JUMAT, 27 DESEMBER 2013
Berawal dari rencana yang sudah
dihembuskan beberapa bulan yang lalu, maka dengan tekad setebal baja rel
kereta, akhirnya pada hari Jumat tanggal 27 Desember 2013 kemaren jadilah kami-kami
ini mengeksekusi rencana tersebut. Memangnya mau ke mana sih? Kalau mau bicara
tentang tempat tujuan, sebenarnya tempat tujuan kami ini bukanlah tempat yang
sangat sulit didatangi, wong kami cuma mau ke Jogja saja kok. Di Jogja pun kami
juga cuma mau mendatangi tempat-tempat yang sekiranya sudah sangat mainstream.
Kalau saya nyebutnya sih, paket perjalanan anak SD. Soalnya kami mau mendatangi
pantai Parangtritis, Candi Borobudur, sama Candi Prambanan. Lha terus kenapa
kok kayaknya jadi susah banget, ya? Ya… kan soalnya kami sudah punya kesibukan
dan kesulitan masing-masing. Udah nggak kayak jaman masih mahasiswa dulu yang
masih sebebas burung (halah…). Burung apaan emang? Burung celana…?
($%&%*^&(&%&%&%^^#$$%$%^$%^)
![]() |
Our destination...! |
Jumat malam, tanggal 27 Desember
2013 sekitar jam 22.30 kami bertolak dari kota Malang. Kali ini kami
menggunakan mobil Espass tahun 90-an. Penggunaan mobil yang sudah jadul ini
sebenernya juga bisa dibilang agak nekad. Ya… namanya kendaraan keluaran tahun
jabot, pastilah menimbulkan kekhawatiran nanti gimana kalau kendaraan ini ada
trouble di jalan. Tapi karena katanya mas bengkelnya ini mobil sudah OK, jadi
kami pun juga oke saja mengeksekusi perjalanan ini. Oh iya, peserta perjalanan
kali ini adalah saya, Angga, Ahmad, Ivan, Mohalli, dan juga Philip. Jalur
perjalanannya kami memutuskan untuk lewat Japanan saja, tembus Mojokerto,
Jombang, dan selanjutnya lewat Ngawi, Sragen, hingga Jogja. Memang pemilihan
jalur ini berakibat pada waktu tempuh yang lebih lama soalnya jalurnya memutar,
tapi bisa dibilang relatif lebih aman bagi kondisi kendaraan karena tidak perlu
melewati jalur Pujon atau Cemorosewu yang menanjak karena melewati gunung.
Awal-awal perjalanan benar-benar
dipenuhi perjalanan canda tawa dan obroan-obrolan yang sebenernya sudah sering dibahas, tapi nggak tahu kenapa kok tetep seru aja
buat diomongin lagi dan lagi. Lagu “Selamanya Indonesia”-nya 21st Night yang jadi soundtrack acara 100 Hari Keliling Indonesia pun
turut mengawali perjalanan. Saya juga punya rencana muter lagu
“Yogyakarta”-nya Kla Project sesampainya di Jogja nanti. Saya
emang gitu orangnya, suka nyocok-nyocokin suasana sama playslist di
hape saya, haha… Semakin semangat rasanya, seolah lupa bahwa
kemungkinan terburuk di perjalanan nanti juga bisa saja terjadi.
Karakteristik para peserta trip ini adalah hanya ada dua orang yang mahir nyetir (Ivan dan Philip). Ivan mahir nyetir tapi gampang ngantuk, kalo Philip sepertinya malah kuat melek kalo disuruh nyetir tapi rada susah kalo disuruh jalan agak pelan. Satu orang mengaku pernah kursus nyetir (Angga) tapi masih kalut kalau disuruh turun ke jalan, dan tiga orang lagi sama sekali nggak bisa nyetir (Mohalli, Ahmad, dan pastinya saya, he9989x). Dua orang memiliki berat badan di atas tiga digit (Ivan dan Ahmad). Dua orang memiliki postur proporsional (Angga dan saya), dan dua lagi juga proporsional meskipun agak mini (Mohali dan Philip).
Karakteristik para peserta trip ini adalah hanya ada dua orang yang mahir nyetir (Ivan dan Philip). Ivan mahir nyetir tapi gampang ngantuk, kalo Philip sepertinya malah kuat melek kalo disuruh nyetir tapi rada susah kalo disuruh jalan agak pelan. Satu orang mengaku pernah kursus nyetir (Angga) tapi masih kalut kalau disuruh turun ke jalan, dan tiga orang lagi sama sekali nggak bisa nyetir (Mohalli, Ahmad, dan pastinya saya, he9989x). Dua orang memiliki berat badan di atas tiga digit (Ivan dan Ahmad). Dua orang memiliki postur proporsional (Angga dan saya), dan dua lagi juga proporsional meskipun agak mini (Mohali dan Philip).
![]() |
Para personel |
![]() |
This is our fleet..! |
Sama sekali tak ada pemandangan indah yang bisa dinikmati mengingat perjalanan ini memang dilakukan di malam hari. Lagipula ada pemandangan indah juga mau dipotret pakai apa, wong kami nggak ada yang bawa kamera selain kamera beresolusi rendah di hape masing-masing yang tentunya nggak maksimal kalau mau dipakai foto-foto. Awalnya kami semua sempat khawatir jalanan bakalan padat soalnya kan saat perjalanan ini dilangsungkan memang bertepatan dengan weekend di tengah-tengah liburan akhir tahun. Tapi syukur Alhamdulillah kekhawatiran itu tidak terbukti. Jalanan cukup lancar, meski sering juga ditemui kendaran-kendaraan besar seperti truk dan bus yang justru semakin ugal-ugalan lajunya di saat malam hari.
SABTU, 28 DESEMBER 2013
Selepas Jombang, masalah mulai
muncul. Roda belakang sebelah kiri pecah. Saya kurang tahu pecahnya itu karena
apa, entah menggilas batu tajam atau karena terperosok lubang. Sebelumnya
memang mobil ini seringkali dikendarai menyalip kendaraan-kendaraan besar dari
sebelah kiri. Sebenarnya ini juga bukan hal yang bijak, soalnya kondisi bahu
jalan benar-benar parah. Banyak lubang di sana-sini hingga membuat mobil sering
berguncang, hingga akhirnya musibah itu pun datang. Ban mobil pecah. Mobil pun
dibawa menepi. Ban mobil kempes pes pes pes! Kami tidak membawa ban serep, dan
juga tidak membawa dongkrak!
Tapi yang namanya rejeki memang
nggak kemana-mana. Kami baru sadar kalau ternyata tempat kami berhenti itu
tepat di deberang kantor polisi. Alhamdulillah, Allah sudah ngatur kayak gini
kali ya… seolah mobil kami itu sudah dituntunNya untuk berhenti di seberangnya
kantor polisi. Jadilah kami minta tolong ke pak-pak polisi di situ, yang
ternyata mereka semua itu sungguh sangat ramah dan friendly sekali. Padahal
jujur saja saya sempat takut bakal dimarahi dan diinterogasi macam-macam
gara-gara rombongan saya ini kurang hati-hati membawa kendaraan. Menurut salah
seorang polisi, di daerah ini memang sering terjadi kecelakaan yang salah
satunya diakibatkan oleh buruknya kondisi jalan. Buruknya jalan itu konon sudah
pernah dilaporkan tapi juga belum ditindaklanjuti oleh pemangku kekuasaan
setempat.
Salah
seorang polisi kemudian bersedia mencarikan tukang tambal ban terdekat yang
selalu buka selama 24 jam. Waktu Angga bertanya, “Lho, nggak apa-apa tah, Pak?
Nggak ngrepotin sampean, Pak?”, Pak polisinya menjawab, “Oh… nggak apa-apa,
Mas. Pelayanan Prima buat masyarakat (sambil nunjukin lencana polisi yang
nempel di seragamnya)”. Ah.. saya jadi lega. Sekitar dua puluh menit kemudian,
pak polisinya datang dengan membonceng seorang tukang tambal ban lengkap dengan
dongkrak dan peralatannya. Langsung saja tukang tambal ban itu mengecek kondisi
ban mobil kami yang rusak itu. Dan ternyata sangat parah dan perlu diganti. Ban
yang rusak itu pun dilepas. Tapi setelah dilepas, kami bingung lagi soalnya
gimana caranya membawa ban rusak ini ke bengkel buat ditukar dengan ban lain,
sementara jarak antara TKP dengan bengkel ini sekitar dua kiloan. Kan nggak
mungkin juga mas tambal ban ini dini hari gini jalan kaki ndorong ban rusak
hingga ke bengkel.
Di saat bingung ini, lagi-lagi pak
polisinya datang membawa mobil pickup-nya polisi (yang biasanya dipakai buat
mengangkut orang yang kena gerebek) buat ngantar tukang tambal bannya ngambil
ban baru ke bengkelnya. Mereka pun berangkat, Ahmad dan Ivan pun juga ikut
bersama mereka. Sejenak keadaan bisa sedikit terasa rada lucu gara-gara ada
pemandangan dua kawan kami yang bertubuh subur itu naik pickupnya polisi,
terutama karena Ahmad yang semenjak berangkat memang belum ganti baju soalnya
baru pulang dari tahlilan (masih pakai baju koko plus sarung). Sementara dua
orang kawan itu ikut ke bengkel, Philip plus Mohali pun jalan kaki mencari
minimarket terdekat buat beli logistik. Sementara saya dan Angga kebagian tugas
buat njaga mobil.
Tak
berapa lama kemudian, Mohali dan Philip datang membawa logistik. Lumayan juga
buat mengganjal perut yang juga hampir ikut frustrasi. Sambil nunggu kawan kami
yang masih belum kembali dari bengkel, 4
personel tersisa ini pun ngobrol-ngobrol sebisanya, menakar-nakar waktu
kira-kira jam berapa ya bisa sampai Jogja. Sesekali mata ini juga memandangi
bus-bus malam dan truk yang seolah beradu cepat di jalanan yang sebenarnya juga
tak terlalu besar.
Nah
itu dia akhirnya kawan kami datang. Mas tambal bannya membawa ban ganti untuk
dipasangkan di mobil kami. Bukan ban baru memang, tapi masnya meyakinkan bahwa
ban ini masih bagus. Ya sudahlah... setidaknya masalah sudah teratasi. Ban pun
akhirnya komplet ada 4. Langsung saja saya dan Angga nyebrang jalan dan
langsung ngucapin terima kasih sama pak polisinya. Tak lupa juga kami
meninggalkan ‘sesuatu’ sekadarnya buat pak polisinya. Pak polisinya memang sama
sekali nggak meminta karena memang sudah tugasnya melayani masyarakat, tapi ya
namanya kami ngerasa nggak enak karena sudah ditolongin ya kami pun meninggalkan
sesuatu untuknya.
![]() |
Di bengkel tambal ban |
Perjalanan pun kembali
dilanjutkan. Tentunya kali ini untuk sementara waktu personel kami ketambahan
satu orang, yang tak lain dan tak bukan adalah mas tukang tambal bannya. Kami
mengantarkan mas itu kembali ke bengkelnya, sambil juga ngecek kondisi ban lain
apakah masih layak jalan mengingat perjalanan masih sangat jauh. Dan akhirnya
disepakati bahwa kami dipinjami ban serep secara cuma-cuma, dengan jaminan
sebiji KTP saja. Akhirnya, untuk sementara waktu KTP-nya Ahmad akan menjadi
penghuni dompet pemilik bengkel, he..9989x. Alhamdulillah… masalah pertama
beres.
Perjalanan pun kembali berlanjut
meski sedikit molor. Awalnya kami masih sempat bisa bercanda dengan berharap
bisa sampai di Jogja ketika matahari belum terbit. Tapi ternyata rencana itu
harus molor, yah… tak apalah. Akhirnya kami baru mendapatkan pemandangan matahari
terbit itu di daerah Wilangan, di daerah hutan jati Kabupaten Madiun. Semenjak
insiden ban pecah tadi, Ivan yang tadinya jadi driver pun diganti dengan
Philip. Penghuni mobil mulai collapse satu persatu. Banyak yang mulai
ketiduran. Saya pun yang pada awalnya menahan diri untuk tidak tidur akhirnya
ketiduran juga. Padahal sebenarnya saya merasa sayang kalau tidur di
perjalanan, soalnya jadi nggak bisa menikmati pemandangan. Tapi toh ternyata
tidur saya itu juga tak bisa terlalu nyenyak. Berkali-kali mobil mengerem
mendadak gara-gara kendaraan di depan juga ikut ngerem.
Perjalanan lancar-lancar saja,
hingga akhirnya ketika masuk kabupaten Ngawi, musibah kembali muncul. Kalau
tidak salah, gardan di roda bagian belakang rusak hingga membuat roda tak bisa
berputar secara semestinya. Mobil pun dibawa menepi. Kami mencoba mendorong
mobil sambil berusaha menghidupkan mesin seperti kalau mobil lagi mogok. Tapi apa
mau dikata, ternyata cara ini tidak berhasil. Mobil tetap tidak bisa berjalan.
Di trotoar jalan kami semua pada bingung. Canda tawa tetap ada, tapi senyum
yang tersungging tentu bukan senyum kebahagiaan. Meskipun begitu, kami semua
tetap mencba untuk bersyukur, karena mobil kami ini rusaknya bukan di daerah
hutan yang kami lewati tadi, melainkan sudah di daerah perkotaan. Ahmad yang
entah karena bingung atau karena apa, mendadak pamit untuk pergi ke masjid yang
kebetulan ada tepat di seberang jalan. Entah apa yang mau dilakukannya, mungkin
mau sholat dhuha biar rombongan kami ini diberi kemudahan dan dijauhkan dari
segala macam percobaan.
Ya sudahlah, daripada bingung, kami
datangi saja warung terdekat buat nyari sarapan. Ahmad yang biasanya doyan
makan, entah kenapa kok tidak kunjung muncul padahal sarapan kami sudah pada
habis. Kami pun sempat berseloroh jangan-jangan Ahmad diambil menantu oleh si
takmirnya masjid, ha..ha… Menurut pemilik warung, di dekat sini ada bengkel
tapi baru buka sekitar jam 8. Setelah dicek, ternyata memang ada bengkel yang
cukup besar. Sebenarnya kami curiga soalnya itu bengkel bukanlah bengkel untuk
servis mobil secara keseluruhan, melainkan untuk menangani spooring, balancing,
variasi, dsb. Tapi apa salahnya untuk dicoba bukan? Dan benar memang sekitar
jam 8 bengkel itu pun dibuka. Langsung saja mobil pun kami dorong hingga ke
depan bengkel. Dan ternyata kecurigaan kami terbukti, bengkel itu tidak bisa
memperbaiki mobil kami. Tapi mas-mas di bengkel itu nunjukin bengkel lain yang sekiranya
bisa memperbaiki mobil kami ini.
Mobil pun kembali kami dorong ke
bengkel yang dimaksud mas-mas tadi. Alhamdulillah jaraknya tak terlalu jauh meskipun sedikit menjorok masuk ke dalam kampung. Mobil
pun masuk bengkel. Pemilik bengkelnya pun langsung menyambut kedatangan kami
dan langsung nanyain ada kerusakan apa, ya? Tapi yang bikin kami rada jengkel,
si pemilik bengkel tak langsung memperbaiki mobil kami, melainkan terus
melanjutkan ngobrol-ngobrol dengan tamunya. Yah… tak apalah kami menunggu lagi.
Akhirnya beberapa saat kemudian si pemilik bengkel pun turun tangan dibantu
dengan beberapa anak muda yang sepertinya lagi magang di bengkelnya ini. Awalnya
kami sempat mengira bahwa kerusakan mobil ini tak terlalu parah. Tapi setelah
ditunggu hingga siang ternyata proses perbaikannya belum selesai juga, bahkan hingga
orang yang datang belakangan dan mengantri pun mulai ikutan frustrasi hingga
mereka pun memutuskan untuk cabut dari bengkel ini.
![]() | |
Di bengkel Ngawi. Kelihatan banget ekspresi susahnya |
![]() |
Salah satu sudut Kota Ngawi |
Berhubung hari sudah siang, dan Ahmad yang tadi pamit ke masjid pun sudah datang, akhirnya kami pun mengambil keputusan yang bisa dibilang nekad. Mobil ini kami tinggalkan dulu di bengkel ini hingga perbaikannya selesai esok hari, sementara rombongan kami ini meneruskan perjalanan ke Jogja dengan naik bis. Setelah melakukan negosiasi dengan pemilik bengkel, akhirnya kami pun benar-benar melanjutkan perjalanan dengan bis. Dan karena hal inilah saya memberi judul catatan perjalanan saya ini ‘Sudden Backpacking’, karena memang sejak semula kami tidak ada rencana sama sekali untuk naik angkutan umum. Tapi karena ada hal-hal yang sudahlah… tak perlu disesali ini jadinya kami harus jadi backpacker dadakan.
![]() |
We are backpackers..! |
Perjalanan kami mulai dengan
menggunakan semacam bus kota berukuran super mini untuk mencapai perempatan
terdekat guna mencari bus besar tujuan Jogja. Setelah menunggu sekitar 30
menitan, barulah bus yang kami nanti-nanti itu datang. Tadinya saya mengira bus
itu masih ada tempat kosong, tapi ternyata saya salah besar.Busnya benar-bener
sudah dijejali manusia. Tapi kondekturnya tetep ngotot kalau busnya masih
kosong, kosong, dan kosong…! Sudah kepalang tanggung dah. Berdiri ya berdiri...!
![]() |
Akhirnya kami pun naik bus ini. Sumber gambar: nananghimawan.wordpress.com |
Di dalam bus, kondisinya benar-benar… gimana, ya? Kalau saya sih
menyebutnya kurang manusiawi. Terlebih ucapan kondekturnya yang
tergolong agak kasar (konsekuensi kerasnya kehidupan jalanan). Di
dalam bus sendiri hampir tak ada celah sedikitpun. Bahkan untuk yang
berdiri sekedar menggerakkan kaki pun susah. Saya sendiri terpisah
dengan teman-teman lain. Angga, Ahmad, Ivan, dan Mohali bisa agak
masuk ke bagian tengah bus. Sedangkan saya kebagian di dekat pintu
belakang dengan Philip, itu pun saya sudah sama sekali tak bisa
melihat wajah Philip karena sudah tertutup oleh berbagai macam wajah
penumpang yang ekspresinya semuanya cenderung sama, SUMPEK! Bus yang
kamia naiki ini adalah bus jurusan Surabaya-Jogja. Tapi karena kami
naiknya dari Ngawi, tarifnya jadi cuma 20 ribuan.
Entahlah bagi kawan-kawan yang
lain, tapi bagi saya hiburan yang 'agak' terasa di dalam bus adalah AC bus yang
Alhamdulillah masih cukup terasa meskipun penumpangnya sudah sesesak ini. Hiburan
lainnya dalah saya masih bisa cukup leluasa melihat pemandangan di luar dari
jendela bus yang memang cukup besar dan bening. Meskipun demikian, tapi saya
tetap jengkel juga. Pasalnya, setelah mengira bahwa perjalanan ini sudah
tertempuh cukup jauh, ternyata perjalanan ini masih saja berkutat di daerah
Jawa Timur. Ya, masih saja di sekitaran Ngawi situ. Masya Allah… Ini Ngawi-nya
yang terlalu luas wilayahnya, atau karena busnya yang lajunya terlalu lambat,
ya? Berkali-kali bus juga berguncang cukup hebat karena menggilas jalan yang
tak lagi rata aspalnya. Penderitaan saya semakin bertambah ketika ada anak
kecil di depan saya muntah. Saya ogah ngelihatnya, saya memilih merem saja.
Hingga akhirnya anak kecil itu tertidur pulas di pangkuan ibundanya, saya baru mau
membuka kembali mata saya.
Setelah
berjalan sekian lama, Alhamdulillah akhirnya mata ini menangkap sesuatu yang
berbeda di dunia luar sana. Di papan-papan nama toko pinggir jalan, tertulis
kata ‘Sragen’. Alhamdulillah akhirnya kami telah keluar Jawa Timur dan menyeberang
ke Jawa Tengah! Sudah di Jawa Tengah, setidaknya Jogja sudah sedikit lebih
dekat. Di Sragen ini saya bisa agak
sedikit maju mendekati teman-teman saya yang ada di tengah bus. Dan masih
seperti yang tadi-tadi, mata saya tetap mengawasi pemandangan di luar bus,
siapa tahu sudah berganti kota, siapa tahu sudah masuk wilayah kota Solo. Tapi
yaahhh… ternyata Sragen juga cukup luas wilayahnya. Saya pun mencoba memejamkan
mata, mencoba tidur meski harus sambil berdiri dan berpegangan pada rak bagasi
bus.
Hingga
akhirnya sampailah rombongan kami ini di terminal Tirtonadi, Solo.
Alhamdulillah ternyata banyak juga yang turun. Saya pun akhirnya dapat tempat
duduk juga. Saya duduk tepat di sebelah jendela, di sebelah saya ada Angga dan
Philip, di kursi depan ada Ivan dan Ahmad. Sedangkan di kursi seberang ada
Mohalli yang ternyata bisa collapse juga menghadapi kondisi bus semacam ini,
padahal dia kan doyan sesumbar dengan bertingkah sok jagoan, hehe… Saya sendiri
merasa sedikit familiar dengan Kota Solo ini karena beberapa waktu yang lalu
saya juga baru saja mengunjungi kota ini ketika hendak mendaki Gunung Lawu
bersama rekan-rekan saya yang tinggal di daerah Sukoharjo.
![]() |
Terminal Tirtonadi, Solo. Sumber gambar: http://id.wikipedia.org/wiki/Terminal_Tirtonadi |
Selepas
Solo, kondisi bus semakin lengang. Tapi ketika sampai di daerah Klaten, ada
kejutan tak terduga dari seorang penumpang yang duduk di belakang. Dia mendadak
muntah disertai suara yang betul-betul menjijikkan. Sebelum muntah, terdengar
suara letupan-letupan seperti air mendidih, lalu… hhhwwuuuweghhhs,… byorr….!!
Awalnya saya mengira kalau sudah cukup sampai di situ saja acara
muntah-muntahnya, tapi terus berlanjut berkali-kali hingga bus ini hampir
sampai di daerah Prambanan. Batin saya, kok orang itu muntah-muntah terus tapi
kok nggak mati, ya…? $^%&*&*%%%. Di daerah Klaten barusan, bus yang
saya tumpangi ini melintas di dekat pabrik gula (PG) yang masih ada rel
lorinya. Saya yang lagi eneg sama orang muntah barusan itu langsung kembali
terhibur melihat lori di pabrik gula itu. Soalnya saya kan emang pada dasarnya
menyukai sesuatu yang berbau kereta api, tak terkecuali lori tebu.
Sekitar
jam 4 sore, akhirnya sampailah rombongan saya ini di terminal
Giwangan, Jogjakarta. Perjalanan yang sebenarnya kalau lancar
seharusnya bisa ditempuh sekitar 8 jam saja, tapi harus molor
sedemikian lamanya. Jadilah kami harus merevisi total rencana
perjalanan. Akhirnya kami hanya akan berjalan di Malioboro saja, tak
ada lagi acara lanjutan melakukan paket anak SD; jalan-jalan ke
Parangtritis, Candi Borobudur, atau Candi Prambanan. Entah kurang
bijak atau entah kasihan… yang terpenting dari itu semua adalah
rencana ke Jogjakarta telah terpenuhi. Kami sudah sampai di Kota
Gudeg ini meskipun belum ngerti rencana ke depan mau apa. Saking
capeknya, juga karena sedang dalam modus penghematan baterai, saya
sudah tak terpikir lagi untuk memutar lagu ‘Yogyakarta’-nya Kla
Project yang biasanya selalu saya dengarkan lewat hape ketika saya
sampai di kota Jogja.
![]() |
Terminal Giwangan, gerbang kota Jogja. Sumber gambar: yogyes.com |
Setelah istirahat sejenak di
musholanya terminal Giwangan, perjalanan kembali dilanjutkan menuju Malioboro
menggunakan bus Trans Jogja (TJ). Saya sedikit lupa kemarin itu naik TJ koridor
apa, entah 3B atau apa, pastinya rombongan saya ini sempat oper juga di salah
satu haltenya. Di dalam bus Trans Jogja, rombongan saya ini bisa dibilang
adalah rombongan yang paling rame, gaduh, norak, atau apalah namanya itu…,
haha… Maklumlah sebagian besar di antara kami ini memang sudah sangat jarang
sekali naik kendaraan umum, apalagi bareng-bareng, di kota orang pula. Jadi ya
mohon maaf ya bagi penumpang-penumpang lain kalau kelakuan kami rada minus…,
he..he.. Hari sudah mendekati senja ketika bus TJ yang kami tumpangi merapat di
halte Taman Pintar. Suasana waktu itu sangatlah ramai. Maklumlah memang sedang
bertepatan dengan weekend di tengah-tengah liburan akhir tahun. Yang paling
bikin enak adalah cuaca yang Alhamdulillah sedang cerah ceria, soalnya biasanya
di bulan Desember kan hujan suka turun dengan intensitas deras bukan kepalang.
Jadinya jalan-jalan di Malioboro sore itu bisa dibilang cukup menyenangkan
meski harus berjejalan dengan sesama turis plus beraneka macam pedagang yang
menggelar dagangannya di situ.
Sholat Maghrib kami lakukan di
sebuah masjid di dekatnya Pasar Beringharjo. Nah, di masjid ini saya sempat
kehilangan sandal, tapi Alhamdulillah setelah memicing-micingkan mata dan
meneliti dengan seksama sandal-sandal yang berserakan di beranda masjid akhirnya
sandal yang sudah menemani saya ke mana-mana itupun ketemu juga. Selepas sholat
Maghrib, acara dilanjutkan dengan menyusuri jalanan mencari sesuatu yang bisa
dijadikan sebagai santapan makan malam. Seperti biasa, kalau sudah menyangkut
soal makanan pasti akan timbul suatu ‘tantangan’ tersendiri yang cukup rumit.
Pasalnya, saya gak bisa makan sembarangan makanan alias cenderung pilih-pilih
menu. Jadinya cukup lama juga kami mencari tempat makan yang sekiranya pas di
kantong tapi tetap dapat memenuhi selera semua personel. Akhirnya daripada
susah-susah, saya pun dengan senang hati mempersilahkan mereka makan. Maka
disepakatilah makan malam dilakukan di sebuah warung lalapan di salah sutu
sudut jalan Mayor Suryotomo dekatnya hotel M*lia. Di warung itu, temen-temen
saya pada makan malam, sedangkan saya nggak. Lho, kenapa? Jujur saja saya masih
kenyang makan nasi goreng perbekalan saya di terminal Giwangan tadi sore. Cukuplah
segelas teh panas manis melegakan kerongkongan, perut, sekujur tubuh, dan
tentunya psikis, haha. Lebay, ya? Ya… boleh dibilang gitulah. Teh manis panas
itu memang bagi saya selalu punya efek menenangkan dan mengenyangkan tanpa
membikin ketagihan. Saya menikmati segelas teh itu di luar warung sambil ngobrol
dengan seorang bapak berwajah oriental yang mengaku berasal dari Gresik. Seperti
biasa, kalo udah ngomong sama orang yang lebih tua, apalagi kalo yang
diomongkannya seputar agama, pasti saya langsung jadi Yes Man yang hanya bisa
menjawab ya…, ya…, ya…, dan ya…, tanpa bisa berargumen macam-macam. Yang bikin
saya rada kaget bercampur heran adalah si bapak itu ternyata nginapnya di hotel
megah di seberang jalan, tapi malah beli makan malamnya di warung lalapan
pinggir jalan.
Puas karena perut telah terisi, acara
kembali dilanjutkan dengan mencari masjid untuk sholat Isya. Tak perlu berputar
terlalu lama, masjid pun akhirnya tercapai juga di seberang jalan. Setelah
Sholat Isya, dilakukanlah perundingan yang prinsipnya akan menentukan enaknya malam
ini kami nginap di mana. Akhirnya diambillah keputusan bahwa Angga, saya,
Philip, dan Ahmad akan mencari penginapan terdekat dari masjid ini, sementara
Ivan dan Mohalli tetap stay di masjid. Mulailah saya bersama ketiga rekan ini
menyusuri jalanan mencari penginapan yang rata-rata ternyata sudah penuh semua
(maklum weekend, pas liburan pula). Para tukang becak yang kami tanyai pun rata-rata
memberikan jawaban yang sama, penginapan sudah penuh semua. Secara berseloroh,
Philip bilang, “Nginep di situ aja… kamarnya pasti masih ada… (sambil nunjuk ke
hotel mewah)”. Yang kemudian dijawab Angga dengan berseloroh juga, “Yo gak popo
ndek hotel kono masio mbeber kloso tok ndek terase”. Ahmad pun kemudian
mengusulkan ide yang tidak bisa dibilang memecahkan solusi. Ahmad bilang, “Rek…
yaopo kalo nginep di Sarkem..? Gak apa-apa wes nginep di situ, tapi ya jangan
kaget kalo nanti ndenger suara aneh-aneh (aneh-anehnya dikasih tanda kutip)”.
Langkah kaki kembali terayun, tapi
tentu saja bukan untuk mencari hotel berbintang untuk diinapi meskipun hanya
dengan menggelar tikar di berandanya, apalagi menginap di daerah Sarkem yang konon
identik dengan ‘begituan’. Sekalian saja perjalanan dilanjutkan menuju
Malioboro. Nah, di Malioboro ini acara yang sebelumnya ditujukan untuk mencari
penginapan murah, mendadak menguap begitu saja dan berubah menjadi acara
jalan-jalan. Kalau saya sih jujur saja tak berminat sama sekali jalan-jalan dan
mencari oleh-oleh di situ karena toh sebelumnya saya bisa dibilang cukup sering
kok main ke Jogja sendirian, apalagi ke daerah Malioboro ini. Nah, sebelum
semuanya berpencar hendak nyari barang oleh-oleh, datanglah message dari dua
rekan kami yang menunggu di masijd. Mereka bilang bahwa masjidnya akan ditutup
tepat jam 8 malam. Wah… gimana, ya…? Akhirnya dua rekan kami itu kami suruh
nyusul saja menyusuri jalan ke arah barat ke Malioboro. Menyebutkan nama mata
angin ini ternyata sama sekali tidak membantu soalnya Ivan orangnya agak buta
arah. Kemudian disepakatilah bahwa Angga dan Philip akan pergi menjemput
Mohalli dan Ivan ke masjid, sedangkan saya dan Ahmad menunggu kedatangan mereka
di Malioboro sini. Sejenak problem terpecahkan, meskipun pada akhirnya saya
yang menunggu mereka sendirian soalnya Ahmad pamit mau nyari oleh-oleh juga. Yahh…
tak apalah saya nunggu sendirian meskipun agak jengkel juga soalnya hape saya
mati total dan saya nggak bawa Powerbank. Jadilah saya duduk bengong sendirian
memandangi beragam wajah manusia yang memenuhi Maliooro malam itu. Dalam
kesendirian saya itu, saya mencoba menghibur diri dengan membayangkan cantiknya
Mary Elizabeth Winstead yang kemaren sebelum berangkat saya tonton film Final
Destination 3-nya. Kadang terselip juga bayangan wajah kapten-kaptennya JKT48
yang ya… begitulah, haha…
![]() |
Suntuk... Jadi ngebayangin mereka..., haha |
SKIP... SKIP... SKIP...!!!
Rombongan pun pecah menjadi dua. Empat
orang menuju ke arah selatan ke arah keraton, sementara saya berdua dengan Ivan
menyusuri trotoar Malioboro ke arah utara. Sebenarnya saya sudah punya bayangan
mau menginap di masjid mana, makanya saya yakin langsung menuju ke arah utara. Yang
bikin saya nggak yakin adalah bahwa apakah masjid itu masih dibuka apa sudah
ditutup jam 9-an begini. Dan ternyata Alhamdulillah masjidnya belum ditutup.
Bahkan di dalam masjid masih ada beberapa orang yang sholat, tiduran, atau
ngobrol. Berhubung saya sama Ivan tadi sudah sholat Isya, ya sudahlah kami langsung
rebahan aja, ngaso sejenak sambil nuggu teman-teman datang ke sini.
Nah ini dia yang agak bikin
jengkel, waktu Ivan saya suruh menemui takmir masjidnya buat minta ijin
bermalam, eh… dia sama sekali nggak bergerak. Padahal dia sama sekali belum
ketiduran lho. Saya tegur lagi dia tetap tidak menjawab. Saya pun menarik nafas
panjang karena toh akhirnya saya juga yang harus turun tangan. Tak apalah, saya
pun langsung mendatangi kantor takmirnya sendirian saja, tanpa Ivan yang nggak
tahu sedang ngapain itu. Setelah saya ketuk berkali-kali ternyata tak ada
jawaban, tak ada seorang pun yang membukakan pintu. Okelah saya tunggu sebentar
dan kembali ngobrol-ngobrol sama Ivan.
Beberapa saat kemudian, lampu
masjid mulai dimatikan satu persatu. Orang-orang yang tadi ngobrol-ngobrol pun
langsung bergegas keluar dari masjid. Bersamaan dengan itu, datanglah seorang
bapak yang sepertinya adalah petugas takmirnya. Langsung saja saya kembali
mencolek Ivan untuk memintakan ijin pada sang bapak. Tapi Ivan kembali terdiam,
seolah ogah memintakan ijin. Masya Allah… ternyata beneran saya ya yang harus
turun tangan? Okelah… saya pun mendatangi si bapak, yang ternyata memperbolehkan
rombongan kami untuk menginap di sini asalkan besok harus sholat subuh. Syarat
yang begitu gampang! Okelah, Pak.! Makasih banyak, ya… Tapi ternyata yang rada
bikin nyesek, pintu pagarnya ternyata sudah dikuncinya, dan beliau tidak
berkenan membukakan pintu untuk keempat teman kami yang sekarang masih berada
di mana.
Yah… sudahlah… Saya pikirkan itu
nanti saja. Saya pun kembali ngobrol sama Ivan sambil memendam rasa jengkel
padanya. Udah tadi ngerendahin saya dengan mengatakan kalau dia
lebih pintar dari saya soal negosiasi, tapi ternyata ketika saya minta turun
untuk ngomong minta ijin ke takmir saja dia tak bergerak sama sekali. Bahkan
berkilah katanya dia paling nggak mau kalau harus meminta mengiba-iba ke orang
lain. Lha tadi emangnya ngapain ngaku-ngaku kalo pinter nego kalo ternyata saya
juga yang harus turun tangan? Udahlah… toh akhirnya sudah saya mintakan ijin,
tinggal mikirin saja gimana nasib keempat teman kami itu.
Saya pun ngobrol sama Ivan sampai
ketiduran. Maklum capek luar biasa setelah tadi berdiri berjam-jam di dalam bus
mulai dari Ngawi sampai Solo. Barulah sekitar hampir tengah malam Ivan
membangunkan saya, katanya dia diusir takmirnya masjid gara-gara memintakan
ijin untuk membukakan pintu gerbang masjid bagi keempat kawan kami yang baru
datang. Yahh… berhubung dia diusir, maka agak nggak mungkin juga saya nginap di
masjid ini seorang diri. Saya pun dulu ingat banget, sekitar tahun 2008 pernah
juga backpacker-an sendirian di Jogja dan nginap sendirian di masjid ini. Tapi
tentu soalnya lain karena waktu itu saya murni sendirian alias sama sekali
nggak bawa teman. Tapi berhubung sekarang kami berombongan, maka senang maupun
susah pun akan lebih baik kalau ditanggung bersama. Sebenarnya masjid itu punya
dua jalan masuk, yang pertama adalah gerbang utama yang sudah dikunci oleh
takmirnya, sementara jalan lain yang adalah melalui gerbangnya gedung DPRD yang
masih dibuka dan dijaga beberapa orang.
Saya dan Ivan pun langsung
bergabung dengan keempat kawan yang menunggu di gerbang DPRD itu. Atas saran orang
yang menjaga gerbang itu, maka diputuskan bahwa mala mini kami akan menginap di
musholanya kantor polisi. Wah… saya pun langsung setuju, yang lain pun juga
setuju, tapi ternyata Mohalli yang entah kenapa punya trauma sama polisi itu kurang
berkenan dengan keputusan bersama ini. Dia bersikeras mau ngajak rombongan kami
ini tidur ngemper di pinggir jalan saja soalnya kan Malioboro ramai sampai pagi
jadi aman-aman saja. Usulannya tentu kurang bisa diterima semua peronel karena
semuanya pasti sudah capek berat dan pengen mendapatkan tempat istirahat yang
agak layak. Sempat terpikir juga untuk mencari masjid lagi, tapi usulan ini pun
langsung menguap mengingat ini sudah tengah malam dan hampir tak mungkin ada
masjid yang masih buka.
Dengan langkah sedikit terpaksa, dan setelah dibujuk ini itu oleh
Ahmad, Mohali pun ikut juga dengan rombongan menuju kantor polisi.
Berbekal KTP jaminan milik Angga pun, malam ini akhirnya kota
mendapatkan tempat menginap. Gratis pula. Akhirnya kami pun langsung
rebahan di emperan masjid. Lumayan nyaman juga meskipun punggung ini
harus langsung bersinggungan dengan dinginnya lantai. Lha, kok nggak
di dalam masjid saja? Kan enak ada karpetnya? Soalnya pak polisi yang
tadi dimintai ijin itu hanya memperbolehkan rombongan kami tidur di
emperan masjid. Pak polisi itu juga sempat membuat Angga dan saya
jadi agak merasa kurang nyaman soalnya beliau menanyai saya dan Angga
bermacam hal dengan nada seperti mereka sedang menginterogasi maling
ayam (@!$#%#^&^#%#$^^#). Baru ketika kami hampir tertidur,
datanglah seorang polisi lain yang jauh lebih ramah. Beda dengan
polisi yang tadi, pak polisi yang ini malah menyuruh kami tidur di
dalam masjid saja soalnya lebih nyaman karena ada karpetnya, atau
setidaknya kalau memang mau tidur di beranda, dia menyarankan untuk
mengambil tikar di rak masjid. Suatu saran yang menyenangkan! Tapi
sepertinya memang tidur di emperan musholla kantor polisi ini sudah
lebih dari cukup untuk beristirahat mengembalikan kondisi tubuh. Di
akhir percakapan, pak polisi ramah itu malah memuji keputusan kami
untuk bermalam di kantor polisi apabila kemalaman di perjalanan.
Suatu langkah yang pas apabila nanti akan backpacker-an lagi dengan
budget yang terbatas! Oh, iya. Hampir saja lupa. Sebelum tidur, Ahmad
berinisiatif untuk menelepon bengkel di Ngawi untuk menanyakan
keadaan mobil, yang ternyata Alhamdulillah sudah selesai. Okelah…
let’s go to the dream world…! Zzzzzzzzzzz
MINGGU, 29 DESEMBER 2013
Pagi
pun datang, dan rencana pun kembali disusun. Setelah berunding beberapa saat,
maka diambillah keputusan bahwa hanya akan ada tiga orang saja yang berangkat
ke Ngawi untuk mengambil mobil, sedangkan sisanya yang tiga orang lagi langsung
pulang menuju Malang. Bukan tanpa alasan memecah rombongan menjadi dua. Mengingat
kondisi mobil yang kondisinya sepertinya sudah jauh dibawah 100 persen, maka
beban mobil pun perlu dikurangi dengan cara membagi personel. Ivan, Philip, dan
Ahmad-lah yang berangkat ke Ngawi naik bus. Sedangkan saya, Angga, dan Mohalli langsung
menuju ke Malang. Untuk mempersingkat waktu perjalanan, saya pun mengusulkan untuk
mengajak Angga dan Mohalli naik kereta api saja. Soalnya kalau untuk jurusan
Jogja-Surabaya naik kereta api itu konon jauh lebih cepat apabila dibandingkan
dengan naik bus. Ternyata Angga dan Mohalli setuju. Setelah berpamitan dengan
Ahmad, Ivan, dan Philip, saya bersama Angga dan Mohalli pun bergegas
meninggalkan kantor polisi untuk mengejar kereta api Sritanjung jurusan Surabaya
yang seingat saya berangkatnya pukul setengah 8 pagi.
Untuk
mempersingkat waktu menuju stasiun Lempuyangan, kami pun mencoba menawar becak
yang ternyata tarifnya… 50ribu untuk tiga orang! Tentu saya kaget, soalnya harga
50ribu itu sama dengan harga tiket kereta Sritanjung jurusan
Lempuyangan-Surabaya yang akan kami naiki. Saya tidak tahu harga segitu itu
sebenarnya wajar apa nggak, tapi pak becaknya yang memang sudah agak tua beralasan
bahwa jalan menuju Lempuyangan itu naik turun. Jadi beliaunya mungkin wajar
mematok tarif sebesar itu. Kami pun tidak jadi naik becak dan memilih berjalan
kaki saja menuju stasiun Lempuyangan, toh jarak dari daerah Malioboro ke
stasiun khusus pemberangkatan kereta api ekonomi itu tidak terlalu jauh.
![]() |
Suasana Malioboro di pagi hari. |
![]() |
Sekitaran jembatan Kewek. |
![]() |
Sekitaran stasiun Lempuyangan |
Setelah
memacu langkah secepat mungkin, sampailah langkah kaki kami di stasiun
Lempuyangan. Dan ternyata… tiket untuk tujuan Surabaya semuanya sudah ludes!
Yahhh… gimana nih? Akhirnya keputusan pun kembali diambil, ya sudahlah kami
berangkat naik bus saja bersama Ahmad, Ivan, dan Philip. Tapi sebelum kembali
ke Malioboro untuk menemui mereka, kami pun mengisi perut dulu dengan menu
sarapan. Sarapan bertiga, menunya pun berbeda-beda. Angga memilih gudeg,
Mohalli memilih soto, sedangkan saya tetep… mi instan saja, he..he… Puas
sarapan, kami pun bergegas kembali menuju Malioboro. Mohalli yang agak collapse
sebenarnya dianjurkan Angga untuk naik ojek seorang diri saja, tapi dia
ogah-ogahan. Di suruh naik becak sendirian juga tetep saja ogah-ogahan.
Akhirnya kami menyewa dua becak. Saya berdua dengan Mohalli do ebcak pertama,
sedangkan Angga sendirian di becak kedua. Setelah tawar menawar, akhirnya masing-masing
becak disepakati tarifnya sebesar 20 ribu. Selama di perjalanan naik becak, komunikasi
tetap dilakukan bersama ketiga rekan yang sedang menunggu di Malioboro, dan
disepakatilah bahwa nanti kami akan bertemu di benteng Vredenburg.
Saya
sudah lupa sudah berapa tahun ya saya nggak naik becak, tapi jujur saya cukup
senang bisa kembali merasakan naik becak, apalagi di kota orang. Apalagi di
Jogja, pagi pula… Kesan saya tetap sama, Jogja di kala pagi memang eksotis!
Entah kenapa saya pribadi merasakan bahwa sejak datang ke Jogja kemarin sore,
baru ketika naik becak inilah saya ngerasain acara rekreasinya. Setelah
menikmati jalanan Jogja sekitar 15 menitan, sampailah kami di daerah Taman
Pintar. Awalnya sih sebenarnya mau langsung ke Malioboro, tapi ternyata
Malioboronya sedang ditutup soalnya sedang ada acara senam pagi. Tak apalah…
toh benteng Vredenburg di Malioboro juga sudah dekat, tinggal nyebrang dan
belok ke arah utara saja.
Di
salah satu sudut perempatan, ada dua orang cewek sedang bernarsis-narsis ria
bersama kamera DSLR-nya. Tahu-tahu dua cewek itu mengarahkan lensanya ke arah
rombongan saya. Naggung banget, akhirnya saya ajak foto bareng saja yang
ternyata mereka sambut dengan senang hati, hehe… Sayangnya belum sempat ngajak
mereka kenalan lebih jauh, Ahmad dkk sudah keburu datang setelah sebelumnya
ikutan senam. Akhirnya rombongan pun kembali
lengkap berenam. Langsung saja kami menuju halte Trans Jogja untuk
menuju terminal Giwangan.
![]() |
No comment, haha |
![]() |
Mirip angka 10 ya..., haha |
![]() |
No comment, haha |
![]() |
No comment, haha |
![]() |
Lho, apaan nih..??? |
![]() |
Di dalam halte bus trans Jogja |
Di terminal Giwangan, saya
menyempatkan diri untuk sekali lagi menyeruput teh hangat plus jamu cair
penolak angin, ya… sekedar jaga-jaga biar nanti nggak ambruk di perjalanan. Angga
pun juga sedang putar-putar nyari orang jualan bakpia pathok yang ternyata
belum kunjung didapatkannya meskipun semalam sudah jalan keliling Mlaioboro
(@#%$&^*^*%^%$). Oke, personil pun kembali lengkap. Kali ini kami naik bus
Sugeng Rahayu, salah satu bus yang satu grup dengan bus Sumber ******* yang
‘track record’-nya udah nggak perlu ditanya lagi, he..he… Pukul 07.40, bus pun
berangkat dari terminal Giwangan. Saya duduk diapit Angga yang ada di sebelah
jendela, dan juga Mohalli di dekat jalan kecil di tengah bis. Di depan saya ada
Ivan dan Philip. Lho, Ahmad ke mana? Ahmad milih duduk di depan saja.
Sepertinya dia agak nggak cocok duduk di bagian belakang karena konon bagian
belakang bus itu berpotensi membuat seseorang jadi muntah. Tarif bus
Jogja-Surabaya sebesar 47 ribu. Tarif yang sangat terjangkau! Bahkan lebih
terjangkau daripada tarif becak dari Malioboro menuju stasiun Lempuyangan yang
tadi tidak jadi saya naiki tadi itu, hehe
![]() |
Pulangnya naik bis ini. Sumber gambar: posumbergroup.wordpress.com |
Perjalanan pulang cenderung lancar
meski sering berhenti gara-gara lampu merah. Mata kembali saya arahkan ke luar
jendela bus, mencoba mencari-cari pabrik gula yang kemarin berhasil
menyembuhkan rasa eneg saya gara-gara ada orang muntah. Sementara itu, Angga
dan Mohalli lebih memilih untuk tiduran. Barulah sekitar hampir jam setengah
sebelas siang, bus memasuki terminal Tirtonadi di kota Solo. Di terminal ini
saya melihat bus-bus super mini yang sepertinya belum pernah saya temui di kota
lain. Nama busnya pun aneh-aneh, yang sebagian juga menggunakan nama orang yang
mungkin saja adalah pemilik PO-nya. Sayang sekali kondisi terminal ini juga
luput dari jepretan karena memang tak ada yang membawa kamera, dan semua
personel pun sedang dalam mode pengiritan baterai hape. Mohalli sempat juga jajan
martabak yang kemudian dibagikannya ke saya dan Angga. Seorang pengamen
kemudian masuk ke dalam bus. “Wih sangar rek sing ngamen…”, ulas Angga. Si
pengamen memang bertampang rocker, berbaju serba hitam, muka agak rusuh dengan
rambut super gondrong. “Itu kayak John Paul Ivan gitarise Boomerang…, eh nggak
sih… anu… koyok Roy Jeconiah….!”, timpal saya. Dan ternyata bener saja si
pengamen sepertinya memang seorang ‘Boomers’, dia nyanyi lagunya Boomerang yang
judulnya Pelangi. Suara dan cengkoknya pun mirip banget sama Roy Jeconiah
vokalisnya Boomerang. Tapi yang rada ‘nggapleki’, ternyata menyanyinya bahkan
nggak sampai di reff. Begitu tuh dia nggak malu lho narikin uang ke para
penumpang. Oh iya, hingga Solo ini, kondisi bus masih cukup lengang.
Selepas terminal Tirtonadi Solo,
sudah tak ada lagi hal-hal yang dapat menarik perhatian saya. Jadi saya pun
memilih tidur, sama seperti yang dilakukan Angga dan Mohalli sedari berangkat
tadi. Saya baru bangun kembali ketika sudah hampir sampai di daerah perbatasan
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Cukup lama juga saya mengobrol dengan Angga hingga
akhirnya berhentilah bus di perempatan dekat terminal lama kota Ngawi. Di sini
Ahmad, Ivan, dan Philip berpamitan turun untuk mengambil mobil ke bengkel, lalu
melanjutkan perjalanan ke Jombang
mengembalikan ban serep pinjaman sebelum pulang menuju Kota Malang. Tak
berhenti terlalu lama, bus pun kembali berangkat. Dan dari celetukan Angga,
akhirnya timbullah istilah Tim Espass untuk ketiga kawan yang ngambil mobil di
Ngawi tadi, dan juga Tim Sugeng Rahayu untuk menyebut rombongan kami yang tetap
melanjutkan perjalanan dengan bus ini. Di Ngawi inilah, penumpang mulai ramai.
Perjalanan pun berlanjut melintasi
daerah kabupaten Madiun yang ternyata baru saja saya tahu banyak pabrik
gulanya. Saya pun kembali mendapatkan hiburan karena di PG-PG itu masih ada
kereta lorinya. Di daerah ini bus kembali sering bertemu dengan lampu merah yang
membuatnya juga sering berhenti. Penumpang kembali memenuhi bus ketika bus
berhenti di terminal Maospati dan juga terminal Madiun.
Hari semakin siang, tapi sepertinya Surabaya sepertinya masih begitu
jauh. Entah sudah berapa jam lamanya telinga ini tak mendapatkan
sedikitpun asupan hiburan. Tak ada lagu “Far Away From Home”-nya
Groove Coverage atau “Somewhere Only We Know”-nya Keane yang
mengalun ke telinga saya sebagai akibat dari wafatnya baterai hape
saya, hiks.. hiks.. hiks… Di daerah hutan jati Madiun, bus kembali
disesaki oleh penumpang. Saya dan Angga kembali menakar-nakar waktu,
kira-kira jam berapa nanti kami bakal sampai di Surabaya? Soalnya
rencananya kan nanti sesampainya di Surabaya kami bakal ganti kereta
api Penataran Ekspress yang berangkatnya sekitar jam 5 sore dari
stasiun Gubeng. Di daerah hutan jati Madiun,
bus kembali disesaki oleh penumpang. Saya dan Angga kembali menakar-nakar
waktu, kira-kira jam berapa nanti kami bakal sampai di Surabaya? Soalnya
rencananya kan nanti sesampainya di Surabaya kami bakal ganti kereta api
Penataran Ekspress yang berangkatnya sekitar jam 5 sore dari stasiun Gubeng.
Kota-kota kecil di sepanjang
perjalanan pun terlewati. Nganjuk, Kertosono, Jombang, dan Mojokerto pun
akhirnya tertempuh juga ketika hari sudah semakin sore. Selepas Mojokerto ini,
bus sempat masuk ke dalam pool-nya untuk ganti sopir. Perjalanan pun berlanjut,
saya beserta kedua rekan saya mulai pesimis bisa sampai di terminal Purabaya
sebelum jam lima sore. Dan memang benar… bus yang kami tumpangi ini baru sampai
di terminal Purabaya sekitar pukul 17.50. Masya Allah… ternyata naik bus
Jogja-Solo memang waktu tempuhnya luar biasa lama, sekitar 10 jam lebih! Pantat
rasanya panas luar biasa, kakipun rasanya susah digerakkan karena terlalu lama
tertekuk karena ketika duduk. Bahkan kereta api ekonomi jurusan Surabaya-Jogja
yang sering berhenti pun ‘hanya’ makan waktu
sekitar 7 jam saja. Tentu perjalanan naik bus selama 10 jam itu membuat
saya kaget soalnya saya biasanya kalau ke Jogja naik kereta hanya butuh waktu
tujuh jam.
Karena sudah telat, kami pun tak
jadi naik kereta menuju Malang, tapi kami cukup terhibur dengan TV di terminal
yang menayangkan kemenangan Arema 6-1 melawan tim asal Thailand dalam event
Trofeo Persija. Tanpa ba, bi, bu, kami pun langsung naik bus Restu Panda
jurusan Malang. Bus ekonomi AC ini memang adalah favorit saya. Sebenarnya Angga
agak kurang sreg dengan bis ini, tapi berhubung yang tersedia dan siap
berangkat ya tinggal bus ini sementara kami pengen cepat-cepat sampai Malang,
jadi ya akhirnya kami pun naik bus ini.
Perjalanan Surabaya-Malang
benar-benar di luar dugaan kami. Tadinya kami sempat menduga bahwa jalur menuju
Malang akan macet total soalnya ini kan masih dalam rangka liburan. Tapi
ternyata jalur menuju Malang sangatlah lancar. Malah mungkin tidak sampai dua
jam bus kami ini sudah sampi di terminal Arjosari Malang. Syukur Alhamdulillah akhirnya
kami kembali bisa menjejakkan kaki di kota Malang dengan selamat tanpa kurang
suatu apa. Di pertigaan Taspen kami pun berpamitan untuk berpisah naik angkot
ke tujuan masing-masing. Tak lupa juga kami mendoakan rekan kami ‘Tim Espass’
yang juga sedang berjuang pulang menuju Malang agar selalu diberi perlindungan
dan keselamatan. Alhamdulillah mereka bertiga berhasil selamat sampai Malang,
tapi naik bus. Lho kok naik bus? Mobilnya kemana? Mobilnya kembali masuk
bengkel di Jombang gara-gara ada masalah dengan persnelingnya, tapi akhirnya
berhasil juga dibawa kembali ke Malang dengan derek saat tahun baru kemarin.
Saya pribadi dalam catatan perjalanan
ini memohon maaf sebesar-besarnya kepada rekan-rekan semua apabila ada
perkataan atau tingkah laku saya yang sekiranya kurang berkenan selama dalam
perjalanan. Melakukan perjalanan bersama-sama, akan membuat kita mengenali diri
kita dan teman-teman kita lebih dekat, lebih jujur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar