Semenjak beranjak dari Sumber Jenon, kami sebenarnya (dan sepertinya)
sudah tak lagi peduli dan ingat dengan posisi kami saat itu. Entah itu masih di
Malang, Buring, sudah masuk Bululawang, Tajinan, atau dimana lagi kami sudah
tak lagi memikirkannya. Kami terus diburu rasa penasaran tentang keberadaan
Ngembul. Seperti yang sudah saya ceritakan di awal tadi, menurut Ivan tempat
ini adalah tempatnya bolos sewaktu SD dulu. Dari arah jalan raya
Tajinan-Bululawang, di sebuah percabangan kami berbelok menuju timur lalu
melewati jembatan yang dulunya sepertinya
juga bekas jembatan lori PG Kebonagung. Mungkin jalur lori ini adalah
tembusannya rel lori yang tadi sempat
kami temui. Kondisinya sama, tidak terdapat satu batang rel pun yang tersisa.
Semuanya sudah diaspal, sehingga hanya menyisakan kerangka jembatannya saja.
Sayangnya kami tidak sempat mengabadikan keberadaan jembatan ini. Keberadaan
sisa-sisa jalur kereta api semacam itu selalu membawa saya ke imajinasi tentang
keberadaannya di masa lalu. Pada akhirnya konsentrasi saya terpecah menjadi
dua, terus mencari keberadaan sumber air Ngembul sekaligus tertumpangi bayangan
tentang kejayaan angkutan lori tebu jaman baheula.
![]() |
Konon dulunya jalanan ini adalah bekas rel lori. |
Jalanan yang tadinya beraspal
mulus menembus perkampungan perlahan berganti dengan jalanan berbatu. Kanan
kiri kami kini berupa pepohonan dan barongan alias
gugusan tanaman bambu. Keberadaannya membuat track yang kami lintasi menjadi teduh. Sambil mengayuh sepeda, saya
masih terus menerka-nerka kira-kira mengarah kemanakah rel lori di jembatan
tadi? Sama sekali tak terlihat adanya bekas rel. Yang ada hanyalah jalanan
berbatu yang membuat perjalanan menjadi bergoncang-goncang. Sesekali di
beberapa titik kami menjumpai usaha pembuatan batu bata. Di ujung jalanan
berbatu tersebut, kami kembali bertemu dengan jalan beraspal yang membentuk
pertigaan. Salah satu cabang jalannya tampak menurun dengan kemiringan cukup
curam. Di sini kami kembali sempat kebingungan karena kami sama sekali tidak menemukan
seorangpun yang bisa diajak bertanya. Yang ada di sekeliling kami hanyalah
hamparan perkebunan tebu yang dibelah oleh jalan beraspal. Kamipun menepikan
sepeda. Sementara Ivan bertanya ke bapak-bapak di tengah kebun tebu perihal
lokasi sumber air Ngembul, saya menjaga sepeda dengan pandangan mata yang
mendadak nanar karena terpapar teriknya sinar matahari. Tak ada satupun pohon
yang cukup rindang untuk dijadikan tempat berteduh. Melihat hamparan perkebunan
tebu di sekeliling saya, tak heranlah kalau pada jaman dahulu lori tebu bisa
sampai blusukan hingga ke sini.
![]() |
Penunggangnya kemana? |
![]() |
Cuaca yang terik di tengah kebun tebu. |
Setelah mendapatkan informasi
yang cukup meyakinkan, kamipun kemudian mengambil jalan menurun. Tak terlalu
jauh, Jalan menurun tersebut segera berubah menjadi jalanan menanjak membelah
pedesaan. Kami kembali bertanya kepada penduduk sekitar perihal keberadaan
sumber air Ngembul. Menurut penuturan mereka, sumber air Ngembul sudah dekat. Di
pertigaan depan tinggal belok kiri saja kemudian mengikuti jalanan tanah.
Mendapat informasi yang cukup melegakan tersebut, Ivan dengan percaya diri
tinggi mendadak nyelonong ke halaman
rumah warga. Katanya itu adalah jalan pintas, tapi sepertinya… buntu. “Biyen pas cilik aku nitipno sepeda ndek omah
iku,” kilahnya sambil menunjuk rumah seorang warga. Kami pun balik kucing
dan kembali menyusuri jalan tanah menembus barongan.
Lepas dari barongan, mata kami menangkap keberadaan sebuah kolam dipenuhi air
sangat jernih yang terletak di bawah tebing . “Oooo… yo iki lho, Dif..!” teriak Ivan sumringah. Tampaknya kami
sudah hampir sampai di Ngembul. Setelah menuruni jalanan tanah, untuk menuju ke
kolam kami masih harus berjalan kaki lagi sekitar 50 meteran meniti pematang
tegalan. Biarpun tak tampak keberadaan manusia lain, tentu kami tetap memasang
mata untuk mengawasi sepeda yang kami tinggalkan di bawah pohon pisang. Menurut
penuturan Ivan, dahulu di Ngembul ini tidak terdapat pagar kawat berduri
seperti sekarang. Dilihat dari pipa-pipa yang terpasang di sekitar kolam
Ngembul, sepertinya sumber air ini telah dikelola oleh PDAM. Tak banyak
informasi yang bisa didapatkan dari sumber air yang satu ini. Sewaktu kami
berdua sampai sana, tidak ada satupun warga sekitar atau petugas yang tampak
menjaga.
![]() |
Sumber air su dekat... |
Bagi saya pribadi pemandangan
sumber air Ngembul sendiri tak terlalu indah, tetapi memang agak ajaib. Ajaibnya
adalah karena daerah di sekitar kami berdiri ini bisa dibilang daerah yang
kering, tetapi ternyata menyimpan sumber air yang begitu melimpah. Ini bukan
fatamorgana, melainkan oase. Dan seperti lazimnya orang yang menemukan sumber
air langsung dari alam, kamipun tak ragu untuk menyesapi kesegarannya. Lantaran
dipagar kawat, kami tidak lagi bisa menceburkan ke dalam kolam itu. Tetapi
pancuran air dari pipa rasanya sudah lebih dari cukup menghapus rasa dahaga
yang mencekik kerongkongan serta mendinginkan ubun-ubun setelah tersengat terik
matahari. Maklumlah kami memang baru mencapai Ngembul ini saat matahari tepat
berada di atas kepala, di puncak musim kemarau pula. Melihat air yang begitu
melimpah seperti itu, rasa nyeri yang menggigit
ibu jari kaki kiri saya sejenak terlupakan begitu saja. Tak lupa juga kami
mengisi kembali botol air minum kami dengan air dari sumber Ngembul.
![]() |
Pulang dengan riang |
Seporsi mie ayam mengisi perut
kami di sebuah warung pojok jalan. Tak terlalu istimewa rasanya. Barangkali
yang membuatnya terasa enak adalah karena kami telah banyak menghabiskan tenaga,
hingga makanan tersebut begitu cepatnya berpindah ke rongga perut kami, dan
menjadikannya tak sebanding dengan penantian untuk proses pemasakannya. Tetapi
kiranya itu cukup untuk me-recharge
energi karena tentu kami masih harus kembali mancal untuk menempuh perjalanan pulang.
Entahlah dengan Ivan yang mungkin
telah puas menemukan kembali penggalan masa kecilnya, kalau saya pribadi… tentu
saya masih terbayang-bayang tentang jalur lori yang bekas-bekasnya baru saja
saya temui.
![]() | |
Lori tebu, sesuatu yang mendadak 'menghantui' saya selama gowes. (Sumber: https://www.flickr.com/photos/sugarcanerailways/7638531362/in/photostream/) |
--- SEKIAN ---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar