Sabtu, 23 April 2016.
![]() |
Lakone: Angga, Saya (Adif). Philip, Ivan, Danang |
Setelah hampir 3
minggu rapat ini itu via Whatsapp,
akhirnya tanggal 23 April kemarin saya bersama teman-teman saya jadi juga
mengeksekusi hasil rapat itu. Dengan mobil sewaan, sekitar pukul 21.30 kami
meluncur ke Gunung Kelud via Blitar. Pemilihan rute via Blitar ini didasari
faktor safety, karena rutenya tidak
terlalu banyak tikungan dan tanjakan yang bikin was-was sekaligus mual seperti
kalau lewat Pujon. Soal lebih jauhnya jarak yang harus ditempuh tak jadi masalah, soalnya waktu
kami sangat surplus. Dari 24 jam waktu penyewaan, perkiraan hanya akan terpakai
sekitar tiga perempatnya saja. Kami memperkirakan akan sampai di gerbangnya
Gunung Kelud sekitar dini hari. Seperti
biasa, Philip menjadi sopir bergantian dengan Ivan. Sedangkan saya duduk di jok
kedua diapit Danang dan Angga. Kami
mampir dahulu ke rumah Philip untuk mengambil charger. Tak lupa pula kami ‘menjarah’ semua jajanan dan buah suguhan di
meja rumahnya Philip buat tambahan pengisi perut di jalan.
Perjalanan
menuju Blitar relatif lancar. Kami memilih melalui jalur yang melintasi tepian
bendungan Lahor. Ya, lagi-lagi memang agar lebih aman saja, pasalnya jalur satunya
yang melewati bendungan Karangkates memang berkelok-kelok, naik turun, gelap,
dan nanti pasti ketemu kendaraan-kendaraan berat. Sementara kalau lewat jalur
Lahor ini, jalurnya minim tikungan meski kadang tetap berkontur juga. Pemandangan
yang sempat tertangkap dari balik kaca mobil adalah…. orang pacaran di
kegelapan malam! Lampu-lampu temaramnya
memang ‘sangat mendukung’. Kami ternyata juga masih harus berbagi jalan
dengan sekumpulan pemuda kurang kerjaan yang menjadikan jalan raya sebagai
tempat trek-trekan. Selain itu, tidak
ada kendala apa-apa selain rasa lapar yang mulai menggerogoti perut kami.
Karenanya, sekitar jam 12 malam kami berputar-putar di sekitar alun-alun kota
Blitar untuk mencari warung makan.
Hal yang cukup
mengejutkan, ternyata malam di kota Blitar begitu hidup oleh warung-warung
pinggir jalan dan mereka yang nongkrong. Beberapa komunitas kendaran juga
tampak berkumpul dan memajang tunggangan kebanggaan mereka di tepian jalan. Lagi-lagi
kami juga masih bertemu dengan segelintir anak muda kurang kerjaan yang
menjadikan jalan raya sebagai arena balap liar. Yang bikin nggondok… ternyata dari balik jendela mobil kami sempat beberapa
kali melihat penampakan ‘kupu-kupu malam’. Lazimnya, mereka itu berjenis
kelamin betina, tetapi yang kami lihat kemarin itu kok ya yang berjenis kelamin sebaliknya. Wajah garang tapi bibirnya
bergincu, plus tak ragu juga memamerkan kaki gaharnya yang terbalut rok di
emperan toko. What the…! Tidak usah
dibayangkan! (hayo… pasti pada membayangkan ya..? Hahahaha…) Penampakan yang
sungguh sempat membuat heboh seisi mobil. Setelah berkeliling, sampailah kami
di sebuah warung yang menyajikan menu-menu ikan dan sayuran pedas. Semua pada
memesan makanan kecuali saya yang cuma memesan teh panas lantaran sudah membawa
bekal dari rumah.
Setelah mengisi
bensin di sebuah SPBU, perjalanan pun berlanjut. Di sebuah jalan desa, kami
sempat bingung mengambil arah di sebuah persimpangan. Tak ada seorang pun di
luar sana yang bisa ditanyai. Maklum memang sudah jam 1 malam. Tapi untunglah
sinyal internet masih cukup kuat sehingga kami masih bisa mengakses peta via
internet. Sekitar jam 2 dini hari, sampailah kami di sebuah rest area yang sepi. Tak tampak seorang
pun yang menjaga warung-warung di rest
area tersebut. Begitu sunyi dan gelap gulita. Langit malam sendiri sedikit berawan,
tetapi tetap terang-temaram oleh bulan purnama yang memancarkan cahaya nan
lembut. Setelah mengecek kondisi sekitar, Ivan, Philip, dan Danang kembali ke
mobil. Ivan dan Danang yang sama-sama membawa sleeping bag + matras sepakat untuk tidur di luar mobil. Sementara Philip yang sejak berangkat tampak kurang enak badan tampak
ogah mengikuti mereka yang tidur di tempat terbuka, dan memilih untuk tidur di
mobil bersama Angga dan saya. Seperginya Ivan dan Danang, dari luar mulai
terdengar rombongan lain yang datang dengan mobil. Lantaran saking ngantuknya,
kami jadi ogah mengecek di mana keberadaan mereka.
“Merepih alam…
…di malam berselubung kabut kelam
Wajah pun meredup…
… tercermin haus cahaya…”
(Merepih Alam - Chrisye)
…di malam berselubung kabut kelam
Wajah pun meredup…
… tercermin haus cahaya…”
(Merepih Alam - Chrisye)
Minggu, 24 April 2016.
"Kuhirup udara pagi
Bersama indah mentari
Kulalui hari ini
Dengan hati bersemi"
Bersama indah mentari
Kulalui hari ini
Dengan hati bersemi"
(Damai - Wayang)
Bunyi alarm di
hape saya seketika membangunkan seisi mobil. Tapi lantaran masih males keluar, akhirnya kami pun tidur
lagi. Sepertinya Ivan dan Danang di luar sana pun juga masih enggan beranjak
dari tempat tidurnya, yang berupa gazebo kecil berbentuk rumah panggung tanpa dinding. Entahlah dengan
mereka berdua, tapi saya pribadi merasa hawa di sini sama sekali tidak dingin
seperti lazimnya daerah pegunungan. Cukup susah juga mencari tempat buang hajat
di sini, karena toilet-toilet yang ada semua pintunya masih terkunci. Pun untuk
ber-wudlu, kami harus menggunakan air
(yang sepertinya) tampungan air hujan di tong-tong belakang warung. Sholat
subuh kami lakukan secara bergantian di gazebo kecil tempat Ivan dan Danang
tidur semalam. Belakangan baru kami sadari
bahwa ternyata salah kiblat!
![]() |
Rocky Mountain KW, he..9989x |
Setelah hampir
setengah jam memacu mobil melibas jalanan menanjak dan berliku, perjalanan kami
pun terhenti oleh hadangan seorang bapak. Pasalnya di depan kami terjadi
kecelakaan. Kami tak bisa mengorek informasi lebih jauh lantaran seorang bapak
petugas yang menghadang kami tersebut enggan memberikan keterangan lebih rinci.
Si bapak hanya menyuruh kami untuk turun dan baru boleh naik setelah proses
evakuasi selesai. Tanpa Danang yang tampaknya penasaran dengan kecelakaan itu,
kami dan kendaraan-kendaraan di belakang kami pun akhIrnya balik kucing. Dugaan
kami, pasti ada kendaraan yang nyelonong
ke jurang. Tapi kendaraan macam apa dan
penyebabnya kami belum tahu. Kami akhirnya memarkir mobil di depan sebuah
warung yang masih tutup, berdampingan dengan mobil lain. Warung di seberang
jalan juga dipenuhi oleh calon pengunjung yang tampaknya juga senasib dengan
kami.
Sempat bingung
juga mau ngapain. Akhirnya kami
membunuh waktu dengan ngobrol dan foto-foto. Beberapa kali kami melihat para
calon pengunjung berseliweran, tapi akhirnya balik kucing juga. Danang kemudian
datang, tapi tak memberikan informasi apa-apa. Ivan yang ternyata penasaran pun
akhirnya gantian pergi ke TKP, tapi tak berapa lama kemudian dia balik lagi
dengan air muka sedikit kecut. Pasalnya, dia barusan disemprot petugasnya
dengan perkataan yang kira-kira berbunyi, “Bukan urusan anda!” . Selepas
kedatangan Ivan, giliran Philip dan Angga yang pergi ke TKP (pengen disemprot
juga sepertinya, hahaha..). Saya pribadi males ikutan pergi melihat TKP. Selain
karena malas disemprot, lagipula saya bukan orang yang berkepentingan, juga
tidak kuasa untuk memberikan pertolongan. Jadinya saya tetap nongkrong di mobil
saja bersama Ivan dan Danang.
![]() |
Menunggu hingga batas waktu yang belum ditentukan |
![]() |
Calon pengunjung lain, 'rekan-rekan sepenantian' |
![]() |
Bekas aliran lahar Gunung Kelud |
![]() |
Hutan-hutan di sekitar bekas aliran lahar. |
Di bekas TKP,
Angga dan Philip pun naik ke mobil. Tak terlalu lama kemudian, kami mendapati
bahwa… ternyata dari TKP kecelakaan tadi hingga ke parkiran utama jaraknya tak
sampai 10 menit! Ah… sudahlah tak perlu disesali. Toh kami sudah sampai. Kami
pun langsung menuju warung yang tampak sepi dan memesan makanan. Tiket masuk per orang sebesar 5000 rupiah
saja, sementara tarif parkir mobil sebesar 10.000.
![]() |
Area parkiran utama Gunung Kelud |
Sempat juga kami
ketemu dengan serombongan keluarga yang membawa beberapa tas koper. Rasanya
memang janggal melihat orang mendaki gunung membawa tas koper. Oh ya, tapi ini
kan gunung untuk rekreasi keluarga, jadi sepertinya oke-oke saja kalau mau
membawa benda-benda di luar standard pendakian. Usut punya usut, ternyata
mereka hendak melakukan sesi pre wedding
di puncak sana. Ok, monggo, barangkali memang itu yang lagi trend. Kalau nikah harus pakai pre wedding. Ah sudahlah… Yuk dilanjut sarapannya..
Ivan, Philip, dan saya sebenarnya sudah pernah berkunjung ke gunung ini sekitar tahun 2009 dan 2010 lalu. Dua kali perjalanan itu, tak pernah sekalipun terencana dengan matang. Semuanya serba mendadak, tapi ternyata ya tetap bisa having fun. Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu, sekarang dari parkiran mobil, perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki dengan jarak sekitar tiga kilometeran. Alternatif lainnya adalah dengan naik ojek. Tapi tentu kami memilih berjalan kaki. Karena rencananya kan memang naik gunung, bukannya naik ojek. Medan perjalanan sendiri berupa jalan beraspal menanjak dan berliku yang diapit oleh jurang di kedua sisinya.
Ivan, Philip, dan saya sebenarnya sudah pernah berkunjung ke gunung ini sekitar tahun 2009 dan 2010 lalu. Dua kali perjalanan itu, tak pernah sekalipun terencana dengan matang. Semuanya serba mendadak, tapi ternyata ya tetap bisa having fun. Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu, sekarang dari parkiran mobil, perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki dengan jarak sekitar tiga kilometeran. Alternatif lainnya adalah dengan naik ojek. Tapi tentu kami memilih berjalan kaki. Karena rencananya kan memang naik gunung, bukannya naik ojek. Medan perjalanan sendiri berupa jalan beraspal menanjak dan berliku yang diapit oleh jurang di kedua sisinya.
![]() |
Jalanan yang menanjak, dengan angkutan ojeknya. |
![]() |
Mirip seperti di Isla Sorna di film-film Jurassic Park |
![]() |
Setinggi inilah kita harus berjalan, dan ini masih terus berlanjut. |
Sepanjang
perjalanan, kamu sering sekali bertemu dengan pengunjung yang mengenakan
kaos bertuliskan seperti ini :
![]() |
Memang sedang nge-hits |
Setelah berjalan
hampir satu jam (termasuk untuk foto-foto), sampailah kami di titik terjauh
yang bisa kami capai. Sepertinya jaraknya masih sekitar setengah jam dengan
area kawah yang sebenarnya menjadi tempat tujuan utama para pengunjung. Yup,
pengunjung memang tidak diperbolehkan berjalan lebih jauh lagi. Pasalnya, jauh
di depan sana sedang ada proyek perbaikan infrastruktur jalan menuju kawah
Gunung Kelud.
![]() |
Papan peringatan |
![]() |
Kalau tidak salah, di balik bukit dan di bawah tebing tinggi itulah letak kawah Gunung Kelud. |
Walhasil, setelah berjalan menanjak, di titik terjauh yang bisa
dicapai, pengunjung ‘hanya’ akan disuguhi pemandangan pengerjaan proyek. Kami jadi seperti sedang memantau progress sebuah proyek, hahaha... Tak mengapalah. Toh di
titik terakhir itu pengunjung juga masih bisa menyaksikan ‘sisa-sisa’ keindahan
Gunung Kelud, termasuk dasar jurang yang menjadi bekas aliran lahar, dan puncak
tebing tertinggi Gunung Kelud yang menjulang jauh di belakang area proyek. Semoga saja proyek perbaikan infrastrukturnya lekas selesai. Rombongan
pre-wedding tadi juga tak sungkan
(dan mungkin tak malu pula) untuk tetap menggelar acaranya di tempat yang
mungkin saja ternyata tak sesuai dengan yang mereka harapkan. Perjalanan turun kami tempuh lebih cepat
(kendati lebih capek juga, karena kaki jadi terlalu banyak menahan beban
tubuh). Kami sempat berpapasan dengan bule perempuan yang berpakaian agak
terbuka (dan pakai sepatu high heels!).
Dia tampak cuek saja meskipun menjadi pusat perhatian.
“They pave paradise…
...and put up a parking lot.
With a pink hotel, a boutique…
… and a swinging hot spot ”
(Big Yellow Taxi – Counting Crows)
Karena waktu
pengembalian mobil masih sangat lama (masih jam 9 malam nanti!), kami pun
sepakat untuk mencari destinasi lain. Dalam perjalanan, sering sekali kami
menemukan perkebunan buah nanas di kanan kiri jalan. Rumah-rumah di pedesaan
yang kami lintasi pun banyak yang ditanami buah berkulit keras itu di
pelatarannya yang luas. Sayang sekali kami tidak sempat mengabadikannya.
Kami memilih Candi Penataran lantaran
lokasinya satu jalur dengan arah perjalanan pulang kami. Sebenarnya bukan ke
candinya sih, tetapi ke pemandiannya.
Sebelum sampai ke lokasi pemandian, di sebuah titik kami sempat berhenti di
sebuah gapura (plus loket?) yang mengharuskan kami untuk membayar sejumlah
retribusi (Rp 3000/orang)untuk masuk ke kawasan Penataran. Cukup bikin nggondok juga, pasalnya ternyata di
lokasi pemandian kami masih harus membayar lagi sebesar lima ribu rupiah per
orang untuk masuk ke dalam kolam renang. Dengan hati yang sedikit mengganjal (tetapi
lantaran sudah terlanjur datang) akhirnya kami ya tetap ikut mengantri juga. Angga,
Ivan, dan Danang pun tanpa ba bi bu langsung
nyemplung ke kolam. Sedangkan Philip,
dia masih tanda tanya mau ikut berenang atau tidak. Kalau saya, sejak semula
memang tidak ada rencana berenang, jadi saya ya tidak ikutan nyebur ke dalam
kolam. Saya memang belum bisa berenang (dan tidak
membawa ganti daleman juga). Tetapi
meskipun tidak bisa berenang, kalau bawa ganti 'CD' saya biasanya pasti ikutan menceburkan
diri juga. Akhirnya saya cuma duduk-duduk saja di tepian kolam, menjaga barang
bawaan bersama Philip yang ternyata juga tidak ikutan berenang.
![]() |
Kolam renang Penataran |
Tak terlalu lama
kami berada di pemandian. Selepas dhuhur (dan tanpa makan siang), kami langsung
memutuskan pulang. Badan yang capek plus ngantuk
membuat seisi mobil tampak malas mampir-mampir ke tempat lain. Mobil yang sejak
dari Blitar dikemudikan Ivan lancar-lancar saja, akhirnya mengalami sedikit trouble di atas jembatan di bendungan Lahor.
Anehnya, ketika setir mobil diambil alih oleh Philip, mobilnya langsung mau
hidup lagi. Selanjutnya, perjalanan relatif lancar hingga kota Malang. Sesuai
estimasi saya, kami akhirnya sampai kembali di kota Malang selepas Asar.
“There are places I
remember…
All my life… those some have changes…
Some forever not for better…
Some have gone… and some remain…”
All my life… those some have changes…
Some forever not for better…
Some have gone… and some remain…”
(In My Life – The Beatles)
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapus