Selasa, 26 Juni 2018

Catatan Perjalanan Pendakian Gunung Buthak Via Panderman, Rasa Penasaran Yang Terbayar Lunas



"From my seat I see the fields move by,
Coulours strong, it's been a long, long time.
It's the first time I see summer on the Westhill..."
...
(Summer on the Westhill - King of Convenience)


Pegunungan Putri Tidur dilihat dari kawasan Bumiayu, Kota Malang.
Gunung Buthak terletak di gugusan gunung sebelah kiri
Keinginan untuk mencapai puncak Gunung Buthak sebenarnya sudah muncul cukup lama, bahkan pernah juga kami coba untuk pergi ke sana pada tahun 2015 tapi gagal karena ada kebakaran hutan. Setelah itu, cukup sulit untuk mengatur waktu supaya bisa kembali pergi ke sana lagi. Barulah sepulang dari Panderman kemarin, kami sepakat untuk mendaki Buthak lagi selepas lebaran. Peserta pendakian kali ini adalah saya (Adif), Ivan, mas Ari, dan Yoga. 

SELASA, 19 JUNI 2018
Ketika packing di kantornya Ivan, kami berempat sempat membahas perkiraan cuaca yang kurang mengenakkan. Pasalnya, menurut aplikasi ramalan cuaca di area Gunung Buthak sedang badai. Thunderstorm! Wah bagaimana ya, nggak jadi berangkat itu sayang, berangkat itu rawan celaka... Tapi dengan berbekal positive thinking bahwa cuaca nanti pasti akan lebih bersahabat, kami akhirnya tetap berangkat. Kalaupun hujan, anggaplah hujan itu sebagai sebuah rahmat dan rejeki sehingga tak perlu disesali.

Packing and repacking
Bahan calon pengisi perut
Sama seperti ketika mendaki Panderman kemarin, kami meluncur ke Batu menggunakan taksi online. Sejak awal kedatangan mobil online itu ke kampus, aroma ketidakberesan mulai tercium. Pasalnya si supirnya bukanlah sosok asli yang fotonya terpampang di aplikasi pemanggil taksi online. Di aplikasi, yang muncul adalah sosok bapak-bapak sedangkan yang lagi ngantarin kami kali ini adalah sosok anak muda sekitar 25 tahunan. “Tek’e pakdeku iki mas (punya omku ini, mas)”, kilahnya. Sepanjang perjalanan menuju Batu si driver ini berkali-kali bercanda dengan candaan yang mejurus provokatif. Kayak pas lagi lewat di jalan yang cukup sempit, kan di depan mobil yang dikendarainya ini ada sebuah truk pengangkut tabung elpiji melon. Truk ini berhentinya agak ke tengah jalan sehingga bikin macet. Spontan si supir sangar ini langsung minta korek gas ke Ivan yang duduk di sebelahnya.”Wah gak ada yang ngrokok mas,” jawab Ivan yang langsung ditimpali si supir, “Lho bukan buat ngerokok mas, buat mbakar elpiji depan itu lho!” Kami berempat penumpangnya ini langsung ngakak sambil rada nahan pegel juga lantaran cara nyetirnya si supir ini yang bikin perut auto mual. Tingkah nylenehnya itu masih ditambah lagi dengan tato di lengannya yang ternyata bergambar Naruto! @*&gjhghf&^576F878T7g Dan dia tampak bangga! 

Gapura Desa Pesanggrahan, pintu masuk Gunung Panderman - Gunung Buthak
Kami sampai di gapura desa Pesanggrahan sebelah I***maret sekitar setengah empat sore. Mendung masih betah menggelayut di langit, bahkan tak terlalu lama kemudian gerimis mulai turun. Sholat asar kami lakukan di sebuah masjid kecil yang bangunan utamanya perlu diakses melalui sebuah lorong sempit. Masjid tersebut memang tersembunyi di balik rumah-rumah penduduk. Sambil menunggu redanya gerimis, kami makan bakso di sebuah warung di samping minimarket. Ibu penjual baksonya sebenarnya ramah, hanya saja mengidap latah. Saya yang nggak sengaja ngejatuhin botol akua, ternyata memicu keluarnya penyebutan kata-kata yang cenderung vulgar dari mulut si ibu (maap ya bu....). Biarpun begitu baksonya enak lho. Cukuplah untuk dijadikan asupan tenaga untuk nanjak sebentar lagi.

Ngisi perut dulu. Ati-ati jangan bikin si ibu penjualnya kaget
Gerimis tak kunjung reda, tetapi karena punya target perjalanan kami berempat pun tak ragu untuk mulai melangkahkan kaki menyusuri jalan beraspal menanjak. Dengan mengenakan jas hujan kami berjalan menuju pangkalan ojek yang sekaligus berfungsi sebagai tempat parkir sepeda motor matic milik para pendaki. Kali ini kami memang sejak awal sudah sengaja hendak naik ojek saja menuju pos pendaftaran yang jaraknya sekitar 2 kilometeran dari pangkalan ojek. Niatnya sudah jelas, untuk menghemat waktu dan tenaga karena Gunung Buthak itu jarak maupun waktu tempuhnya memakan waktu cukup banyak.
Sialnya waktu itu para tukang ojeknya sama sekali nggak kelihatan batang hidungnya. Memang ada dua orang yang berada di pos, tapi dua-duanya pada tidur pules dan nggak bereaksi apapun ketika kami bangunkan. Beberapa orang anak muda yang sepertinya juga rombongan pendaki cuma geleng-geleng kepala ketika kami tanyai perihal keberadaan tukeng ojek. “Ah, barangkali di depan ada ojek”, begitu pikir kami sambil meninggalkan pangkalan ojek. Tapi setelah berjalan sekitar seratus meteran di medan yang semakin menanjak, ternyata nggak ada satupun tukang ojek yang menghampiri kami. Di tempat yang menyerupai halte setengah jadi di pinggir jalan kami beristirahat sejenak dan mulai melepaskan jas hujan lantaran gerimis mulai reda. Kami pun kembali berjalan, dan tak beberapa lama kemudian dari bawah muncullah empat tukang ojek. Sudah jalan segini jauhnya baru muncul, tapi tak mengapalah toh pos pendaftaran pendakian memang masih cukup jauh. Tarif ojek ini Rp 10000 per orang. Sekitar sepuluh menit kemudian sampailah kami berempat di pos pendaftaran. 

Nice quote...
Di bangunan pos yang besar itu waktu itu tak satupun terlihat ada seorang petugas. Karenanya saya berusaha mendatangi tempat parkiran motor, yang ternyata di situlah si petugasnya berada. Tarif masuk sebesar Rp 7000 per orang. Setelah berdoa, tepat pukul setengah lima kami mulai mengayunkan kaki menuju trek pendakian. Target kami adalah mendirikan kemah di pos yang diduga dan disebut Ivan sebagai ‘Pos pertigaan Dau’. Alasan kami memilih tempat tersebut adalah karena keberadaan sungai kecil sebagai calon sumber air kami.

Pos pendaftaran Gunung Panderman, ki-ka: Ivan, Mas Ari, Yoga. Saya motret, :(
Jalur menuju Gunung Buthak awal-awalnya masih berupa jalan berlapis paving stone yang menyatu dengan jalur menuju Gunung Panderman. Setelah itu jalur mulai berubah menjadi jalan tanah yang memiliki banyak percabangan. Jalur menuju Gunung Panderman cenderung ke kiri, sedangkan menuju Gunung Buthak cenderung ke kanan. Tak perlu khawatir tersesat sebab papan penunjuk jalan banyak terpasang. Semakin jauh kami melangkah, jalur pendakian semakin menyempit hingga akhirnya berubah menjadi jalan setapak. Setengah jam berjalan kami masih berada di perkebunan penduduk yang banyak ditumbuhi rumput-rumput gajah hingga kemudian kami mulai masuk ke area hutan.

Awal-awal jalur pendakian
Percabangan pertama, dan akan ada percabangan-percabangan selanjutnya yang tentunya sudah dilengkapi penunjuk arah.
Masih di perkebunan penduduk
Hari mulai gelap. Di sebuah kelokan kami berpapasan dengan serombongan pendaki. Dari mereka kami tahu kalau ada percabangan menuju pos 2 tanpa harus melalui tanjakan PHP. Tanjakan PHP? Begitulah mereka menyebutnya. Namanya saja sudah mengandung sesuatu yang nggak enak. Saya pribadi sudah lupa apakah tiga tahun yang lalu juga melalui tanjakan PHP ini. Menurut Ivan yang waktu itu juga satu tim dengan saya, waktu itu kami tidak melalui tanjakan PHP tersebut karena menurutnya jalur yang kami lalui waktu itu lebih landai dan tidak banyak tanjakan. Menurut rombongan yang kami temui ini jalur percabangannya berada di pos 1 tapi tidak begitu terlihat karena tertutup rerumputan. Masih menurut mereka, katanya kalau lewat jalur cabang tersebut jalurnya nggak seberapa menanjak.  Sedangkan kalau lewat tanjakan PHP, tanjakannya gila-gilaan meskipun sebenarnya jalur PHP inilah jalur resminya. “Lho kan, mirip sama yang kita lewatin dulu,” ujar Ivan yang keukeuh dengan bayangannya soal jalur enak menuju pos 2. “Pos 1-nya sebentar lagi, mas”, tutur salah seorang personel rombongan tersebut, yang lantas pamit untuk melanjutkan perjalanan pulangnya.

“The very basic core of a man's living spirit 
is his passion for adventure. 
The joy of life comes from our encounters 
with new experiences, 
and hence there is no greater joy 
than to have an endlessly changing horizon, 
for each day to have a new and different sun.” 

Gerimis kembali turun berbarengan dengan hari yang semakin gelap. Sambil berjalan, Ivan masih saja berargumen soal keberadaan jalur enak menuju pos 2 yang menurutnya dulu pernah kami lewati. Saya yang memang sudah lupa ya banyak bilang nggak tahunya, lha wong namanya saja lupa. Di sebuah kelokan kami beristirahat sebentar lantaran sudah memasuki waktunya adzan maghrib. Di sini kami berunding perihal jalan mana yang mesti kami mabil, lewat  tanjakan PHP ataukah jalur percabangan dari pos 1. Akhirnya kami sepakat untuk tidak berspekulasi dan lebih memilih untuk lewat jalur PHP karena jalur tersebutlah yang resmi betapapun beratnya trek yang haru kami lalui nanti. Gerimis yang semakin deras memaksa kami untuk mulai pasang jas hujan. Tak lupa juga kami pasang headlamp. Sial bagi saya karena headlamp saya rada bermasalah sehingga untuk membuatnya menyala maksimal harus diputar-putar dulu engselnya.

Pos 1 (foto diambil ketika perjalanan pulang)
Biarpun namanya pos, di sepanjang jalur pendakian jangan membayangkan
ada bangunan pos yang teduh.

Pos 1 berupa area cukup luas dengan beberapa percabangan. Di pos ini sebenarnya terdapat sumber air berupa pipa, tetapi karena pipanya pecah maka sumber air ini kini ditutup. Di pos ini kami tidak berhenti. Jalur selepas pos 1 relatif datar tetapi sangat sempit. Samar-samar dan remang-remang, dari arah berlawanan muncul cahaya menembus pekatnya kabut. Kami kembali berpapasan dengan rombongan pendaki. Setengah jam berjalan dari pos 1 sampailah kami di sebuah area lapang dimana terdapat sebuah tenda berada di satu sisinya. Tak ada tegur sapa antara kami berempat dengan penghuni tenda tersebut yang tampaknya telah sangat nyaman berada di dalamnya. Cahaya kuning temaram yang muncul dari dalam tenda tersebut terlihat sangat hangat, sejenak membuat saya jadi pengen ikutan masuk ke dalamnya. Dengan kepungan kabut, gelapnya malam, dan rintik-rintik hujan di tengah hutan, siapa sih yang nggak pengen berteduh di dalam tempat nyaman seperti itu? Apalagi ditambah dengan makan mi instan berkuah panas.., teh hangat..., ahhhhh..... Kami memang masih jauh dari suasana kenyamanan tersebut. Ya, ‘Pos pertigaan Dau’ yang jadi target kami memang masih jauh dan entah berapa jam lagi bisa sampai ke sana. Sorot lampu-lampu headlamp kami pun mengitari sekeliling area luas ini, hingga akhirnya dari dalam keremangan kabut kami menemukan sebuah tanjakan dengan papan penunjuk ke arah Gunung Buthak di salah satu sisinya, yang bertuliskan tanjakan PHP. Oh ini toh namanya tanjakan PHP, ternyata memang begitulah namanya. Semenjak awal memang kami langsung disuguhi dengan tanjakan curam yang setelah dijalan-jalani kok nggak kunjung kelihatan ya puncak tanjakannya. Rintik-rintik hujan membuat tanah di tanjakan ini sedikit licin ketika diinjak.

"tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu"
(Hujan Bulan Juni - Sapardi Joko Damono)

Dengan kemiringan 45 – 50 derajat ditambah jarak yang cukup jauh, tenaga kami berempat terkuras habis-habisan di tanjakan ini. Itu masih soal kemiringan, belum lagi gerimis yang masih belum reda sementara udara dingin semakin terasa menusuk, membuat kami berkali-kali harus berhenti. Kabut selain membuat jarak pandang jadi tinggal sekitar lima meteran, juga bikin kecamata saya sering berembun. Saya yang kalau perjalanan turun gunung sering jatuh tersungkur ataupun kepleset langsung membayangkan betapa beratnya tanjakan ini ketika lusa harus lewat sini lagi dengan kondisi licin seperti ini. Tapi saya berusaha memotivasi diri dengan ngebayangin yang enak-enak... seperti kalau pulang nanti mau langsung makan mie ayam, hehehe. Sedangkan Ivan, dia sampai-sampai berpikir kalau kami sedang salah jalan sambil kembali berusaha mengingatkan saya kalau dulu kami tidak melewati tanjakan gila ini. Saya yang sudah beneran lupa ditambah udah capek nanjak jadi males mengorek-ngorek kepingan memori yang barangkali sudah kena shift+del itu. Di tengah tanjakan, kami bertemu dengan serombongan anak seusia SMA yang memutuskan untuk balik kucing lantaran ada yang tidak kuat nanjak. Dalam istirahat kami di tengah-tengah tanjakan, saya dan mas Ari sempat merasa ngantuk, tapi kami berusaha untuk tidur karena tidur dalam kondisi basah-basahan seperti ini bisa berujung pada hypothermia. Mas Ari sempat juga bercerita tentang pengalamannya nolongin pendaki yang mengalami penyakit mematikan itu ketika turun dari tanjakan pasir di bawah Puncak Semeru.

Sayangnya banyak yang membawa peralatan dan perlengkapan di bawah standard.
Ada yang pake sepatu kets, sendal jepit sw**ow, ada yang nyeker pula...
Entah berapa jam lamanya kami berjalan meniti tanjakan yang seolah tak berujung ini hingga akhirnya bertemu dengan area datar yang cukup luas. Sampai di titik ini barulah saya yakin kalau kami tidak salah jalan. Di titik ini saya ingat kalau pada pendakian terdahulu kami sempat ketemu pendaki yang menggelar tendanya di tengah jalan, yang kemudian diamini juga oleh Ivan. Saya dan Ivan juga ingat kalau sebentar lagi kami akan bertemu dengan area luas tempat kami nge-camp dahulu. Yoga yang merasa udah sangat kecapekan minta untuk mendirikan tenda di sana saja, yang langsung disepakati oleh seluruh personel. Dan akhirnya kami menawar target yang kami bikin sendiri dengan mendirikan tenda di pos terdekat, bukan lagi di pos yang disebut Ivan sebagai ‘Pos pertigaan Dau’.
Untuk menuju pos terdekat tersebut, kami masih harus berjalan menanjak lagi, tapi Alhamdulillah tanjakannya tidak sejauh tanjakan PHP yang beberapa saat lalu sempat bikin kami hampir KO. Setelah menanjak sekitar setengah jam, sayup-sayup  kami mendengar suara obrolan para pendaki. Dan benar saja, di ujung tanjakan terdapat sebuah area luas yang telah terisi oleh beberapa tenda. Kami pun memutuskan untuk bermalam di pos yang ternyata adalah pos 2. Karena datang belakangan, kami tidak kebagian lahan yang rata hingga akhirnya tenda terpaksa kami dirikan di lahan yang agak miring. Setelah tenda berdiri, urusan yang selanjutnya harus segera ditunaikan adalah menyiapkan makan malam. Menunya berupa sup krim dicampur susu kental manis yang dicemplungin roti tawar sehingga mirip kolak, kolak roti. Ditambah minum bandrek dan juga teh manis panas, menu tersebut menjadi pengganjal perut yang sekejap langsung mengembalikan tenaga kami. Yoga yang sudah capek berat begitu masuk ke sleeping bag langsung mendengkur hebat. Sedangkan mas Ari, Ivan dan juga saya masih sempat mengobrol-ngobrol hingga akhirnya menyisakan saya yang terakhir kali pergi ke alam mimpi. Hingga titik ini yang namanya thunderstorm belum sekalipun menghadang perjalanan kami. Belum ada badai yang menghempaskan barang bawaan kami. Kami hanya dikepung hujan kabut yang tidak terlalu deras. Kami menghabiskan waktu 4 jam dari pos pendaftaran hingga tempat kami mendirikan tenda malam ini, pos 2.

...
"I lean back and let my eyes just go
Floating now where they want to float.
They seem to take to the horizon.
Now I know there is a world beyond
The small place I was coming from.
I feel at home here in the middle of nowhere"
...
(Summer on the Westhill - King of Convenience)


RABU, 20 JUNI 2018
Awal hari kami lalui dengan situasi yang rada konyol. Badan Ivan dan juga saya tiba-tiba sudah berada menjorok ke beranda tenda. Tampaknya kontur tanah yang miring ditambah matras aluminium yang licin itu bikin tubuh saya dan Ivan merosot ke arah luar tenda. Untungnya, kekonyolan tersebut justru membuat seisi tenda jadi bisa bangun lebih pagi. Ujung-ujungnya kami jadi bisa menikmati pemandangan matahari terbit. Pendaki mana sih yang tidak gembira bisa menyaksikan sunrise di rumah keduanya, di gunung? Bagi mas Ari dan saya, pemandangan ini bisa jadi obat pelipur lara pasalnya waktu nanjak ke Merbabu kemarin puncaknya terkepung kabut sehingga nggak bisa lihat apa-apa. 

Sunrise dengan siluet Gunung Panderman
Pelangi-pelangi alangkah indahmu. Merah, kuning, hijau di lamgit yang biru
Sayur sop ala orang gunung
Sarapan pagi dengan menu nasi dan sop yang super duper enak banget, menjadi penyuplai tenaga bagi kami berempat untuk beberapa jam ke depan. Makan makanan bergizi sungguh penting. Kami sengaja nggak menjadikan mie instan sebagai menu utama apalagi sebagai menu sarapan lantaran makanan cepat saji itu bisa bikin lemes dan cepat haus padahal tenaga harus digenjot habis-habisan. Sekitar pukul 08.00 tet kami mulai berjalan meninggalkan pos 2 yang telah menyajikan kepada kami pemandangan sunrise plus masih ditambah bonus pelangi pula. Target kami hari ini adalah menuju sabana.

Jalur menembus semak belukar selepas pos 2
Itukah puncak Gunung Buthaknya?
Di dalam hutan tropis (abaikan orangnya)
Perjalanan dari pos 2 menuju pos selanjutnya diawali dengan semak belukar yang mengapit jalan setapak. Berjalan lebih jauh, kami mulai memasuki hutan. Kontur medan cenderung datar sehingga tidak terlalu melelahkan. Rapatnya hutan tropis di jalur pendakian membuat udara menjadi sejuk dan sangat teduh. Meskipun demikian kami tetap harus waspada lantaran di beberapa titik jalan setapaknya agak berlumpur sehingga rawan bikin terpeleset. Seperti biasa, saya berkali-kali harus berhenti untuk membenarkan tali sepatu yang suka kedodoran. Sementara Yoga berkali-kali matrasnya tersengkut di juluran ranting-ranting pepohonan. Ivan nyantai saja berjalan di belakang, sedangkan mas Ari yang paling cepat jalannya sudah tidak kelihatan, barangkali dia sudah sampai di pos depan. Kami berkali-kali saling susul dengan rombongan dari tenda sebelah ketika berkemah di pos 2 semalam.
Satu jam perjalanan, sampailah kami di ‘Pos pertigaan Dau’ yang ternyata adalah pos 3. Inilah tempat saya dan Ivan nge-camp waktu dulu pertama kali mencoba mendaki gunung Buthak. Di pos ini kami sejenak beristirahat. Sebenarnya target awal kami kemarin adalah mendirikan tenda di pos ini, tapi karena kondisi kurang memungkinkan kami akhirnya  menawar target dengan berkemah di pos 2. Jika mau bersusah-susah dengan turun ke dasar jurang, sebenarnya di pos 3 ini terdapat sebuah sungai kecil yang airnya jernih dan segar. Tetapi rasa malas akhirnya bikin kami mengurungkan niat untuk menambah perbekalan air. “Toh nanti di sabana air melimpah”, kami sepakat ngomong gitu. Padahal di antara kami berempat nggak ada yang tahu persis butuh waktu berapa jam untuk bisa sampai di padang rumput menjelang puncak Buthak sana, hehehe. 

Pos 3
Pohon tinggi yang menjadi semacam focal point di pos 3
Cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Hutan yang rapat masih mengapit jalan setapak. Semakin jauh kami berjalan, kontur tanah semakin menanjak dengan vegetasi yang mulai terbuka. Cuaca yang cukup terik ditambah jalan yang menanjak membuat kami berkali-kali harus berhenti. Di sebuah area lapang kami mendapati dua buah tenda yang beberapa personilnya tampak tertidur pulas di luar tenda. Dengan sisa personilnya yang masih terjaga, sambil beristirahat kami mengobrol mengenai tujuan perjalanan kami. Dari mereka kami tahu bahwa semalam di jalur menuju puncak cuacanya sungguh tidak bersahabat. Hujan deras membuat mereka balik kucing menuju tempat mereka berkemah sekarang ini. Beruntung bagi kami yang cuma kebagian gerimis tipis saja. Dari arah atas beberapa saat kemudian muncul pendaki yang baru turun dari puncak. Menurut mereka perjalanan yang kami tempuh masih sangat jauh.
Kami pun melanjutkan perjalanan. Seusai istirahat kami yang terakhir barusan, kami mulai tercerai berai. Mas Ari yang jalannya paling cepat sering kelewat cepat hingga meninggalkan rekannya yang di belakang. Saya pun ikut tergoda untuk ikut jalan cepat tapi masih nggak bisa ngejar juga. Yoga yang awalnya selalu bersama Ivan akhirnya juga ikutan terpisah sehingga tinggal menyisakan Ivan di posisi yang paling belakang. Beberapa kali kami masih saling tunggu. Setiap kali berhasil menemukan rombongannya, Ivan pasti langsung ngajak saya debat perihal lokasi terakhir kami berjalan dulu dimana kami terjebak kebakaran hingga harus balik ke pos 3. Perjalanan berlanjut hingga akhirnya kami berempat benar-benar harus terpisah dengan jarak yang cukup jauh. Saya lupa berapa lama saya berjalan sendirian, hingga akhirnya saya kembali ketemu dengan mas Ari yang lagi berdiri termenung di bawah lereng tebing menghadap jurang. Saya berdua dengan mas Ari kemudian lanjut berjalan sambil mencari tempat yang enak buat istirahat sekaligus menunggu Yoga dan Ivan. Di sebuah tanjakan dimana terdapat sebidang tanah yang sebenarnya nggak begitu enak buat rebah-rebahan, saya dan mas ari pun kembali beristirahat. Tak berapa lama kemudian Yoga datang. Kami bertiga tak langsung berangkat, tapi malah sempat tidur siang sebentar.

Hutan yang terbakar titik terjauh perjalanan tim kami, dok 2015
Hingga kami bertiga terjaga, Ivan ternyata tak kunjung datang. Kami maklum memang barang bawaan beserta berat tubuhnya sendiri memang kurang mendukung untuk diajak berjalan cepat. Ivan sendiri juga sudah bilang bahwa mas Ari dan saya sebagai pembawa tenda dan dianggapnya punya dengkul racing sebaiknya memang tidak perlu menunggu kedatangannya biar segera sampai di lokasi camping untuk mendirikan tenda. Mas Ari, Yoga, dan saya pun kemudian terus melanjutkan perjalanan menapaki jalan setapak menanjak menembus hutan cemara. Tipikal hutan cemaranya mirip-mirip dengan hutan Cemorokandang di jalur pendakian Gunung Semeru, yang berupa rerumputan dan semak-semak kering dengan pepohonan cemara yang tidak terlalu rapat. Yang membedakan hanyalah jalur yang sedang kami tapaki ini lebih menanjak. Sebuah puncak gunung tampak tersembul jauh dan tinggi di belakang hutan cemara ini. Apakah itu puncak Gunung Buthaknya? Apakah sabananya juga berada di sana? Tak ada yang tahu pastinya bagaimana selain jaraknya yang sepertinya masih cukup jauh. Di hutan ini beberapa kali kami ketemu dengan rombongan pendaki yang berkemah atau sekedar beristirahat. Setiap ketemu mereka yang baru turun, kami selalu di-PHP dengan tipuan khas dunia pendakian, “Oh sudah dekat mas”, begitu kata mereka. Padahal kami udah tahu bakal digituin, eh masih nanya aja, hehehe.

Vegetasi hutan di sekitar jalur pendakian
Jalan setapak menanjak di hutan cemara ini seolah tak habis-habis. Memang tidak terlalu curam, tapi kalau tidak habis-habis begini lama-lama ya bikin khawatir juga soalnya kabut berkali-kali sudah mengintai. Di hutan ini saya kembali terpisah dengan Yoga dan Mas Ari yang berada di belakang sana. Saya juga saling susul dengan seorang bapak beserta seorang anaknya yang dengan barang bawaan super minimalis –cuma bawa daypack plus arit- berniat menuju puncak Gunung Buthak. Si bapak bilang kalau ini adalah pendakian keduanya setelah terakhir kali ke sini sekitar 1992 silam. Si bapak juga bilang bahwa tadi dia ketemu orang gendut titip salam bahwa dia masih tidur-tiduran. Oh... si Ivan pasti nih. Saya mempersilahkan mereka berdua untuk lanjut duluan saja, dan hingga beberapa saat kemudian saya tidak lagi ketemu mereka, seolah lenyap ditelan kabut gunung yang menyelimuti pepohonan cemara.
Saat lagi rebahan di bawah sebuah pohon cemata, Yoga datang bersama mas Ari. Tanpa berlama-lama kami bertiga kembali berjalan. Kami kemudian berpapasan dengan dua orang pendaki yang menuturkan bahwa kemarin mereka naik dari jalur Dau dan sekarang hendak turun kembali melewati jalur tersebut. Dari mereka kami tahu bahwa pertigaan menuju jalur Dau berada di hutan cemara ini, bukannya di pos 3 seperti perkiraan saya dan Ivan. Menurut mereka, jalur menuju Dau memang sedikit tertutup rerumputan. Belakangan kami sadari bahwa di tempat kami ngobrol sekarang ini terdapat sebuah percabangan. “Oh ini lho yang ke Dau”, kata salah seorang dari mereka. “Yakin, mas?” tanya saya. “Yakin, mas. Yakin. Kemaren lewat sini kok”, jawab yang satunya lagi. Setelah berpamitan mereka akhirnya mulai memasuki jalan setapak menembus semak-semak tersebut, tapi tak berapa lama kemudian mereka balik kucing. “Oh, salah. Mas. Masih di bawah ternyata, hihihihi...”, sambil malu-malu kucing mereka akhirnya melanjutkan perjalanan. Waktu terus berjalan sementara kabut semakin pekat menggelayut di puncak bukit. Saya, mas Ari, dan Yoga pun kembali melanjutkan perjalanan dan mencoba untuk tidak terlalu sering beristirahat. Langkah kami bertiga sama-sama sudah tak selincah ketika baru sarapan tadi pagi.

Dua pendaki yang ternyata salah ambil jalur
“Oh tinggal sedikit lagi, mas”

“Tinggal muterin bukit itu terus turun dikit, sampai mas“

ada juga yang bilang gini
 
“Masih jauh, mas. Masih satu setengah jam lagi paling, mas. Kita aja turun ke sini setengah jam..”

Haaaaaaaa... yang mana yang bener nih?
 


 

Ah bodo amat, kami bertiga jalan terus. Hingga akhirnya sampailah kami di bawah bukit yang jalannya memang memutar di salah satu lerengnya. Benar memang jalurnya memutar, tapi nggak ada sedikitpun turunan. Yang ada malah tanjakan. Itu pun masih muterin bukit lagi. Di sebuah pohon kami melihat ada sebuah papan kecil tertempel di batangnya bertuliskan Pos 4 Sabana. Tanda tanya sontak menghinggapi benak kami bertiga. Kami masih terus melangkahkan kaki hingga pada akhirnya setelah keluar dari hutan kami langsung berhadapan dengan pemandangan luar biasa. Sebuah padang rumput yang sangat luas membentang di hadapan kami. Wooooooiiiiii.... sampai juga akhirnya di sabana... hahahahahahahahaha...!!!!!



"And I want to walk with you
On a cloudy day
In fields where the yellow grass grows knee-high
So won't you try to come"
(Come Away With Me - Norah Jones)

Kami tak terlalu larut dalam euforia, cuaca yang mendung membuat kami bertiga harus cepat-cepat mendirikan tenda. Tak lupa juga kami memasang flysheet sebagai tambahan peneduh. Kali ini kami mencoba mencari bidang tanah sedatar mungkin biar kejadian melorot dari tenda nggak terulang lagi. Sumber air yang melimpah membuat kami tak perlu khawatir bakal kekurangan air. Setengah jam kemudian Ivan baru datang, yang langsung disambut dengan gerimis berat. Tak ada menu sop super duper enak banget yang kami makan, cuma minum teh panas dan mi instan panas. Memang malam hari ini kami tidak ada rencana jalan-jalan lagi, jadi cukuplah makan seadanya. Kami baru berniat nanjak ke puncak Buthak keesokan harinya. Setelah ngobrol berbagai macam hal, satu pesatu personel mulai tertidur. Total perjalanan dari pos 2 menuju sabana versi kami berempat adalah empat setengah jam.


Sumber air di sabana Gunung Buthak

KAMIS 21 JUNI 2018
Tengah malam buta Ivan terbangun. Tak lama kemudian saya juga terjaga sambil merasakan ada hal yang tidak beres pada tubuh saya. Kepala saya agak pening dan mulai bersin-bersin, dan tak berapa lama kemudian mulai terasa sesak nafas. Ivan yang lagi beres-beres barang di luar tenda saya mintain tolong untuk membuatkan teh manis panas. Mas Ari yang ikut terbangun dan paling hobi memasak lantas di tengah malam buta ini mulai nyiap-nyiapin bancakan. Di hari yang begitu dini dimana semua pendaki terlelap tidur kami malah masak-masak. Bukan makanan berat, cuma bakwan berisi sosis dan potongan-potongan kol sisa bikin sop kemarin pagi. Gorengan dan juga teh manis panas sungguh mujarab, penyakit saya langsung minggat tanpa harus minum obat kimia. Kami mencoba tidur lagi. Sementara dari luar tenda para pendaki mulai terdengar suaranya. Dari obrolan-obrolan mereka kami tahu bahwa mereka juga berencana muncak.
Sebenarnya kami berencana untuk berangkat muncak sekitar jam 3 pagi dan sholat shubuh di puncak. Tapi karena hingga waktu yang kami jadwalkan tersebut tiba cuaca masih belum bersahabat (gerimis berat disertai angin cukup kencang), kami mengurungkan niatan muncak tersebut. Hingga akhirnya setelah sholat shubuh, tepat pukul 05.30 kami mulai berjalan menapaki jalan setapak membelah padang rerumputan. Langit masih agak mendung disertai dengan angin yang berhembus cukup kencang. Pohon-pohon edelweiss menyambut kami di perbatasan padang rumput dengan hutan cemara yang rapat. Di dalam hutan tersebut, jalan setapak mulai menanjak dan terus menanjak, hingga akhirnya sekeluarnya dari hutan kami melewati jalan sempit diapit tebing-tebing batu dengan kemiringan hampir 75 derajat. Di salah satu titik, pijakan antar batunya cukup tinggi sehingga agak menyulitkan kami untuk berjalan ke arah atas. Medan seperti ini di luar ekspektasi saya, saya bahkan hampir grogi lantaran kesusahan untuk menggapai pijakan dan pegangan di tebing batu tersebut masih ditambah dengan terpaan angin kencang.

Jalan setapak di menembus hutan di bawah puncak Gunung Buthak
Tebing terjal, titik tersulit
Tapi kalau berani noleh ke belakang, semacam ini pemandangannya. Tetap fokus lah tapi ya...
Lepas dari area bebatuan tersebut, jalan setapak menjadi agak landai, semakin landai, dan akhirnya datar. Dari titik tempat saya berdiri ini, keindahan alam khas puncak gunung sudah dapat dinikmati, tetapi saya belum benar-benar sampai di puncak. Setelah disusul mas Ari, Ivan, dan Yoga, barulah saya melanjutkan perjalanan menuju puncak sejati gunung Buthak yang luar biasa pemandangannya. Meskipun mendung dan tidak kebagian sunrise di puncak, kami masih bisa menikmati pemandangan indah yang jauuuh membentang. Menurut saya pribadi, gunung ini meskipun tidak terlalu populer apalagi ketinggiannya yang 'hanya' 2868 mdpl tetapi menyajikan bentangan pemandangan yang lebih banyak, lebih dekat, dan lebih detail.

Kota Blitar, Gunung Kelud, Gunung Ngliman, dan samar-samar Gunung Lawu di sisi barat.
Gunung Semeru dan Pegunungan Tengger di sisi timur (abaikan orangnya)
Bendungan Karangkates dan Bendungan Lahor di sisi selatan (abaikan orangnya).
Tampaknya ada daerah yang sedang diguyur hujan deras.
Gunung Arjuno dan secuil Gunung Panderman di sisi utara (abaikan orangnya) 
Formasi lengkap tim kami.Ki-ka (Yoga, saya, Ivan, mas Ari)

"Ah, ah,
We come from the land of the ice and snow,
From the midnight sun where the hot springs blow
The hammer of the gods
Will drive our ships to new lands,
To fight the horde, singing and crying,
Valhalla, I am coming!"
(Immigrant Song - Led Zeppelin)
 
Turun dari puncak juga tak lebih mudah, terlebih di daerah tebing batu. Begitu masuk ke dalam hutan, langkah kaki susah untuk tidak diajak berlari menuruni jalan setapak. Sesampainya di tenda kami langsung menyiapkan sarapan dengan menu bergizi yang lain, soto ayam.

Ngantri menuruni tebing yang hampir vertikal
Kami baru meninggalkan sabana sekitar pukul 11.00 siang. Cuaca yang agak mendung membuat kami harus segera bergegas, khawatirnya nanti di tanjakan PHP (sekarang jadi turunan PHP) hujan turun sehingga membuat lintasannya jadi licin. Mas Ari yang jalannya paling cepat kami suruh berangkat duluan dan menunggu di pos 3. Dengan membawa sampah, Ivan, yoga, dan saya berjalan bareng meninggalkan sabana Buthak.

Packing sebelum pulang, jangan pernah lupa untuk membawa turun sampah-sampahnya
Bye-bye savanna
 ...
"Now I know there is a world beyond
The small place I was coming from.
I feel at home here in the middle of nowhere"
(Summer on the Westhill - King of Convenience)

Perjalanan turun tidak terlalu memakan waktu. Kami bertiga berjalan setengah berlari menuruni jalan setapak yang membelah hutan cemara. Akhirnya sampai juga kami di pos 3 dimana mas Ari sudah tiba dan menunggu kedatangan kami bertiga sambil leyeh-leyeh. Mas Ari yang kemudian pamit untuk kembali melanjutkan perjalanan dalam sekejap sudah tidak kelihatan lagi. Sementara itu kami bertiga personel yang tersisa berjalan santai saja menyusuri jalan setapak menembus hutan tropis. Banyaknya genangan air dan beceknya jalan setapak di hutan ini seakan memberitahu kami kalau semalam di daerah ini diguyur hujan deras. Efeknya saya jadi berkali-kali terpeleset. Syukur Alhamdulillah semalam di sabana kami sama sekali tidak mengalami hujan deras. Di hutan ini kami saling susul dengan beberapa tim yang sempat kami temui di puncak Buthak beberapa saat lalu. Karena jalurnya tergolong datar, waktu tempuh yang kami habiskan dari pos 3 menuju pos 2 masih berkisar di angka 1 jam. Sama dengan ketika kami berangkat.

Lhah tanahnya miring begitu, pantesan kemarin kami melorot pas lagi tidur
Di pos 2, kami sejenak beristirahat. Mas Ari kembali pamit untuk jalan duluan dan akan langsung menunggu kami di pos pendaftaran. Kami bertiga langsung berhadapan dengan turunan yang cukup curam menjelang pos bayangan di bawah pos 2. Selepas pos bayangan, medan yang paling kami waspadai pun akhirnya kami jumpai. Turunan PHP, membuat langkah kaki kami susah untuk direm. Untungnya cuaca sedang cerah sehingga tanahnya tidak licin seperti ketika kami berangkat kemarin. Kontur tanah yang menurun membuat perjalanan terasa jauh lebih cepat. Ketika tengah menuruni jalan curan tersebut, di sebelah kanan saya menemukan sebuah percabangan yang entah mengarah ke mana. Kami juga sempat beberapa kali berpapasan dengan pendaki yang terengah-engah menapaki tanjakan PHP ini.
Saya dan Yoga melepas lelah sejenak di bawah tanjakan PHP, sedangkan Ivan pamit untuk langsung berjalan menuju pos pendaftaran. Kami sempat mengobrol dengan seorang bapak -sepertinya penduduk lokal- menurutnya ada percabangan di pos 1 yang mengarah ke atas tapi beliau tidak mengatakan titik pertemeuan percabangan tersebut di daerah mana. Dugaan saya, jalan bercabang tersebut pasti mengarah ke percabangan yang tadi sempat saya lihat di tengah-tengah tanjakan PHP. Dugaan saya ini juga didasari oleh informasi yang diberikan pendaki yang sempat kami temui ketika berangkat, yang sempat bikin kami bingung tapi akhirnya tetap milih lewat tanjakan PHP. Tetapi ini masih hanya sebatas dugaan saja lho, jangan dicoba-coba kalau nggak pengen nyasar.

Seperti ini ternyata awal tanjakan PHP-nya
Jalan yang kami lalui selanjutnya cenderung datar dan menurun. Setelah berjalan sekitar setengah jam, barulah saya dan Yoga bertemu dengan Ivan di jalur antara pos 1 dengan perkebunan penduduk. Menjelang perjalanan berakhir, penyakit saya kumat. 'Acute Mountain Sickness'. Bukan puyeng akibat ketinggian, tapi kaki mulai terasa kaku dan keras sehingga bikin malas jalan kaki padahal saya sedang tidak capek. Hampir setiap kali naik gunung saya selalu merasakannya. Entah kenapa, apa karena alam pegunungan terlalu sayang untuk ditinggalkan? Sampai sekarang saya masih belum tahu penyebabnya.
Total perjalanan turun kami habiskan cuma 4 jam 15 menitan termasuk waktu istirahatnya. Sedangkan berangkatnya, kami memakan waktu hingga sekitar 8 jam berjalan kaki. Biarpun begitu kami bersyukur karena segala yang kami lalui ternyata berjalan sesuai rencana. Tak ada badai yang menghadang kami, pun tak ada hujan yang terlalu deras mengguyur tubuh kami. Alhamdulillah. Positive thinking itu penting.


Puncak hanyalah bonus, pulang dengan selamat adalah kesuksesan yang sejati.


SEKIAN