"Tak kalah dengan orang gedean
Dalam rasakan senang
Walau lembaran gaji sebulan
Hanya cukup untuk kakus
Soal rekreasi sih harus..."
(Libur Kecil Kaum Kusam, by Iwan Fals)
Peserta kali ini tidak jauh
berbeda dengan perjalanan-perjalanan terdahulu. Masih dengan saya, Angga,
Ahmad, dan Danang. Turut ikut juga mas Saiful rekan Ahmad, dan juga Faris yang
kami ‘ciduk’ secara mendadak di rumahnya. Hari itu sebenarnya bertepatan dengan acara Pilkada Serentak, yaitu 9 Desember 2015. Hanya saja karena kami semua berdomisili di daerah kota, kami tidak turut berpartisipasi dalam perhelatan tersebut. Di wilayah Malang Raya sendiri, acara tersebut hanya diadakan di daerah Kabupaten Malang dan Kota Batu.
 |
Personelnya, ki-ka: Danang, Faris, saya, Angga, Mas Saipul, dan Ahmad (juru foto) |
Sampailah kami di pom bensin
tersebut. Di sini kami sempat kebingungan mencari jalan mana yang harus kami
tempuh untuk mencari Coban Tundo. Untuk menuju desa Sidoasri (desa terdekat
dengan lokasi Coban Tundo), menurut artikel kami memang harus melalui pertigaan
sebelum pom bensin ini. Tetapi beberapa warga memberikan jawaban yang
berlainan. Menurut penuturan mereka, untuk menuju desa Sidoasri kami tetap
harus menempuh jalan ke arah Pantai Sendang Biru. Kami pun kemudian memutuskan
untuk berbalik arah menuju pertigaan sebelum pom bensin. Sesuai artikel yang
kami baca, di pertigaan tersebut kami berbelok menuju arah Klepu. Sebelum masuk
lebih jauh, kami kembali bertanya pada warga sekitar mengenai keberadaan desa
Sidoasri. Mereka memberikan jawaban bahwa desa Sidoasri memang bisa ditempuh
melalui Klepu, tetapi jalurnya nanti akan melalui hutan perkebunan dengan
jalanan yang rusak (meskipun sebenarnya jalur ini bisa dibilang jalur
shortcut).
Karena informasi yang diberikan ‘agak’ mirip
dengan yang kami baca di artikel, maka kami pun melanjutkan perjalanan ke arah
Klepu.
 |
Gapura pintu masuk menuju arah Klepu |
Di beberapa titik dimana terdapat
warga berkumpul, kami pasti berhenti untuk kembali meyakinkan bahwa jalan yang
kami ambil menuju desa Sidoasri sudah benar. Menurut mereka, kami tidak
tersesat. Jalan yang kami ambil untuk menuju desa Sidoasri sudah benar, hanya
saja mereka tetap mewanti-wanti perihal medan perjalanan yang nanti akan kurang
bersahabat. Meskipun demikian, mereka tetap mengatakan bahwa kendaraan kami
masih cukup aman untuk melibas jalanan di sana (kami membawa dua motor
matic plus satu motor bebek). Sempat
juga tadi kami menyebutkan nama Coban Tundo, tetapi mereka yang kami tanyai malah
mengaku kurang tahu menahu mengenai air terjun ini. Tampaknya tempat yang akan
kami tuju ini masih benar-benar sepi. Ya, setidaknya itulah ekspektasi awal kami.
"I walked across an empty land
I knew the pathway like the back of my hand
I felt the earth beneath my feet
Sat by the river and it made me complete..."
(Somewhere Only We Know, by Keane)
Kamipun melanjutkan perjalanan. Awalnya
medan perjalanan bisa dibilang biasa-biasa saja, tetapi lama kelamaan kami jadi
mengerti kenapa
kok di artikel yang
kami baca sempat tertulis anjuran untuk tidak menggunakan kendaraan
matic. Jalan yang kami tempuh naik turun
menembus kawasan hutan perkebunan milik PTPN. Tidak cukup sampai di situ,
tekstur jalan juga aduhai gilanya. Lebih banyak rusaknya daripada mulusnya. Kami
kini seperti terdampar di dunia yang antah berantah. Sekelililing kami kini
didominasi hutan perkebunan yang tumbuh di perbukitan kering. Sesekali kami
juga melintas di desa-desa kecil yang bentuk bangunan rumahnya menyerupai
bangunan asrama tempo
doeloe. Sepertinya
desa-desa tersebut dihuni oleh karyawan PTPN yang berdinas di situ. Melihat
begitu terpencilnya jalur yang kami lalui, bertemu dengan desa dan manusia
seolah menjadi hiburan yang cukup melegakan. Setidaknya ada yang bisa dimintai
bantuan kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
 |
Jalan rusak di tengah 'dunia yang hilang'
|
 |
Antah berantah |
 |
Kawan, dimanakah kita..? |
 |
Batu besar di lereng bukit. Dari manakah asalmu..? |
Bagi yang masih sayang
dengan tunggangannya, sungguh tidak disarankan melalui jalur ini. Akan lebih
baik menuju desa Sidoasri melalui jalur memutar melalui jalan utama ke arah
Pantai Sendang Biru. Jalurnya memang akan menjadi sangat jauh, tetapi tentu
dapat menjauhkan diri dari kekhawatiran juga. Lantaran berada di daerah yang
cukup terpencil itu juga indera pesimis kami sempat terusik. Yaitu kalau
misalnya air terjun yang kami cari tidak bisa ditemukan, kami akan pergi ke
pantai di daerah Sendang biru saja. Toh di sana banyak pantai yang bagus-bagus.
Sebenarnya kami tidak bisa dibilang sendirian juga. Bersama kami, sempat juga
ada rombongan lain yang mempunyai tempat tujuan sama. Tetapi akhirnya mereka
berpisah dengan kami setelah mereka puas berfoto di sebuah jembatan tua.
 |
Rombongan lain yang juga sama-sama nyasarnya |
 |
Melintas di jembatan tua |
 |
Pemandangan di dasar jembatan |
Kami tidak ingat berapa lama kami
menempuh medan berat barusan, sebelum akhirnya kami kembali bertemu dengan
‘peradaban’. Di sebuah desa yang cukup ramai, kami kembali bertanya dengan
seorang seorang bapak warga sekitar tentang keberadaan desa Sidoasri. Si bapak
pun dengan baik hati mengantarkan kami ke persimpangan di depan, yang salah satu
cabangnya mengarah ke desa Sidoasri. Selanjutnya, jalanan yang kami lintasi
mulus-mulus saja meskipun tetap naik turun gunung. Di tengah sisa perjalanan
menuju Coban Tundo, mata kami sempat menangkap papan bertuliskan Coban Kembar
di sisi kiri jalan, tepatnya di depan sebuah warung.
Di sebelah warung tersebut terdapat sebuah
jalan setapak yang mengarah ke dalam hutan. Sebenarnya kami sempat berhenti di
warung tersebut dan bertanya mengenai keberadaan Coban Tundo. Menurut si
pemilik warung, Coban Tundo letaknya masih cukup jauh. Beliaunya juga
menyarankan untuk berkunjung ke Coban Kembar yang jalan masuknya di sebelah
warungya ini saja. Pasalnya Coban Tundo sekarang sudah kelewat ramai. Tetapi
entah karena kurang mawas diri atau apalah sebutannya, kami memutuskan untuk
tetap melanjutkan perjalanan ke Coban Tundo saja.
Motor pun kembali digeber. Dari ketinggian
bukit yang kami lintasi, kami mulai bisa melihat garis pantai. Suatu hiburan
tersendiri bagi kami yang mungkin lelah berputar-putar di tempat antah-berantah
tadi. Di salah satu pertigaan, kami sempat juga melihat anak panah yang
mennjukkan arah menuju pantai yang namanya bisa dibilang agak ‘mengundang’,
Pantai Perawan. Tetapi tentu kami tetap fokus ke tujuan awal kami, yaitu Coban
Tundo.
 |
Persawahan dengan latar belakang pegunungan di Desa Sidoasri |
Entah pukul berapa kami akhirnya
tiba di desa terakhir (sepertinya inilah desa Sidoasri). Di beberapa titik
terdapat percabangan yang salah satunya mengarah ke sebuah pantai yang namanya
terasa asing di tellinga kami, Pantai Klatakhan. Parga warga yang tampaknya
sudah paham bahwa kami adalah ‘orang luar’ yang hendak mencari tempat pelesiran
di desanya langsung menunjukkan letak Coban Tundo tanpa perlu kami tanya. Di
sepanjang jalanan yang membelah desa tersebut, kami sempat beberapa kali mendapati
arena permainan bilyard yang mejanya digelar begitu saja di halaman rumah warga
dengan beralaskan tanah. Ketika kami akhirnya tiba di sebuah rumah yang
sepertinya menyediakan tempat parkir, bapak-bapak yang ada di sana ternyata malah
mengarahkan kami ke sebuah jalan setapak yang membelah persawahan. Sepertinya
jalan setapak itulah jalan menuju Coban Tundo. Kami pun menurut saja. Toh kami
tidak sendirian. Setelah sekitar dua ratusan meter, jalan setapak membelah
persawahan tersebut mulai memasuki hutan dan semak-semak. Di titik ini, kami
sempat tiga kali menemui kesulitan ketika sepeda motor kami harus menempuh
jalan naik turun menyeberangi sungai kecil. Sebenarnya medan jalan setapak
semacam ini mungkin hanya layak dipakai untuk berjalan kaki, tapi entah kenapa seolah
’dihalalkan’ untuk digilas roda kendaraan bermotor. Padahal sebenarnya motor
yang biasa kita kendarai mungkin hanya dirancang khusus untuk medan beraspal
yang enak untuk dilindas.
 |
Melibas jalan setapak |
 |
Kalau bisa ngomong, pasti roda sepeda kami sudah mengeluh habis-habisan. |
Sampailah kami di tempat parkir
kendaraan. Saat kami kesana, tidak ada tarikan karcis sepeserpun selain ongkos
parkir. Menurut papan penunjuk jalan, Coban Tundo masih harus ditempuh dengan
trekking sejauh 500 meter lagi.
Perjalanan dimulai dengan menyeberangi sungai, kamudian berlanjut menyusuri
jalan setapak yang relatif menanjak. Ahmad dan Faris langsung
ngos-ngosan dibuatnya. “
Ngumpo jantung…,” ujar Faris yang sudah
lama tak berjalan kaki. Mereka berdua kemudian beristirahat
di sebuah gubuk kecil (yang sepertinya bakal
dipakai sebagai warung). Mereka mempersilahkan kami untuk melanjutkan
perjalanan, yang sebenarnya mungkin sudah dekat.
Sampailah kami di air terjun
Coban Tundo. Benar memang kata ibu di dekat jalan menuju Coban Kembar yang kami
tanyai tadi, Coban Tundo sudah ramai. Tapi toh di sini tempatnya relatif bersih.
Tak tampak satupun bangunan warung. Air terjunnya sendiri tampak tak terlalu
tinggi, tetapi tebing-tebing di sisinya tampak menakjubkan dengan garis-garis
relief yang terukir di permmukaannya. Sedangkan
kolam di bawah air terjunnya, sungguh sangat menggoda untuk diceburi. Tetapi
lantaran begitu dalamnya (dan saya juga tidak bisa berenang), saya akhirnya
hanya main air di tepiannya saja. Angga, Danang, dan Mas Saiful yang mahir
berenang saja hampir kewalahan. Sekitar setengah jam kemudian, Ahmad dan Faris
akhirnya datang dan langsung ikut menceburkan diri. Melepas lelah setelah
sektiar 4 jam lebih menempuh perjalanan dari Kota Malang.
 |
Seperti itulah tempat tujuannya |
Puas bermain air di air terjun
pertama, kami mencoba
trekking lagi
menuju bagian atas air terjun. Tak terlalu jauh, kami akhirnya sampai di puncak
air terjun yang ternyata…. sudah seperti semangkuk es cendol! Kolam-kolam alami
di air terjun itu sudah dipenuhi manusia. Bahkan di sekitarnya sudah berdiri
warung-warung. Kami juga sempat dicegat oleh beberapa (oknum?) warga sekitar
yang meminta sumbangan seikhlasnya sebagai dana kebersihan. Entahlah dengan
rekan-rekan saya, terapi saya pribadi agak
nggondok
dengan pemandangan yang saya saksikan. Bukan karena dimintai uang sumbangan,
melainkan oleh keberadaan warung-warungnya. Daerah sekitar air terjun jadi
kotor oleh bekas makanan pengunjung yang kurang peduli hal-hal lain selain
kesenangan dirinya. Tampaknya bukan saya saja yang
ilfeel dengan pemdandangan di hadapan mata kami. Rekan-rekan saya
sepertinya juga merasakan hal yang sama. Kami pun memutuskan untuk turun menuju
tempat parkir.
 |
Trekking menuju air terjun kedua |
 |
Tidak ada sesi foto-foto di air terjun kedua |
Sebelum mengambil sepeda motor,
kami sempat mengobrol sejenak dengan mas tukang parkirnya. Menurut si mas, air
terjun ini ramai didatangi wisatawan semenjak beberapa bulan yang lalu karena
keberadaannya terendus oleh mahasiswa yang sedang melakukan KKN. Masih menurut
si mas, konon dulunya air dari air terjun itu sering dicari orang lantaran
dianggap memiliki khasiat sebagai obat. Hal tersebut berawal dari salah seorang
warga sekitar yang selalu mengalami sulit tidur, tetapi setelah meminum air dari
air terjun tersebut dia jadi bisa kembali tertidur pulas di malam-malam sesudahnya.
Semenjak itu, tersebarlah berita mengenai khasiat air dari air terjun tersebut
hingga pernah mengundang warga luar daerah untuk turut menyicipi tuahnya.
Tetapi barangkali sekarang euforia tersebut sudah berakhir. Siapa pula orang
yang mau meminum air bekas rendaman pengunjung air terjun?
 |
Menuju Pantai Klathakan |
Karena hari masih siang, kami pun
sepakat untuk melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan berikutnya, Pantai Klathakan.
Sebenarnya ini agak di luar rencana, tetapi karena keberadaannya diperirakan
tak terlalu jauh dari tempat kami berpijak sekarang, kamipun oke-oke saja
mendatanginya. Awalnya medan jalan yang kami tempuh bisa dibilang cukup
bersahabat. Setelah jalan beraspal habis, jalanan masih berupa jalanan berlapis
semen yang masih ramah kepada roda kendaraan. Tetapi lama kelamaan, setelah
jalanan yang mulus itu habis, kami harus melintas di sebuah jalan setapak sempit
di tepi tebing. Di sebelah kiri kami berdiri tebing yang menjulang tinggi (plus
rawan longsor juga tampaknya), sedangkan di kanan kami menganga jurang yang berbatasan
dengan muara sungai.
Kami sejenak sempat merasa lega
karena di bawah kami telah terbentang pemandangan pantai yang begitu sepi dan
bersih. Tak tampak sedikitpun aktifitas manusia, apalagi warung. Tapi
lama-kelamaan kami heran juga lantaran kami tak kunjung menemukan jalan turun
menuju pantai itu. Kami terus berjalan, tapi hingga pantai tersebut lenyap dari
pandangan mata kami tak juga menemukan pintu masuk yang kami cari. Di tengah
kebingungan, kami kemudian bertemu dengan dua orang -yang dilihat dari senapan
yang mereka bawa- sepertinya hendak berburu. Dari penuturan mereka, kami masih harus
berjalan beberapa saat lagi untuk bisa sampai di Pantai Klathakan. Karenanya, kami
baru sadar bahwa pantai yang kami lihat beberapa saat tadi itu ternyata
bukanlah Pantai Klathakan. Dari dua orang pemburu itu juga kami tahu bahwa di
Pantai Klathakan juga ada tempat parkirnya. Mereka pun berlalu.
 |
Pantai tak dikenal yang sempat kami kira Pantai Klathakan |
Angga yang membonceng saya berkali-kali
harus menghentikan laju sepeda motornya. Yang dibonceng dan membonceng juga
sama-sama ciut nyalinya menghadapi turunan curam. Tapi toh akhirnya rasa
was-was itu terbayar juga ketika kami sampai di Pantai Klathakan. Ya, memang di
pantai ini ada sebuah bangunan kecil yang teduh serta dapat menampung sekitar
lima buah sepeda motor. Di sebelah bangunan itu bediri sebuah kamar mandi
plus toilet yang cukup luas dengan air tawar
melimpah di dalam baknya. Tak tampak seorang pun pengunjung selain dua pemburu yang
tadi kami temui. Manusia lain yang juga tampak adalah beberapa nelayan yang
sedang berlayar tak jauh dari pantai. Beberapa perahu tampak terparkir dalam
posisi terbalik di bawah tempat parkir sepeda motor.
 |
Akhirnya tiba juga di Pantai Klathakan (abaikan foto orangnya) |
Kamipun sepakat bahwa pantai ini
sepi pengunjung karena memang aksesnya bisa dibilang luar biasa sulit. Mungkin
subyektif, tapi pantai ini memang tidak teralu indah. Tetapi karena hal-hal
itulah kami jadi bisa menikmati suasana pantai ini dengan lebih leluasa. Tak
ada seorang pun pengunjung selain dua orang pemburu yang barusan bertemu dengan
kami. Fasilitas paling menyenangkan dan melegakan adalah keberadaan kamar mandi
yang airnya tawar dan segar! Ya, tawar dan segar. Tidak seperti di
pantai-pantai yang pernah saya kunjungi sebelumnya yang airnya agak asin dan
hangat.
 |
Konon, kalau nekad bisa juga ke Australia lewat sini. |
Sialnya, ketika asyik bermain
bersama ombak, gulungan air dari tengah laut itu menghempaskan tubuh faris yang
akhirnya menimpa saya hingga kaki saya tergores batu karang hingga berdarah. Buntutnya,
kami tak bisa lagi terlalu berlama-lama bermain bersama ombak. Kami pun
akhirnya membilas diri bersama-sama di kamar mandi. Lagipula, hari sudah
semakin sore. Sebelum kembali naik motor, saya sempat menambal luka saya dengan
plester antiseptik yang sudah saya persiapkan sejak dari rumah. Kesialan yang
lain adalah saya kehilangan salah satu celana pendek saya. Celana itu
sebenarnya sedianya hendak saya pinjamkan kepada Angga lantaran dia lupa
membawa celana ganti. Tapi sepertinya celana itu terjatuh tanpa saya sadari
ketika saya
packing di Coban Tundo
tadi. Ujung-ujungnya, Angga menggeber motornya dengan celana basah.
 |
Oleh-oleh dari pantai, luka akibta tertusuk batu karang |
Setelah berhasil keluar dari
jalan setapak naik turun di bibir jurang, di sepanjang jalan di desa kami
mencari masjid yang ternyata bukan perkara mudah. Sejauh mata memandang tidak
terdapat satupun bangunan masjid. Kami baru menemukan masjid setelah menempuh
perjalanan sekitar tiga puluh menitan. Alhamdulillah. Menemukan masjid rasanya
seperti kembali menemukan rumah, feels
like home. Setelah sholat dan mandi lagi, kami pun bergegas pulang. Sarung saya akhirnya dipakai Angga. Mumpung di
seberang masid ada warung kelontong yang juga menjual bensin eceran, saya kembali
mengingatkan Angga untuk mengisi bahan bakarnya. Sebenarnya ini bukan yang
pertama kali saya mengingatkan, tetapi bukan yang pertama kali ini juga dia
tampak santai-santai saja. Menurutnya, bensinnya masih akan cukup untuk menuju
pom bensin di jalan raya Sumbermanjing nanti.
Dalam perjalanan pulang, kami
tentu sudah tidak lagi melewati jalan di tengah perkebunan PTPN. Kami melewati
jalan raya yang ternyata memakan waktu jauh lebih lama dan jauh! Tetapi
karenanya, kami juga jauh dari rasa khawatir dari hal-hal yang tidak
diinginkan. Kami kembali sampai di Kota Malang tepat pukul delapan malam.
"I've crossed the deserts for miles
Swam water for time
Searching places to find
A piece of something to call mine (I'm coming)
A piece of something to call mine (I'm coming) (I'm coming)..."
(Pure Shores, by All Saints)