Kamis, 26 September 2013

Stranger like us (2010)

Melihat folder-folder foto yang ada di dalam komputer saya yang super duper sangat lemot sekali (saking lemotnya sampai bikin misuh-misuh, ha..9989x), saya jadi tergoda untuk kembali menengok dan menulis di blog yang sudah lama sekali tidak saya urusi ini.
Nah ini dia, beberapa tahun yang lalu, kira-kira di tahun 2010 saya sama teman-teman saya melakukan perjalanan jauh. Kalau mau dikasih judul, bolehlah kita kasih judul "Perjalanan ke Barat". Tapi tentu saja "Perjalanan ke Barat" ini bukanlah perjalanan seperti yang dilakukan Sun Go Kong beserta rombongan seperguruannya. Yang melakukan perjalanan ini adalah kami-kami yang waktu itu masih jadi mahasiswa, menggunakan sebuah mobil Xenia biru menuju Jakarta. Jakarta kan letaknya rarusan kilometer di sebelah barat kota Malang? Jadi boleh dong saya kasih judul demikian, he..9989x. Well... berhubung Journey to the West sudah sedemikian legend-nya, maka kita ganti lah judulnya menjadi "Stranger Like Us".
Oh iya, peserta perjalanan ini selain saya adalah Ivan (si empunya mobil Xenia biru), Philip (Eits..., ini bukan lagi promosi lampu, lho! Emang gitu kok nama orangnya...), Wahyu, Rizqy, sama Saipul. Sebelum perjalanan ini dilalakukan, kita sempat rapat dulu enaknya traveling kemana. Jaman tahun 2010 ini emang gejolak-gejolak pengembaraan sedang begitu menggelora di sanubari kami-kami ini, he..9989x. Berhubung sebelumnya kami baru saja pulang dari Kawah Ijen di Banyuwangi yang letaknya di Jawa Timur, maka disepakatilah tujuan perjalanan kita. Ke Jakarta. Lhah... emang di Jakarta mau kemana? Ah... tak usah dipikirkan. POKOKNYA BERANGKAT!
Rabu malam Wahyu datang ke rumah saya. Dia bawa setoples Tupperw*re berisi mi instan mateng. "Lho, Ndut. Buat apaan itu, Ndut?" tanya saya ke Wahyu yang memang badannya gendut. Dia pun menjawab, "Ya buat bekal makan di jalan lah... Ini aku bawa uang cuma 50 ribu." Wihh..., gila... Dia cuma bawa 50 ribu. Padahal sebelumnya saya sempat dag dig dug n hampir gak jadi berangkat gara-gara dikabarin kalau di Jakarta itu harga makanannya mahal-mahal. Tapi ya sudahlah, setelah dibujuk ini itu akhirnya saya mau berangkat juga.
Kira-kira jam 10 malam, berbekal sebuah peta Pulau Jawa rombongan saya ini pun berangkat. Dari Kota Malang, kita ambil rute melewati Kota Batu, lanjut lewat Pujon, simpang lima Kediri, dan entahlah saya tak tahu setelah itu saya dilewatkan mana oleh si Philip yang betah nyetir belasan jam itu. Tapi hal yang paling saya ingat tuh adalah mobil sempat menepi di pinggir jalan di daerah Pujon gara-gara saya muntah. Bukan apa-apa, di Pujon itu tikungan-tikungannya emang bikin mabuk darat. Gara-gara muntah itu, petanya jadi terjatuh dari mobil. Walhasil pas kita lanjut jalan kita nggak tahu harus lewat mana. Jadinya pas rombongan saya ini sampai di Kediri, kita cari warnet, ngeprint peta dulu. Entah geblek entah kasihan ya rombongan saya ini. Dalam rombongan saya ini, yang bisa nyetir cuma Ivan, Philip, sama Rizqy saja. Sedangkan sama Wahyu kebagian tugas nemenin supirnya biar nggak ngantuk. Kalau si Saipul itu sih, belakangan diketahui kalau dia itu doyan sekali tidur. Gak siang, gak malam, gak sore, gak pagi kerjanya tidur terus. Disuruh duduk di sampingnya supir n ngajakin supir ngobrol biar gak ngantuk, eh malah dia yang bablas duluan minggat ke alam mimpi.
Simpang Lima Gumul, Kediri. Ki-Kai: Saya (Adif), Philip, Ivan, Wahyu, Saipul
Sepanjang perjalanan setelah cari warnet di Kediri itu saya tidur terus. Saya ngantuk berat setelah terkena obat anti mabok. Tahu-tahu sewaktu bangun, waktu subuh rombongan saya ini sudah sampai di Sragen. Well, kita istirahat dulu. Mobil kita parkir di deketnya stasiun Sragen. Saya juga diceritain kalau semalam di daerah hutan jati di deketnya Madiun itu mobil kita hampir kena tangkep polisi gara-gara si Philip nyetirnya kelewat cepat.
Setelah sarapan seadanya di Sragen, perjalananan kita lakukan melintasi kota Solo, lalu belok ke arah Semarang melalui Boyolali. Nah, pas di Boyolali ini si Wahyu sempat takut setengah amti gara-gara sering melihat razia polisi. Waktu itu kan lagi gencar-gencarnya diadakan razia soalnya barusan terjadi kasus terorisme. Nah si Wahyu ini meskipun usianya sudah berkepala 2 ternyata belum punya KTP! Huahahaha akhirnya sepanjang perjalanan dia dikerjain terus-terusan. Di tengah perjalanan, mobil sempat masuk bengkel buat ganti oli.

Nih dia Pak, orang yang belum punya KTP, ha..9989x
Perjalanan pun berlanjut, hingga menjelang siang rombongan saya ini telah memasuki kota Semarang. Bukan ke Semarang kotanya sih, tapi lewat tolnya. Kita semua nggak ada yang tahu dari tol itu keluarnya lewat mana, ha..ha..9989x. Tapi ya ketidaktahuan-ketidaktahuan tersebutlah yang justru membuat perjalanan ini menjadi lebih berkesan. Lepas dari tol itu sampilah kita di jalur Pantura. Oh... ini ya jalur Pantura. Biasanya saya cuma pernah ngelihat jalur Pantura itu lewat acara-acara liputan arus mudik ketika Lebaran. Ternyata tak semulus dugaan saya, jalur ini jalannya juga banyak yang rusak. Yah... maklum saja memang banyak truk-truk serta kendaraan besar yang lewat sini.
Saya tak tahu sudah berada di daerah mana ketika rombongan saya ini terjebak dalam kemacetan yang luar biasa parahnya, Seingat saya, daerah itu berada dekat dengan hutan. Entah berapa jam rombongan saya ini terjebak dalam kemacetan itu. Mulai siang sampai menjelang sore, barulah kita bisa lolos darinya. Dalam perjalanan, berkali-kali mobil berhenti di pom bensin dan minimart (saya sebut gitu aja ya biar nggak dikira promosi, he..9989x). Saat berhenti di salah satu pom bensin, kita menyempatkan diri untuk mandi dan sholat dulu. Panasnya udara di Pantai Utara membuat air yang dipakai mandi sama sekali tidak terasa segar. Habis mandi pun badan terasa masih lengket oleh keringat. Ya... inilah bumbu-bumbunya petualangan, kalau mau enak jalan-jalan gak pakai keringetan ya jalan-jalan ke mall aja bos, ha..9989x.
Perjalanan kembali berlanjut hingga akhirnya rombongan kami kembali memasuki sebuah jalan tol. Jalan tol ini ternyata jalan tol yang baru saja jadi, bahkan tidak terdeteksi oleh GPS yang ada di hapenya Ivan! Wahhh... we lost our direction on the highway! Seingat saya GPS-nya Ivan ini juga tak selalu berfungsi dengan baik, buktinya kita sampai sering gak tahu posisi kita sudah sampai mana. Berhubung jalanan tol masih begitu sepi, Philip yang hobi ugal-ugalan kalau nyetir langsung deh seperti mendapatkan mainan baru. Ini mobil dipacu sekencang mungkin sampai nabrak pembatas jalan yang bentuknya kerucut warna orange itu lho. Beruntung kita nggak sampai celaka. Selama berada di jalan tol ini, hujan turun cukup deras.
Nih dia jalan tolnya.
Keluar dari tol barusan, kita belum juga tahu kita berada di kota mana. Yang pasti, waktu itu sore hampir habis. Kita kemudian masuk ke dalam jalan tol lagi. Di jalan tol itu kita sempat menepi di kompleks pom bensin yang lengkap dengan minimart, resto dan masjid. Yah... sholat dulu, isi bensin, dan beli-beli cemilan. Seusai maghrib, kita lanjut lagi. Seingat saya, kita sempat masuk ke dalam kota juga (saya lupa kota apa), dan setelahnya kita masuk lagi ke dalam tol. Sialnya di dalam tol itu kita lagi-lagi terjebak macet, bahkan kali ini macetnya jauh lebih lama daripada tadi siang. Hujan kembali turun mengguyur kemacetan.
Lepas dari kemacetan itu, kita kembali lewat di jalan tol yang benar-benar berbeda dengan tol Surabaya-Gempol yang sering kita lewati di Jawa Timur. Di sini tolnya benar-benar hidup, bahkan menjadi semacam pusat bisnis karena di sisi kiri dan kananya banyak berdiri kompleks-kompleks pom bensin lengkap dengan resto engan arsitekturnya yang 'wah'. Benar-benar kita dibuat menjadi seperti wong ndeso, ha..ha..
Menjelang tengah malam, kami akhirnya sampai di Bekasi. Kita nginep dulu semalam di rumahnya Madya. Bener-bener mantep, setelah lelah berkendara lebih dari 25 jam (beneran ini nggak bohong gan!) Di rumahnya Madya udah disediain kasur empuk buat rombongan saya ini tidur. Mantap wes...

Hari kedua
Pagi hari di rumahnya Madya, kita udah disiapin nasi kuning buat sarapan. Rasanya sip sekali nasi kuningnya, mengingat dari kemarin kita cuma makan mi instan saja. Menjelang siang kita berangkat jalan-jalan, tapi mobilnya mendadak bermasalah pada timing belt-nya. Mobil pun masuk bengkel, sambil nunggu mobilnya dibenerin, kita main poker dulu. Temen-temen pada main poker, saya sendirian main rubik. Lho kenapa..? Jujur aja saya waktu itu masih belum bisa main poker, :D :D. Main rubik pun sebenernya saya juga nggak bisa (tapi tetep main aja soalnya kalo main rubik sendirian kan nggak ada yg menang dan nggak ada yg kalah, ha..9989x)
Mobil beres, Sholat Jumat sudah, kita lanjtin acara jalan-jalannya. Di Jakarta kita bingung mau kemana. Lagipula waktu itu juga lagi hujan deras. Atas usulan saya yang seorang railfan alias pecinta kereta api, akhirnya kita meluncur ke stasiun Gambir. Di situ kami nggak ngapa-ngapain, cuma foto-foto doang. Di Jakarta ini juga akhirnya kami semua yang 'orang-orang daerah' ini jadi bisa melihat dan merasakan langsung kemacetan Jakarta. Apalagi waktu itu waktunya pas sore hari (bertepatan dengan orang-orang yang lagi pulang kerja).

Tugu Tani, kapan hari di sini sempat ada tragedi. Pembaca sekalian pasti udah tahu kan?
Sekitaran Gambir
Sepur listrik alias KRL, di Indonesia memang masih Jakarta saja yang punya beginian
KRL Rheostatic
Langsiran lokomotif KA Argo Parahyangan
Siapa suruh datang Jakarta..?
Narsis dulu....
Ngerasain beneran macetnya Jakarta
Puas foto-foto di Gambir, acara selanjutnya adalah meluncur ke Bogor. Oh... mau ke Kebun Raya, ya? Nggak... Kita ke Bogor cuma mau ke sana aja. Kebetulan saja di Bogor ini ada rumah salah seorang teman SMA yang telah pindah ke sana, namanya Attar. Nah...  berkat bantuan benda ajaib yang bernama handphone, maka tak terlalu sulit menghubungi teman saya itu. Putar-putar sebentar akhirnya ketemu juga rumah teman saya itu yang ternyata... gueeeedeeeeeeee banget. Masya Allah... Kelihatan banget katroknya kita-kita ini yang ternyata semuanya sama sekali belum pernah masuk ke rumah segede itu sebelumnya. Bahkan boker pun jadi susah soalnya pakai WC duduk di dalam kamar mandi berpintu transparan (beneran!) Kebetulan temen saya itu lagi sendirian di rumahnya yang super besar itu, soalnya keluarganya lagi pergi ke Bandung.

Hari Ketiga
Paginya, rombongan saya plus Attar diajak keliling Bogor. Nggak kemana-mana sih sebenernya, cuma ke IPB doang ke kampusnya Attar. Ditraktir makan-makan sama dia juga (penting banget ini, ha..9989x). Di sini sebagian rombongan saya pada takjub melihat cewek-cewek Jawa Barat yang emang cantiknya top markotop surotop kalangkatop ngetop nurdin emtop (ngomong apaan sih ini???)

Gunung Salak
Di sekitaran rumahnya Attar
Bogor...!
Salah satu sudut Kota Bogor
Angkot khas Kota Bogor. Si Ipul masih sempet-sempetnya menerawang isi angkot. Katanya ada penumpang cewek yang cantik, ha..9989x
Menjelang siang, kita pamitan sama Attar. Kita mau ngelanjutin perjalanan ke Bandung. Nah... ke Bandung ini sebenernya juga kita nggak punya tujuan sama sekali. Ya... pengen ke Bandung aja. Lanjutlah perjalanan menyusuri tol Jakarta Cikampek, lalu lanjut menyusuri Tol Cipularang yang semakin sore semakin berkabut dan akhirnya diguyur hujan juga. Soal lewat Tol Cipularang ini juga diantara kita sama sekali nggak ngerti ntar mau keluarnya di daerah mana. Yang penting lanjut saja ngikutin bis di depan. Sepanjang perjalanan dari Bogor ke Bandung ini, seingat saya yang nyetir adalah si Philip. Belakangan si Philip ini baru ngaku kalau ternyata dia di Cipularang itu nyetir sambil ngantuk dan sempat ketiduran juga! Masya Allah...  

Nah lho... lewat mana kita..?
Walhasil, kita ngikutin aja kemana bis ini mau pergi, haha
Journey to nowhere
Nah... di sini nih si Philip nyetir sambil tidur, !@@$#$$@$@
Nah di Bandung ini ternyata acara kita nggak jauh-jauh dari yang namanya makan malam. Maklum memang udah malam juga kita nyampe Bandung. Nggak lupa juga kita foto-foto di depannya Gedung Sate. Tapi sayangnya berhubung sudah malam, jadi agak kurang bagus hasil fotonya.

Ye... nyampe Bandung kita bung..!
Narsis dulu.....
Narsis lagi....
Puas foto-foto, setelah sholat Isya di masjid setempat kita langsung melanjutkan acara selanjutnya. Yaitu... PULANG...!

Pulang....!
Perjalanan pulang ini mengambil rute Bandung-Cirebon via Sumedang dan Cadas Pangeran. Semua personel sebenernya sudah ngantuk. Tapi tetep kudu ada satu orang yang bertugas nemenenin Philip (yg masih aja betah nyopir) biar dia nggak ngantuk. 

Teler..., ha..9989x
Well okelah saya yang semula duduk di belakang gantian nemenin Philip. Entah waktu sampai di daerah mana,  saya sudah sedemikian ngantuknya sampe-sampe dalam keadaan setengah sadar saya seperti melihat ada penampakan orang nyebrang di depan. Nah bersamaan dengan itu, mobil yang kita naikin itu juga hampir nyelonong ke jurang waktu belok di tikungan. Tapi dasar si Philip mentalnya memang mental gamer, jadi ya acara nyetir sambil ngantuk itu mungkin dianggapnya main game kali ya...

Hari keempat
Pagi hari sehabis subuh, rombongan kita ini sampailah di Pekalongan. Setelah sholat subuh, kita puas-puasin tidur dah di masjid tempat kita sholat itu. Saya yang gak bisa tidur, langsung saja ngajak Wahyu foto-foto di depan masjid.

Pekalongan
Saya pun pernah sekurus itu
Sekitar jam 7 pagi, kita melanjutkan perjalanan. Kali ini yg nyetir si Rizqy. Nah... di perjalanan ini saya baru ingat kalo ternyata waktu makan di Bandung semalam itu.... SAYA BELUM BAYAR! Ha..ha... Perihal kejadian ini, sempat jadi guyonan kita, dan si Saipul ternyata yang kebagian getahnya karena ternyata dia disuruh bayar lebih mahal sama si pemilik warung. Sambil nyetir, kita nyalain radio mobil, yang ternyata masih aja nemu lagunya D'Bagindas yg C.I.N.T.A itu. Haduuuhh... dari kemaren setiap kali muter radio pasti dan pasti nemu lagi itu terus. Bosen! Radio pun dimatikan. Oh iya, kita memulai perjalanan hari ini tanpa sarapan ya... Rencananya nanti saja nyari makanan di jalan.

OTW Semarang
Salah satu sudut kota Semarang.
Perjalanan pun sampai di Semarang. Rizqy udah gak kuat nyetir dan akhirnya digantikan oleh Ivan. Di Semarang ini kita saling nanya satu sama lain. Masih belum lapar kan...? Ntar aja ya makannya..? OKE! Lanjut...!

Pas banget jadi driver (kelihatan dari dandanannya, ha..9989x)
Rute yg kita lewatin masih sama seperti waktu berangkat beberapa hari yang lalu. Perjalanan terus berlanjut hingga hari hampir siang kita sampai di Solo, lanjut Sragen. Saya lupa di daerah mana kita sempat berhenti di pom bensin dan beli cemilan sekadarnya, dengan dalih sebagai gantinya sarapan. Iya bener... sampai siang ternyata kita belum jadi sarapan.

Mobil-mobil yg diangkut itu... calon penyumbang kemacetan
Daerah Boyolali
Barulah ketika sampai di daerah Ngawi kita nemu warung soto di pinggir jalan. Langsung saja kita berhenti di situ. Dan... akhirnya perut yang sejak pagi cuma dapat asupan pangan berupa cemilan plus angin ini akhirnya terisi juga oleh makanan yang mengenyangkan. Alhamdulillah!

Perbatasan Jawa Timur - Jawa Tengah
Eits... lewat sini lagi kita...
Sore hari, kita sampai di daerah Pare, hingga akhirnya selepas Maghrib kita sampai di Pujon tempat saya kemaren muntah-muntah itu, ha..ha... Barulah sekitar hampir jam 9 malam, kita sampai kembali ke Malang....!

Alhamdulillahhh.... rasanya banar-benar bahagia luar biasa setelah menyelesaikan perjalanan yang tujuannya serba tidak jelas. Atau kalau boleh dibilang, perjalanan kami-kami itu adalah blind travelling soalnya emang buta destinasi, yang penting berangkat!!!

Terima kasih tak terhingga kepada Allah SWT yang telah memberikan perlindungan selama perjalanan  sehingga rombongan saya ini dapat pulang ke rumah masing-masing tanpa kurang suatu apa.

Perjalanan kita telah saya abadikan dalam tulisan, ke depannya selama tulisan saya ini masih ada, perjalanan kita ini tidak akan terhapus oleh waktu dan akan terus tercatat dalam sejarah (halah...).










 





Selasa, 01 Januari 2013

setelah 5 cm

Syukur Alhamdulillah, bulan Desember ini bioskop-bioskop Indonesia menayangkan film-film Indonesia yang bermutu. Selain film Habibie dan Ainun yang laris ditonton semua kalangan (dari anak SMP sampai bapak ibu), ada juga film berjudul 5 cm, sebuah film yang diangkat dari novel bestseller karya Dhony Dirgantoro.
Semenjak ditayangkan pertama kali pada tanggal 12.12.2012 lalu, saya sudah dua kali menonton film 5 cm itu di bioskop. Yang pertama saya tonton bareng teman-teman saya (film tentang persahabatan, akan kurang menyenangkan apabila ditonton sendirian), dan yang kedua saya tonton sendirian. Lhoh..., kok sendirian..? Katanya nggak enak nonton film persahabatan sendirian? Iya..., soalnya lagi pengen banget dan teman-teman saya pada sibuk semuanya.
Film itu meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi saya (halaaahhhhh...., opo ae se...? Lebay ah...)
Iya, emang bener. Film itu sendiri bercerita tentang persahabatan, cinta, dan juga mimpi 5 karakter utamanya, yang akhirnya membawa mereka ke puncak gunung tertinggi di pulau Jawa, Gunung Semeru.

Poster film 5 CM

Saya, mimpi saya, dan Gunung Semeru.
Saya bukanlah seorang anggota organisasi pecinta alam meskipun dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ini bisa dibilang sering naik turun gunung. Kira-kira sejak tahun 2009 dulu saya mulai tertarik dengan yang namanya dunia pendakian. Awalnya saya menonton film Gie, di situ diceritakan bahwa Soe Hok-Gie menghembuskan nafas terkahirnya di puncak Gunung Semeru karena terkena gas beracun. Pikir saya waktu itu yang begitu awam, "Bagaimana mungkin gunung yang begitu indah menjulang itu menyimpan gas beracun sehingga bisa merenggut nyawa seseorang?" Saya jadi penasaran sekali dengan yang namanya gunung. Kebetulan waktu itu juga terbit buku berjudul Soe Hok-Gie sekali lagi.

Cover buku Soe Hok-Gie sekali lagi
Dalam buku itu, juga diceritakan  tempat-tempat yang biasa didatangi sepanjang perjalanan menuju puncak Mahameru. Keindahan, sekaligus bahaya tempat-tempat yang diceritakan dalam buku itu justru membuat gejolak saya semakin meningkat untuk segera mendatangi Gunung Semeru. Tapi sayangnya, ketika gejolak itu membara, saya mendapati bahwa jalur pendakian menuju Gunung Semeru sedang ditutup untuk pemulihan ekosistem.
Selama jalur pendakian itu ditutup, saya terus menerus browsing di internet tentang segala hal tentang gunung tersebut, termasuk kapan jalur pendakiannya kembali dibuka. Selama masa penantian itu, saya sering sekali bermimpi tentang Gunung Semeru.
Barulah pada sekitar bulan April 2010, jalur pendakian gunung itu kembali dibuka. Saya dan ketiga orang teman saya (Ivan, Philip, Ipul) tak serta merta langsung mendaki gunung itu, tapi melakukan 'survey' dulu ke Ranupane, desa terakhir di kaki gunung Semeru. Jujur saja waktu itu saya merasa konyol mengingat gunung itu sudah entah berapa juta kali didatangi manusia, tapi saya malah masih perlu melakukan survey untuk mendatanginya. Tak mengapalah, mengenali medan terlebih dahulu apa salahnya.
Dengan naik jip Feroza yang dikendarai Philip, saya dan teman-teman saya itu sekitar siang hari meninggalkan kota Malang menuju Ranupane. Kita berempat sampai di Ranupane ketika hari sudah kehilangan terangnya alias sudah maghrib  Philip yang sedemikian lihainya menyetir pun tak berani pulang ke Malang karena jalur menuju Ranupane memang begitu sempit dan berkelok serta diapit oleh jurang di kedua sisinya. Akhirnya malam itu kita berempat bermalam di desa Ranupane yang dingin itu tanpa balutan pakaian hangat satu pun! Syukur Alhamdulillah ternyata kita berempat memang punya bakat menjadi orang sakti, ha..ha.. Kita sama sekali tidak ada yang masuk angin, kecuali si Ipul yang tangannya sakit gara-gara alerginya kambuh. Di Ranupane, kita menginap di rumahnya Pak Hambali. Sudah dapat tempat nginap gratis, paginya diberi suguhan kopi hangat pula. Selain itu, ketika pagi keluar rumah, saya langsung dihadapkan pada pemandangan indah..., Puncak Semeru yang menjulang menusuk langit! Subhanallah....

Gunung Semeru dilihat dari Ranu Pane
 
Survey ke Ranu Pane, ki-ka: saya, Ivan, Mas Agung, Ipul
Seminggu setelah survey itu, saya akhirnya benar-benar berangkat ke Gunuung Semeru! Awalnya saya benar-benar gembira karena saya berpikir bahwa saya bisa mewujudkan mimpi saya berdiri di puncak tertinggi Jawa itu, tapi ternyata saya masih harus memendam mimpi saya lagi. Tenda yang kita bawa rusak, jadilah kita hanya bermalam 2 malam saja di Ranu Kumbolo. Tak mengapalah...., rasa penasaran itu sedikit terobati ketika saya plus rombongan pai-pagi sekali berjalan-jalan ke tegalan Jambangan.

Pertama kali melihat Ranu Kumbolo, Subhanallah....
Oro-oro Ombo dengan background Gunung Kepolo
Langsung berteriak girang..., "Subhanallah...!!!" Pemandangan ini mirip dengan yang sering muncul di mimpi saya.
bersama tim di tegalan Jambangan, ki-ka: Muji, saya, Zezen, dan Oni
Berlagak..., padahal gagal muncak, ha..9989x
Pendakian kedua ke Semeru, saya kembali masih harus memendam mimpi. Memang saya dan seorang teman saya sudah mampu mencapai separuh tanjakan berpasir menuju puncak itu. Tapi karena air dan sepatu jebol, akhirnya kita berdua turun lagi.

ternyata memang belum saatnya mencapai puncak.
kawan..., kita masih tertunda

tapi setidaknya kita bisa melihat matahari terbit
di tempat tinggi yang begitu jauh dari peradaban kota

kita masih bisa berdiri di atas awan
meskipun mimpi kita masih terputus

bukan bendera putih tanda menyerah yang kita kibarkan, tapi bendera merah putih.
 Barulah di pendakian ketiga saya dan ketiga orang teman saya (Ivan, Seto, dan Mas Tri) berhasil menjejakkan kaki di puncak Mahameru, 3676 mdpl yang tertinggi di Pulau Jawa itu. Rasa haru dan gembira melebur menjadi menjadi rasa syukur yang luar biasa atas terjawabnya mimpi yang sempat tertunda berkali-kali itu.

di tanjakan berpasir menuju puncak, ki-ka: Mas Tri, saya, Ivan, dan Seto
hampir meregang nyawa
Alhamdulillah..., mimpi yang terputus itu kini sudah utuh seutuh-utuhnya
Di atas puncak para dewa
Prasasti Soe Hok-Gie, kini prasasti ini kabarnya sudah diturunkan dari puncak Mahameru

Kini saya belum pernah lagi menjejakkan kaki di tanah tertinggi pulau Jawa itu. Film 5 cm yang dua kali saya tonton itu seolah membangkitkan kembali memori tentang kebahagiaan pencapaian mimpi itu. Bukannya saya tak bersyukur atas apa yang telah saya capai selama ini, tapi mencapai puncak Semeru itu sepertinya adalah satu-satunya cita-cita sekaligus mimpi-mimpi saya yang telah terwujud. Karenanya pencapaian itu begitu membekas dalam ingatan diantara begitu tak terhintungnya karunia Sang Pencipta yang telah menghampiri saya.


Begitu banyak cerita, pengalaman, dan pembelajaran yang lahir selama menempuh pendakian-pendakian itu. Semeru, dan Ranu Kumbolo, kini seperti menjadi rumah kedua buat saya. Semoga saja saya selalu diberiNya kesempatan untuk menengok 'rumah' itu lagi, lagi, dan berkali-kali lagi