Jumat, 03 Januari 2014

SUDDEN BACKPACKING: JOURNEY OF SADNESS (2013)



JUMAT, 27 DESEMBER 2013
Berawal dari rencana yang sudah dihembuskan beberapa bulan yang lalu, maka dengan tekad setebal baja rel kereta, akhirnya pada hari Jumat tanggal 27 Desember 2013 kemaren jadilah kami-kami ini mengeksekusi rencana tersebut. Memangnya mau ke mana sih? Kalau mau bicara tentang tempat tujuan, sebenarnya tempat tujuan kami ini bukanlah tempat yang sangat sulit didatangi, wong kami cuma mau ke Jogja saja kok. Di Jogja pun kami juga cuma mau mendatangi tempat-tempat yang sekiranya sudah sangat mainstream. Kalau saya nyebutnya sih, paket perjalanan anak SD. Soalnya kami mau mendatangi pantai Parangtritis, Candi Borobudur, sama Candi Prambanan. Lha terus kenapa kok kayaknya jadi susah banget, ya? Ya… kan soalnya kami sudah punya kesibukan dan kesulitan masing-masing. Udah nggak kayak jaman masih mahasiswa dulu yang masih sebebas burung (halah…). Burung apaan emang? Burung celana…? ($%&%*^&(&%&%&%^^#$$%$%^$%^)

Our destination...!
Jumat malam, tanggal 27 Desember 2013 sekitar jam 22.30 kami bertolak dari kota Malang. Kali ini kami menggunakan mobil Espass tahun 90-an. Penggunaan mobil yang sudah jadul ini sebenernya juga bisa dibilang agak nekad. Ya… namanya kendaraan keluaran tahun jabot, pastilah menimbulkan kekhawatiran nanti gimana kalau kendaraan ini ada trouble di jalan. Tapi karena katanya mas bengkelnya ini mobil sudah OK, jadi kami pun juga oke saja mengeksekusi perjalanan ini. Oh iya, peserta perjalanan kali ini adalah saya, Angga, Ahmad, Ivan, Mohalli, dan juga Philip. Jalur perjalanannya kami memutuskan untuk lewat Japanan saja, tembus Mojokerto, Jombang, dan selanjutnya lewat Ngawi, Sragen, hingga Jogja. Memang pemilihan jalur ini berakibat pada waktu tempuh yang lebih lama soalnya jalurnya memutar, tapi bisa dibilang relatif lebih aman bagi kondisi kendaraan karena tidak perlu melewati jalur Pujon atau Cemorosewu yang menanjak karena melewati gunung.
Awal-awal perjalanan benar-benar dipenuhi perjalanan canda tawa dan obroan-obrolan yang  sebenernya sudah sering dibahas, tapi nggak tahu kenapa kok tetep seru aja buat diomongin lagi dan lagi. Lagu “Selamanya Indonesia”-nya 21st Night yang jadi soundtrack acara 100 Hari Keliling Indonesia pun turut mengawali perjalanan. Saya juga punya rencana muter lagu “Yogyakarta”-nya Kla Project sesampainya di Jogja nanti. Saya emang gitu orangnya, suka nyocok-nyocokin suasana sama playslist di hape saya, haha… Semakin semangat rasanya, seolah lupa bahwa kemungkinan terburuk di perjalanan nanti juga bisa saja terjadi.

Karakteristik para peserta trip ini adalah hanya ada dua orang yang mahir nyetir (Ivan dan Philip). Ivan mahir nyetir tapi gampang ngantuk, kalo Philip sepertinya malah kuat melek kalo disuruh nyetir tapi rada susah kalo disuruh jalan agak pelan. Satu orang mengaku pernah kursus nyetir (Angga) tapi masih kalut kalau disuruh turun ke jalan, dan tiga orang lagi sama sekali nggak bisa nyetir (Mohalli, Ahmad, dan pastinya saya, he9989x). Dua orang memiliki berat badan di atas tiga digit (Ivan dan Ahmad). Dua orang memiliki postur proporsional (Angga dan saya), dan dua lagi juga proporsional meskipun agak mini (Mohali dan Philip).

Para  personel

This is our fleet..!

Sama sekali tak ada pemandangan indah yang bisa dinikmati mengingat perjalanan ini memang dilakukan di malam hari. Lagipula ada pemandangan indah juga mau dipotret pakai apa, wong kami nggak ada yang bawa kamera selain kamera beresolusi rendah di hape masing-masing yang tentunya nggak maksimal kalau mau dipakai foto-foto. Awalnya kami semua sempat khawatir jalanan bakalan padat soalnya kan saat perjalanan ini dilangsungkan memang bertepatan dengan weekend di tengah-tengah liburan akhir tahun. Tapi syukur Alhamdulillah kekhawatiran itu tidak terbukti. Jalanan cukup lancar, meski sering juga ditemui kendaran-kendaraan besar seperti truk dan bus yang justru semakin ugal-ugalan lajunya di saat malam hari.

SABTU, 28 DESEMBER 2013
Selepas Jombang, masalah mulai muncul. Roda belakang sebelah kiri pecah. Saya kurang tahu pecahnya itu karena apa, entah menggilas batu tajam atau karena terperosok lubang. Sebelumnya memang mobil ini seringkali dikendarai menyalip kendaraan-kendaraan besar dari sebelah kiri. Sebenarnya ini juga bukan hal yang bijak, soalnya kondisi bahu jalan benar-benar parah. Banyak lubang di sana-sini hingga membuat mobil sering berguncang, hingga akhirnya musibah itu pun datang. Ban mobil pecah. Mobil pun dibawa menepi. Ban mobil kempes pes pes pes! Kami tidak membawa ban serep, dan juga tidak membawa dongkrak!
Tapi yang namanya rejeki memang nggak kemana-mana. Kami baru sadar kalau ternyata tempat kami berhenti itu tepat di deberang kantor polisi. Alhamdulillah, Allah sudah ngatur kayak gini kali ya… seolah mobil kami itu sudah dituntunNya untuk berhenti di seberangnya kantor polisi. Jadilah kami minta tolong ke pak-pak polisi di situ, yang ternyata mereka semua itu sungguh sangat ramah dan friendly sekali. Padahal jujur saja saya sempat takut bakal dimarahi dan diinterogasi macam-macam gara-gara rombongan saya ini kurang hati-hati membawa kendaraan. Menurut salah seorang polisi, di daerah ini memang sering terjadi kecelakaan yang salah satunya diakibatkan oleh buruknya kondisi jalan. Buruknya jalan itu konon sudah pernah dilaporkan tapi juga belum ditindaklanjuti oleh pemangku kekuasaan setempat.
                Salah seorang polisi kemudian bersedia mencarikan tukang tambal ban terdekat yang selalu buka selama 24 jam. Waktu Angga bertanya, “Lho, nggak apa-apa tah, Pak? Nggak ngrepotin sampean, Pak?”, Pak polisinya menjawab, “Oh… nggak apa-apa, Mas. Pelayanan Prima buat masyarakat (sambil nunjukin lencana polisi yang nempel di seragamnya)”. Ah.. saya jadi lega. Sekitar dua puluh menit kemudian, pak polisinya datang dengan membonceng seorang tukang tambal ban lengkap dengan dongkrak dan peralatannya. Langsung saja tukang tambal ban itu mengecek kondisi ban mobil kami yang rusak itu. Dan ternyata sangat parah dan perlu diganti. Ban yang rusak itu pun dilepas. Tapi setelah dilepas, kami bingung lagi soalnya gimana caranya membawa ban rusak ini ke bengkel buat ditukar dengan ban lain, sementara jarak antara TKP dengan bengkel ini sekitar dua kiloan. Kan nggak mungkin juga mas tambal ban ini dini hari gini jalan kaki ndorong ban rusak hingga ke bengkel.
Di saat bingung ini, lagi-lagi pak polisinya datang membawa mobil pickup-nya polisi (yang biasanya dipakai buat mengangkut orang yang kena gerebek) buat ngantar tukang tambal bannya ngambil ban baru ke bengkelnya. Mereka pun berangkat, Ahmad dan Ivan pun juga ikut bersama mereka. Sejenak keadaan bisa sedikit terasa rada lucu gara-gara ada pemandangan dua kawan kami yang bertubuh subur itu naik pickupnya polisi, terutama karena Ahmad yang semenjak berangkat memang belum ganti baju soalnya baru pulang dari tahlilan (masih pakai baju koko plus sarung). Sementara dua orang kawan itu ikut ke bengkel, Philip plus Mohali pun jalan kaki mencari minimarket terdekat buat beli logistik. Sementara saya dan Angga kebagian tugas buat njaga mobil.
                Tak berapa lama kemudian, Mohali dan Philip datang membawa logistik. Lumayan juga buat mengganjal perut yang juga hampir ikut frustrasi. Sambil nunggu kawan kami yang  masih belum kembali dari bengkel, 4 personel tersisa ini pun ngobrol-ngobrol sebisanya, menakar-nakar waktu kira-kira jam berapa ya bisa sampai Jogja. Sesekali mata ini juga memandangi bus-bus malam dan truk yang seolah beradu cepat di jalanan yang sebenarnya juga tak terlalu besar.
                Nah itu dia akhirnya kawan kami datang. Mas tambal bannya membawa ban ganti untuk dipasangkan di mobil kami. Bukan ban baru memang, tapi masnya meyakinkan bahwa ban ini masih bagus. Ya sudahlah... setidaknya masalah sudah teratasi. Ban pun akhirnya komplet ada 4. Langsung saja saya dan Angga nyebrang jalan dan langsung ngucapin terima kasih sama pak polisinya. Tak lupa juga kami meninggalkan ‘sesuatu’ sekadarnya buat pak polisinya. Pak polisinya memang sama sekali nggak meminta karena memang sudah tugasnya melayani masyarakat, tapi ya namanya kami ngerasa nggak enak karena sudah ditolongin ya kami pun meninggalkan sesuatu untuknya.

Di bengkel tambal ban
Perjalanan pun kembali dilanjutkan. Tentunya kali ini untuk sementara waktu personel kami ketambahan satu orang, yang tak lain dan tak bukan adalah mas tukang tambal bannya. Kami mengantarkan mas itu kembali ke bengkelnya, sambil juga ngecek kondisi ban lain apakah masih layak jalan mengingat perjalanan masih sangat jauh. Dan akhirnya disepakati bahwa kami dipinjami ban serep secara cuma-cuma, dengan jaminan sebiji KTP saja. Akhirnya, untuk sementara waktu KTP-nya Ahmad akan menjadi penghuni dompet pemilik bengkel, he..9989x. Alhamdulillah… masalah pertama beres.
Perjalanan pun kembali berlanjut meski sedikit molor. Awalnya kami masih sempat bisa bercanda dengan berharap bisa sampai di Jogja ketika matahari belum terbit. Tapi ternyata rencana itu harus molor, yah… tak apalah. Akhirnya kami baru mendapatkan pemandangan matahari terbit itu di daerah Wilangan, di daerah hutan jati Kabupaten Madiun. Semenjak insiden ban pecah tadi, Ivan yang tadinya jadi driver pun diganti dengan Philip. Penghuni mobil mulai collapse satu persatu. Banyak yang mulai ketiduran. Saya pun yang pada awalnya menahan diri untuk tidak tidur akhirnya ketiduran juga. Padahal sebenarnya saya merasa sayang kalau tidur di perjalanan, soalnya jadi nggak bisa menikmati pemandangan. Tapi toh ternyata tidur saya itu juga tak bisa terlalu nyenyak. Berkali-kali mobil mengerem mendadak gara-gara kendaraan di depan juga ikut ngerem.
Perjalanan lancar-lancar saja, hingga akhirnya ketika masuk kabupaten Ngawi, musibah kembali muncul. Kalau tidak salah, gardan di roda bagian belakang rusak hingga membuat roda tak bisa berputar secara semestinya. Mobil pun dibawa menepi. Kami mencoba mendorong mobil sambil berusaha menghidupkan mesin seperti kalau mobil lagi mogok. Tapi apa mau dikata, ternyata cara ini tidak berhasil. Mobil tetap tidak bisa berjalan. Di trotoar jalan kami semua pada bingung. Canda tawa tetap ada, tapi senyum yang tersungging tentu bukan senyum kebahagiaan. Meskipun begitu, kami semua tetap mencba untuk bersyukur, karena mobil kami ini rusaknya bukan di daerah hutan yang kami lewati tadi, melainkan sudah di daerah perkotaan. Ahmad yang entah karena bingung atau karena apa, mendadak pamit untuk pergi ke masjid yang kebetulan ada tepat di seberang jalan. Entah apa yang mau dilakukannya, mungkin mau sholat dhuha biar rombongan kami ini diberi kemudahan dan dijauhkan dari segala macam percobaan.
Ya sudahlah, daripada bingung, kami datangi saja warung terdekat buat nyari sarapan. Ahmad yang biasanya doyan makan, entah kenapa kok tidak kunjung muncul padahal sarapan kami sudah pada habis. Kami pun sempat berseloroh jangan-jangan Ahmad diambil menantu oleh si takmirnya masjid, ha..ha… Menurut pemilik warung, di dekat sini ada bengkel tapi baru buka sekitar jam 8. Setelah dicek, ternyata memang ada bengkel yang cukup besar. Sebenarnya kami curiga soalnya itu bengkel bukanlah bengkel untuk servis mobil secara keseluruhan, melainkan untuk menangani spooring, balancing, variasi, dsb. Tapi apa salahnya untuk dicoba bukan? Dan benar memang sekitar jam 8 bengkel itu pun dibuka. Langsung saja mobil pun kami dorong hingga ke depan bengkel. Dan ternyata kecurigaan kami terbukti, bengkel itu tidak bisa memperbaiki mobil kami. Tapi mas-mas di bengkel itu nunjukin bengkel lain yang sekiranya bisa memperbaiki mobil kami ini.
Mobil pun kembali kami dorong ke bengkel yang dimaksud mas-mas tadi. Alhamdulillah jaraknya tak terlalu jauh meskipun  sedikit menjorok masuk ke dalam kampung. Mobil pun masuk bengkel. Pemilik bengkelnya pun langsung menyambut kedatangan kami dan langsung nanyain ada kerusakan apa, ya? Tapi yang bikin kami rada jengkel, si pemilik bengkel tak langsung memperbaiki mobil kami, melainkan terus melanjutkan ngobrol-ngobrol dengan tamunya. Yah… tak apalah kami menunggu lagi. Akhirnya beberapa saat kemudian si pemilik bengkel pun turun tangan dibantu dengan beberapa anak muda yang sepertinya lagi magang di bengkelnya ini. Awalnya kami sempat mengira bahwa kerusakan mobil ini tak terlalu parah. Tapi setelah ditunggu hingga siang ternyata proses perbaikannya belum selesai juga, bahkan hingga orang yang datang belakangan dan mengantri pun mulai ikutan frustrasi hingga mereka pun memutuskan untuk cabut dari bengkel ini.

Di bengkel Ngawi. Kelihatan banget ekspresi susahnya
Salah satu sudut Kota Ngawi

Berhubung hari sudah siang, dan Ahmad yang tadi pamit ke masjid pun sudah datang, akhirnya kami pun mengambil keputusan yang bisa dibilang nekad. Mobil ini kami tinggalkan dulu di bengkel ini hingga perbaikannya selesai esok hari, sementara rombongan kami ini meneruskan perjalanan ke Jogja dengan naik bis. Setelah melakukan negosiasi dengan pemilik bengkel, akhirnya kami pun benar-benar melanjutkan perjalanan dengan bis. Dan karena hal inilah saya memberi judul catatan perjalanan saya ini ‘Sudden Backpacking’, karena memang sejak semula kami tidak ada rencana sama sekali untuk naik angkutan umum. Tapi karena ada hal-hal yang sudahlah… tak perlu disesali ini jadinya kami harus jadi backpacker dadakan.

We are backpackers..!
Perjalanan kami mulai dengan menggunakan semacam bus kota berukuran super mini untuk mencapai perempatan terdekat guna mencari bus besar tujuan Jogja. Setelah menunggu sekitar 30 menitan, barulah bus yang kami nanti-nanti itu datang. Tadinya saya mengira bus itu masih ada tempat kosong, tapi ternyata saya salah besar.Busnya benar-bener sudah dijejali manusia. Tapi kondekturnya tetep ngotot kalau busnya masih kosong, kosong, dan kosong…! Sudah kepalang tanggung dah. Berdiri ya berdiri...!

Akhirnya kami pun naik bus ini.
Sumber gambar: nananghimawan.wordpress.com
           Di dalam bus, kondisinya benar-benar… gimana, ya? Kalau saya sih menyebutnya kurang manusiawi. Terlebih ucapan kondekturnya yang tergolong agak kasar (konsekuensi kerasnya kehidupan jalanan). Di dalam bus sendiri hampir tak ada celah sedikitpun. Bahkan untuk yang berdiri sekedar menggerakkan kaki pun susah. Saya sendiri terpisah dengan teman-teman lain. Angga, Ahmad, Ivan, dan Mohali bisa agak masuk ke bagian tengah bus. Sedangkan saya kebagian di dekat pintu belakang dengan Philip, itu pun saya sudah sama sekali tak bisa melihat wajah Philip karena sudah tertutup oleh berbagai macam wajah penumpang yang ekspresinya semuanya cenderung sama, SUMPEK! Bus yang kamia naiki ini adalah bus jurusan Surabaya-Jogja. Tapi karena kami naiknya dari Ngawi, tarifnya jadi cuma 20 ribuan.
Entahlah bagi kawan-kawan yang lain, tapi bagi saya hiburan yang 'agak' terasa di dalam bus adalah AC bus yang Alhamdulillah masih cukup terasa meskipun penumpangnya sudah sesesak ini. Hiburan lainnya dalah saya masih bisa cukup leluasa melihat pemandangan di luar dari jendela bus yang memang cukup besar dan bening. Meskipun demikian, tapi saya tetap jengkel juga. Pasalnya, setelah mengira bahwa perjalanan ini sudah tertempuh cukup jauh, ternyata perjalanan ini masih saja berkutat di daerah Jawa Timur. Ya, masih saja di sekitaran Ngawi situ. Masya Allah… Ini Ngawi-nya yang terlalu luas wilayahnya, atau karena busnya yang lajunya terlalu lambat, ya? Berkali-kali bus juga berguncang cukup hebat karena menggilas jalan yang tak lagi rata aspalnya. Penderitaan saya semakin bertambah ketika ada anak kecil di depan saya muntah. Saya ogah ngelihatnya, saya memilih merem saja. Hingga akhirnya anak kecil itu tertidur pulas di pangkuan ibundanya, saya baru mau membuka kembali mata saya.
                Setelah berjalan sekian lama, Alhamdulillah akhirnya mata ini menangkap sesuatu yang berbeda di dunia luar sana. Di papan-papan nama toko pinggir jalan, tertulis kata ‘Sragen’. Alhamdulillah akhirnya kami telah keluar Jawa Timur dan menyeberang ke Jawa Tengah! Sudah di Jawa Tengah, setidaknya Jogja sudah sedikit lebih dekat. Di Sragen ini saya bisa agak sedikit maju mendekati teman-teman saya yang ada di tengah bus. Dan masih seperti yang tadi-tadi, mata saya tetap mengawasi pemandangan di luar bus, siapa tahu sudah berganti kota, siapa tahu sudah masuk wilayah kota Solo. Tapi yaahhh… ternyata Sragen juga cukup luas wilayahnya. Saya pun mencoba memejamkan mata, mencoba tidur meski harus sambil berdiri dan berpegangan pada rak bagasi bus.
                Hingga akhirnya sampailah rombongan kami ini di terminal Tirtonadi, Solo. Alhamdulillah ternyata banyak juga yang turun. Saya pun akhirnya dapat tempat duduk juga. Saya duduk tepat di sebelah jendela, di sebelah saya ada Angga dan Philip, di kursi depan ada Ivan dan Ahmad. Sedangkan di kursi seberang ada Mohalli yang ternyata bisa collapse juga menghadapi kondisi bus semacam ini, padahal dia kan doyan sesumbar dengan bertingkah sok jagoan, hehe… Saya sendiri merasa sedikit familiar dengan Kota Solo ini karena beberapa waktu yang lalu saya juga baru saja mengunjungi kota ini ketika hendak mendaki Gunung Lawu bersama rekan-rekan saya yang tinggal di daerah Sukoharjo.

Terminal Tirtonadi, Solo.
Sumber  gambar: http://id.wikipedia.org/wiki/Terminal_Tirtonadi
           Selepas Solo, kondisi bus semakin lengang. Tapi ketika sampai di daerah Klaten, ada kejutan tak terduga dari seorang penumpang yang duduk di belakang. Dia mendadak muntah disertai suara yang betul-betul menjijikkan. Sebelum muntah, terdengar suara letupan-letupan seperti air mendidih, lalu… hhhwwuuuweghhhs,… byorr….!! Awalnya saya mengira kalau sudah cukup sampai di situ saja acara muntah-muntahnya, tapi terus berlanjut berkali-kali hingga bus ini hampir sampai di daerah Prambanan. Batin saya, kok orang itu muntah-muntah terus tapi kok nggak mati, ya…? $^%&*&*%%%. Di daerah Klaten barusan, bus yang saya tumpangi ini melintas di dekat pabrik gula (PG) yang masih ada rel lorinya. Saya yang lagi eneg sama orang muntah barusan itu langsung kembali terhibur melihat lori di pabrik gula itu. Soalnya saya kan emang pada dasarnya menyukai sesuatu yang berbau kereta api, tak terkecuali lori tebu.
        Sekitar jam 4 sore, akhirnya sampailah rombongan saya ini di terminal Giwangan, Jogjakarta. Perjalanan yang sebenarnya kalau lancar seharusnya bisa ditempuh sekitar 8 jam saja, tapi harus molor sedemikian lamanya. Jadilah kami harus merevisi total rencana perjalanan. Akhirnya kami hanya akan berjalan di Malioboro saja, tak ada lagi acara lanjutan melakukan paket anak SD; jalan-jalan ke Parangtritis, Candi Borobudur, atau Candi Prambanan. Entah kurang bijak atau entah kasihan… yang terpenting dari itu semua adalah rencana ke Jogjakarta telah terpenuhi. Kami sudah sampai di Kota Gudeg ini meskipun belum ngerti rencana ke depan mau apa. Saking capeknya, juga karena sedang dalam modus penghematan baterai, saya sudah tak terpikir lagi untuk memutar lagu ‘Yogyakarta’-nya Kla Project yang biasanya selalu saya dengarkan lewat hape ketika saya sampai di kota Jogja.

Terminal Giwangan, gerbang kota Jogja.
Sumber gambar: yogyes.com
Setelah istirahat sejenak di musholanya terminal Giwangan, perjalanan kembali dilanjutkan menuju Malioboro menggunakan bus Trans Jogja (TJ). Saya sedikit lupa kemarin itu naik TJ koridor apa, entah 3B atau apa, pastinya rombongan saya ini sempat oper juga di salah satu haltenya. Di dalam bus Trans Jogja, rombongan saya ini bisa dibilang adalah rombongan yang paling rame, gaduh, norak, atau apalah namanya itu…, haha… Maklumlah sebagian besar di antara kami ini memang sudah sangat jarang sekali naik kendaraan umum, apalagi bareng-bareng, di kota orang pula. Jadi ya mohon maaf ya bagi penumpang-penumpang lain kalau kelakuan kami rada minus…, he..he.. Hari sudah mendekati senja ketika bus TJ yang kami tumpangi merapat di halte Taman Pintar. Suasana waktu itu sangatlah ramai. Maklumlah memang sedang bertepatan dengan weekend di tengah-tengah liburan akhir tahun. Yang paling bikin enak adalah cuaca yang Alhamdulillah sedang cerah ceria, soalnya biasanya di bulan Desember kan hujan suka turun dengan intensitas deras bukan kepalang. Jadinya jalan-jalan di Malioboro sore itu bisa dibilang cukup menyenangkan meski harus berjejalan dengan sesama turis plus beraneka macam pedagang yang menggelar dagangannya di situ.
Sholat Maghrib kami lakukan di sebuah masjid di dekatnya Pasar Beringharjo. Nah, di masjid ini saya sempat kehilangan sandal, tapi Alhamdulillah setelah memicing-micingkan mata dan meneliti dengan seksama sandal-sandal yang berserakan di beranda masjid akhirnya sandal yang sudah menemani saya ke mana-mana itupun ketemu juga. Selepas sholat Maghrib, acara dilanjutkan dengan menyusuri jalanan mencari sesuatu yang bisa dijadikan sebagai santapan makan malam. Seperti biasa, kalau sudah menyangkut soal makanan pasti akan timbul suatu ‘tantangan’ tersendiri yang cukup rumit. Pasalnya, saya gak bisa makan sembarangan makanan alias cenderung pilih-pilih menu. Jadinya cukup lama juga kami mencari tempat makan yang sekiranya pas di kantong tapi tetap dapat memenuhi selera semua personel. Akhirnya daripada susah-susah, saya pun dengan senang hati mempersilahkan mereka makan. Maka disepakatilah makan malam dilakukan di sebuah warung lalapan di salah sutu sudut jalan Mayor Suryotomo dekatnya hotel M*lia. Di warung itu, temen-temen saya pada makan malam, sedangkan saya nggak. Lho, kenapa? Jujur saja saya masih kenyang makan nasi goreng perbekalan saya di terminal Giwangan tadi sore. Cukuplah segelas teh panas manis melegakan kerongkongan, perut, sekujur tubuh, dan tentunya psikis, haha. Lebay, ya? Ya… boleh dibilang gitulah. Teh manis panas itu memang bagi saya selalu punya efek menenangkan dan mengenyangkan tanpa membikin ketagihan. Saya menikmati segelas teh itu di luar warung sambil ngobrol dengan seorang bapak berwajah oriental yang mengaku berasal dari Gresik. Seperti biasa, kalo udah ngomong sama orang yang lebih tua, apalagi kalo yang diomongkannya seputar agama, pasti saya langsung jadi Yes Man yang hanya bisa menjawab ya…, ya…, ya…, dan ya…, tanpa bisa berargumen macam-macam. Yang bikin saya rada kaget bercampur heran adalah si bapak itu ternyata nginapnya di hotel megah di seberang jalan, tapi malah beli makan malamnya di warung lalapan pinggir jalan.
Puas karena perut telah terisi, acara kembali dilanjutkan dengan mencari masjid untuk sholat Isya. Tak perlu berputar terlalu lama, masjid pun akhirnya tercapai juga di seberang jalan. Setelah Sholat Isya, dilakukanlah perundingan yang prinsipnya akan menentukan enaknya malam ini kami nginap di mana. Akhirnya diambillah keputusan bahwa Angga, saya, Philip, dan Ahmad akan mencari penginapan terdekat dari masjid ini, sementara Ivan dan Mohalli tetap stay di masjid. Mulailah saya bersama ketiga rekan ini menyusuri jalanan mencari penginapan yang rata-rata ternyata sudah penuh semua (maklum weekend, pas liburan pula). Para tukang becak yang kami tanyai pun rata-rata memberikan jawaban yang sama, penginapan sudah penuh semua. Secara berseloroh, Philip bilang, “Nginep di situ aja… kamarnya pasti masih ada… (sambil nunjuk ke hotel mewah)”. Yang kemudian dijawab Angga dengan berseloroh juga, “Yo gak popo ndek hotel kono masio mbeber kloso tok ndek terase”. Ahmad pun kemudian mengusulkan ide yang tidak bisa dibilang memecahkan solusi. Ahmad bilang, “Rek… yaopo kalo nginep di Sarkem..? Gak apa-apa wes nginep di situ, tapi ya jangan kaget kalo nanti ndenger suara aneh-aneh (aneh-anehnya dikasih tanda kutip)”.
Langkah kaki kembali terayun, tapi tentu saja bukan untuk mencari hotel berbintang untuk diinapi meskipun hanya dengan menggelar tikar di berandanya, apalagi menginap di daerah Sarkem yang konon identik dengan ‘begituan’. Sekalian saja perjalanan dilanjutkan menuju Malioboro. Nah, di Malioboro ini acara yang sebelumnya ditujukan untuk mencari penginapan murah, mendadak menguap begitu saja dan berubah menjadi acara jalan-jalan. Kalau saya sih jujur saja tak berminat sama sekali jalan-jalan dan mencari oleh-oleh di situ karena toh sebelumnya saya bisa dibilang cukup sering kok main ke Jogja sendirian, apalagi ke daerah Malioboro ini. Nah, sebelum semuanya berpencar hendak nyari barang oleh-oleh, datanglah message dari dua rekan kami yang menunggu di masijd. Mereka bilang bahwa masjidnya akan ditutup tepat jam 8 malam. Wah… gimana, ya…? Akhirnya dua rekan kami itu kami suruh nyusul saja menyusuri jalan ke arah barat ke Malioboro. Menyebutkan nama mata angin ini ternyata sama sekali tidak membantu soalnya Ivan orangnya agak buta arah. Kemudian disepakatilah bahwa Angga dan Philip akan pergi menjemput Mohalli dan Ivan ke masjid, sedangkan saya dan Ahmad menunggu kedatangan mereka di Malioboro sini. Sejenak problem terpecahkan, meskipun pada akhirnya saya yang menunggu mereka sendirian soalnya Ahmad pamit mau nyari oleh-oleh juga. Yahh… tak apalah saya nunggu sendirian meskipun agak jengkel juga soalnya hape saya mati total dan saya nggak bawa Powerbank. Jadilah saya duduk bengong sendirian memandangi beragam wajah manusia yang memenuhi Maliooro malam itu. Dalam kesendirian saya itu, saya mencoba menghibur diri dengan membayangkan cantiknya Mary Elizabeth Winstead yang kemaren sebelum berangkat saya tonton film Final Destination 3-nya. Kadang terselip juga bayangan wajah kapten-kaptennya JKT48 yang ya… begitulah, haha…

Suntuk... Jadi ngebayangin mereka..., haha
SKIP... SKIP... SKIP...!!!

Setelah menunggu sekitar setengah jam, barulah semua personel berkumpul kembali. Kembali teringat pula bahwa kami masih belum menemukan tempat bermalam. Di saat ini, suasana sedikit memanas mengingat semuanya pada bingung mengingat suasana semakin malam padahal kami belum menemukan tempat bermalam padahal kami juga belum jalan-jalan beli oleh-oleh. Sementara masjid yang menjadi harapan terakhir untuk diinapi tak mungkin semuanya buka 24 jam. Akhirnya disepakatilah bahwa empat orang (Angga, Ahmad, Phillip, dan Mohalli) jalan-jalan beli oleh-oleh sementara saya dan Ivan kebagian tugas nyari penginapan. Ini pun juga tak langsung menjadi mudah, soalnya Ahmad dan Angga yang paling pintar bernegosiasi tetap bersikukuh memilih untuk jalan-jalan, jadinya nanti pasti bakal sulit ngomong ke pemilik masjid buat minta izin menginap. Di saat yang belum sepenuhnya kondusif ini, tiba-tiba Ivan nyeletuk, “Okelah nggak apa-apa biar saya sama Adif aja yang nyari masjid. Kita berdua memang nggak ada yang pinter negosiasi, tapi daripada Adif, aku yang lebih pinter buat negosiasi”. Jderr…!!! Jujur saja saya sakit hati dan merasa direndahkan dengan ucapannya Ivan barusan itu. Tapi ya sudahlah… daripada nanti kalau saya tanggapi berlebihan suasana jadi semakin nggak enak, saya mencoba sabar aja dah…
Rombongan pun pecah menjadi dua. Empat orang menuju ke arah selatan ke arah keraton, sementara saya berdua dengan Ivan menyusuri trotoar Malioboro ke arah utara. Sebenarnya saya sudah punya bayangan mau menginap di masjid mana, makanya saya yakin langsung menuju ke arah utara. Yang bikin saya nggak yakin adalah bahwa apakah masjid itu masih dibuka apa sudah ditutup jam 9-an begini. Dan ternyata Alhamdulillah masjidnya belum ditutup. Bahkan di dalam masjid masih ada beberapa orang yang sholat, tiduran, atau ngobrol. Berhubung saya sama Ivan tadi sudah sholat Isya, ya sudahlah kami langsung rebahan aja, ngaso sejenak sambil nuggu teman-teman datang ke sini.
Nah ini dia yang agak bikin jengkel, waktu Ivan saya suruh menemui takmir masjidnya buat minta ijin bermalam, eh… dia sama sekali nggak bergerak. Padahal dia sama sekali belum ketiduran lho. Saya tegur lagi dia tetap tidak menjawab. Saya pun menarik nafas panjang karena toh akhirnya saya juga yang harus turun tangan. Tak apalah, saya pun langsung mendatangi kantor takmirnya sendirian saja, tanpa Ivan yang nggak tahu sedang ngapain itu. Setelah saya ketuk berkali-kali ternyata tak ada jawaban, tak ada seorang pun yang membukakan pintu. Okelah saya tunggu sebentar dan kembali ngobrol-ngobrol sama Ivan.  
Beberapa saat kemudian, lampu masjid mulai dimatikan satu persatu. Orang-orang yang tadi ngobrol-ngobrol pun langsung bergegas keluar dari masjid. Bersamaan dengan itu, datanglah seorang bapak yang sepertinya adalah petugas takmirnya. Langsung saja saya kembali mencolek Ivan untuk memintakan ijin pada sang bapak. Tapi Ivan kembali terdiam, seolah ogah memintakan ijin. Masya Allah… ternyata beneran saya ya yang harus turun tangan? Okelah… saya pun mendatangi si bapak, yang ternyata memperbolehkan rombongan kami untuk menginap di sini asalkan besok harus sholat subuh. Syarat yang begitu gampang! Okelah, Pak.! Makasih banyak, ya… Tapi ternyata yang rada bikin nyesek, pintu pagarnya ternyata sudah dikuncinya, dan beliau tidak berkenan membukakan pintu untuk keempat teman kami yang sekarang masih berada di mana.
Yah… sudahlah… Saya pikirkan itu nanti saja. Saya pun kembali ngobrol sama Ivan sambil memendam rasa jengkel padanya. Udah tadi ngerendahin saya dengan mengatakan kalau dia lebih pintar dari saya soal negosiasi, tapi ternyata ketika saya minta turun untuk ngomong minta ijin ke takmir saja dia tak bergerak sama sekali. Bahkan berkilah katanya dia paling nggak mau kalau harus meminta mengiba-iba ke orang lain. Lha tadi emangnya ngapain ngaku-ngaku kalo pinter nego kalo ternyata saya juga yang harus turun tangan? Udahlah… toh akhirnya sudah saya mintakan ijin, tinggal mikirin saja gimana nasib keempat teman kami itu. 
Saya pun ngobrol sama Ivan sampai ketiduran. Maklum capek luar biasa setelah tadi berdiri berjam-jam di dalam bus mulai dari Ngawi sampai Solo. Barulah sekitar hampir tengah malam Ivan membangunkan saya, katanya dia diusir takmirnya masjid gara-gara memintakan ijin untuk membukakan pintu gerbang masjid bagi keempat kawan kami yang baru datang. Yahh… berhubung dia diusir, maka agak nggak mungkin juga saya nginap di masjid ini seorang diri. Saya pun dulu ingat banget, sekitar tahun 2008 pernah juga backpacker-an sendirian di Jogja dan nginap sendirian di masjid ini. Tapi tentu soalnya lain karena waktu itu saya murni sendirian alias sama sekali nggak bawa teman. Tapi berhubung sekarang kami berombongan, maka senang maupun susah pun akan lebih baik kalau ditanggung bersama. Sebenarnya masjid itu punya dua jalan masuk, yang pertama adalah gerbang utama yang sudah dikunci oleh takmirnya, sementara jalan lain yang adalah melalui gerbangnya gedung DPRD yang masih dibuka dan dijaga beberapa orang.
Saya dan Ivan pun langsung bergabung dengan keempat kawan yang menunggu di gerbang DPRD itu. Atas saran orang yang menjaga gerbang itu, maka diputuskan bahwa mala mini kami akan menginap di musholanya kantor polisi. Wah… saya pun langsung setuju, yang lain pun juga setuju, tapi ternyata Mohalli yang entah kenapa punya trauma sama polisi itu kurang berkenan dengan keputusan bersama ini. Dia bersikeras mau ngajak rombongan kami ini tidur ngemper di pinggir jalan saja soalnya kan Malioboro ramai sampai pagi jadi aman-aman saja. Usulannya tentu kurang bisa diterima semua peronel karena semuanya pasti sudah capek berat dan pengen mendapatkan tempat istirahat yang agak layak. Sempat terpikir juga untuk mencari masjid lagi, tapi usulan ini pun langsung menguap mengingat ini sudah tengah malam dan hampir tak mungkin ada masjid yang masih buka. 
             Dengan langkah sedikit terpaksa, dan setelah dibujuk ini itu oleh Ahmad, Mohali pun ikut juga dengan rombongan menuju kantor polisi. Berbekal KTP jaminan milik Angga pun, malam ini akhirnya kota mendapatkan tempat menginap. Gratis pula. Akhirnya kami pun langsung rebahan di emperan masjid. Lumayan nyaman juga meskipun punggung ini harus langsung bersinggungan dengan dinginnya lantai. Lha, kok nggak di dalam masjid saja? Kan enak ada karpetnya? Soalnya pak polisi yang tadi dimintai ijin itu hanya memperbolehkan rombongan kami tidur di emperan masjid. Pak polisi itu juga sempat membuat Angga dan saya jadi agak merasa kurang nyaman soalnya beliau menanyai saya dan Angga bermacam hal dengan nada seperti mereka sedang menginterogasi maling ayam (@!$#%#^&^#%#$^^#). Baru ketika kami hampir tertidur, datanglah seorang polisi lain yang jauh lebih ramah. Beda dengan polisi yang tadi, pak polisi yang ini malah menyuruh kami tidur di dalam masjid saja soalnya lebih nyaman karena ada karpetnya, atau setidaknya kalau memang mau tidur di beranda, dia menyarankan untuk mengambil tikar di rak masjid. Suatu saran yang menyenangkan! Tapi sepertinya memang tidur di emperan musholla kantor polisi ini sudah lebih dari cukup untuk beristirahat mengembalikan kondisi tubuh. Di akhir percakapan, pak polisi ramah itu malah memuji keputusan kami untuk bermalam di kantor polisi apabila kemalaman di perjalanan. Suatu langkah yang pas apabila nanti akan backpacker-an lagi dengan budget yang terbatas! Oh, iya. Hampir saja lupa. Sebelum tidur, Ahmad berinisiatif untuk menelepon bengkel di Ngawi untuk menanyakan keadaan mobil, yang ternyata Alhamdulillah sudah selesai. Okelah… let’s go to the dream world…! Zzzzzzzzzzz

MINGGU, 29 DESEMBER 2013
                Pagi pun datang, dan rencana pun kembali disusun. Setelah berunding beberapa saat, maka diambillah keputusan bahwa hanya akan ada tiga orang saja yang berangkat ke Ngawi untuk mengambil mobil, sedangkan sisanya yang tiga orang lagi langsung pulang menuju Malang. Bukan tanpa alasan memecah rombongan menjadi dua. Mengingat kondisi mobil yang kondisinya sepertinya sudah jauh dibawah 100 persen, maka beban mobil pun perlu dikurangi dengan cara membagi personel. Ivan, Philip, dan Ahmad-lah yang berangkat ke Ngawi naik bus. Sedangkan saya, Angga, dan Mohalli langsung menuju ke Malang. Untuk mempersingkat waktu perjalanan, saya pun mengusulkan untuk mengajak Angga dan Mohalli naik kereta api saja. Soalnya kalau untuk jurusan Jogja-Surabaya naik kereta api itu konon jauh lebih cepat apabila dibandingkan dengan naik bus. Ternyata Angga dan Mohalli setuju. Setelah berpamitan dengan Ahmad, Ivan, dan Philip, saya bersama Angga dan Mohalli pun bergegas meninggalkan kantor polisi untuk mengejar kereta api Sritanjung jurusan Surabaya yang seingat saya berangkatnya pukul setengah 8 pagi.
                Untuk mempersingkat waktu menuju stasiun Lempuyangan, kami pun mencoba menawar becak yang ternyata tarifnya… 50ribu untuk tiga orang! Tentu saya kaget, soalnya harga 50ribu itu sama dengan harga tiket kereta Sritanjung jurusan Lempuyangan-Surabaya yang akan kami naiki. Saya tidak tahu harga segitu itu sebenarnya wajar apa nggak, tapi pak becaknya yang memang sudah agak tua beralasan bahwa jalan menuju Lempuyangan itu naik turun. Jadi beliaunya mungkin wajar mematok tarif sebesar itu. Kami pun tidak jadi naik becak dan memilih berjalan kaki saja menuju stasiun Lempuyangan, toh jarak dari daerah Malioboro ke stasiun khusus pemberangkatan kereta api ekonomi itu tidak terlalu jauh.

Suasana Malioboro di pagi hari.
Sekitaran jembatan Kewek.
Sekitaran stasiun Lempuyangan
                Setelah memacu langkah secepat mungkin, sampailah langkah kaki kami di stasiun Lempuyangan. Dan ternyata… tiket untuk tujuan Surabaya semuanya sudah ludes! Yahhh… gimana nih? Akhirnya keputusan pun kembali diambil, ya sudahlah kami berangkat naik bus saja bersama Ahmad, Ivan, dan Philip. Tapi sebelum kembali ke Malioboro untuk menemui mereka, kami pun mengisi perut dulu dengan menu sarapan. Sarapan bertiga, menunya pun berbeda-beda. Angga memilih gudeg, Mohalli memilih soto, sedangkan saya tetep… mi instan saja, he..he… Puas sarapan, kami pun bergegas kembali menuju Malioboro. Mohalli yang agak collapse sebenarnya dianjurkan Angga untuk naik ojek seorang diri saja, tapi dia ogah-ogahan. Di suruh naik becak sendirian juga tetep saja ogah-ogahan. Akhirnya kami menyewa dua becak. Saya berdua dengan Mohalli do ebcak pertama, sedangkan Angga sendirian di becak kedua. Setelah tawar menawar, akhirnya masing-masing becak disepakati tarifnya sebesar 20 ribu. Selama di perjalanan naik becak, komunikasi tetap dilakukan bersama ketiga rekan yang sedang menunggu di Malioboro, dan disepakatilah bahwa nanti kami akan bertemu di benteng Vredenburg.
                Saya sudah lupa sudah berapa tahun ya saya nggak naik becak, tapi jujur saya cukup senang bisa kembali merasakan naik becak, apalagi di kota orang. Apalagi di Jogja, pagi pula… Kesan saya tetap sama, Jogja di kala pagi memang eksotis! Entah kenapa saya pribadi merasakan bahwa sejak datang ke Jogja kemarin sore, baru ketika naik becak inilah saya ngerasain acara rekreasinya. Setelah menikmati jalanan Jogja sekitar 15 menitan, sampailah kami di daerah Taman Pintar. Awalnya sih sebenarnya mau langsung ke Malioboro, tapi ternyata Malioboronya sedang ditutup soalnya sedang ada acara senam pagi. Tak apalah… toh benteng Vredenburg di Malioboro juga sudah dekat, tinggal nyebrang dan belok ke arah utara saja.


No comment, haha

Mirip angka 10 ya...,  haha

No comment, haha
               Di salah satu sudut perempatan, ada dua orang cewek sedang bernarsis-narsis ria bersama kamera DSLR-nya. Tahu-tahu dua cewek itu mengarahkan lensanya ke arah rombongan saya. Naggung banget, akhirnya saya ajak foto bareng saja yang ternyata mereka sambut dengan senang hati, hehe… Sayangnya belum sempat ngajak mereka kenalan lebih jauh, Ahmad dkk sudah keburu datang setelah sebelumnya ikutan senam. Akhirnya rombongan pun kembali  lengkap berenam. Langsung saja kami menuju halte Trans Jogja untuk menuju terminal Giwangan.  

No comment, haha
Lho, apaan nih..???
Di dalam halte bus trans Jogja
Di terminal Giwangan, saya menyempatkan diri untuk sekali lagi menyeruput teh hangat plus jamu cair penolak angin, ya… sekedar jaga-jaga biar nanti nggak ambruk di perjalanan. Angga pun juga sedang putar-putar nyari orang jualan bakpia pathok yang ternyata belum kunjung didapatkannya meskipun semalam sudah jalan keliling Mlaioboro (@#%$&^*^*%^%$). Oke, personil pun kembali lengkap. Kali ini kami naik bus Sugeng Rahayu, salah satu bus yang satu grup dengan bus Sumber ******* yang ‘track record’-nya udah nggak perlu ditanya lagi, he..he… Pukul 07.40, bus pun berangkat dari terminal Giwangan. Saya duduk diapit Angga yang ada di sebelah jendela, dan juga Mohalli di dekat jalan kecil di tengah bis. Di depan saya ada Ivan dan Philip. Lho, Ahmad ke mana? Ahmad milih duduk di depan saja. Sepertinya dia agak nggak cocok duduk di bagian belakang karena konon bagian belakang bus itu berpotensi membuat seseorang jadi muntah. Tarif bus Jogja-Surabaya sebesar 47 ribu. Tarif yang sangat terjangkau! Bahkan lebih terjangkau daripada tarif becak dari Malioboro menuju stasiun Lempuyangan yang tadi tidak jadi saya naiki tadi itu, hehe

Pulangnya naik bis ini.
Sumber gambar: posumbergroup.wordpress.com 
Perjalanan pulang cenderung lancar meski sering berhenti gara-gara lampu merah. Mata kembali saya arahkan ke luar jendela bus, mencoba mencari-cari pabrik gula yang kemarin berhasil menyembuhkan rasa eneg saya gara-gara ada orang muntah. Sementara itu, Angga dan Mohalli lebih memilih untuk tiduran. Barulah sekitar hampir jam setengah sebelas siang, bus memasuki terminal Tirtonadi di kota Solo. Di terminal ini saya melihat bus-bus super mini yang sepertinya belum pernah saya temui di kota lain. Nama busnya pun aneh-aneh, yang sebagian juga menggunakan nama orang yang mungkin saja adalah pemilik PO-nya. Sayang sekali kondisi terminal ini juga luput dari jepretan karena memang tak ada yang membawa kamera, dan semua personel pun sedang dalam mode pengiritan baterai hape. Mohalli sempat juga jajan martabak yang kemudian dibagikannya ke saya dan Angga. Seorang pengamen kemudian masuk ke dalam bus. “Wih sangar rek sing ngamen…”, ulas Angga. Si pengamen memang bertampang rocker, berbaju serba hitam, muka agak rusuh dengan rambut super gondrong. “Itu kayak John Paul Ivan gitarise Boomerang…, eh nggak sih… anu… koyok Roy Jeconiah….!”, timpal saya. Dan ternyata bener saja si pengamen sepertinya memang seorang ‘Boomers’, dia nyanyi lagunya Boomerang yang judulnya Pelangi. Suara dan cengkoknya pun mirip banget sama Roy Jeconiah vokalisnya Boomerang. Tapi yang rada ‘nggapleki’, ternyata menyanyinya bahkan nggak sampai di reff. Begitu tuh dia nggak malu lho narikin uang ke para penumpang. Oh iya, hingga Solo ini, kondisi bus masih cukup lengang.
Selepas terminal Tirtonadi Solo, sudah tak ada lagi hal-hal yang dapat menarik perhatian saya. Jadi saya pun memilih tidur, sama seperti yang dilakukan Angga dan Mohalli sedari berangkat tadi. Saya baru bangun kembali ketika sudah hampir sampai di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Cukup lama juga saya mengobrol dengan Angga hingga akhirnya berhentilah bus di perempatan dekat terminal lama kota Ngawi. Di sini Ahmad, Ivan, dan Philip berpamitan turun untuk mengambil mobil ke bengkel, lalu melanjutkan perjalanan  ke Jombang mengembalikan ban serep pinjaman sebelum pulang menuju Kota Malang. Tak berhenti terlalu lama, bus pun kembali berangkat. Dan dari celetukan Angga, akhirnya timbullah istilah Tim Espass untuk ketiga kawan yang ngambil mobil di Ngawi tadi, dan juga Tim Sugeng Rahayu untuk menyebut rombongan kami yang tetap melanjutkan perjalanan dengan bus ini. Di Ngawi inilah, penumpang mulai ramai.
Perjalanan pun berlanjut melintasi daerah kabupaten Madiun yang ternyata baru saja saya tahu banyak pabrik gulanya. Saya pun kembali mendapatkan hiburan karena di PG-PG itu masih ada kereta lorinya. Di daerah ini bus kembali sering bertemu dengan lampu merah yang membuatnya juga sering berhenti. Penumpang kembali memenuhi bus ketika bus berhenti di terminal Maospati dan juga terminal Madiun. 
           Hari semakin siang, tapi sepertinya Surabaya sepertinya masih begitu jauh. Entah sudah berapa jam lamanya telinga ini tak mendapatkan sedikitpun asupan hiburan. Tak ada lagu “Far Away From Home”-nya Groove Coverage atau “Somewhere Only We Know”-nya Keane yang mengalun ke telinga saya sebagai akibat dari wafatnya baterai hape saya, hiks.. hiks.. hiks… Di daerah hutan jati Madiun, bus kembali disesaki oleh penumpang. Saya dan Angga kembali menakar-nakar waktu, kira-kira jam berapa nanti kami bakal sampai di Surabaya? Soalnya rencananya kan nanti sesampainya di Surabaya kami bakal ganti kereta api Penataran Ekspress yang berangkatnya sekitar jam 5 sore dari stasiun Gubeng. Di daerah hutan jati Madiun, bus kembali disesaki oleh penumpang. Saya dan Angga kembali menakar-nakar waktu, kira-kira jam berapa nanti kami bakal sampai di Surabaya? Soalnya rencananya kan nanti sesampainya di Surabaya kami bakal ganti kereta api Penataran Ekspress yang berangkatnya sekitar jam 5 sore dari stasiun Gubeng. 
Kota-kota kecil di sepanjang perjalanan pun terlewati. Nganjuk, Kertosono, Jombang, dan Mojokerto pun akhirnya tertempuh juga ketika hari sudah semakin sore. Selepas Mojokerto ini, bus sempat masuk ke dalam pool-nya untuk ganti sopir. Perjalanan pun berlanjut, saya beserta kedua rekan saya mulai pesimis bisa sampai di terminal Purabaya sebelum jam lima sore. Dan memang benar… bus yang kami tumpangi ini baru sampai di terminal Purabaya sekitar pukul 17.50. Masya Allah… ternyata naik bus Jogja-Solo memang waktu tempuhnya luar biasa lama, sekitar 10 jam lebih! Pantat rasanya panas luar biasa, kakipun rasanya susah digerakkan karena terlalu lama tertekuk karena ketika duduk. Bahkan kereta api ekonomi jurusan Surabaya-Jogja yang sering berhenti pun ‘hanya’ makan waktu  sekitar 7 jam saja. Tentu perjalanan naik bus selama 10 jam itu membuat saya kaget soalnya saya biasanya kalau ke Jogja naik kereta hanya butuh waktu tujuh jam.
Karena sudah telat, kami pun tak jadi naik kereta menuju Malang, tapi kami cukup terhibur dengan TV di terminal yang menayangkan kemenangan Arema 6-1 melawan tim asal Thailand dalam event Trofeo Persija. Tanpa ba, bi, bu, kami pun langsung naik bus Restu Panda jurusan Malang. Bus ekonomi AC ini memang adalah favorit saya. Sebenarnya Angga agak kurang sreg dengan bis ini, tapi berhubung yang tersedia dan siap berangkat ya tinggal bus ini sementara kami pengen cepat-cepat sampai Malang, jadi ya akhirnya kami pun naik bus ini.
Perjalanan Surabaya-Malang benar-benar di luar dugaan kami. Tadinya kami sempat menduga bahwa jalur menuju Malang akan macet total soalnya ini kan masih dalam rangka liburan. Tapi ternyata jalur menuju Malang sangatlah lancar. Malah mungkin tidak sampai dua jam bus kami ini sudah sampi di terminal Arjosari Malang. Syukur Alhamdulillah akhirnya kami kembali bisa menjejakkan kaki di kota Malang dengan selamat tanpa kurang suatu apa. Di pertigaan Taspen kami pun berpamitan untuk berpisah naik angkot ke tujuan masing-masing. Tak lupa juga kami mendoakan rekan kami ‘Tim Espass’ yang juga sedang berjuang pulang menuju Malang agar selalu diberi perlindungan dan keselamatan. Alhamdulillah mereka bertiga berhasil selamat sampai Malang, tapi naik bus. Lho kok naik bus? Mobilnya kemana? Mobilnya kembali masuk bengkel di Jombang gara-gara ada masalah dengan persnelingnya, tapi akhirnya berhasil juga dibawa kembali ke Malang dengan derek saat tahun baru kemarin.
Saya pribadi dalam catatan perjalanan ini memohon maaf sebesar-besarnya kepada rekan-rekan semua apabila ada perkataan atau tingkah laku saya yang sekiranya kurang berkenan selama dalam perjalanan. Melakukan perjalanan bersama-sama, akan membuat kita mengenali diri kita dan teman-teman kita lebih dekat, lebih jujur.
Sekian.

ultimate quotation

Tidak ada komentar:

Posting Komentar