Sabtu, 31 Oktober 2015

Gowes to Remember Part 2: Ngembul Redemption




Semenjak beranjak dari Sumber Jenon, kami sebenarnya (dan sepertinya) sudah tak lagi peduli dan ingat dengan posisi kami saat itu. Entah itu masih di Malang, Buring, sudah masuk Bululawang, Tajinan, atau dimana lagi kami sudah tak lagi memikirkannya. Kami terus diburu rasa penasaran tentang keberadaan Ngembul. Seperti yang sudah saya ceritakan di awal tadi, menurut Ivan tempat ini adalah tempatnya bolos sewaktu SD dulu. Dari arah jalan raya Tajinan-Bululawang, di sebuah percabangan kami berbelok menuju timur lalu melewati  jembatan yang dulunya sepertinya juga bekas jembatan lori PG Kebonagung. Mungkin jalur lori ini adalah tembusannya rel lori yang tadi sempat  kami temui. Kondisinya sama, tidak terdapat satu batang rel pun yang tersisa. Semuanya sudah diaspal, sehingga hanya menyisakan kerangka jembatannya saja. Sayangnya kami tidak sempat mengabadikan keberadaan jembatan ini. Keberadaan sisa-sisa jalur kereta api semacam itu selalu membawa saya ke imajinasi tentang keberadaannya di masa lalu. Pada akhirnya konsentrasi saya terpecah menjadi dua, terus mencari keberadaan sumber air Ngembul sekaligus tertumpangi bayangan tentang kejayaan angkutan lori tebu jaman baheula.

Konon dulunya jalanan ini adalah bekas rel lori.
Jalanan yang tadinya beraspal mulus menembus perkampungan perlahan berganti dengan jalanan berbatu. Kanan kiri kami kini berupa pepohonan dan barongan alias gugusan tanaman bambu. Keberadaannya membuat track yang kami lintasi menjadi teduh. Sambil mengayuh sepeda, saya masih terus menerka-nerka kira-kira mengarah kemanakah rel lori di jembatan tadi? Sama sekali tak terlihat adanya bekas rel. Yang ada hanyalah jalanan berbatu yang membuat perjalanan menjadi bergoncang-goncang. Sesekali di beberapa titik kami menjumpai usaha pembuatan batu bata. Di ujung jalanan berbatu tersebut, kami kembali bertemu dengan jalan beraspal yang membentuk pertigaan. Salah satu cabang jalannya tampak menurun dengan kemiringan cukup curam. Di sini kami kembali sempat kebingungan karena kami sama sekali tidak menemukan seorangpun yang bisa diajak bertanya. Yang ada di sekeliling kami hanyalah hamparan perkebunan tebu yang dibelah oleh jalan beraspal. Kamipun menepikan sepeda. Sementara Ivan bertanya ke bapak-bapak di tengah kebun tebu perihal lokasi sumber air Ngembul, saya menjaga sepeda dengan pandangan mata yang mendadak nanar karena terpapar teriknya sinar matahari. Tak ada satupun pohon yang cukup rindang untuk dijadikan tempat berteduh. Melihat hamparan perkebunan tebu di sekeliling saya, tak heranlah kalau pada jaman dahulu lori tebu bisa sampai blusukan hingga ke sini.

Penunggangnya kemana?
Cuaca yang terik di tengah kebun tebu.
Setelah mendapatkan informasi yang cukup meyakinkan, kamipun kemudian mengambil jalan menurun. Tak terlalu jauh, Jalan menurun tersebut segera berubah menjadi jalanan menanjak membelah pedesaan. Kami kembali bertanya kepada penduduk sekitar perihal keberadaan sumber air Ngembul. Menurut penuturan mereka, sumber air Ngembul sudah dekat. Di pertigaan depan tinggal belok kiri saja kemudian mengikuti jalanan tanah. Mendapat informasi yang cukup melegakan tersebut, Ivan dengan percaya diri tinggi mendadak nyelonong ke halaman rumah warga. Katanya itu adalah jalan pintas, tapi sepertinya… buntu. “Biyen pas cilik aku nitipno sepeda ndek omah iku,” kilahnya sambil menunjuk rumah seorang warga. Kami pun balik kucing dan kembali menyusuri jalan tanah menembus barongan.
Lepas dari barongan, mata kami menangkap keberadaan sebuah kolam dipenuhi air sangat jernih yang terletak di bawah tebing . “Oooo… yo iki lho, Dif..!” teriak Ivan sumringah. Tampaknya kami sudah hampir sampai di Ngembul. Setelah menuruni jalanan tanah, untuk menuju ke kolam kami masih harus berjalan kaki lagi sekitar 50 meteran meniti pematang tegalan. Biarpun tak tampak keberadaan manusia lain, tentu kami tetap memasang mata untuk mengawasi sepeda yang kami tinggalkan di bawah pohon pisang. Menurut penuturan Ivan, dahulu di Ngembul ini tidak terdapat pagar kawat berduri seperti sekarang. Dilihat dari pipa-pipa yang terpasang di sekitar kolam Ngembul, sepertinya sumber air ini telah dikelola oleh PDAM. Tak banyak informasi yang bisa didapatkan dari sumber air yang satu ini. Sewaktu kami berdua sampai sana, tidak ada satupun warga sekitar atau petugas yang tampak menjaga. 

Sumber air su dekat...
Bagi saya pribadi pemandangan sumber air Ngembul sendiri tak terlalu indah, tetapi memang agak ajaib. Ajaibnya adalah karena daerah di sekitar kami berdiri ini bisa dibilang daerah yang kering, tetapi ternyata menyimpan sumber air yang begitu melimpah. Ini bukan fatamorgana, melainkan oase. Dan seperti lazimnya orang yang menemukan sumber air langsung dari alam, kamipun tak ragu untuk menyesapi kesegarannya. Lantaran dipagar kawat, kami tidak lagi bisa menceburkan ke dalam kolam itu. Tetapi pancuran air dari pipa rasanya sudah lebih dari cukup menghapus rasa dahaga yang mencekik kerongkongan serta mendinginkan ubun-ubun setelah tersengat terik matahari. Maklumlah kami memang baru mencapai Ngembul ini saat matahari tepat berada di atas kepala, di puncak musim kemarau pula. Melihat air yang begitu melimpah seperti  itu, rasa nyeri yang menggigit ibu jari kaki kiri saya sejenak terlupakan begitu saja. Tak lupa juga kami mengisi kembali botol air minum kami dengan air dari sumber Ngembul. 

Pulang dengan riang
Seporsi mie ayam mengisi perut kami di sebuah warung pojok jalan. Tak terlalu istimewa rasanya. Barangkali yang membuatnya terasa enak adalah karena kami telah banyak menghabiskan tenaga, hingga makanan tersebut begitu cepatnya berpindah ke rongga perut kami, dan menjadikannya tak sebanding dengan penantian untuk proses pemasakannya. Tetapi kiranya itu cukup untuk me-recharge energi karena tentu kami masih harus kembali mancal untuk menempuh perjalanan pulang.
Entahlah dengan Ivan yang mungkin telah puas menemukan kembali penggalan masa kecilnya, kalau saya pribadi… tentu saya masih terbayang-bayang tentang jalur lori yang bekas-bekasnya baru saja saya temui. 

Lori tebu, sesuatu yang mendadak 'menghantui' saya selama gowes. (Sumber: https://www.flickr.com/photos/sugarcanerailways/7638531362/in/photostream/)


--- SEKIAN ---

Gowes to Remember Part 1: Sumber Jenon dan Kejutannya



Adakah yang tidak setuju?
Setelah seminggu sebelumnya gagal menemukan sumber air di daerah Buring seperti yang di-posting oleh rekan Ivan, maka acara sepedaan kali ini (24 November 2015) saya dan Ivan mengalihkan tujuan ke tempat lain. Ivan mendadak punya ide untuk ‘menapaktilasi’ sumber air yang menurut pengakuannya merupakan tempatnya membolos ketika jaman dia SD. Sumber air itu diyakininya juga berada di daerah Buring. Tetapi apabila sumber air itu tidak juga bisa ditemukan, maka tujuannya dialihkan ke Sumber Jenon di daerah Tajinan. Boleh juga usulan destinasinya.
Kami start dari rumahnya Ivan di daerah Sawojajar sekitar pukul 06.30. Sebelum berangkat, tak lupa saya membalut ibu jari kaki kanan saya dengan plester. Pasalnya kukunya hampir lepas tanpa saya tahu sebab musababnya. Tujuan kami yang pertama adalah mencari sumber air di daerah Buring tempat Ivan mbolos semasa SD dahulu. Sepeda kami kayuh ke arah selatan menyusuri jl. Ki Ageng Gribig dan Mayjen Sungkono, berjibaku bersama kendaraan-kendaraan berat yang berjalan merayap seperti uler keket dan juga sepeda motor yang entah kenapa selalu terburu waktu. Kami sempat juga mampir di sebuah SPBU untuk ‘buang sampah organik’. Selanjutnya roda sepeda berbelok ke arah timur, melintasi jalanan lebar ber-paving di kompleks perumahan Buring Satelit. Tak terlalu jauh, kami kembali berbelok ke arah selatan untuk menyusuri jalan setapak di tepi sungai hingga sejauh beberapa kilometer ke depan. Pemandangan terus berganti-ganti antara perkampungan, pedesaan, persawahan, dan perkebunan tebu. Gugusan Gunung Kawi-Buthak-Panderman menjadi dinding latar belakang Kota Malang di sebelah barat. Jalan setapak yang kami lindas sendiri tak melulu berupa jalan tanah. Di beberapa titik ruas jalan setapak tersebut telah berlapis paving stone.

Peta Kota Malang tahun jebot.
Di ujung jalan setapak yang membentuk pertigaan, kami berbelok ke timur melintasi jembatan menuju arah Tajinan. Medan yang kami lintasi kali ini berupa jalanan aspal menanjak di tengah-tengah pedesaan. Di sebuah pertigaan kami berhenti lantaran bingung hendak kemana lagi harus mengayuh sepeda. Setelah bertanya ke seorang bapak warga sekitar tentang lokasi sumber air tersebut, barulah kami tahu bahwa kami telah salah arah. Di ujung jalan setapak tadi kami seharusnya mengikuti jalur beraspal lurus menuju arah Bululawang, bukannya ke arah Tajinan seperti yang telah kami tempuh hingga sejauh ini. Dari bapak itu kami juga baru tahu bahwa sumber air tempat tujuan kami tersebut bernama Ngembul. Tetapi karena kami sudah terlanjur berada di daerah Tajinan, maka kami sepakat untuk terlebih dahulu pergi ke Sumber Jenon. Untuk tujuan yang kedua ini, saya baru akhir-akhir ini saja mengetahuinya dari artikel di surat kabar mengenai penjelajahan sumber-sumber air di Malang Raya. 

Peta jadul pun masih bisa dipelajari.
Jalanan yang kami tempuh masih berupa jalanan pedesaan beraspal mulus. Kontur jalanan cenderung menanjak landai. Beberapa kali kami bertemu dengan mikrolet trayek Tumpang-Tajinan-Gadang yang selalu saja tampak sepi penumpangnya. Saya sebenarnya telah browsing terlebih dahulu perihal keberadaan Sumber Jenon ini. Menurut informasi yang saya dapatkan, dari pasar Tajinan masih butuh waktu sekitar 20 menit perjalanan (mungkin apabila menggunakan sepeda motor). Seperti petunjuk yang diberikan bapak tadi, di sebuah pertigaan kami berbelok ke kanan. Awalnya jalanan sempat menurun, tapi selanjutnya terus menanjak. Menurut pengakuan Ivan, dahulu dia sudah pernah berkunjung ke Sumber Jenon ini, tetapi dia tak ingat persis jalan menuju pemandian tersebut. Pun mengenai sumber air Ngembul itu, dia juga mengaku bahwa terakhir kalinya dia berkunjung ke sana adalah pada tahun 1999. Pantas saja kami jadi seperti orang nyasar. Tetapi justru dengan ketidaktahuan, dan juga lupa-lupa  ingat semacam itulah sebuah perjalanan menjadi terasa lebih greget. Selanjutnya, perkebunan tebu menjadi suguhan pemandangan yang cukup sering kami temui. 

Rehat di warung seberang perkebunan tebu. Di sini saya menemukan kejutan.
Sejenak kami beristirahat di tepi jalan, tepatnya di sebuah bangunan warung permanen yang tampak tidak ada penghuninya. Di sebelah warung ini, kami menemukan sebuah jalan setapak membelah rerimbunan pepohonan yang ternyata tersambung dengan sebuah jembatan sempit nan panjang. Kami langsung menyimpulkan bahwa ini pasti jembatan bekas jalur rel lori. Sayapun teringat pada sebuah artikel yang pernah saya baca, yang menyebutkan bahwa pada jaman dahulu jalur rel lori milik PG Kebonagung pernah terbentang hingga daerah Tajinan. Sepertinya jalan setapak yang kami pijak saat ini memang dulunya adalah jalur lori tersebut. Bagi saya pribadi yang memang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan kereta api, tentu menemukan kejutan berupa ‘petilasan’ seperti ini menjadi semacam rejeki dan bonus tersendiri. Mendadak dalam imajinasi saya terbayang sebuah lokomotif uap menghela puluhan gerbong bermuatan tebu sedang melintas di jembatan tersebut sambil mengepulkan asap sembari meniupkan peluit panjangnya. Aroma manis tebu yang diangkutnya menyeruak masuk ke dalam hidung siapapun yang ada di dekatnya. Ya, memang hanya imajinasi itu saja yang tersisa, mengingat era kejayaan kereta pengangkut tebu di Malang Raya sendiri bisa dibilang sudah berakhir.

Jembatan yang diduga bekas jalur lori PG Kebonagung.

Dasar jurang di bawah jembatan.

Saya pribadi tak ingat persis tentang berapa jam waktu yang dibutuhkan untuk mengayuh sepeda sampai Sumber Jenon. Sesuai petunjuk warga sekitar, patokannya adalah pada rambu berbentuk ikan. Kami pun terus mengayuh sepeda, tapi ternyata jalanan di depan sedang dibuntu. Sebuah panggung hajatan warga dipasang tepat di tengah jalan. Kami pun kemudian memutari panggung dengan blusukan menyusuri jalanan setapak menembus halaman rumah-rumah warga. Setelah mengayuh sekitar satu kilometeran dari panggung hajatan tadi, kami akhirnya menemukan sebuah rambu (atau tugu?) berbentuk patung ikan di sebelah kiri jalan. Sepertinya kami sudah sampai di Sumber Jenon. Di dekat rambu itu terdapat sebuah bangunan loket yang tampak kosong dan dekil seperti sudah lama tidak dijamah manusia. Karena tidak tampak seorangpun yang menjaga, kamipun akhirnya masuk ke dalam gapura. Jalan berbatu dengan kontur menurun mengantarkan kami ke gapura berikutnya yang juga sama-sama tidak dijaga. Karenanya, kami bisa masuk ke lokasi Sumber Jenon dengan gratis. Waktu kami berdua datang, di Sumber Jenon sudah terlebih dahulu ada dua orang pelajar yang masih berseragam duduk-duduk di tepian kolam. Entah apa yang mereka lakukan di jam sekolah. Ketika kami tanya, mereka tampak enggan menjelaskannya (tapi tentu kita tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan). Selain dua orang oknum pelajar itu, kami tidak menemukan pengunjung lain. Mungkin karena kedatangan kami di sini terhitung masih pagi. 

Kolam Sumber Jenon
Sumber Jenon sendiri pemandiannya berupa kolam yang dikelilingi bukit-bukit kecil dengan pepohonan yang rapat. Karenanya, udara di Sumber Jenon ini menjadi cukup sejuk dan sangat teduh. Di salah satu sisi bukit kecil itu terdapat sebuah warung. Sorot sinar matahari pagi tampak menembus sela-sela pepohonan dan jatuh menimpa permukaan air Sumber Jenon yang biru kehijauan. Di salah satu sisi kolam warnanya tampak lebih pekat, menandakan bahwa area tersebut cukup dalam, bahkan mungkin sangat dalam. Mungkin lantaran terlalu dalam, dasar kolam itu sampai tidak bisa terlihat dari permukaan sama sekali. Yang terlihat hanyalah patahan dua pohon besar yang tumbang ke dalamnya. Di sela-sela patahan pohon itu, ikan-ikan kecil bertubuh mirip ikan hiu tampak tenang berenang kesana kemari tanpa merasa terganggu oleh keberadaan kami.

'Hiu air tawar', penghuni kolam Sumber Jenon
Setelah menikmati segelas teh panas, Ivan pun mulai menceburkan diri ke dalam kolam yang juga dihuni oleh ikan berbentuk mirip ikan hiu. Awalnya saya tak terterik untuk nyemplung karena saya tidak membawa celana untuk ganti. Setelah beberapa saat, akhirnya saya tergoda dan ikut menceburkan diri juga. Segar sekali rasanya, terlebih sekujur badan ini terasa lengket karena bermandi keringat. Tapi tentu saya tidak ikut berenang karena saya memang belum kunjung bisa melakukannya. Saya hanya berendam di tepian saja, tidak berjalan ke bagian lain dari kolam ini yang konon kedalamannya lebih dari 5 meteran hingga dapat dipakai latihan snorkeling. Karena belum tampak kehadiran seorang pengunjungpun, kolam Sumber Jenon ini seolah menjadi kolam renang pribadi dengan air yang berasal langsung dari persembahan alam.

Patahan batang pohon yang tenggelam di dalam kolam.
Puas berenang, kami pun memutuskan untuk keluar dari kolam untuk selanjutnya kembali mengayuh sepeda ke Ngembul. Sialnya, ketika hendak meninggalkan area Sumber Jenon saya mengalami insiden kecil. Sepeda yang saya tumpangi terperosok ke selokan kering di pinggir kolam. Efeknya lumayan bikin pedih, kulit di dekat kuku jempol kiri kaki saya terkelupas hingga berdarah gara-gara tertimpa roda gigi sepeda. Sejenak saya mengayuh sepeda dengan kaki bercucuran darah sebelum akhirnya tertangani sementara oleh plester yang saya beli di warung terdekat. Darah sudah tak lagi mengucur, tapi kemudian timbul rasa nyeri yang berdenyut-denyut. Meskipun begitu saya masih bersyukur karena kaki yang sakit ini tidak dipakai untuk menapak tanah secara langsung, melainkan hanya untuk menginjak pedal saja sehingga rasa sakitnya tak begitu terasa. Jadilah saya mancal dengan kedua kaki tidak dalam posisi ‘utuh’. Ibu jari kaki sebelah kanan hampir lepas kukunya, sedangkan yang sebelah kiri juga mengalami luka. Mungkin beberapa bulan ke depan nasibnya juga akan sama dengan kuku jempol kaki sebelah kanan.

Akibat kurang hati-hati dan kurang waspada.
Perjalanan dari Sumber Jenon menuju Ngembul bisa dibilang tidak terlalu berat. Jalan relatif menurun sehingga tenaga tidak terlalu terforsir untuk mengayuh pedal. Tak terlalu lama waktu yang kami butuhkan untuk mencapai pertigaan selepas jembatan yang apabila kami ikuti jalur beraspalnya akan mengarah ke Bululawang. Sedangkan apabila mengambil jalan setapak di pinggir sungai maka akan mengantarkan kami ke jalur yang kami tempuh saat kami berangkat pagi tadi. Kamipun mengarahkan sepeda menuju arah Bululawang.