Sabtu, 31 Oktober 2015

Gowes to Remember Part 1: Sumber Jenon dan Kejutannya



Adakah yang tidak setuju?
Setelah seminggu sebelumnya gagal menemukan sumber air di daerah Buring seperti yang di-posting oleh rekan Ivan, maka acara sepedaan kali ini (24 November 2015) saya dan Ivan mengalihkan tujuan ke tempat lain. Ivan mendadak punya ide untuk ‘menapaktilasi’ sumber air yang menurut pengakuannya merupakan tempatnya membolos ketika jaman dia SD. Sumber air itu diyakininya juga berada di daerah Buring. Tetapi apabila sumber air itu tidak juga bisa ditemukan, maka tujuannya dialihkan ke Sumber Jenon di daerah Tajinan. Boleh juga usulan destinasinya.
Kami start dari rumahnya Ivan di daerah Sawojajar sekitar pukul 06.30. Sebelum berangkat, tak lupa saya membalut ibu jari kaki kanan saya dengan plester. Pasalnya kukunya hampir lepas tanpa saya tahu sebab musababnya. Tujuan kami yang pertama adalah mencari sumber air di daerah Buring tempat Ivan mbolos semasa SD dahulu. Sepeda kami kayuh ke arah selatan menyusuri jl. Ki Ageng Gribig dan Mayjen Sungkono, berjibaku bersama kendaraan-kendaraan berat yang berjalan merayap seperti uler keket dan juga sepeda motor yang entah kenapa selalu terburu waktu. Kami sempat juga mampir di sebuah SPBU untuk ‘buang sampah organik’. Selanjutnya roda sepeda berbelok ke arah timur, melintasi jalanan lebar ber-paving di kompleks perumahan Buring Satelit. Tak terlalu jauh, kami kembali berbelok ke arah selatan untuk menyusuri jalan setapak di tepi sungai hingga sejauh beberapa kilometer ke depan. Pemandangan terus berganti-ganti antara perkampungan, pedesaan, persawahan, dan perkebunan tebu. Gugusan Gunung Kawi-Buthak-Panderman menjadi dinding latar belakang Kota Malang di sebelah barat. Jalan setapak yang kami lindas sendiri tak melulu berupa jalan tanah. Di beberapa titik ruas jalan setapak tersebut telah berlapis paving stone.

Peta Kota Malang tahun jebot.
Di ujung jalan setapak yang membentuk pertigaan, kami berbelok ke timur melintasi jembatan menuju arah Tajinan. Medan yang kami lintasi kali ini berupa jalanan aspal menanjak di tengah-tengah pedesaan. Di sebuah pertigaan kami berhenti lantaran bingung hendak kemana lagi harus mengayuh sepeda. Setelah bertanya ke seorang bapak warga sekitar tentang lokasi sumber air tersebut, barulah kami tahu bahwa kami telah salah arah. Di ujung jalan setapak tadi kami seharusnya mengikuti jalur beraspal lurus menuju arah Bululawang, bukannya ke arah Tajinan seperti yang telah kami tempuh hingga sejauh ini. Dari bapak itu kami juga baru tahu bahwa sumber air tempat tujuan kami tersebut bernama Ngembul. Tetapi karena kami sudah terlanjur berada di daerah Tajinan, maka kami sepakat untuk terlebih dahulu pergi ke Sumber Jenon. Untuk tujuan yang kedua ini, saya baru akhir-akhir ini saja mengetahuinya dari artikel di surat kabar mengenai penjelajahan sumber-sumber air di Malang Raya. 

Peta jadul pun masih bisa dipelajari.
Jalanan yang kami tempuh masih berupa jalanan pedesaan beraspal mulus. Kontur jalanan cenderung menanjak landai. Beberapa kali kami bertemu dengan mikrolet trayek Tumpang-Tajinan-Gadang yang selalu saja tampak sepi penumpangnya. Saya sebenarnya telah browsing terlebih dahulu perihal keberadaan Sumber Jenon ini. Menurut informasi yang saya dapatkan, dari pasar Tajinan masih butuh waktu sekitar 20 menit perjalanan (mungkin apabila menggunakan sepeda motor). Seperti petunjuk yang diberikan bapak tadi, di sebuah pertigaan kami berbelok ke kanan. Awalnya jalanan sempat menurun, tapi selanjutnya terus menanjak. Menurut pengakuan Ivan, dahulu dia sudah pernah berkunjung ke Sumber Jenon ini, tetapi dia tak ingat persis jalan menuju pemandian tersebut. Pun mengenai sumber air Ngembul itu, dia juga mengaku bahwa terakhir kalinya dia berkunjung ke sana adalah pada tahun 1999. Pantas saja kami jadi seperti orang nyasar. Tetapi justru dengan ketidaktahuan, dan juga lupa-lupa  ingat semacam itulah sebuah perjalanan menjadi terasa lebih greget. Selanjutnya, perkebunan tebu menjadi suguhan pemandangan yang cukup sering kami temui. 

Rehat di warung seberang perkebunan tebu. Di sini saya menemukan kejutan.
Sejenak kami beristirahat di tepi jalan, tepatnya di sebuah bangunan warung permanen yang tampak tidak ada penghuninya. Di sebelah warung ini, kami menemukan sebuah jalan setapak membelah rerimbunan pepohonan yang ternyata tersambung dengan sebuah jembatan sempit nan panjang. Kami langsung menyimpulkan bahwa ini pasti jembatan bekas jalur rel lori. Sayapun teringat pada sebuah artikel yang pernah saya baca, yang menyebutkan bahwa pada jaman dahulu jalur rel lori milik PG Kebonagung pernah terbentang hingga daerah Tajinan. Sepertinya jalan setapak yang kami pijak saat ini memang dulunya adalah jalur lori tersebut. Bagi saya pribadi yang memang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan kereta api, tentu menemukan kejutan berupa ‘petilasan’ seperti ini menjadi semacam rejeki dan bonus tersendiri. Mendadak dalam imajinasi saya terbayang sebuah lokomotif uap menghela puluhan gerbong bermuatan tebu sedang melintas di jembatan tersebut sambil mengepulkan asap sembari meniupkan peluit panjangnya. Aroma manis tebu yang diangkutnya menyeruak masuk ke dalam hidung siapapun yang ada di dekatnya. Ya, memang hanya imajinasi itu saja yang tersisa, mengingat era kejayaan kereta pengangkut tebu di Malang Raya sendiri bisa dibilang sudah berakhir.

Jembatan yang diduga bekas jalur lori PG Kebonagung.

Dasar jurang di bawah jembatan.

Saya pribadi tak ingat persis tentang berapa jam waktu yang dibutuhkan untuk mengayuh sepeda sampai Sumber Jenon. Sesuai petunjuk warga sekitar, patokannya adalah pada rambu berbentuk ikan. Kami pun terus mengayuh sepeda, tapi ternyata jalanan di depan sedang dibuntu. Sebuah panggung hajatan warga dipasang tepat di tengah jalan. Kami pun kemudian memutari panggung dengan blusukan menyusuri jalanan setapak menembus halaman rumah-rumah warga. Setelah mengayuh sekitar satu kilometeran dari panggung hajatan tadi, kami akhirnya menemukan sebuah rambu (atau tugu?) berbentuk patung ikan di sebelah kiri jalan. Sepertinya kami sudah sampai di Sumber Jenon. Di dekat rambu itu terdapat sebuah bangunan loket yang tampak kosong dan dekil seperti sudah lama tidak dijamah manusia. Karena tidak tampak seorangpun yang menjaga, kamipun akhirnya masuk ke dalam gapura. Jalan berbatu dengan kontur menurun mengantarkan kami ke gapura berikutnya yang juga sama-sama tidak dijaga. Karenanya, kami bisa masuk ke lokasi Sumber Jenon dengan gratis. Waktu kami berdua datang, di Sumber Jenon sudah terlebih dahulu ada dua orang pelajar yang masih berseragam duduk-duduk di tepian kolam. Entah apa yang mereka lakukan di jam sekolah. Ketika kami tanya, mereka tampak enggan menjelaskannya (tapi tentu kita tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan). Selain dua orang oknum pelajar itu, kami tidak menemukan pengunjung lain. Mungkin karena kedatangan kami di sini terhitung masih pagi. 

Kolam Sumber Jenon
Sumber Jenon sendiri pemandiannya berupa kolam yang dikelilingi bukit-bukit kecil dengan pepohonan yang rapat. Karenanya, udara di Sumber Jenon ini menjadi cukup sejuk dan sangat teduh. Di salah satu sisi bukit kecil itu terdapat sebuah warung. Sorot sinar matahari pagi tampak menembus sela-sela pepohonan dan jatuh menimpa permukaan air Sumber Jenon yang biru kehijauan. Di salah satu sisi kolam warnanya tampak lebih pekat, menandakan bahwa area tersebut cukup dalam, bahkan mungkin sangat dalam. Mungkin lantaran terlalu dalam, dasar kolam itu sampai tidak bisa terlihat dari permukaan sama sekali. Yang terlihat hanyalah patahan dua pohon besar yang tumbang ke dalamnya. Di sela-sela patahan pohon itu, ikan-ikan kecil bertubuh mirip ikan hiu tampak tenang berenang kesana kemari tanpa merasa terganggu oleh keberadaan kami.

'Hiu air tawar', penghuni kolam Sumber Jenon
Setelah menikmati segelas teh panas, Ivan pun mulai menceburkan diri ke dalam kolam yang juga dihuni oleh ikan berbentuk mirip ikan hiu. Awalnya saya tak terterik untuk nyemplung karena saya tidak membawa celana untuk ganti. Setelah beberapa saat, akhirnya saya tergoda dan ikut menceburkan diri juga. Segar sekali rasanya, terlebih sekujur badan ini terasa lengket karena bermandi keringat. Tapi tentu saya tidak ikut berenang karena saya memang belum kunjung bisa melakukannya. Saya hanya berendam di tepian saja, tidak berjalan ke bagian lain dari kolam ini yang konon kedalamannya lebih dari 5 meteran hingga dapat dipakai latihan snorkeling. Karena belum tampak kehadiran seorang pengunjungpun, kolam Sumber Jenon ini seolah menjadi kolam renang pribadi dengan air yang berasal langsung dari persembahan alam.

Patahan batang pohon yang tenggelam di dalam kolam.
Puas berenang, kami pun memutuskan untuk keluar dari kolam untuk selanjutnya kembali mengayuh sepeda ke Ngembul. Sialnya, ketika hendak meninggalkan area Sumber Jenon saya mengalami insiden kecil. Sepeda yang saya tumpangi terperosok ke selokan kering di pinggir kolam. Efeknya lumayan bikin pedih, kulit di dekat kuku jempol kiri kaki saya terkelupas hingga berdarah gara-gara tertimpa roda gigi sepeda. Sejenak saya mengayuh sepeda dengan kaki bercucuran darah sebelum akhirnya tertangani sementara oleh plester yang saya beli di warung terdekat. Darah sudah tak lagi mengucur, tapi kemudian timbul rasa nyeri yang berdenyut-denyut. Meskipun begitu saya masih bersyukur karena kaki yang sakit ini tidak dipakai untuk menapak tanah secara langsung, melainkan hanya untuk menginjak pedal saja sehingga rasa sakitnya tak begitu terasa. Jadilah saya mancal dengan kedua kaki tidak dalam posisi ‘utuh’. Ibu jari kaki sebelah kanan hampir lepas kukunya, sedangkan yang sebelah kiri juga mengalami luka. Mungkin beberapa bulan ke depan nasibnya juga akan sama dengan kuku jempol kaki sebelah kanan.

Akibat kurang hati-hati dan kurang waspada.
Perjalanan dari Sumber Jenon menuju Ngembul bisa dibilang tidak terlalu berat. Jalan relatif menurun sehingga tenaga tidak terlalu terforsir untuk mengayuh pedal. Tak terlalu lama waktu yang kami butuhkan untuk mencapai pertigaan selepas jembatan yang apabila kami ikuti jalur beraspalnya akan mengarah ke Bululawang. Sedangkan apabila mengambil jalan setapak di pinggir sungai maka akan mengantarkan kami ke jalur yang kami tempuh saat kami berangkat pagi tadi. Kamipun mengarahkan sepeda menuju arah Bululawang.

1 komentar:

  1. kisah NYATA berbagi info...
    saya belum lama ini
    bulan juni 2016
    tepat di hari jumat (10-6-2016) sampai hari minggu (12-6-2016)
    KU DI TIPU

    rumah juru kunci (PALSU)
    a/n:Ading 36thn (PENIPU)
    hp.081223871269
    ciri-ciri: orang kurus,kulit kuning sawo,tinggi 160+
    (PRAKTEK DGN BONEKA JENGLOT PALSU)
    melakukan pesugihan dana Goib
    di desa pagundan
    kampung dusun kliwon
    kuningan (jawa)
    tempat tinggal istri ke 1(TUA)
    (anak 2 cowo)
    juru kunci (PALSU)
    a/n:Ading 36thn (PENIPU)
    mempunyai 3 istri
    selama menipu sebagai juru kunci PALSU 8 thn...

    tempat makam keramat&sumur keramat
    desa pagundan (TIPUAN/PENIPU)
    kampung dusun kliwon (KUNINGAN)
    aku hari jumat (10-6-2016) sampai hari minggu (12-6-2016) melakukan ritual selama 3x..(Ritual)...
    sampai aku merogoh kocek ku sebesar 35jt lebih...
    membeli CERUTU JANGKRIK (komplit)
    35pcs x 600rb = 21 jt
    mebeli sesaji (komplit):
    nasi tumpeng
    buah,menyan,kembang dll
    sebesar 14jt lebih...

    juru kunci (MENIPU KU)
    a/n:Ading 36thn (PENIPU)
    hp.081223871269
    alamat Rumah tinggal >>>>
    istri (MUDA) ke 2 anak 4 (3 cewek 1 laki)
    Desa sidarja
    kampung cisalak
    blok pahing
    kecamatan ciawi gebang
    kabupaten kuningan (jawa)
    Rumah a/n:Ading 36thn (PENIPU)
    yg mengaku juru kunci..
    di belakang sekolah SD negri
    turun lapangan bola
    sidaraja kuningan

    ku mengadakan Ritual dana goib
    hari jumat (10-6-2016) sampai hari minggu (12-6-2016)
    di makam keramat & sumur keramat
    di desa pagundan
    kampung dusun kliwon (KUNINGAN)
    selama 3x...(3 hari komplit sesajen)
    tepat ritual yg ke 3 hari minggu,
    juru kunci PALSU
    a/n: Ading 36thn (PENIPU)
    hp.081223871269
    berkata di makam keramat,mengatakan uang dana goib,akan di antar langsung oleh arwah makam keramat
    desa pagundan
    kampung dusun kliwon (kuningan)
    tepat jam 1 malam di Rumah aku
    tggu di jembatan ke5 dekat Rumah ku

    setelah melakukan ritual yg ke3x..
    (komplit sesajen dari ke 1x-3x)
    ku lansung bergegas pulang ke Rumah
    dan ku sampai di jembatan yg ke5
    hari minggu pkl 11 malam...
    ku tunggu,sambil baca mantra panggil arwah makam keramat
    ku baca mantra sampai pkl 3 subuh (minggu 12-6-2016)
    arwah makam keramat tak kunjung hadir/datang...
    juru kunci PALSU
    a/n:Ading 36 thn (PENIPU)
    hp.081223871269
    ku tlp&sms juru kunci palsu itu
    tidak di angkat&tidak membalas sms ku sama sekali (ku di tipu)..

    hati-hati saudara ku
    jangan mudah percaya,apa lagi baru kenal&mengaku juru kunci,paranormal,dukun dsb
    (modus penipuan)

    www.ading36thn_penipuan.com
    sekian dan terima kasih

    alamat rumah yg di tinggal&di tempati >>>>
    juru kunci (PALSU)
    a/n: Ading 36 thn (PENIPU)
    hp.081223871269
    (PRAKTEK DGN BONEKA JENGLOT PALSU)
    istri (MUDA) ke 2 mempuyai
    anak 4 (cewe 3 cowo 1)
    desa sidarja
    kampung cisalak
    desa pahing
    kecamatan ciawi gebang
    kabupaten kuningan (jawa)
    di belakang SD NEGRI
    SiDARAJA KUNINGAN

    BalasHapus