pun semakin nyenengin soalnya saya dan Danang jadi bisa tukar cerita dengan
mereka tentang perjalanan-perjalanan kita terdahulu plus rencana-rencana ke
depannya gimana. Sedangkan Angga… lho, Angga kemana, ya? Dia sering ketinggalan
di belakang. Maklumlah, dia kan sebenernya juga agak ndut kontur tubuhnya, plus
punya penyakit asma juga. Tapi tentu tetap kita tunggu biar dia nggak
ketinggalan jauh-jauh. Medan perjalanan? Ya… namanya gunung pasti banyak nanjaknya
lah, ya… Awal-awal perjalanan medannya relatif landai. Tapi lama-lama nanjak
dan nanjak terus. Pemandangannya? Lihat di foto-foto ini aja, ya…
 |
Bekas-bekas kebakaran hutan |
 |
Sekilas mirip pohon sakura |
Sekitar 1 kilometer sebelum puncak, kita akhirnya
ketemu lagi sama Ahmad. Dia duduk selonjor sendirian di pinggir jurang. Lho,
Ivan kemana? Katanya, Ivan disuruhnya berangkat duluan. Dengan ditemenin Angga akhirnya si Ahmad kembali berangkat duluan. Sementara
keempat personil tersisa foto-foto terlebih dahulu. Foto-foto itu penting
banget lho gan, hehe…9989x.
Setelah sekitar satu setengah jam berjalan
menelusuri trek menanjak sejauh tiga kilometer, sampailah kita di… Kawah Ijen….!
Voilaaaaaa….! Sampai juga kita di sini, sobat….! Saya akhirnya bisa ke sini
lagi. Hiks… hiks… terharu… (lebay mode: on) Nih beberapa dokumentasinya….
 |
Saya dulu pernah hampir pingsan waktu nyoba turun ke dekat pusat penambangan belerang sana. Makanya saya kapok udah... nggak mau turun ke sana lagi. |
 |
Cuacanya sangat teduh, iya emang sedang mendung. |
 |
Kapan lagi bisa ke sini..? |
 |
Udahan dulu foto-fotonya |
Sekitar jam setengah dua belas. Kita semua pun
turun. Perjalanan turun ini bisa dibilang sama sekali nggak menguras tenaga.
Cuma butuh kewaspadaan tinggi dalam menjaga langkah kaki biar nggak kepleset
atau nyelonong masuk jurang gara-gara lupa ngerem. Lho, Ivan, Angga, sama Ahmad di mana? Kayaknya
mereka ketinggalan jauh di belakang. Jadinya, saya, Danang, Tuti, dan
Adifah-lah yang sampai di bawah terlebih dahulu. Kedua mbak dari Jakarta itu langsung pamit nyari
makan. Saya pun juga melakukan hal yang sama. Saya pergi ke warung terdekat buat
beli pop mi, lalu ngobrol bareng Danang di halaman bangunan
guest house sembari menunggu kedatangan
ketiga teman kita.
Beberapa saat kemudian datanglah sosok bertubuh
subur yang tak lain dan tak bukan adalah Ivan. Tak lama setelahnya hujan pun
turun dengan deras. Kita sempat khawatir dengan keadaan kedua teman kita yang
belum datang itu. Soalnya waktu terus berjalan, dan kita juga masih harus nyari
angkutan buat turun ke kota. Setelah setengah jam menungu, akhirnya kedua orang
teman kita itu datang dengan bermantel jas hujan.
 |
Duo Asterix dan Obelix, hehe..9989x |
Tak berapa lama kemudian, Adifah dan Tuti datang.
Setelah bertukar kontak dengan mereka, rombongan kita pun pamitan dengan
mereka. Tak lupa juga kita pamitan dengan si mas plus ketiga temen ceweknya
yang lagi makan di warung. Hujan masih turun rintik-rintik, langit pun masih
mendung. Langkah kaki tetap kita ayunkan menuju gerbang, yang ternyata
Alhamdulillah langsung ada mobil pick up
mau lewat. Langsung aja kita stop itu mobil pickup.
Setelah melakukan tawar menawar, tercapailah kesepakatan bahwa kita akan
diantarkan ke pelabuhan Ketapang dengan harga 30 ribu rupiah saja per orang.
Wah… muangstab…! Dari kawah Ijen ke pelabuhan Ketapang, tanpa perlu transit di
gudangnya PT Candi Ngrimbi di Licin, tanpa perlu nyari orang lain buat diajak
patungan, dan tanpa perlu nyari angkot lagi, kita pikir harga 30 ribu itu sudah
sangat murah lho, sobat…! Ini rejeki yang nggak diduga-duga. Belakangan baru
diketahui kalau tim kita ini bukanlah penumpang satu-satunya. Di samping supir,
ada tiga orang penumpang yang kesemuanya adalah ibu-ibu.
Medan yang terus menurun membuat laju mobil pick up seringkali overspeed. Di saat seperti ini, si Ivan-lah yang suka ngomel
sendiri tentang teknik nyetirnya si sopir yang mungkin dianggapnya ugal-ugalan.
Cuma dia aja sih yang heboh, padahal keempat temennya ini nyantai-nyantai aja lho. Kalo saya mah… saya lebih berani naik ginian daripada naik roller coaster, hehe…9989x. Sementara
itu hujan kembali turun, dan kali ini nggak pakai gerimis lagi tapi langsung
hujan deras. Kita pun langsung pasang mantel. Dan untuk beberapa saat ke depan,
kita akan menembus jalanan menurun di tengah hutan tropis dengan guyuran hujan
pegunungan yang dingin.
 |
Hujan-hujanan di mobil pick up |
Keluar dari hutan, hujan mulai berangsur-angsur
reda. Saya melihat ke langit jauh di sana, ada seberkas warna biru yang semakin
meluas mengikis mendung kelabunya (ciee… mendadak puitis) Lha kondisi alamnya memang begitu kok gan, hehe…9989x. Sepertinya
hujan akan segera berlalu. Maka kita pun langsung lepas mantel. Di beberapa
desa yang kita lewati, mobil pick up
tiga kali berhenti untuk menurunkan penumpang. Semakin ke kota, cuaca semakin
cerah. Cuaca yang cerah membuat pakaian kita yang basah karena sempat kehujanan
jadi cepat kering. Tapi gara-gara hujan barusan itu, flu saya yang tadi sempat
sembuh jadi kambuh lagi.
Sekitar jam setengah tiga, sampailah kita di depan
pelabuhan Ketapang. Setelah menyeruput teh hangat di warung terdekat, langkah
kaki kembali kita ayunkan menuju masjid terdekat. Masjid inilah yang nantinya
akan jadi tempat menginap kita sebelum pulang keesokan subuh.
Setelah sholat dan mandi, kita pun kembali
mengayunkan langkah menuju stasiun Banyuwangi Baru yang letaknya nggak begitu
jauh dari pelabuhan Ketapang. Maksudnya sih nyari tempat yang lebih dekat
dengan stasiun dan bisa dipakai buat tempat nginap biar besok nggak ketinggalan
kereta. Tapi hingga menjelang maghrib kita belum nemu juga. Capek dan lapar,
tentu semua juga merasakan itu. Apalagi saya, yang lagi-lagi kena flu. Hal-hal
semacam itu kadang membuat setiap orang keluar ego pribadinya. Saya yang kayak
gini, mereka yang kayak gitu, jadi bisa kelihatan semua. Belum lagi, kita juga
masih nggak tahu nanti malam mau tidur di mana. Sementara hujan bisa saja
datang sewaktu-waktu. Ditambah lagi, waktu pemberangkatan keretanya juga masih
sangat lama (masih besok paginya…!). Walhasil, kita tetap duduk-duduk saja di lounge-nya stasiun Banyuwangi Baru. Semua pada
nggak ngerti mau ngelakuin apa lagi buat ngisi waktu. Barulah setelah adzan
Maghrib berkumandang, kita jadi ngerti ada masjid di dekat stasiun Banyuwangi
Baru. Letaknya ada di sebelah utara stasiun, sedikit masuk ke dalam
perkampungan. Kita pun menunaikan sholat mahgrib dan sempat beristirahat
sejenak di situ sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar mencari makan malam.
 |
Ngentang di lounge stasiun Banyuwangi Baru. Sekilas lebih mirip bank daripada stasiun, hehe...9989x |
Acara makan malam selesai, kita pun kembali ke
masjid yang tadi. Yang mengherankan, hingga masuk waktu Isya’, adzan belum juga
berkumandang. Ditunggu hingga lima belas menitan, masjid masih saja kosong melompong
dan gelap. Tak ada seorang pun yang datang meskipun pintu gerbangnya dibiarkan
menganga. Ya udahlah, akhirnya kita putuskan untuk sholat isya’ sendiri,
selanjutnya minta ijin ke warga sekitar buat tidur di masjid ini. Dan belum
juga kita lakukan niatan kita itu, tiba-tiba datang seorang mas-mas bersepeda
yang nyuruh kita keluar dari masjid. Katanya masjidnya mau ditutup. Intinya, kita
nggak boleh nginep gitu. Nggak boleh sih nggak boleh, mas… tapi ngomongnya ya
yang enak dikit napa…?
 |
Kita ndak jadi nginep di masjid ini karena... ah sudahlah |
Ya sudahlah, kita akhirnya pergi menuju masjid yang
pertama kali kita datangi tadi, masjid di seberangnya pelabuhan Ketapang. Kita
baru tahu kalau masjid ini emang buka selama 24 jam. Tempat parkirnya yang
teduh juga difungsikan buat bermalam para traveler,
dengan syarat harus ikut sholat berjamaah. Syarat yang sangat guampangggg…. Oleh
pengelola masjidnya, sudah disediakan karpet buat tidur-tiduran. Suasana di
‘penginapan’ ini sendiri sebenarnya cukup panas dan pengap. Selain karena dekat
dengan laut, juga atapnya terlalu rendah. Tapi kita sudah nggak ada pilihan
lain lagi, karenanya mau nggak mau ya kita nginep di sini saja. Toh, sedikit
ketidaknyamanan itu juga terobati dengan keberadaan minimarket tepat di samping
masjid. Sebelum tidur, saya sempat mampir sebentar ke minimarket tersebut, mau
beli tisu buat ngelap ingus yang terus ngocor gara-gara pilek saya semakin
parah. Sekitar jam 9 malam, Ivan dan Ahmad pamit untuk ‘menyeberang’ sebentar
ke Bali. Sejak tadi sore, memang kedua kawan kita itu kayaknya berambisi banget
buat pergi ke sana. Sementara Danang dan Angga, terutama saya yang lagi
collapse (dan jujur saja sedikit takut naik kapal laut, hehe) tetap milh
tiduran saja di masjid ini. Saya emang nggak cocok kerja di air, hehe..9989x.
 |
Pelabuhan Ketapang |
 |
Nyebrang ke Bali |
 |
Hayo kalian berdua... jangan main Titanic-Titanic-an lho ya... hehe...9989x |
 |
Suasana 'penginapan'. Sori gelap. |
Udara yang panas, ditambah pilek saya yang nggak
kunjung sembuh bikin saya nggak bisa tidur. Hingga menjelang tengah malam,
saya, Angga, dan Danang milih ngobrol-ngobrol aja di pelataran masjid. Barulah
sekitar jam setengah satu malam, rasa kantuk mulai datang. Kita pun mencoba
tidur lagi. Tapi tidur saya ternyata tak kunjung bisa nyenyak juga. Entah
kapan, menjelang subuh saya seperti mendengar suara Ivan dan Ahmad. Ternyata
mereka sudah kembali dari Bali. Dan benar saja, ketika saya bangun, saya udah
mendapati tubuh besar mereka terbaring sambil ngorok.
Setelah mandi plus sholat subuh berjamaah, kita pun
berpamitan ke penjaga masjid dan ngasih uang lima ribu rupiah per orang
sebagai, ya… anggap saja ongkos hotel lah, hehe…9989x. Langkah kaki kemudian
kita ayunkan menuju stasiun Banyuwangi Baru untuk naik kereta api Tawangalun yang
akan berangkat pukul 05.15 dan membawa kita berlima pulang ke kota Malang.
 |
Pamitan dulu ke pak penjaga mesjidnya. |
Rincian Biaya
Berikut rincian biaya kita kemaren (di luar biaya
makan dan biaya tak terduga):
- Tiket KA Tawangalun Malang – Banyuwangi Baru, Rp
30.000 per orang (PP jadi 60 ribu). Ini harga tahun 2014 ya sobat… Soalnya denger-denger
subsidinya mau dicabut, jadi siap-siap aja mungkin harga tiketnya nanti bakal
lebih mahal.
- Angkot carteran dari stasiun Karangasem ke gudang
PT Candi Ngrimbi di Licin. Sekitar 200 ribuan (bisa lebih, tapi sulit kurang, hehe…9989x).
Kemaren per orang bayar 20 ribu.
- Nginap di gudang PT Candi Ngrimbi, 5 ribu.
- Truk belerang dari gudang PT Candi Ngrimbi –
Paltuding Kawah Ijen, 10 ribu per orang.
- Tiket masuk Kawah Ijen, 5 ribu per orang.
- Pick up Kawah Ijen-Pelabuhan Ketapang, 30 ribu per orang. Sebaiknya jangan terlalu
berharap dapat tumpangan murah seperti ini, soalnya ini sifatnya
rejeki-rejekian ya sobat… Rencana kita semula sih nunggu truk pengangkut
belerang yang turun ke gudang PT Candi Ngrimbi sekitar jam 3 sorean,tapi karena dapet rejeki berupa tumpangan pick up murah ini akhirnya kita nggak jadi naik truk belerang.
- Nginap di masjid depannya pelabuhan Ketapang, 5
ribu per orang.
Jadi kalau ditotal, pengeluaran kita per orang kemarin
itu (di luar biaya makan dan biaya tak terduga) sekitar 135 ribu rupiah saja
lho sobat. Murah meriah kan..? Kalau sekarang sih nggak tau, ya. Terutama untuk harga tiket kereta apinya.
Ndak lupa juga nih saya kasih nomornya pak supir
angkot di Banyuwangi yang mungkin bisa dihubungi:
- P. Siswandi (081 934 895 273)
- Mas Danis (0877 556 449 73)
Terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada:
- Allah SWT yang telah memberikan perlindungannya
hingga rombongan kita dapat mencapai tujuan perjalanan kita dan kembali ke
rumah dengan selamat tanpa kurang suatu apa,
- Pada orang tua kita yang ngasih restu kita buat
jadi musafir,
- Para supir angkot, supir truk belerang, penjaga
gudang PT Candi Ngrimbi, dan warga sekitarnya,
- Temen-temen traveler
yang telah saling bantu dalam meringankan cost
transportasi. Semoga silaturahmi tetap terjaga.
- Dan semua pihak yang nggak bisa disebutin satu persatu.
Demikian catatan perjalanan ini saya tulis. Maaf
beribu maaf kalo ada kata-kata yang kurang berkenan, ceritanya ada yang kurang (atau mungkin malah kepanjangan? Hehe…9989x. Kalau pengen baca perjalanan kita pas berangkat kemaren, silahken klik
'Musafir' Kawah Ijen Part I
“A
Wise Man Travels to Discover Himself” (James Rusell Lowell)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar