Someone said life is for the taking
Here I am with my hand out waiting for a ride
Here I am with my hand out waiting for a ride
I've
been living on my great expectation
What good is it when I'm stranded here
And world just passes by
What good is it when I'm stranded here
And world just passes by
Where
are the signs
To help me get out of this place
To help me get out of this place
(Going Where The Wind Blows – Mr.Big)
Secara tiba-tiba, pada hari Jumat tanggal 6 April 2018 kemaren saya
mendapatkan Whatsapp dari Seto teman saya di Solo yang isinya berupa ajakan
mendaki ke gunung Merbabu. Dalam hati saya sebenarnya pengen langsung bilang
‘iya’, soalnya saya dari dulu memang pengen banget pergi ke sana tapi males
nyari dan ngordinir pasukan, hehehe. Pengen bilang iya, tetapi saya masih ragu
soalnya sebenarnya sekitar tanggal 28 April nanti saya rencananya juga mau ke
Semeru. Sekalian saya ngajak Ivan temen saya barangkali dia mau ikut ke
Merbabu. Dan benar saja dia langsung mengiyakan dan menyatakan mau mau ikut, tapi memang bukan rejekinya dia
dimana dia tidak diberi cuti oleh kantornya.
Memang rencana ke Merbabu ini
sedianya bakal dieksekusi pada weekday
alias pas hari-hari kerja, jadi maklumlah kalau kantornya Ivan tidak memberikan
cuti baginya. Kalau si Seto, belakangan dia baru bilang
kalau liburnya dia memang pas lagi weekday,
kalau weekend malah masuk. Wuihhh…
Dan akhirnya saya iyakan juga ajakan si Seto buat melakukan pendakian ke
Merbabu. Turut ikut juga Wowo rekan sekampung Seto, dan belakangan mas Ari dari
Malang juga menyatakan keikutsertaannya. Wah mantap nih saya ada teman
seperjalanan ke Solo dan pulang ke Malang juga.
Gunung Merbabu yang akan kami daki ini memiliki beberapa jalur pendakian. Via Selo
(dari Boyolali), via Kopeng
(dari Salatiga), via Wekas
(dari Magelang), via Chuntel (dari Magelang), serta Suwanting (juga dari Magelang). Sejak awal, tim kami sudah
sepakat untuk lewat jalur Selo. Dari blog-blog yang saya baca, jalur Selo ini
merupakan jalur yang medannya relatif paling mudah dan paling indah. Di samping
itu, Selo juga relatif mudah diakses dengan transportasi umum dari kota Solo yg
mana merupakan kotanya dua personel tim kami yaitu Seto dan Wowo.
Kereta api Malioboro Ekspress yang saya tumpangi bersama mas Ari merapat di stasiun Solo Balapan sekitar setengah 3 pagi. Sebenarnya kami janjian ketemu dengan Seto dan Wowo di stasiun Purwosari, tetapi kereta api Malioboro Ekspress ini setelah lepas dari stasiun Solo Balapan langsung melenggang menuju Jogja dan tidak berhenti di stasiun Purwosari. Karenanya nanti jam 5 kami mau nerusin ke stasiun Purwosari naik kereta Prameks (Prambanan Ekspress). Jarak antara stasiun Solo Balapan dengan stasiun Purwosari sebenarnya tidak terlalu jauh (3,8 km) sehingga bisa ditempuh dengan becak atau dengan jalan kaki (kalau mau). Mas-mas petugas loketnya sempat rada kaget pas kami beli karcis Prameksnya, pasalnya kami ngomongnya mau turun di Purwosari, padahal Purwosari itu dekat banget, hehehe. Bingung juga sebenarnya mau ngapain di stasiun sampai kereta Prameks-nya berangkat nanti. Akhirnya waktupun kami isi dengan duduk-duduk dan tidur-tiduran di area stasiun, seperti yang dilakukan oleh beberapa rombongan pendaki yang sempat kami temui. Sholat subuh juga kami lakukan di musholanya stasiun Solo Balapan ini.
Pukul 05.00, kereta Prameks bergerak perlahan meninggalkan
stasiun Solo Balapan. Di dalam kereta , kami sempat ketemu dengan serombongan
pendaki yang ternyata baru turun dari Merbabu. Dari mereka kami dapat info
bahwa di Merbabu cuaca lagi bagus. Alhamdulillah,
setidaknya ada harapan cuaca nanti akan tetap bersahabat. Soalnya perkiraan
cuaca sempat memprediksi bahwa di Boyolali dan Merbabu cuacanya bakal jelek. Sekitar
lima menit berjalan, kereta Prameks tiba di stasiun Purwosari.
Solo - Selo
Baru sekitar jam 7-an, Seto nelpon kalau dia dan Wowo sudah
ada di seberangnya stasiun Purwosari. Saya dan mas Ari pun langsung menemui
mereka di seberang stasiun, lantas berjalan kaki sekitar 20 menit menyusuri
jalan Slamet Riyadi menuju sebuah pertigaan yang saya lupa namanya. Pertigaan
tersebut sepertinya setiap harinya dijadikan tempat pemberhentian bus trayek
Solo-Semarang. Sekitar 10 menit menanti, bus tujuan Semarang itu pun datang.
Sepintas dari luar fisik bus tersebut terlihat kurang begitu baik, tetapi
setelah masuk ternyata ya… lumayan juga. Mirip-mirip bus AC biasa tujuan
Malang-Surabaya yang sering saya naiki. Bus itu sendiri terlihat tak begitu
penuh. Kami berempat duduk di jok belakang bus. Kata kondekturnya, kalau mau ke
Merbabu nanti di Boyolali turunnya di RS Pandanarang, terus ganti bus kecil
jurusan Selo. Tarif bus dari Solo ke Boyolali ini 10 ribu rupiah.
![]() |
Peserta pendakian. Atas, ki-ka: Mas Ari, saya (Adif). Bawah, ki-ka: Seto, Wowo |
![]() |
Bus trayek Boyolali - Cepogo - Selo |
![]() |
Ngetem |
![]() |
Keluaran Mbelgedes Bandz lho... |
Di pasar Cepogo kami berhenti sebentar untuk belanja logistik
sekalian jajan. Oleh supir busnya, kami dikasih waktu maksimal 30 menit untuk
belanja. Tak lupa kami membeli air minum 8 botol @1,5 liter. Jadi nanti tiap
personel membawa 2 botol besar itu, dimana masih ditambah dengan botol-botol
kecil untuk bekal nanjak nanti. Jumlah air memang perlu diperhitungkan dengan
matang karena sepanjang perjalanan nanti kita tidak akan ketemu sumber air. Setelah molor-molor dikit, akhirnya bus kembali
berangkat.
Saya lagi-lagi tak bisa menahan rasa kantuk sehingga saya kembali
tertidur selepas pasar Cepogo. Sebenarnya saya cukup menyayangkan kalau harus
menempuh perjalanan melintasi tempat yang belum pernah saya datangi dengan tidur-tiduran, karena itu artinya saya
telah melewatkan kesempatan untuk menikmati pemandangan-pemandangan baru yang
belum pernah saya saksikan. Saya baru terbangun kembali ketika bus berhenti di
sebuah jalan desa untuk membayar semacam ‘retribusi’. Jalan menuju basecamp di Selo sendiri berliku-liku,
sempit, dan menanjak membelah pedesaan dan perkebunan dengan latar belakang
gunung Merapi yang gagah. Di tengah perjalanan, bus yang kami naiki sempat
harus berpapasan dengan mobil pick-up
yang diluar dugaan ternyata dikemudikan oleh seorang ibu-ibu muda. Bus yang kami
naiki harus mengalah dengan mundur beberapa meter hingga sampai ke titik yang
memungkinkan untuk berpapasan. Baik supir bus ini maupun ibu muda pengemudi
mobil pick-up itu terlihat begitu
menguasai medan. Dengan jalur menikung dan menurun tajam, si supir bus ini
mampu memundurkan busnya hingga sampai ke depan sebuah rumah dengan halaman yang
cukup luas sehingga persilangan dengan mobil pick-up tersebut bisa berjalan dengan mulus.
Sekitar pukul 10.19, supir bus menurunkan kami di depan
sebuah rumah kecil. Untuk menuju basecamp
pak Bari, kami masih harus berjalan menanjak sekitar lima menitan. Di basecamp yang juga merupakan rumah pak
Bari tersebut, kami sarapan merangkap makan siang sekalian re-packing dan juga sholat dhuhur dirangkap dengan sholat asar. Di basecamp tersebut, waktu itu kami ketemu
dengan seorang traveler yang tidak hendak mendaki. Dia cuma ingin nginep
saja di rumah pak Bari. Rumah Pak Bari cukup besar. Ruang tengahnya berupa
ruangan yang besar mirip aula tanpa terlalu banyak furniture. Lantai porselennya digelari
tikar-tikar sebagai tempat tidur untuk para pejalan yang ingin menginap. Oh
iya, basecamp di sini bukan cuma rumahnya
Pak Bari saja. Seingat saya masih ada dua basecamp
lagi, Basecamp-nya Pak Parman dan
juga Basecamp Mas Bowo. Bisa dipilih
sendiri nanti kalau mau ke sana. Kita milih ke Pak Bari karena rata-rata dari
catper-catper yang dibaca mereka singgahnya di Pak Bari.
Entahlah bagi teman-teman saya, saya pribadi merasa begitu
tenang dan nyaman dengan suasana di pedesaan sekitar sini. Benar-benar suasana
yang saya cari dan teramat jarang saya temukan. Sangat jauh dari hiruk pikuk, hingar
bingar, serta berisiknya perkotaan. Suara raungan kendaraan bermotor pun
teramat jarang terdengar. Karenanya saya maklum kalau ada traveler yang sengaja datang jauh ke pedasaan di kaki gunung
seperti ini hanya untuk menginap beberapa malam. Atmosfernya memang benar-benar
membuat pikiran rileks. Cocok sekali untuk membersihkan pikiran yang tiap hari sudah
terlalu sering dijejali hoax, isu-isu
kekinian yang nggak jelas, serta isu-isu politik dan SARA yang isinya cuma bikin
kita pesimis.
![]() |
Pasar Cepogo |
![]() |
Pemandangan-pemandangan alam sepanjang perjalanan menuju basecamp. |
![]() |
Mirip dengan adegan yang biasanya ada di film-film tentang road trip, hehehe |
![]() |
Basecamp Pak Bari |
![]() |
Suasana yanng menyejukkan |
“Emancipate
yourself from mental slavery,
None but ourselves can free our mind.
Have no fear for atomic energy,
‘Cause none of them can stop the time.”
None but ourselves can free our mind.
Have no fear for atomic energy,
‘Cause none of them can stop the time.”
(Redemption
Songs – Bob Marley)
0 km – Pos 1 Dok
Malang
perlahan datang menyapa
semak-semak tanah basah
Langkah kaki seiring
pandangan hijau terhampar
di tepi hutan cemara
Setelah lelah bertarung
Setelah lelah bertarung
dalam kerasnya hidup
kubutuh untuk sejenak
menenangkan nurani
…”
Pukul 12.20 setelah melakukan registrasi (15 ribu/orang) dan
berdoa bersama, kami mulai melangkahkan kaki. Setelah gapura, kami disambut oleh
tempat pembakaran sampah di kanan jalan. Awal-awal jalur pendakian jalurnya
masih landai dan cukup lebar. Tapi… ini tidak sampai 100 meter. Jalur yang kami
tempuh semakin menanjak dan terus menanjak. Saya mulai merasa kena tipu blog-blog yang sudah saya baca, dimana
mereka bilang kalau jalur dari start
pendakian menuju pos 1 itu landai. Landai dimananya coba…? Temen-temen
serombongan saya yang juga sudah beberapa kali naik gunung juga sepakat kalau
jalur menuju pos 1 itu nanjak, dan jauh pula. Ya itulah keseruan naik gunung.
Kalau mau datar sana main aja di lapangan bola, hehehe. Biarpun beberapa kali
ngeluh soal tanjakan, kami berempat tetap enjoy-enjoy
saja. Jalur menuju pos 1 ini banyak percabangannya, yang ‘sepertinya’ tetap
berujung pada lintasan yang sama. Lhah kok sepertinya? Iya soalnya saya nggak
begitu yakin. Tetapi buktinya kami berempat nggak nyasar kan?
“…
Wahai alam dekaplah jiwaku
gelisah dan mencari
Di langit ingin kubasuh wajahmu
biar segar meraja
Mentari dini kuperlu hangatmu
menyusup buluh nadi
Membuka hari yang baru yang untukku
songsong apa terjadi”
(Meniti Hutan
Cemara - Katon Bagaskara)
Bagi saya pribadi, tantangan paling bikin keder adalah ketika dihadang monyet di tengah jalan. Saya sama mas Ari sampai kuat lari di tanjakan gara-gara hewan primata ini, yang ternyata masih aja ngikutin kami sampai di pos 1. Untunglah di pos 1 kami ketemu rombongan pendaki yang mau turun dan lagi istirahat di situ. Tak berapa lama kemudian Seto dan Wowo sampai di pos 1. Dan, monyet yang ngikutin kami tadi itu ternyata nggak sendirian. Di pos 1 ini ada kerabatnya juga yang nyari makan dari sisa-sisa bungkus makanan para pendaki kenthir yang dibuang seenak udel-nya. Monyet-monyet ini sama sekali nggak takut dengan kehadiran manusia. Dan memang sebenarnya di hutan seperti ini merekalah tuan rumahnya, sedangkan kita manusia ini hanyalah sebatas tamu. Oh iya, menurut plang di start pendakian tadi, estimasi waktu yang dibutuhkan dari 0 km sampai pos 1 adalah 1 jam. Kami berempat menghabiskan waktu sekitar… persis 1 jam! Itu sudah cepat gara-gara tadi sempat lari pas ketemu monyet.
![]() |
Liar, nakal, brutal, membuat semua orang menjadi gempar... |
![]() |
Pos 1 Dok Malang |
Pos 1 Dok Malang -
Pos Kota Simpang Macan
Perjalanan dilanjut menuju pos 2. Karakteristik jalurnya
masih sama, masih menanjak dengan pepohonan rapat di kanan dan kiri. Waktu
belum berangkat, saya sempat bingung tentang keberadaan pos 2. Ada yang nyebutnya
Pos Kota Simpang Macan, ada juga yang bilang namanya Pos Pandean. Setelah
dieksekusi, ternyata Pos Kota Simpang Macan itu adalah semacam pos bayangan
sebelum Pos 2 yang sebenarnya (Pos 2 Pandean). Sempat juga terjadi diskusi tanpa kesimpulan perihal asal-usul pemberian
nama Simpang Macan, apa di sini jalur lintasannya hewan karnivora itu
apa gimana ya... nggak ada yang tahu. Termasuk kenapa kok di sini
dijadikan pos bayangan, nggak langsung pos 2-nya saja yang ditaruh di
sini. Dari Pos 1 ke Pos Simpang Macan
ini kami menempuh waktu sekitar 35 menit. Lebih cepat 5 menit dibandingkan
dengan estimasi waktu yang tertulis di
Pos 1 tadi. Itu juga sudah termasuk waktu rehat beberapa kali dengan estimasi
durasi rehat tak sampai 1 menit, yang penting cukup untuk minum beberapa teguk
air sekedar untuk membasahi kerongkongan. Hebat ya kami? Alhamdu… lillah… hehehe.
![]() |
Medan pendakian menuju Pos Kota Simpang Macan |
![]() |
Pos Kota Simpang Macan |
Pos Kota Simpang
Macan - Pos 2 Pandean
Setelah istirahat sebentar, langkah kaki pun kembali
terayun menyusuri tanjakan menuju Pos 2 Pandean. Di tengah perjalanan, kami
berempat sempat menemui pemandangan bekas tanah longsor di tebing sebelah
kanan. Menjelang Pos 2 Pandean, jalur yang tadinya didominasi hutan yang rapat
mulai perlahan terbuka. Kami berempat menghabiskan waktu sekitar 47 menit dari
Pos Kota Simpang Macan menuju Pos 2 Pandean. Kali ini rada molor dibandingkan
estimasi di plang-nya Pos Simpang Macan yang katanya untuk menuju Pos 2 ‘cuma’
butuh 40 menit.
![]() |
Longsoran tanah |
![]() |
Pos 2 Pandean |
![]() |
Area perkemahan di pos 2 |
![]() |
Kabut mulai turun |
Pos 2 Pandean berada di area yang bergitu luas sehingga
mungkin cukup untuk menampung puluhan tenda. Meskipun areanya luas, pos 2 ini
kurang direkomendasikan untuk dijadikan tempat nge-camp terakhir sebelum muncak, karena ya.. masih jauh banget dari
puncak. Kebanyakan pendaki yang mau muncak dari jalur Selo lebih memilih untuk
nge-camp minimal di pos 3 atau sabana
1. Di pos 2 ini sendiri terdapat sebuah gazebo yang atapnya sudah bolong
lantaran penutup sengnya terbang terhempas angin. Terdapat juga toilet yang
sama-sama sudah tak lagi beratap. Ketika kami sampai, ada dua tenda yang kata
penghuninya sebentar lagi mau diberesi lantaran mereka mau pulang. Selain
ketemu mereka sesama manusia, di pos ini kami ketemu lagi sama monyet penghuni
hutan Merbabu. Dari pos 2 ini kami sudah mulai bisa menerka-nerka seperti apa
indahnya pemandangan Gunung Merbabu di pos-pos berikutnya, juga jalur-jalur
selanjutnya yang tampaknya tak bakal lebih gampang.
![]() |
Akan semakin banyak tanjakan sebentar lagi |
![]() |
Everything seems surreal |
Pos 2 Pandean – Pos
3 Batu Tulis
Setelah istirahat sekitar setengah jam, perjalanan kami
lanjutkan menuju Pos 3 Batu Tulis. Jalur menuju Pos 3 ini sudah tidak lagi
menembus hutan, melainkan di punggung
gunung yang terbuka dengan semak-semak di kanan dan kirinya. Lantaran
pendakian ini kami lakukan di siang
hari, jadi panasnya cukup terasa menyengat. Terlebih lagi depanjang jalur
menuju pos 3 sama sekali tidak ada bonus. Isinya tanjakan semua. Sebelum sampai
di Pos 3, kami akan menemukan plang bertuliskan puncak dengan anak panah menuju
ke atas. Saya yang matanya memang tak lagi sehat sempat mengira kalau plang itu
adalah pos 3, ternyata waktu sampai saya baru tahu kalau itu cuma petunjuk ke
arah puncak. Jalur pendakiannya pun masih terus berlanjut dan terus menanjak. Lha pos 3-nya di mana..?!
Kata pendaki yang mau turun, “Oh sudah deket, mas. Semangat ya!” Yang udah
pernah naik gunung pasti tahu kalau ada yang bilang sudah dekat itu berarti
belum tentu bener-bener sudah dekat, bisa saja itu cuma penyemangat padahal
tempat tujuannya masih jauh, hehehe.
Barulah 20 mnit dari plang ‘Puncak’ itu,
saya dan Seto datang terlebih dahulu di pos 3, menyusul Wowo dan Mas ari 15
menit kemudian. Saya lupa mencatat berapa menit waktu tempuh dari dari Pos 2
menuju Pos 3. Saya juga lupa tidak memotret plang di pos 3. Jadi untuk
sekedar informasi, kami estimasikan sekitar 40 menit mengikuti tulisan di plang
Pos 2. Tetapi seingat saya, butuh waktu 1 jam lebih untuk mendaki dari Pos 2
menuju Pos 3 ini.
![]() |
Plang 'Puncak' sebelum pos 3 |
Pos 3 juga berupa area yang luas dan terbuka, yang biasanya
dijadikan tempat nge-camp terakhir
sebelum muncak selain di Sabana 1 ataupun Sabana 2. Dari Pos 3 ini terlihat
betapa terjal jalur menuju Sabana 1. Wowo yang menderita anyang-anyangan sempat minta untuk nge-camp di pos 3 ini saja. Tetapi setelah diyakinkan oleh Seto dan
dibantu membawakan bebannya, akhirnya Wowo bersedia lanjut.
“Woah,
we're half way there
Woah, livin' on a prayer
Take my hand, we'll make it I swear
Woah, livin' on a prayer…”
Woah, livin' on a prayer
Take my hand, we'll make it I swear
Woah, livin' on a prayer…”
(Livin’
on a prayer – Bon Jovi)
Pos 3 Batu Tulis – Sabana 1
Menurut blog-blog yang saya baca, jalur dari Pos 3 menuju Sabana
1 adalah yang terberat. Setelah dijalani, memang benar demikian adanya. Jalur
yang kami daki ternyata lebih jauh daripada yang terlihat dari Pos 3. Setelah
sampai di titik di atas bukit yang sempat kami kira itu sudah hampir finish, ternyata masih berkelok dan
terus menanjak. Derajat kemiringannya jangan ditanya, sepertinya sudah di atas
60 derajat. Di beberapa titik sampai harus dilengkapi tali pengaman untuk
mempermudah pendakian. Saya juga lupa tidak memotret plang-nya Pos 3 sehingga
tidak bisa memberikan informasi lebih lanjut mengenai estimasi waktu dari Pos 3
menuju Sabana 1. Seingat saya, rombongan kami baru sampai di Sabana 1 sekitar
jam 5 sore. Jadi kalau ditotal dari sejak berangkat di 0 km tadi, kami berempat
butuh waktu 4 jam 40 menit untuk sampai di Sabana 1. Itu sudah termasuk waktu
istirahat.
Sesampainya di Sabana 1, kami berempat langsung mendirikan tenda.
Ada 4 perut yang sudah menunggu untuk segera diisi asupan energi. Di Sabana 1
ini sesekali angin memang berhembus kencang dan kadang diiringi oleh beberapa
titik gerimis., tetapi syukur Alhamdulillah itu tidak berlangsung lama. Selama
perjalanan hingga menuju Sabana 1 ini cuaca cukup bersahabat, berbeda jauh
dengan prediksi prakiran cuaca.
![]() |
View Gunung Merapi, hiburan di tengah tanjakan |
![]() |
Medan pendakian menuju Sabana 1 |
![]() |
Sabana 1 |
“Perlahan sangat pelan hingga terang kan
menjelang
Cahaya kota kelam mesra menyambut sang
petang
Di sini ku berdiskusi dengan alam yg lirih
Kenapa matahari terbit menghangatkan bumi
Aku orang malam yg membicarakan terang
Aku orang malam yg membicarakan terang
Aku orang tenang yg menentang kemenangan
oleh pedang”
(Cahaya Bulan –
Eross feat. Okta)
17 APRIL 2018
Sabana 1 – Sabana 2 –
Watu Lumpang
Sesuai dengan kesepakatan, sekitar jam 3 dinihari
kami berempat sama-sama bangun. Setelah
ngobrol-ngobrol nggak jelas perihal rencana muncak, kami yang masih ngantuk
lantas kembali masuk ke dalam balutan sleeping
bag. Udara yang dingin membuat kami berempat malas keluar dari tenda,
padahal rencana yang disusun tadi malam adalah kami mau berangkat muncak pas
subuh biar bisa lihat sunrise. Tapi
memang rasa kantuk tak pernah bisa dibohongi. Barulah sekitar setengah enam
pagi tanpa sarapan kami berempat mulai bergerak berjalan menuju puncak. Jalur
dari Sabana 1 menuju Sabana 2 awalnya datar, kemudian menanjak melintasi
punggung bukit. Di puncak tanjakan, Wowo yang merasa kurang fit memutuskan
untuk kembali ke tenda. Jadilah tinggal saya, Seto, dan Mas Ari yang
melanjutkan perjalanan. Trek yang kami lintasi kemudian sedikit menurun menuju
padang rerumputan di Sabana 2.
Di sabana 2 yang begitu luas itu waktu itu kondisinya sangat lengang, hanya ada dua buah tenda yang saling tersambung dengan flysheet. Di Sabana 2 ini juga terdapat toilet. Jalur dari Sabana 2 menuju Watu Lumpang awal-awalnya berupa area datar yang dikelilingi oleh bukit-bukit hijau mirip bukit-bukit di Oro-Oro Ombo-nya Semeru. Setelah itu jalur berupa turunan landai yang lantas mengantarkan langkah kami menuju trek terjal di depan mata.
Di sabana 2 yang begitu luas itu waktu itu kondisinya sangat lengang, hanya ada dua buah tenda yang saling tersambung dengan flysheet. Di Sabana 2 ini juga terdapat toilet. Jalur dari Sabana 2 menuju Watu Lumpang awal-awalnya berupa area datar yang dikelilingi oleh bukit-bukit hijau mirip bukit-bukit di Oro-Oro Ombo-nya Semeru. Setelah itu jalur berupa turunan landai yang lantas mengantarkan langkah kami menuju trek terjal di depan mata.
![]() |
Awal-awal jalur dari Sabana 2 menuju Watu Lumpang |
![]() |
Tanjakan menuju Watu Lumpang |
![]() |
Watu Lumpang. |
![]() |
Pos Watu Lumpang |
Watu Lumpang - Puncak Triangulasi
“To
the future we surrender.
Life’s
to live and love’s to love.”
(Surrender
- Float)
Gunung Merbabu konon punya banyak puncak; puncak Syarif, puncak
Triangulasi, puncak Watugubuk, puncak Watutulis, puncak Gegersapi, puncak
Ondorante dan puncak Kenteng Songo. Tetapi yang terdekat dari jalur Selo ini
adalah Puncak Triangulasi dan juga Puncak Kenteng Songo.
Dari Watu Lumpang, kami terus melanjutkan perjalanan di trek yang cukup menanjak, sebelum akhirnya menemukan percabangan dimana kalau menuju ke kiri kami akan menuju Puncak Triangulasi, sedangkan ke kanan adalah ke Puncak Kenteng Songo. Kami memutuskan untuk ke Puncak Triangulasi terlebih dahulu. Lantaran kabut masih tebal, pemandangan indah dari puncak tertinggi Merbabu ini tidak bisa kami nikmati. Waktu kami datang, Puncak Triangulasi ini masih sepi. Sesekali terdengar suara-suara pendaki, yang sepertinya berasal dari Puncak Kenteng Songo yang konon tidak jauh dari tempat kami berdiri ini.
Dari Watu Lumpang, kami terus melanjutkan perjalanan di trek yang cukup menanjak, sebelum akhirnya menemukan percabangan dimana kalau menuju ke kiri kami akan menuju Puncak Triangulasi, sedangkan ke kanan adalah ke Puncak Kenteng Songo. Kami memutuskan untuk ke Puncak Triangulasi terlebih dahulu. Lantaran kabut masih tebal, pemandangan indah dari puncak tertinggi Merbabu ini tidak bisa kami nikmati. Waktu kami datang, Puncak Triangulasi ini masih sepi. Sesekali terdengar suara-suara pendaki, yang sepertinya berasal dari Puncak Kenteng Songo yang konon tidak jauh dari tempat kami berdiri ini.
![]() |
Puncak Triangulasi Gunung Merbabu. Kabut menyembunyikan pemandangan indah yang bisa dinikmati dari atas sini |
Puncak Triangulasi –
Puncak Kenteng Songo
Cuaca masih didominasi kabut yang sesekali diselingi oleh
angin kencang yang membawa rintik-rintik air. Setelah membuat ‘dokumentasi’
(baca: narsis), kami bertiga melanjutkan perjalanan menuju Puncak Kenteng
Songo. Puncak Kenteng Songo ternyata letaknya lebih dekat dari percabangan
menuju Puncak Triangulasi tadi. Dan benar saja di puncak Kenteng Songo ternyata
lebih ramai oleh pendaki. Tak terlalu lama juga kami berada di puncak Kenteng
Songo ini. Kami memutuskan untuk lekas turun kembali ke camp. Sayang sekali kami cuma bertiga yang menikmati puncak ini. Dan yang juga masih terasa sayang adalah tidak adanya pemandangan indah yang bisa diabadikan lantaran kepungan kabut tebal. Tak mengapalah, toh bonus berupa puncak sudah diraih. Allhamdulillah.
![]() |
Puncak Kenteng Songo |
![]() |
Quotation 1 |
![]() |
Papan petunjuk jalur pendakian di Puncak Kenteng Songo |
Perjalanan turun tak selalu berarti lebih mudah, setidaknya
bagi saya. Saya jujur saja merupakan orang yang body balance-nya jelek sehingga perjalanan turun yang harusnya
nggak memakan terlalu banyak tenaga malah menghabiskan tenaga lebih banyak buat
menjaga tubuh biar nggak sampai jatuh. Alhamdulillah
waktu itu medannya sama sekali tidak licin. Kalau saja medannya licin,
bisa-bisa saya akan lebih lama lagi nyampai ke tenda, dan juga lebih lama lagi
saat perjalanan pulang nanti.
Setelah sarapan dirangkap dengan makan siang, acara pun
berlanjut pada prosesi packing. Barang
bawaan sedikit lebih ringan karena air minum sudah banyak terpakai selama di camp. Belakangan saya baru tahu kalau
di Sabana 1 juga ada toiletnya. Pukul 12.00 tet
kami mulai meninggalkan Sabana 1, yang tentunya langsung berhadapan dengan
turunan tajam menuju Pos 3. Saya yang tadinya khawatir jatuh ternyata masih
mampu melintasi turunan-turunan tersebut dengan aman. Kalau ketiga teman saya mah jangan ditanya, biarpun katanya dengkulnya sakit tapi ternyata
masih bisa ngebut juga. Saya baru merasa payah selepas Pos 2, yang mana jempol
kaki saya mulai cenat-cenut, ditambah lagi celana saya yang gampang melorot
akibat tertimpa beban tas carrier,
semakin memperlambat laju langkah saya. Seto dan Mas Ari sudah tak tampak lagi
karena mereka sudah jauh di depan. Tinggal saya dan Wowo saja yang kakinya
bermasalah ini harus jalan pelan-pelan. Lantaran saking fokusnya nahan sakit di
jempol kaki, saya sudah nggak sempat mikir bakal ketemu sama monyet lagi.
Pengennya cepet-cepet sampai di basecamp,
minum teh panas, terus mandi. Oh iya, biarpun saya dan ketiga teman saya
kondisinya sudah sama payahnya, ternyata dalam perjalanan turun ini kami cuma
butuh waktu 1 jam 45 menit saja. Beda jauh dengan ketika berangkat yang memakan
waktu 4 jam lebih. Sebelum jam 2 siang, kami sudah sampai di basecamp.
![]() |
Mission accomplished! |
Sambil menunggu jemputan Mas Fulan (saya sebut demikian karena saya
tidak tahu namanya, dan beliaunya sebenarnya juga bukan penyedia jasa antar
jemput) yang merupakan kenalannya Mas Ari,
kami pun repacking, dan tak lupa…
minum segelas tes panas yang seketika lagsung menggantikan energi kami yang
terkuras selama proses turun gunung.
Di kota Boyolali kami mampir di warung
Soto Seger ibu Hj Fatimah. Seperti namanya, sotonya emang seger dan top
markotop rasanya. Kamu juga sempat jajan beli jadah bakar. Di kota Solo, kami berpisah dengan Solo dan Wowo yang masih
akan melanjutkan perjalanan menuju rumah mereka dengan naik bus. Sedangkan saya
dan Mas Ari langsung diantarkan Mas Fulan menuju stasiun Solo Balapan. Alhamdulillah, selesai sudah acara pendakian kami.
![]() |
Soto Seger Ibu Hj Fatimah Boyolali |
![]() |
Makanan yang sebelumnya sudah enak,biasanya akan berkali-kali lipat lebih nikmat ketika disantap setelah mendaki gunung, hehehe |
![]() |
Monumen Arjuna Wijaya Simpang Lima Boyolali |
Puncak hanyalah bonus, pulang ke rumah dengan selamat
adalah sukses yang sejati.
.
Sekian.