Senin, 28 Desember 2015

Coban Tundo dan Bonusnya.



"Tak kalah dengan orang gedean 
Dalam rasakan senang 
Walau lembaran gaji sebulan 
Hanya cukup untuk kakus 
Soal rekreasi sih harus..."
(Libur Kecil Kaum Kusam, by Iwan Fals)

Peserta kali ini tidak jauh berbeda dengan perjalanan-perjalanan terdahulu. Masih dengan saya, Angga, Ahmad, dan Danang. Turut ikut juga mas Saiful rekan Ahmad, dan juga Faris yang kami ‘ciduk’ secara mendadak di rumahnya. Hari itu sebenarnya bertepatan dengan acara Pilkada Serentak, yaitu 9 Desember 2015. Hanya saja karena kami semua berdomisili di daerah kota, kami tidak turut berpartisipasi dalam perhelatan tersebut. Di wilayah Malang Raya sendiri, acara tersebut hanya diadakan di daerah Kabupaten Malang dan Kota Batu.

Personelnya, ki-ka: Danang, Faris, saya, Angga, Mas Saipul, dan Ahmad (juru foto)
Pukul 7.40, kami meluncur dari rumah Faris di daerah Tanjung, Malang. Dari rumah Faris, kami mengambil rute menembus ‘pedalaman’ Mergosono yang mengantarkan kami ke daerah Bumiayu. Lanjut Bululawang, Turen, Talok, hingga seterusnya menuju daerah Sumbermanjing Wetan yang kini beken dengan istilah ‘Sumawe’. Cuaca sendiri hari itu Alhamdulillah cukup cerah. Kami awalnya sempat tak percaya dengan artikel yang kami baca mengenai jarak tempuh dari Kota Malang menuju Coban Tundo yang mencapai 100 km dan memakan waktu tempuh hingga tiga jam lebih. Pasalnya, jarak sejauh itu bisa dibilang sama dengan jarak Kota Malang menuju Surabaya. Tetapi belakangan kami akhirnya mengerti sendiri ‘petualangan’ yang harus kami lalui, yang membuat jarak menuju tempat tujuan kami terasa begitu jauh. Kami berpatokan pada salah satu artikel yang menyebutkan bahwa jalan masuk menuju Coban Tundo berada di pertigaan sebelum pom bensin yang konon merupakan pom bensin terakhir di Sumbermanjing.

Menanti timing yang tepat untuk menyalip truk di depan
Hutan jati di daerah Sumbermanjing
Padat merayap
Sampailah kami di pom bensin tersebut. Di sini kami sempat kebingungan mencari jalan mana yang harus kami tempuh untuk mencari Coban Tundo. Untuk menuju desa Sidoasri (desa terdekat dengan lokasi Coban Tundo), menurut artikel kami memang harus melalui pertigaan sebelum pom bensin ini. Tetapi beberapa warga memberikan jawaban yang berlainan. Menurut penuturan mereka, untuk menuju desa Sidoasri kami tetap harus menempuh jalan ke arah Pantai Sendang Biru. Kami pun kemudian memutuskan untuk berbalik arah menuju pertigaan sebelum pom bensin. Sesuai artikel yang kami baca, di pertigaan tersebut kami berbelok menuju arah Klepu. Sebelum masuk lebih jauh, kami kembali bertanya pada warga sekitar mengenai keberadaan desa Sidoasri. Mereka memberikan jawaban bahwa desa Sidoasri memang bisa ditempuh melalui Klepu, tetapi jalurnya nanti akan melalui hutan perkebunan dengan jalanan yang rusak (meskipun sebenarnya jalur ini bisa dibilang jalur shortcut).  Karena informasi yang diberikan ‘agak’ mirip dengan yang kami baca di artikel, maka kami pun melanjutkan perjalanan ke arah Klepu.

Gapura pintu masuk menuju arah Klepu
Di beberapa titik dimana terdapat warga berkumpul, kami pasti berhenti untuk kembali meyakinkan bahwa jalan yang kami ambil menuju desa Sidoasri sudah benar. Menurut mereka, kami tidak tersesat. Jalan yang kami ambil untuk menuju desa Sidoasri sudah benar, hanya saja mereka tetap mewanti-wanti perihal medan perjalanan yang nanti akan kurang bersahabat. Meskipun demikian, mereka tetap mengatakan bahwa kendaraan kami masih cukup aman untuk melibas jalanan di sana (kami membawa dua motor matic plus satu motor bebek). Sempat juga tadi kami menyebutkan nama Coban Tundo, tetapi mereka yang kami tanyai malah mengaku kurang tahu menahu mengenai air terjun ini. Tampaknya tempat yang akan kami tuju ini masih benar-benar sepi. Ya, setidaknya itulah ekspektasi awal kami.

"I walked across an empty land
I knew the pathway like the back of my hand
I felt the earth beneath my feet
Sat by the river and it made me complete..."
(Somewhere Only We Know, by Keane) 

Kamipun melanjutkan perjalanan. Awalnya medan perjalanan bisa dibilang biasa-biasa saja, tetapi lama kelamaan kami jadi mengerti kenapa kok di artikel yang kami baca sempat tertulis anjuran untuk tidak menggunakan kendaraan matic. Jalan yang kami tempuh naik turun menembus kawasan hutan perkebunan milik PTPN. Tidak cukup sampai di situ, tekstur jalan juga aduhai gilanya. Lebih banyak rusaknya daripada mulusnya. Kami kini seperti terdampar di dunia yang antah berantah. Sekelililing kami kini didominasi hutan perkebunan yang tumbuh di perbukitan kering. Sesekali kami juga melintas di desa-desa kecil yang bentuk bangunan rumahnya menyerupai bangunan asrama tempo doeloe. Sepertinya desa-desa tersebut dihuni oleh karyawan PTPN yang berdinas di situ. Melihat begitu terpencilnya jalur yang kami lalui, bertemu dengan desa dan manusia seolah menjadi hiburan yang cukup melegakan. Setidaknya ada yang bisa dimintai bantuan kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. 

Jalan rusak di tengah 'dunia yang hilang'
Antah berantah
Kawan, dimanakah kita..?
Batu besar di lereng bukit. Dari manakah asalmu..?
Bagi yang masih sayang dengan tunggangannya, sungguh tidak disarankan melalui jalur ini. Akan lebih baik menuju desa Sidoasri melalui jalur memutar melalui jalan utama ke arah Pantai Sendang Biru. Jalurnya memang akan menjadi sangat jauh, tetapi tentu dapat menjauhkan diri dari kekhawatiran juga. Lantaran berada di daerah yang cukup terpencil itu juga indera pesimis kami sempat terusik. Yaitu kalau misalnya air terjun yang kami cari tidak bisa ditemukan, kami akan pergi ke pantai di daerah Sendang biru saja. Toh di sana banyak pantai yang bagus-bagus. Sebenarnya kami tidak bisa dibilang sendirian juga. Bersama kami, sempat juga ada rombongan lain yang mempunyai tempat tujuan sama. Tetapi akhirnya mereka berpisah dengan kami setelah mereka puas berfoto di sebuah jembatan tua.


Rombongan lain yang juga sama-sama nyasarnya
Melintas di jembatan tua
Pemandangan di dasar jembatan
Kami tidak ingat berapa lama kami menempuh medan berat barusan, sebelum akhirnya kami kembali bertemu dengan ‘peradaban’. Di sebuah desa yang cukup ramai, kami kembali bertanya dengan seorang seorang bapak warga sekitar tentang keberadaan desa Sidoasri. Si bapak pun dengan baik hati mengantarkan kami ke persimpangan di depan, yang salah satu cabangnya mengarah ke desa Sidoasri. Selanjutnya, jalanan yang kami lintasi mulus-mulus saja meskipun tetap naik turun gunung. Di tengah sisa perjalanan menuju Coban Tundo, mata kami sempat menangkap papan bertuliskan Coban Kembar di sisi kiri jalan, tepatnya di depan sebuah warung.  Di sebelah warung tersebut terdapat sebuah jalan setapak yang mengarah ke dalam hutan. Sebenarnya kami sempat berhenti di warung tersebut dan bertanya mengenai keberadaan Coban Tundo. Menurut si pemilik warung, Coban Tundo letaknya masih cukup jauh. Beliaunya juga menyarankan untuk berkunjung ke Coban Kembar yang jalan masuknya di sebelah warungya ini saja. Pasalnya Coban Tundo sekarang sudah kelewat ramai. Tetapi entah karena kurang mawas diri atau apalah sebutannya, kami memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan ke Coban Tundo saja.  Motor pun kembali digeber. Dari ketinggian bukit yang kami lintasi, kami mulai bisa melihat garis pantai. Suatu hiburan tersendiri bagi kami yang mungkin lelah berputar-putar di tempat antah-berantah tadi. Di salah satu pertigaan, kami sempat juga melihat anak panah yang mennjukkan arah menuju pantai yang namanya bisa dibilang agak ‘mengundang’, Pantai Perawan. Tetapi tentu kami tetap fokus ke tujuan awal kami, yaitu Coban Tundo.

Persawahan dengan latar belakang pegunungan di Desa Sidoasri
Entah pukul berapa kami akhirnya tiba di desa terakhir (sepertinya inilah desa Sidoasri). Di beberapa titik terdapat percabangan yang salah satunya mengarah ke sebuah pantai yang namanya terasa asing di tellinga kami, Pantai Klatakhan. Parga warga yang tampaknya sudah paham bahwa kami adalah ‘orang luar’ yang hendak mencari tempat pelesiran di desanya langsung menunjukkan letak Coban Tundo tanpa perlu kami tanya. Di sepanjang jalanan yang membelah desa tersebut, kami sempat beberapa kali mendapati arena permainan bilyard yang mejanya digelar begitu saja di halaman rumah warga dengan beralaskan tanah. Ketika kami akhirnya tiba di sebuah rumah yang sepertinya menyediakan tempat parkir, bapak-bapak yang ada di sana ternyata malah mengarahkan kami ke sebuah jalan setapak yang membelah persawahan. Sepertinya jalan setapak itulah jalan menuju Coban Tundo. Kami pun menurut saja. Toh kami tidak sendirian. Setelah sekitar dua ratusan meter, jalan setapak membelah persawahan tersebut mulai memasuki hutan dan semak-semak. Di titik ini, kami sempat tiga kali menemui kesulitan ketika sepeda motor kami harus menempuh jalan naik turun menyeberangi sungai kecil. Sebenarnya medan jalan setapak semacam ini mungkin hanya layak dipakai untuk berjalan kaki, tapi entah kenapa seolah ’dihalalkan’ untuk digilas roda kendaraan bermotor. Padahal sebenarnya motor yang biasa kita kendarai mungkin hanya dirancang khusus untuk medan beraspal yang enak untuk dilindas.

Melibas jalan setapak
Kalau bisa ngomong, pasti roda sepeda kami sudah mengeluh habis-habisan.
Sampailah kami di tempat parkir kendaraan. Saat kami kesana, tidak ada tarikan karcis sepeserpun selain ongkos parkir. Menurut papan penunjuk jalan, Coban Tundo masih harus ditempuh dengan trekking sejauh 500 meter lagi. Perjalanan dimulai dengan menyeberangi sungai, kamudian berlanjut menyusuri jalan setapak yang relatif menanjak. Ahmad dan Faris langsung ngos-ngosan dibuatnya. “Ngumpo jantung…,” ujar Faris yang sudah lama tak berjalan kaki. Mereka berdua kemudian beristirahat  di sebuah gubuk kecil (yang sepertinya bakal dipakai sebagai warung). Mereka mempersilahkan kami untuk melanjutkan perjalanan, yang sebenarnya mungkin sudah dekat.
Sampailah kami di air terjun Coban Tundo. Benar memang kata ibu di dekat jalan menuju Coban Kembar yang kami tanyai tadi, Coban Tundo sudah ramai. Tapi toh di sini tempatnya relatif bersih. Tak tampak satupun bangunan warung. Air terjunnya sendiri tampak tak terlalu tinggi, tetapi tebing-tebing di sisinya tampak menakjubkan dengan garis-garis relief yang terukir di permmukaannya. Sedangkan kolam di bawah air terjunnya, sungguh sangat menggoda untuk diceburi. Tetapi lantaran begitu dalamnya (dan saya juga tidak bisa berenang), saya akhirnya hanya main air di tepiannya saja. Angga, Danang, dan Mas Saiful yang mahir berenang saja hampir kewalahan. Sekitar setengah jam kemudian, Ahmad dan Faris akhirnya datang dan langsung ikut menceburkan diri. Melepas lelah setelah sektiar 4 jam lebih menempuh perjalanan dari Kota Malang.

Seperti itulah tempat tujuannya
Puas bermain air di air terjun pertama, kami mencoba trekking lagi menuju bagian atas air terjun. Tak terlalu jauh, kami akhirnya sampai di puncak air terjun yang ternyata…. sudah seperti semangkuk es cendol! Kolam-kolam alami di air terjun itu sudah dipenuhi manusia. Bahkan di sekitarnya sudah berdiri warung-warung. Kami juga sempat dicegat oleh beberapa (oknum?) warga sekitar yang meminta sumbangan seikhlasnya sebagai dana kebersihan. Entahlah dengan rekan-rekan saya, terapi saya pribadi agak nggondok dengan pemandangan yang saya saksikan. Bukan karena dimintai uang sumbangan, melainkan oleh keberadaan warung-warungnya. Daerah sekitar air terjun jadi kotor oleh bekas makanan pengunjung yang kurang peduli hal-hal lain selain kesenangan dirinya. Tampaknya bukan saya saja yang ilfeel dengan pemdandangan di hadapan mata kami. Rekan-rekan saya sepertinya juga merasakan hal yang sama. Kami pun memutuskan untuk turun menuju tempat parkir.

Trekking menuju air terjun kedua
Tidak ada sesi foto-foto di air terjun kedua
Sebelum mengambil sepeda motor, kami sempat mengobrol sejenak dengan mas tukang parkirnya. Menurut si mas, air terjun ini ramai didatangi wisatawan semenjak beberapa bulan yang lalu karena keberadaannya terendus oleh mahasiswa yang sedang melakukan KKN. Masih menurut si mas, konon dulunya air dari air terjun itu sering dicari orang lantaran dianggap memiliki khasiat sebagai obat. Hal tersebut berawal dari salah seorang warga sekitar yang selalu mengalami sulit tidur, tetapi setelah meminum air dari air terjun tersebut dia jadi bisa kembali tertidur pulas di malam-malam sesudahnya. Semenjak itu, tersebarlah berita mengenai khasiat air dari air terjun tersebut hingga pernah mengundang warga luar daerah untuk turut menyicipi tuahnya. Tetapi barangkali sekarang euforia tersebut sudah berakhir. Siapa pula orang yang mau meminum air bekas rendaman pengunjung air terjun?

Menuju Pantai Klathakan
Karena hari masih siang, kami pun sepakat untuk melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan berikutnya, Pantai Klathakan. Sebenarnya ini agak di luar rencana, tetapi karena keberadaannya diperirakan tak terlalu jauh dari tempat kami berpijak sekarang, kamipun oke-oke saja mendatanginya. Awalnya medan jalan yang kami tempuh bisa dibilang cukup bersahabat. Setelah jalan beraspal habis, jalanan masih berupa jalanan berlapis semen yang masih ramah kepada roda kendaraan. Tetapi lama kelamaan, setelah jalanan yang mulus itu habis, kami harus melintas di sebuah jalan setapak sempit di tepi tebing. Di sebelah kiri kami berdiri tebing yang menjulang tinggi (plus rawan longsor juga tampaknya), sedangkan di kanan kami menganga jurang yang berbatasan dengan muara sungai. 
Kami sejenak sempat merasa lega karena di bawah kami telah terbentang pemandangan pantai yang begitu sepi dan bersih. Tak tampak sedikitpun aktifitas manusia, apalagi warung. Tapi lama-kelamaan kami heran juga lantaran kami tak kunjung menemukan jalan turun menuju pantai itu. Kami terus berjalan, tapi hingga pantai tersebut lenyap dari pandangan mata kami tak juga menemukan pintu masuk yang kami cari. Di tengah kebingungan, kami kemudian bertemu dengan dua orang -yang dilihat dari senapan yang mereka bawa- sepertinya hendak berburu. Dari penuturan mereka, kami masih harus berjalan beberapa saat lagi untuk bisa sampai di Pantai Klathakan. Karenanya, kami baru sadar bahwa pantai yang kami lihat beberapa saat tadi itu ternyata bukanlah Pantai Klathakan. Dari dua orang pemburu itu juga kami tahu bahwa di Pantai Klathakan juga ada tempat parkirnya. Mereka pun berlalu.

Pantai tak dikenal yang sempat kami kira Pantai Klathakan
Angga yang membonceng saya berkali-kali harus menghentikan laju sepeda motornya. Yang dibonceng dan membonceng juga sama-sama ciut nyalinya menghadapi turunan curam. Tapi toh akhirnya rasa was-was itu terbayar juga ketika kami sampai di Pantai Klathakan. Ya, memang di pantai ini ada sebuah bangunan kecil yang teduh serta dapat menampung sekitar lima buah sepeda motor. Di sebelah bangunan itu bediri sebuah kamar mandi  plus toilet yang cukup luas dengan air tawar melimpah di dalam baknya. Tak tampak seorang pun pengunjung selain dua pemburu yang tadi kami temui. Manusia lain yang juga tampak adalah beberapa nelayan yang sedang berlayar tak jauh dari pantai. Beberapa perahu tampak terparkir dalam posisi terbalik di bawah tempat parkir sepeda motor.

Akhirnya tiba juga di Pantai Klathakan (abaikan foto orangnya)
Kamipun sepakat bahwa pantai ini sepi pengunjung karena memang aksesnya bisa dibilang luar biasa sulit. Mungkin subyektif, tapi pantai ini memang tidak teralu indah. Tetapi karena hal-hal itulah kami jadi bisa menikmati suasana pantai ini dengan lebih leluasa. Tak ada seorang pun pengunjung selain dua orang pemburu yang barusan bertemu dengan kami. Fasilitas paling menyenangkan dan melegakan adalah keberadaan kamar mandi yang airnya tawar dan segar! Ya, tawar dan segar. Tidak seperti di pantai-pantai yang pernah saya kunjungi sebelumnya yang airnya agak asin dan hangat.

Konon, kalau nekad bisa juga ke Australia lewat sini.
Sialnya, ketika asyik bermain bersama ombak, gulungan air dari tengah laut itu menghempaskan tubuh faris yang akhirnya menimpa saya hingga kaki saya tergores batu karang hingga berdarah. Buntutnya, kami tak bisa lagi terlalu berlama-lama bermain bersama ombak. Kami pun akhirnya membilas diri bersama-sama di kamar mandi. Lagipula, hari sudah semakin sore. Sebelum kembali naik motor, saya sempat menambal luka saya dengan plester antiseptik yang sudah saya persiapkan sejak dari rumah. Kesialan yang lain adalah saya kehilangan salah satu celana pendek saya. Celana itu sebenarnya sedianya hendak saya pinjamkan kepada Angga lantaran dia lupa membawa celana ganti. Tapi sepertinya celana itu terjatuh tanpa saya sadari ketika saya packing di Coban Tundo tadi. Ujung-ujungnya, Angga menggeber motornya dengan celana basah.

Oleh-oleh dari pantai, luka akibta tertusuk batu karang
Setelah berhasil keluar dari jalan setapak naik turun di bibir jurang, di sepanjang jalan di desa kami mencari masjid yang ternyata bukan perkara mudah. Sejauh mata memandang tidak terdapat satupun bangunan masjid. Kami baru menemukan masjid setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menitan. Alhamdulillah. Menemukan masjid rasanya seperti kembali menemukan rumah, feels like home. Setelah sholat dan mandi lagi, kami pun bergegas pulang. Sarung  saya akhirnya dipakai Angga. Mumpung di seberang masid ada warung kelontong yang juga menjual bensin eceran, saya kembali mengingatkan Angga untuk mengisi bahan bakarnya. Sebenarnya ini bukan yang pertama kali saya mengingatkan, tetapi bukan yang pertama kali ini juga dia tampak santai-santai saja. Menurutnya, bensinnya masih akan cukup untuk menuju pom bensin di jalan raya Sumbermanjing nanti.
Dalam perjalanan pulang, kami tentu sudah tidak lagi melewati jalan di tengah perkebunan PTPN. Kami melewati jalan raya yang ternyata memakan waktu jauh lebih lama dan jauh! Tetapi karenanya, kami juga jauh dari rasa khawatir dari hal-hal yang tidak diinginkan. Kami kembali sampai di Kota Malang tepat pukul delapan malam.

"I've crossed the deserts for miles
Swam water for time
Searching places to find
A piece of something to call mine (I'm coming)
A piece of something to call mine (I'm coming) (I'm coming)...
"
(Pure Shores, by All Saints)


Sabtu, 31 Oktober 2015

Gowes to Remember Part 2: Ngembul Redemption




Semenjak beranjak dari Sumber Jenon, kami sebenarnya (dan sepertinya) sudah tak lagi peduli dan ingat dengan posisi kami saat itu. Entah itu masih di Malang, Buring, sudah masuk Bululawang, Tajinan, atau dimana lagi kami sudah tak lagi memikirkannya. Kami terus diburu rasa penasaran tentang keberadaan Ngembul. Seperti yang sudah saya ceritakan di awal tadi, menurut Ivan tempat ini adalah tempatnya bolos sewaktu SD dulu. Dari arah jalan raya Tajinan-Bululawang, di sebuah percabangan kami berbelok menuju timur lalu melewati  jembatan yang dulunya sepertinya juga bekas jembatan lori PG Kebonagung. Mungkin jalur lori ini adalah tembusannya rel lori yang tadi sempat  kami temui. Kondisinya sama, tidak terdapat satu batang rel pun yang tersisa. Semuanya sudah diaspal, sehingga hanya menyisakan kerangka jembatannya saja. Sayangnya kami tidak sempat mengabadikan keberadaan jembatan ini. Keberadaan sisa-sisa jalur kereta api semacam itu selalu membawa saya ke imajinasi tentang keberadaannya di masa lalu. Pada akhirnya konsentrasi saya terpecah menjadi dua, terus mencari keberadaan sumber air Ngembul sekaligus tertumpangi bayangan tentang kejayaan angkutan lori tebu jaman baheula.

Konon dulunya jalanan ini adalah bekas rel lori.
Jalanan yang tadinya beraspal mulus menembus perkampungan perlahan berganti dengan jalanan berbatu. Kanan kiri kami kini berupa pepohonan dan barongan alias gugusan tanaman bambu. Keberadaannya membuat track yang kami lintasi menjadi teduh. Sambil mengayuh sepeda, saya masih terus menerka-nerka kira-kira mengarah kemanakah rel lori di jembatan tadi? Sama sekali tak terlihat adanya bekas rel. Yang ada hanyalah jalanan berbatu yang membuat perjalanan menjadi bergoncang-goncang. Sesekali di beberapa titik kami menjumpai usaha pembuatan batu bata. Di ujung jalanan berbatu tersebut, kami kembali bertemu dengan jalan beraspal yang membentuk pertigaan. Salah satu cabang jalannya tampak menurun dengan kemiringan cukup curam. Di sini kami kembali sempat kebingungan karena kami sama sekali tidak menemukan seorangpun yang bisa diajak bertanya. Yang ada di sekeliling kami hanyalah hamparan perkebunan tebu yang dibelah oleh jalan beraspal. Kamipun menepikan sepeda. Sementara Ivan bertanya ke bapak-bapak di tengah kebun tebu perihal lokasi sumber air Ngembul, saya menjaga sepeda dengan pandangan mata yang mendadak nanar karena terpapar teriknya sinar matahari. Tak ada satupun pohon yang cukup rindang untuk dijadikan tempat berteduh. Melihat hamparan perkebunan tebu di sekeliling saya, tak heranlah kalau pada jaman dahulu lori tebu bisa sampai blusukan hingga ke sini.

Penunggangnya kemana?
Cuaca yang terik di tengah kebun tebu.
Setelah mendapatkan informasi yang cukup meyakinkan, kamipun kemudian mengambil jalan menurun. Tak terlalu jauh, Jalan menurun tersebut segera berubah menjadi jalanan menanjak membelah pedesaan. Kami kembali bertanya kepada penduduk sekitar perihal keberadaan sumber air Ngembul. Menurut penuturan mereka, sumber air Ngembul sudah dekat. Di pertigaan depan tinggal belok kiri saja kemudian mengikuti jalanan tanah. Mendapat informasi yang cukup melegakan tersebut, Ivan dengan percaya diri tinggi mendadak nyelonong ke halaman rumah warga. Katanya itu adalah jalan pintas, tapi sepertinya… buntu. “Biyen pas cilik aku nitipno sepeda ndek omah iku,” kilahnya sambil menunjuk rumah seorang warga. Kami pun balik kucing dan kembali menyusuri jalan tanah menembus barongan.
Lepas dari barongan, mata kami menangkap keberadaan sebuah kolam dipenuhi air sangat jernih yang terletak di bawah tebing . “Oooo… yo iki lho, Dif..!” teriak Ivan sumringah. Tampaknya kami sudah hampir sampai di Ngembul. Setelah menuruni jalanan tanah, untuk menuju ke kolam kami masih harus berjalan kaki lagi sekitar 50 meteran meniti pematang tegalan. Biarpun tak tampak keberadaan manusia lain, tentu kami tetap memasang mata untuk mengawasi sepeda yang kami tinggalkan di bawah pohon pisang. Menurut penuturan Ivan, dahulu di Ngembul ini tidak terdapat pagar kawat berduri seperti sekarang. Dilihat dari pipa-pipa yang terpasang di sekitar kolam Ngembul, sepertinya sumber air ini telah dikelola oleh PDAM. Tak banyak informasi yang bisa didapatkan dari sumber air yang satu ini. Sewaktu kami berdua sampai sana, tidak ada satupun warga sekitar atau petugas yang tampak menjaga. 

Sumber air su dekat...
Bagi saya pribadi pemandangan sumber air Ngembul sendiri tak terlalu indah, tetapi memang agak ajaib. Ajaibnya adalah karena daerah di sekitar kami berdiri ini bisa dibilang daerah yang kering, tetapi ternyata menyimpan sumber air yang begitu melimpah. Ini bukan fatamorgana, melainkan oase. Dan seperti lazimnya orang yang menemukan sumber air langsung dari alam, kamipun tak ragu untuk menyesapi kesegarannya. Lantaran dipagar kawat, kami tidak lagi bisa menceburkan ke dalam kolam itu. Tetapi pancuran air dari pipa rasanya sudah lebih dari cukup menghapus rasa dahaga yang mencekik kerongkongan serta mendinginkan ubun-ubun setelah tersengat terik matahari. Maklumlah kami memang baru mencapai Ngembul ini saat matahari tepat berada di atas kepala, di puncak musim kemarau pula. Melihat air yang begitu melimpah seperti  itu, rasa nyeri yang menggigit ibu jari kaki kiri saya sejenak terlupakan begitu saja. Tak lupa juga kami mengisi kembali botol air minum kami dengan air dari sumber Ngembul. 

Pulang dengan riang
Seporsi mie ayam mengisi perut kami di sebuah warung pojok jalan. Tak terlalu istimewa rasanya. Barangkali yang membuatnya terasa enak adalah karena kami telah banyak menghabiskan tenaga, hingga makanan tersebut begitu cepatnya berpindah ke rongga perut kami, dan menjadikannya tak sebanding dengan penantian untuk proses pemasakannya. Tetapi kiranya itu cukup untuk me-recharge energi karena tentu kami masih harus kembali mancal untuk menempuh perjalanan pulang.
Entahlah dengan Ivan yang mungkin telah puas menemukan kembali penggalan masa kecilnya, kalau saya pribadi… tentu saya masih terbayang-bayang tentang jalur lori yang bekas-bekasnya baru saja saya temui. 

Lori tebu, sesuatu yang mendadak 'menghantui' saya selama gowes. (Sumber: https://www.flickr.com/photos/sugarcanerailways/7638531362/in/photostream/)


--- SEKIAN ---

Gowes to Remember Part 1: Sumber Jenon dan Kejutannya



Adakah yang tidak setuju?
Setelah seminggu sebelumnya gagal menemukan sumber air di daerah Buring seperti yang di-posting oleh rekan Ivan, maka acara sepedaan kali ini (24 November 2015) saya dan Ivan mengalihkan tujuan ke tempat lain. Ivan mendadak punya ide untuk ‘menapaktilasi’ sumber air yang menurut pengakuannya merupakan tempatnya membolos ketika jaman dia SD. Sumber air itu diyakininya juga berada di daerah Buring. Tetapi apabila sumber air itu tidak juga bisa ditemukan, maka tujuannya dialihkan ke Sumber Jenon di daerah Tajinan. Boleh juga usulan destinasinya.
Kami start dari rumahnya Ivan di daerah Sawojajar sekitar pukul 06.30. Sebelum berangkat, tak lupa saya membalut ibu jari kaki kanan saya dengan plester. Pasalnya kukunya hampir lepas tanpa saya tahu sebab musababnya. Tujuan kami yang pertama adalah mencari sumber air di daerah Buring tempat Ivan mbolos semasa SD dahulu. Sepeda kami kayuh ke arah selatan menyusuri jl. Ki Ageng Gribig dan Mayjen Sungkono, berjibaku bersama kendaraan-kendaraan berat yang berjalan merayap seperti uler keket dan juga sepeda motor yang entah kenapa selalu terburu waktu. Kami sempat juga mampir di sebuah SPBU untuk ‘buang sampah organik’. Selanjutnya roda sepeda berbelok ke arah timur, melintasi jalanan lebar ber-paving di kompleks perumahan Buring Satelit. Tak terlalu jauh, kami kembali berbelok ke arah selatan untuk menyusuri jalan setapak di tepi sungai hingga sejauh beberapa kilometer ke depan. Pemandangan terus berganti-ganti antara perkampungan, pedesaan, persawahan, dan perkebunan tebu. Gugusan Gunung Kawi-Buthak-Panderman menjadi dinding latar belakang Kota Malang di sebelah barat. Jalan setapak yang kami lindas sendiri tak melulu berupa jalan tanah. Di beberapa titik ruas jalan setapak tersebut telah berlapis paving stone.

Peta Kota Malang tahun jebot.
Di ujung jalan setapak yang membentuk pertigaan, kami berbelok ke timur melintasi jembatan menuju arah Tajinan. Medan yang kami lintasi kali ini berupa jalanan aspal menanjak di tengah-tengah pedesaan. Di sebuah pertigaan kami berhenti lantaran bingung hendak kemana lagi harus mengayuh sepeda. Setelah bertanya ke seorang bapak warga sekitar tentang lokasi sumber air tersebut, barulah kami tahu bahwa kami telah salah arah. Di ujung jalan setapak tadi kami seharusnya mengikuti jalur beraspal lurus menuju arah Bululawang, bukannya ke arah Tajinan seperti yang telah kami tempuh hingga sejauh ini. Dari bapak itu kami juga baru tahu bahwa sumber air tempat tujuan kami tersebut bernama Ngembul. Tetapi karena kami sudah terlanjur berada di daerah Tajinan, maka kami sepakat untuk terlebih dahulu pergi ke Sumber Jenon. Untuk tujuan yang kedua ini, saya baru akhir-akhir ini saja mengetahuinya dari artikel di surat kabar mengenai penjelajahan sumber-sumber air di Malang Raya. 

Peta jadul pun masih bisa dipelajari.
Jalanan yang kami tempuh masih berupa jalanan pedesaan beraspal mulus. Kontur jalanan cenderung menanjak landai. Beberapa kali kami bertemu dengan mikrolet trayek Tumpang-Tajinan-Gadang yang selalu saja tampak sepi penumpangnya. Saya sebenarnya telah browsing terlebih dahulu perihal keberadaan Sumber Jenon ini. Menurut informasi yang saya dapatkan, dari pasar Tajinan masih butuh waktu sekitar 20 menit perjalanan (mungkin apabila menggunakan sepeda motor). Seperti petunjuk yang diberikan bapak tadi, di sebuah pertigaan kami berbelok ke kanan. Awalnya jalanan sempat menurun, tapi selanjutnya terus menanjak. Menurut pengakuan Ivan, dahulu dia sudah pernah berkunjung ke Sumber Jenon ini, tetapi dia tak ingat persis jalan menuju pemandian tersebut. Pun mengenai sumber air Ngembul itu, dia juga mengaku bahwa terakhir kalinya dia berkunjung ke sana adalah pada tahun 1999. Pantas saja kami jadi seperti orang nyasar. Tetapi justru dengan ketidaktahuan, dan juga lupa-lupa  ingat semacam itulah sebuah perjalanan menjadi terasa lebih greget. Selanjutnya, perkebunan tebu menjadi suguhan pemandangan yang cukup sering kami temui. 

Rehat di warung seberang perkebunan tebu. Di sini saya menemukan kejutan.
Sejenak kami beristirahat di tepi jalan, tepatnya di sebuah bangunan warung permanen yang tampak tidak ada penghuninya. Di sebelah warung ini, kami menemukan sebuah jalan setapak membelah rerimbunan pepohonan yang ternyata tersambung dengan sebuah jembatan sempit nan panjang. Kami langsung menyimpulkan bahwa ini pasti jembatan bekas jalur rel lori. Sayapun teringat pada sebuah artikel yang pernah saya baca, yang menyebutkan bahwa pada jaman dahulu jalur rel lori milik PG Kebonagung pernah terbentang hingga daerah Tajinan. Sepertinya jalan setapak yang kami pijak saat ini memang dulunya adalah jalur lori tersebut. Bagi saya pribadi yang memang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan kereta api, tentu menemukan kejutan berupa ‘petilasan’ seperti ini menjadi semacam rejeki dan bonus tersendiri. Mendadak dalam imajinasi saya terbayang sebuah lokomotif uap menghela puluhan gerbong bermuatan tebu sedang melintas di jembatan tersebut sambil mengepulkan asap sembari meniupkan peluit panjangnya. Aroma manis tebu yang diangkutnya menyeruak masuk ke dalam hidung siapapun yang ada di dekatnya. Ya, memang hanya imajinasi itu saja yang tersisa, mengingat era kejayaan kereta pengangkut tebu di Malang Raya sendiri bisa dibilang sudah berakhir.

Jembatan yang diduga bekas jalur lori PG Kebonagung.

Dasar jurang di bawah jembatan.

Saya pribadi tak ingat persis tentang berapa jam waktu yang dibutuhkan untuk mengayuh sepeda sampai Sumber Jenon. Sesuai petunjuk warga sekitar, patokannya adalah pada rambu berbentuk ikan. Kami pun terus mengayuh sepeda, tapi ternyata jalanan di depan sedang dibuntu. Sebuah panggung hajatan warga dipasang tepat di tengah jalan. Kami pun kemudian memutari panggung dengan blusukan menyusuri jalanan setapak menembus halaman rumah-rumah warga. Setelah mengayuh sekitar satu kilometeran dari panggung hajatan tadi, kami akhirnya menemukan sebuah rambu (atau tugu?) berbentuk patung ikan di sebelah kiri jalan. Sepertinya kami sudah sampai di Sumber Jenon. Di dekat rambu itu terdapat sebuah bangunan loket yang tampak kosong dan dekil seperti sudah lama tidak dijamah manusia. Karena tidak tampak seorangpun yang menjaga, kamipun akhirnya masuk ke dalam gapura. Jalan berbatu dengan kontur menurun mengantarkan kami ke gapura berikutnya yang juga sama-sama tidak dijaga. Karenanya, kami bisa masuk ke lokasi Sumber Jenon dengan gratis. Waktu kami berdua datang, di Sumber Jenon sudah terlebih dahulu ada dua orang pelajar yang masih berseragam duduk-duduk di tepian kolam. Entah apa yang mereka lakukan di jam sekolah. Ketika kami tanya, mereka tampak enggan menjelaskannya (tapi tentu kita tahu apa yang sebenarnya mereka lakukan). Selain dua orang oknum pelajar itu, kami tidak menemukan pengunjung lain. Mungkin karena kedatangan kami di sini terhitung masih pagi. 

Kolam Sumber Jenon
Sumber Jenon sendiri pemandiannya berupa kolam yang dikelilingi bukit-bukit kecil dengan pepohonan yang rapat. Karenanya, udara di Sumber Jenon ini menjadi cukup sejuk dan sangat teduh. Di salah satu sisi bukit kecil itu terdapat sebuah warung. Sorot sinar matahari pagi tampak menembus sela-sela pepohonan dan jatuh menimpa permukaan air Sumber Jenon yang biru kehijauan. Di salah satu sisi kolam warnanya tampak lebih pekat, menandakan bahwa area tersebut cukup dalam, bahkan mungkin sangat dalam. Mungkin lantaran terlalu dalam, dasar kolam itu sampai tidak bisa terlihat dari permukaan sama sekali. Yang terlihat hanyalah patahan dua pohon besar yang tumbang ke dalamnya. Di sela-sela patahan pohon itu, ikan-ikan kecil bertubuh mirip ikan hiu tampak tenang berenang kesana kemari tanpa merasa terganggu oleh keberadaan kami.

'Hiu air tawar', penghuni kolam Sumber Jenon
Setelah menikmati segelas teh panas, Ivan pun mulai menceburkan diri ke dalam kolam yang juga dihuni oleh ikan berbentuk mirip ikan hiu. Awalnya saya tak terterik untuk nyemplung karena saya tidak membawa celana untuk ganti. Setelah beberapa saat, akhirnya saya tergoda dan ikut menceburkan diri juga. Segar sekali rasanya, terlebih sekujur badan ini terasa lengket karena bermandi keringat. Tapi tentu saya tidak ikut berenang karena saya memang belum kunjung bisa melakukannya. Saya hanya berendam di tepian saja, tidak berjalan ke bagian lain dari kolam ini yang konon kedalamannya lebih dari 5 meteran hingga dapat dipakai latihan snorkeling. Karena belum tampak kehadiran seorang pengunjungpun, kolam Sumber Jenon ini seolah menjadi kolam renang pribadi dengan air yang berasal langsung dari persembahan alam.

Patahan batang pohon yang tenggelam di dalam kolam.
Puas berenang, kami pun memutuskan untuk keluar dari kolam untuk selanjutnya kembali mengayuh sepeda ke Ngembul. Sialnya, ketika hendak meninggalkan area Sumber Jenon saya mengalami insiden kecil. Sepeda yang saya tumpangi terperosok ke selokan kering di pinggir kolam. Efeknya lumayan bikin pedih, kulit di dekat kuku jempol kiri kaki saya terkelupas hingga berdarah gara-gara tertimpa roda gigi sepeda. Sejenak saya mengayuh sepeda dengan kaki bercucuran darah sebelum akhirnya tertangani sementara oleh plester yang saya beli di warung terdekat. Darah sudah tak lagi mengucur, tapi kemudian timbul rasa nyeri yang berdenyut-denyut. Meskipun begitu saya masih bersyukur karena kaki yang sakit ini tidak dipakai untuk menapak tanah secara langsung, melainkan hanya untuk menginjak pedal saja sehingga rasa sakitnya tak begitu terasa. Jadilah saya mancal dengan kedua kaki tidak dalam posisi ‘utuh’. Ibu jari kaki sebelah kanan hampir lepas kukunya, sedangkan yang sebelah kiri juga mengalami luka. Mungkin beberapa bulan ke depan nasibnya juga akan sama dengan kuku jempol kaki sebelah kanan.

Akibat kurang hati-hati dan kurang waspada.
Perjalanan dari Sumber Jenon menuju Ngembul bisa dibilang tidak terlalu berat. Jalan relatif menurun sehingga tenaga tidak terlalu terforsir untuk mengayuh pedal. Tak terlalu lama waktu yang kami butuhkan untuk mencapai pertigaan selepas jembatan yang apabila kami ikuti jalur beraspalnya akan mengarah ke Bululawang. Sedangkan apabila mengambil jalan setapak di pinggir sungai maka akan mengantarkan kami ke jalur yang kami tempuh saat kami berangkat pagi tadi. Kamipun mengarahkan sepeda menuju arah Bululawang.