"From my seat I see the fields move by,
Coulours strong, it's been a long, long time.
It's the first time I see summer on the Westhill..."
Coulours strong, it's been a long, long time.
It's the first time I see summer on the Westhill..."
...
(Summer on the Westhill - King of Convenience)
Pegunungan Putri Tidur dilihat dari kawasan Bumiayu, Kota Malang. Gunung Buthak terletak di gugusan gunung sebelah kiri |
Keinginan untuk mencapai puncak Gunung Buthak sebenarnya
sudah muncul cukup lama, bahkan pernah juga kami coba untuk pergi ke sana pada
tahun 2015 tapi gagal karena ada kebakaran hutan. Setelah itu, cukup sulit
untuk mengatur waktu supaya bisa kembali pergi ke sana lagi. Barulah sepulang
dari Panderman kemarin, kami sepakat untuk mendaki Buthak lagi selepas lebaran.
Peserta pendakian kali ini adalah saya (Adif), Ivan, mas Ari, dan Yoga.
SELASA, 19 JUNI 2018
Ketika packing di kantornya Ivan, kami berempat sempat
membahas perkiraan cuaca yang kurang mengenakkan. Pasalnya, menurut aplikasi
ramalan cuaca di area Gunung Buthak sedang badai. Thunderstorm! Wah bagaimana ya, nggak jadi berangkat itu sayang,
berangkat itu rawan celaka... Tapi dengan berbekal positive thinking bahwa cuaca nanti pasti akan lebih bersahabat,
kami akhirnya tetap berangkat. Kalaupun hujan, anggaplah hujan itu sebagai sebuah
rahmat dan rejeki sehingga tak perlu disesali.
![]() |
Packing and repacking |
![]() |
Bahan calon pengisi perut |
Sama seperti ketika mendaki Panderman kemarin, kami meluncur
ke Batu menggunakan taksi online.
Sejak awal kedatangan mobil online
itu ke kampus, aroma ketidakberesan mulai tercium. Pasalnya si supirnya
bukanlah sosok asli yang fotonya terpampang di aplikasi pemanggil taksi online. Di aplikasi, yang muncul adalah
sosok bapak-bapak sedangkan yang lagi ngantarin kami kali ini adalah sosok anak
muda sekitar 25 tahunan. “Tek’e pakdeku
iki mas (punya omku ini, mas)”, kilahnya. Sepanjang perjalanan menuju Batu
si driver ini berkali-kali bercanda dengan candaan yang mejurus provokatif.
Kayak pas lagi lewat di jalan yang cukup sempit, kan di depan mobil yang
dikendarainya ini ada sebuah truk pengangkut tabung elpiji melon. Truk ini berhentinya
agak ke tengah jalan sehingga bikin macet. Spontan si supir sangar ini langsung minta korek gas ke
Ivan yang duduk di sebelahnya.”Wah gak ada yang ngrokok mas,” jawab Ivan yang
langsung ditimpali si supir, “Lho bukan buat ngerokok mas, buat mbakar elpiji
depan itu lho!” Kami berempat penumpangnya ini langsung ngakak sambil rada
nahan pegel juga lantaran cara nyetirnya si supir ini yang bikin perut auto
mual. Tingkah nylenehnya
itu masih ditambah lagi dengan tato di lengannya yang ternyata bergambar
Naruto! @*&gjhghf&^576F878T7g Dan dia tampak bangga!
![]() |
Gapura Desa Pesanggrahan, pintu masuk Gunung Panderman - Gunung Buthak |
![]() |
Ngisi perut dulu. Ati-ati jangan bikin si ibu penjualnya kaget |
Gerimis tak kunjung reda, tetapi karena punya target
perjalanan kami berempat pun tak ragu untuk mulai melangkahkan kaki menyusuri
jalan beraspal menanjak. Dengan mengenakan jas hujan kami berjalan menuju
pangkalan ojek yang sekaligus berfungsi sebagai tempat parkir sepeda motor matic milik para pendaki. Kali ini kami
memang sejak awal sudah sengaja hendak naik ojek saja menuju pos pendaftaran
yang jaraknya sekitar 2 kilometeran dari pangkalan ojek. Niatnya sudah jelas,
untuk menghemat waktu dan tenaga karena Gunung Buthak itu jarak maupun waktu
tempuhnya memakan waktu cukup banyak.
Sialnya waktu itu para tukang ojeknya sama sekali nggak
kelihatan batang hidungnya. Memang ada dua orang yang berada di pos, tapi
dua-duanya pada tidur pules dan nggak bereaksi apapun ketika kami bangunkan. Beberapa
orang anak muda yang sepertinya juga rombongan pendaki cuma geleng-geleng
kepala ketika kami tanyai perihal keberadaan tukeng ojek. “Ah, barangkali di
depan ada ojek”, begitu pikir kami sambil meninggalkan pangkalan ojek. Tapi
setelah berjalan sekitar seratus meteran di medan yang semakin menanjak,
ternyata nggak ada satupun tukang ojek yang menghampiri kami. Di tempat yang menyerupai halte setengah jadi
di pinggir jalan kami beristirahat sejenak dan mulai melepaskan jas hujan
lantaran gerimis mulai reda. Kami pun kembali berjalan, dan tak beberapa lama
kemudian dari bawah muncullah empat tukang ojek. Sudah jalan segini jauhnya
baru muncul, tapi tak mengapalah toh pos pendaftaran pendakian memang masih
cukup jauh. Tarif ojek ini Rp 10000 per orang. Sekitar sepuluh menit kemudian
sampailah kami berempat di pos pendaftaran.
![]() | |
Nice quote... |
Di bangunan pos yang besar itu
waktu itu tak satupun terlihat ada seorang petugas. Karenanya saya berusaha
mendatangi tempat parkiran motor, yang ternyata di situlah si petugasnya
berada. Tarif masuk sebesar Rp 7000 per orang. Setelah berdoa, tepat pukul
setengah lima kami mulai mengayunkan kaki menuju trek pendakian. Target kami
adalah mendirikan kemah di pos yang diduga dan disebut Ivan sebagai ‘Pos
pertigaan Dau’. Alasan kami memilih tempat tersebut adalah karena keberadaan
sungai kecil sebagai calon sumber air kami.
![]() |
Pos pendaftaran Gunung Panderman, ki-ka: Ivan, Mas Ari, Yoga. Saya motret, :( |
![]() |
Awal-awal jalur pendakian |
![]() |
Percabangan pertama, dan akan ada percabangan-percabangan selanjutnya yang tentunya sudah dilengkapi penunjuk arah. |
Hari mulai gelap. Di sebuah kelokan kami berpapasan dengan
serombongan pendaki. Dari mereka kami tahu kalau ada percabangan menuju pos 2
tanpa harus melalui tanjakan PHP. Tanjakan PHP? Begitulah mereka menyebutnya. Namanya
saja sudah mengandung sesuatu yang nggak enak. Saya pribadi sudah lupa apakah
tiga tahun yang lalu juga melalui tanjakan PHP ini. Menurut Ivan yang waktu itu
juga satu tim dengan saya, waktu itu kami tidak melalui tanjakan PHP tersebut
karena menurutnya jalur yang kami lalui waktu itu lebih landai dan tidak banyak
tanjakan. Menurut rombongan yang kami temui ini jalur percabangannya berada di
pos 1 tapi tidak begitu terlihat karena tertutup rerumputan. Masih menurut
mereka, katanya kalau lewat jalur cabang tersebut jalurnya nggak seberapa
menanjak. Sedangkan kalau lewat tanjakan
PHP, tanjakannya gila-gilaan meskipun sebenarnya jalur PHP inilah jalur
resminya. “Lho kan, mirip sama yang kita lewatin dulu,” ujar Ivan yang keukeuh dengan bayangannya soal jalur
enak menuju pos 2. “Pos 1-nya sebentar lagi, mas”, tutur salah seorang personel
rombongan tersebut, yang lantas pamit untuk melanjutkan perjalanan pulangnya.
“The very basic core of a man's living spirit
is his passion for
adventure.
The joy of life comes from our encounters
with new
experiences,
and hence there is no greater joy
than to have an endlessly
changing horizon,
for each day to have a new and different sun.”
Gerimis kembali turun berbarengan dengan hari yang semakin gelap. Sambil berjalan, Ivan masih saja berargumen soal keberadaan jalur enak menuju pos 2 yang menurutnya dulu pernah kami lewati. Saya yang memang sudah lupa ya banyak bilang nggak tahunya, lha wong namanya saja lupa. Di sebuah kelokan kami beristirahat sebentar lantaran sudah memasuki waktunya adzan maghrib. Di sini kami berunding perihal jalan mana yang mesti kami mabil, lewat tanjakan PHP ataukah jalur percabangan dari pos 1. Akhirnya kami sepakat untuk tidak berspekulasi dan lebih memilih untuk lewat jalur PHP karena jalur tersebutlah yang resmi betapapun beratnya trek yang haru kami lalui nanti. Gerimis yang semakin deras memaksa kami untuk mulai pasang jas hujan. Tak lupa juga kami pasang headlamp. Sial bagi saya karena headlamp saya rada bermasalah sehingga untuk membuatnya menyala maksimal harus diputar-putar dulu engselnya.
![]() |
Pos 1 (foto diambil ketika perjalanan pulang) Biarpun namanya pos, di sepanjang jalur pendakian jangan membayangkan ada bangunan pos yang teduh. |
Pos 1 berupa area cukup luas dengan beberapa percabangan. Di
pos ini sebenarnya terdapat sumber air berupa pipa, tetapi karena pipanya pecah
maka sumber air ini kini ditutup. Di pos ini kami tidak berhenti. Jalur selepas
pos 1 relatif datar tetapi sangat sempit. Samar-samar dan remang-remang, dari
arah berlawanan muncul cahaya menembus pekatnya kabut. Kami kembali berpapasan
dengan rombongan pendaki. Setengah jam berjalan dari pos 1 sampailah kami di
sebuah area lapang dimana terdapat sebuah tenda berada di satu sisinya. Tak ada
tegur sapa antara kami berempat dengan penghuni tenda tersebut yang tampaknya
telah sangat nyaman berada di dalamnya. Cahaya kuning temaram yang muncul dari
dalam tenda tersebut terlihat sangat hangat, sejenak membuat saya jadi pengen
ikutan masuk ke dalamnya. Dengan kepungan kabut, gelapnya malam, dan
rintik-rintik hujan di tengah hutan, siapa sih yang nggak pengen berteduh di
dalam tempat nyaman seperti itu? Apalagi ditambah dengan makan mi instan
berkuah panas.., teh hangat..., ahhhhh..... Kami memang masih jauh dari suasana
kenyamanan tersebut. Ya, ‘Pos pertigaan Dau’ yang jadi target kami memang masih
jauh dan entah berapa jam lagi bisa sampai ke sana. Sorot lampu-lampu headlamp kami pun mengitari sekeliling
area luas ini, hingga akhirnya dari dalam keremangan kabut kami menemukan
sebuah tanjakan dengan papan penunjuk ke arah Gunung Buthak di salah satu
sisinya, yang bertuliskan tanjakan PHP. Oh ini toh namanya tanjakan
PHP, ternyata memang begitulah namanya. Semenjak awal memang kami langsung
disuguhi dengan tanjakan curam yang setelah dijalan-jalani kok
nggak kunjung kelihatan ya puncak tanjakannya. Rintik-rintik hujan membuat
tanah di tanjakan ini sedikit licin ketika diinjak.
Dengan kemiringan 45 – 50 derajat ditambah jarak yang cukup jauh, tenaga kami berempat terkuras habis-habisan di tanjakan ini. Itu masih soal kemiringan, belum lagi gerimis yang masih belum reda sementara udara dingin semakin terasa menusuk, membuat kami berkali-kali harus berhenti. Kabut selain membuat jarak pandang jadi tinggal sekitar lima meteran, juga bikin kecamata saya sering berembun. Saya yang kalau perjalanan turun gunung sering jatuh tersungkur ataupun kepleset langsung membayangkan betapa beratnya tanjakan ini ketika lusa harus lewat sini lagi dengan kondisi licin seperti ini. Tapi saya berusaha memotivasi diri dengan ngebayangin yang enak-enak... seperti kalau pulang nanti mau langsung makan mie ayam, hehehe. Sedangkan Ivan, dia sampai-sampai berpikir kalau kami sedang salah jalan sambil kembali berusaha mengingatkan saya kalau dulu kami tidak melewati tanjakan gila ini. Saya yang sudah beneran lupa ditambah udah capek nanjak jadi males mengorek-ngorek kepingan memori yang barangkali sudah kena shift+del itu. Di tengah tanjakan, kami bertemu dengan serombongan anak seusia SMA yang memutuskan untuk balik kucing lantaran ada yang tidak kuat nanjak. Dalam istirahat kami di tengah-tengah tanjakan, saya dan mas Ari sempat merasa ngantuk, tapi kami berusaha untuk tidur karena tidur dalam kondisi basah-basahan seperti ini bisa berujung pada hypothermia. Mas Ari sempat juga bercerita tentang pengalamannya nolongin pendaki yang mengalami penyakit mematikan itu ketika turun dari tanjakan pasir di bawah Puncak Semeru.
Entah berapa jam lamanya kami berjalan meniti tanjakan yang
seolah tak berujung ini hingga akhirnya bertemu dengan area datar yang cukup
luas. Sampai di titik ini barulah saya yakin kalau kami tidak salah jalan. Di titik ini
saya ingat kalau pada pendakian terdahulu kami sempat ketemu pendaki yang menggelar
tendanya di tengah jalan, yang kemudian diamini juga oleh Ivan. Saya dan Ivan
juga ingat kalau sebentar lagi kami akan bertemu dengan area luas tempat kami nge-camp dahulu. Yoga yang merasa udah
sangat kecapekan minta untuk mendirikan tenda di sana saja, yang langsung
disepakati oleh seluruh personel. Dan akhirnya kami menawar target yang kami
bikin sendiri dengan mendirikan tenda di pos terdekat, bukan lagi di pos yang
disebut Ivan sebagai ‘Pos pertigaan Dau’.
"tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu"
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu"
(Hujan Bulan Juni - Sapardi Joko Damono)
Dengan kemiringan 45 – 50 derajat ditambah jarak yang cukup jauh, tenaga kami berempat terkuras habis-habisan di tanjakan ini. Itu masih soal kemiringan, belum lagi gerimis yang masih belum reda sementara udara dingin semakin terasa menusuk, membuat kami berkali-kali harus berhenti. Kabut selain membuat jarak pandang jadi tinggal sekitar lima meteran, juga bikin kecamata saya sering berembun. Saya yang kalau perjalanan turun gunung sering jatuh tersungkur ataupun kepleset langsung membayangkan betapa beratnya tanjakan ini ketika lusa harus lewat sini lagi dengan kondisi licin seperti ini. Tapi saya berusaha memotivasi diri dengan ngebayangin yang enak-enak... seperti kalau pulang nanti mau langsung makan mie ayam, hehehe. Sedangkan Ivan, dia sampai-sampai berpikir kalau kami sedang salah jalan sambil kembali berusaha mengingatkan saya kalau dulu kami tidak melewati tanjakan gila ini. Saya yang sudah beneran lupa ditambah udah capek nanjak jadi males mengorek-ngorek kepingan memori yang barangkali sudah kena shift+del itu. Di tengah tanjakan, kami bertemu dengan serombongan anak seusia SMA yang memutuskan untuk balik kucing lantaran ada yang tidak kuat nanjak. Dalam istirahat kami di tengah-tengah tanjakan, saya dan mas Ari sempat merasa ngantuk, tapi kami berusaha untuk tidur karena tidur dalam kondisi basah-basahan seperti ini bisa berujung pada hypothermia. Mas Ari sempat juga bercerita tentang pengalamannya nolongin pendaki yang mengalami penyakit mematikan itu ketika turun dari tanjakan pasir di bawah Puncak Semeru.
![]() |
Sayangnya banyak yang membawa peralatan dan perlengkapan di bawah standard. Ada yang pake sepatu kets, sendal jepit sw**ow, ada yang nyeker pula... |
Untuk menuju pos terdekat tersebut, kami masih harus
berjalan menanjak lagi, tapi Alhamdulillah tanjakannya tidak sejauh tanjakan
PHP yang beberapa saat lalu sempat bikin kami hampir KO. Setelah menanjak
sekitar setengah jam, sayup-sayup kami
mendengar suara obrolan para pendaki. Dan benar saja, di ujung tanjakan terdapat
sebuah area luas yang telah terisi oleh beberapa tenda. Kami pun memutuskan
untuk bermalam di pos yang ternyata adalah pos 2. Karena datang belakangan,
kami tidak kebagian lahan yang rata hingga akhirnya tenda terpaksa kami dirikan
di lahan yang agak miring. Setelah tenda berdiri, urusan yang selanjutnya harus
segera ditunaikan adalah menyiapkan makan malam. Menunya berupa sup krim
dicampur susu kental manis yang dicemplungin
roti tawar sehingga mirip kolak, kolak roti. Ditambah minum bandrek dan juga
teh manis panas, menu tersebut menjadi pengganjal perut yang sekejap langsung
mengembalikan tenaga kami. Yoga yang sudah capek berat begitu masuk ke sleeping bag langsung mendengkur hebat.
Sedangkan mas Ari, Ivan dan juga saya masih sempat mengobrol-ngobrol hingga
akhirnya menyisakan saya yang terakhir kali pergi ke alam mimpi. Hingga titik
ini yang namanya thunderstorm belum
sekalipun menghadang perjalanan kami. Belum ada badai yang menghempaskan barang
bawaan kami. Kami hanya dikepung hujan kabut yang tidak terlalu deras. Kami
menghabiskan waktu 4 jam dari pos pendaftaran hingga tempat kami mendirikan
tenda malam ini, pos 2.
...
"I lean back and let my eyes just go
Floating now where they want to float.
They seem to take to the horizon.
Now I know there is a world beyond
The small place I was coming from.
I feel at home here in the middle of nowhere"
"I lean back and let my eyes just go
Floating now where they want to float.
They seem to take to the horizon.
Now I know there is a world beyond
The small place I was coming from.
I feel at home here in the middle of nowhere"
...
(Summer on the Westhill - King of Convenience)
RABU, 20 JUNI 2018
Awal hari kami lalui dengan situasi yang rada konyol. Badan
Ivan dan juga saya tiba-tiba sudah berada menjorok ke beranda tenda. Tampaknya
kontur tanah yang miring ditambah matras aluminium yang licin itu bikin tubuh saya
dan Ivan merosot ke arah luar tenda. Untungnya, kekonyolan tersebut justru
membuat seisi tenda jadi bisa bangun lebih pagi. Ujung-ujungnya kami jadi bisa
menikmati pemandangan matahari terbit. Pendaki mana sih yang tidak gembira bisa
menyaksikan sunrise di rumah
keduanya, di gunung? Bagi mas Ari dan saya, pemandangan ini bisa jadi obat
pelipur lara pasalnya waktu nanjak ke Merbabu kemarin puncaknya terkepung
kabut sehingga nggak bisa lihat apa-apa.
![]() |
Sunrise dengan siluet Gunung Panderman |
![]() |
Pelangi-pelangi alangkah indahmu. Merah, kuning, hijau di lamgit yang biru |
![]() |
Sayur sop ala orang gunung |
Sarapan pagi dengan menu nasi dan sop yang super duper enak
banget, menjadi penyuplai tenaga bagi kami berempat untuk beberapa jam ke
depan. Makan makanan bergizi sungguh penting. Kami sengaja nggak menjadikan mie
instan sebagai menu utama apalagi sebagai menu sarapan lantaran makanan cepat
saji itu bisa bikin lemes dan cepat haus padahal tenaga harus digenjot
habis-habisan. Sekitar pukul 08.00 tet
kami mulai berjalan meninggalkan pos 2 yang telah menyajikan kepada kami pemandangan sunrise plus masih ditambah bonus
pelangi pula. Target kami hari ini adalah menuju sabana.
![]() |
Jalur menembus semak belukar selepas pos 2 |
![]() |
Itukah puncak Gunung Buthaknya? |
![]() |
Di dalam hutan tropis (abaikan orangnya) |
Perjalanan dari pos 2 menuju pos selanjutnya diawali dengan
semak belukar yang mengapit jalan setapak. Berjalan lebih jauh, kami mulai
memasuki hutan. Kontur medan cenderung datar sehingga tidak terlalu melelahkan.
Rapatnya hutan tropis di jalur pendakian membuat udara menjadi sejuk dan sangat
teduh. Meskipun demikian kami tetap harus waspada lantaran di beberapa titik
jalan setapaknya agak berlumpur sehingga rawan bikin terpeleset. Seperti biasa,
saya berkali-kali harus berhenti untuk membenarkan tali sepatu yang suka
kedodoran. Sementara Yoga berkali-kali matrasnya tersengkut di juluran ranting-ranting
pepohonan. Ivan nyantai saja berjalan di belakang, sedangkan mas Ari yang
paling cepat jalannya sudah tidak kelihatan, barangkali dia sudah sampai di pos
depan. Kami berkali-kali saling susul dengan rombongan dari tenda sebelah
ketika berkemah di pos 2 semalam.
Satu jam perjalanan, sampailah kami di ‘Pos pertigaan Dau’
yang ternyata adalah pos 3. Inilah tempat saya dan Ivan nge-camp waktu dulu pertama kali mencoba
mendaki gunung Buthak. Di pos ini kami sejenak beristirahat. Sebenarnya target
awal kami kemarin adalah mendirikan tenda di pos ini, tapi karena kondisi
kurang memungkinkan kami akhirnya menawar
target dengan berkemah di pos 2. Jika mau bersusah-susah dengan turun ke dasar
jurang, sebenarnya di pos 3 ini terdapat sebuah sungai kecil yang airnya jernih
dan segar. Tetapi rasa malas akhirnya bikin kami mengurungkan niat untuk
menambah perbekalan air. “Toh nanti di sabana air melimpah”, kami sepakat
ngomong gitu. Padahal di antara kami berempat nggak ada yang tahu persis butuh
waktu berapa jam untuk bisa sampai di padang rumput menjelang puncak Buthak
sana, hehehe.
![]() |
Pos 3 |
![]() |
Pohon tinggi yang menjadi semacam focal point di pos 3 |
Cukup beristirahat, kami melanjutkan perjalanan.
Hutan yang rapat masih mengapit jalan setapak. Semakin jauh kami berjalan,
kontur tanah semakin menanjak dengan vegetasi yang mulai terbuka. Cuaca yang
cukup terik ditambah jalan yang menanjak membuat kami berkali-kali harus berhenti.
Di sebuah area lapang kami mendapati dua buah tenda yang beberapa personilnya
tampak tertidur pulas di luar tenda. Dengan sisa personilnya yang masih
terjaga, sambil beristirahat kami mengobrol mengenai tujuan perjalanan kami.
Dari mereka kami tahu bahwa semalam di jalur menuju puncak cuacanya sungguh
tidak bersahabat. Hujan deras membuat mereka balik kucing menuju tempat mereka
berkemah sekarang ini. Beruntung bagi kami yang cuma kebagian gerimis tipis
saja. Dari arah atas beberapa saat kemudian muncul pendaki yang baru turun dari
puncak. Menurut mereka perjalanan yang kami tempuh masih sangat jauh.
Kami pun melanjutkan perjalanan. Seusai istirahat kami yang
terakhir barusan, kami mulai tercerai berai. Mas Ari yang jalannya paling cepat
sering kelewat cepat hingga meninggalkan rekannya yang di belakang. Saya pun
ikut tergoda untuk ikut jalan cepat tapi masih nggak bisa ngejar juga. Yoga
yang awalnya selalu bersama Ivan akhirnya juga ikutan terpisah sehingga tinggal
menyisakan Ivan di posisi yang paling belakang. Beberapa kali kami masih saling
tunggu. Setiap kali berhasil menemukan rombongannya, Ivan pasti langsung ngajak
saya debat perihal lokasi terakhir kami berjalan dulu dimana kami terjebak
kebakaran hingga harus balik ke pos 3. Perjalanan berlanjut hingga akhirnya
kami berempat benar-benar harus terpisah dengan jarak yang cukup jauh. Saya
lupa berapa lama saya berjalan sendirian, hingga akhirnya saya kembali ketemu
dengan mas Ari yang lagi berdiri termenung di bawah lereng tebing menghadap
jurang. Saya berdua dengan mas Ari kemudian lanjut berjalan sambil mencari
tempat yang enak buat istirahat sekaligus menunggu Yoga dan Ivan. Di sebuah
tanjakan dimana terdapat sebidang tanah yang sebenarnya nggak begitu enak buat
rebah-rebahan, saya dan mas ari pun kembali beristirahat. Tak berapa lama
kemudian Yoga datang. Kami bertiga tak langsung berangkat, tapi malah sempat
tidur siang sebentar.
![]() |
Hutan yang terbakar titik terjauh perjalanan tim kami, dok 2015 |
Hingga kami bertiga terjaga, Ivan ternyata tak kunjung
datang. Kami maklum memang barang bawaan beserta berat tubuhnya sendiri memang
kurang mendukung untuk diajak berjalan cepat. Ivan sendiri juga sudah bilang
bahwa mas Ari dan saya sebagai pembawa tenda dan dianggapnya punya dengkul racing sebaiknya memang tidak perlu
menunggu kedatangannya biar segera sampai di lokasi camping untuk mendirikan tenda. Mas Ari, Yoga, dan saya pun
kemudian terus melanjutkan perjalanan menapaki jalan setapak menanjak menembus
hutan cemara. Tipikal hutan cemaranya mirip-mirip dengan hutan Cemorokandang di
jalur pendakian Gunung Semeru, yang berupa rerumputan dan semak-semak kering
dengan pepohonan cemara yang tidak terlalu rapat. Yang membedakan hanyalah
jalur yang sedang kami tapaki ini lebih menanjak. Sebuah puncak gunung tampak
tersembul jauh dan tinggi di belakang hutan cemara ini. Apakah itu puncak Gunung
Buthaknya? Apakah sabananya juga berada di sana? Tak ada yang tahu pastinya
bagaimana selain jaraknya yang sepertinya masih cukup jauh. Di hutan ini
beberapa kali kami ketemu dengan rombongan pendaki yang berkemah atau sekedar
beristirahat. Setiap ketemu mereka yang baru turun, kami selalu di-PHP dengan
tipuan khas dunia pendakian, “Oh sudah dekat mas”, begitu kata mereka. Padahal
kami udah tahu bakal digituin, eh masih nanya aja, hehehe.
![]() |
Vegetasi hutan di sekitar jalur pendakian |
Jalan setapak menanjak di hutan cemara ini seolah tak
habis-habis. Memang tidak terlalu curam, tapi kalau tidak habis-habis begini
lama-lama ya bikin khawatir juga soalnya kabut berkali-kali sudah mengintai. Di
hutan ini saya kembali terpisah dengan Yoga dan Mas Ari yang berada di belakang
sana. Saya juga saling susul dengan seorang bapak beserta seorang anaknya yang
dengan barang bawaan super minimalis –cuma bawa daypack plus arit- berniat menuju puncak Gunung Buthak. Si bapak
bilang kalau ini adalah pendakian keduanya setelah terakhir kali ke sini
sekitar 1992 silam. Si bapak juga bilang bahwa tadi dia ketemu orang gendut
titip salam bahwa dia masih tidur-tiduran. Oh... si Ivan pasti nih. Saya
mempersilahkan mereka berdua untuk lanjut duluan saja, dan hingga beberapa saat
kemudian saya tidak lagi ketemu mereka, seolah lenyap ditelan kabut gunung yang
menyelimuti pepohonan cemara.
Saat lagi rebahan di bawah sebuah pohon cemata, Yoga datang
bersama mas Ari. Tanpa berlama-lama kami bertiga kembali berjalan. Kami
kemudian berpapasan dengan dua orang pendaki yang menuturkan bahwa kemarin
mereka naik dari jalur Dau dan sekarang hendak turun kembali melewati jalur
tersebut. Dari mereka kami tahu bahwa pertigaan menuju jalur Dau berada di
hutan cemara ini, bukannya di pos 3 seperti perkiraan saya dan Ivan. Menurut
mereka, jalur menuju Dau memang sedikit tertutup rerumputan. Belakangan kami
sadari bahwa di tempat kami ngobrol sekarang ini terdapat sebuah percabangan.
“Oh ini lho yang ke Dau”, kata salah seorang dari mereka. “Yakin, mas?” tanya
saya. “Yakin, mas. Yakin. Kemaren lewat sini kok”, jawab yang satunya lagi.
Setelah berpamitan mereka akhirnya mulai memasuki jalan setapak menembus
semak-semak tersebut, tapi tak berapa lama kemudian mereka balik kucing. “Oh,
salah. Mas. Masih di bawah ternyata, hihihihi...”, sambil malu-malu kucing
mereka akhirnya melanjutkan perjalanan. Waktu terus berjalan sementara kabut
semakin pekat menggelayut di puncak bukit. Saya, mas Ari, dan Yoga pun kembali
melanjutkan perjalanan dan mencoba untuk tidak terlalu sering beristirahat.
Langkah kami bertiga sama-sama sudah tak selincah ketika baru sarapan tadi
pagi.
![]() |
Dua pendaki yang ternyata salah ambil jalur |
“Oh tinggal sedikit lagi, mas”
“Tinggal muterin bukit itu terus turun dikit, sampai mas“
ada juga yang bilang gini
“Masih jauh, mas. Masih satu setengah jam lagi paling, mas.
Kita aja turun ke sini setengah jam..”
Haaaaaaaa... yang mana yang bener nih?
Ah bodo amat, kami bertiga jalan terus. Hingga akhirnya sampailah kami di bawah bukit yang jalannya memang memutar di salah satu lerengnya. Benar memang jalurnya memutar, tapi nggak ada sedikitpun turunan. Yang ada malah tanjakan. Itu pun masih muterin bukit lagi. Di sebuah pohon kami melihat ada sebuah papan kecil tertempel di batangnya bertuliskan Pos 4 Sabana. Tanda tanya sontak menghinggapi benak kami bertiga. Kami masih terus melangkahkan kaki hingga pada akhirnya setelah keluar dari hutan kami langsung berhadapan dengan pemandangan luar biasa. Sebuah padang rumput yang sangat luas membentang di hadapan kami. Wooooooiiiiii.... sampai juga akhirnya di sabana... hahahahahahahahaha...!!!!!
"And I want to walk with you
On a cloudy day
In fields where the yellow grass grows knee-high
So won't you try to come"
On a cloudy day
In fields where the yellow grass grows knee-high
So won't you try to come"
(Come Away With Me - Norah Jones)
Kami tak terlalu larut dalam euforia, cuaca yang mendung
membuat kami bertiga harus cepat-cepat mendirikan tenda. Tak lupa juga kami
memasang flysheet sebagai tambahan
peneduh. Kali ini kami mencoba mencari bidang tanah sedatar mungkin biar
kejadian melorot dari tenda nggak terulang lagi. Sumber air yang melimpah
membuat kami tak perlu khawatir bakal kekurangan air. Setengah jam kemudian
Ivan baru datang, yang langsung disambut dengan gerimis berat. Tak ada menu sop
super duper enak banget yang kami makan, cuma minum teh panas dan mi instan
panas. Memang malam hari ini kami tidak ada rencana jalan-jalan lagi, jadi
cukuplah makan seadanya. Kami baru berniat nanjak ke puncak Buthak keesokan
harinya. Setelah ngobrol berbagai macam hal, satu pesatu personel mulai
tertidur. Total perjalanan dari pos 2 menuju sabana versi
kami berempat adalah empat setengah jam.
![]() |
Sumber air di sabana Gunung Buthak |
KAMIS 21 JUNI 2018
Tengah malam buta Ivan terbangun. Tak lama kemudian saya
juga terjaga sambil merasakan ada hal yang tidak beres pada tubuh saya. Kepala
saya agak pening dan mulai bersin-bersin, dan tak berapa lama kemudian mulai
terasa sesak nafas. Ivan yang lagi beres-beres barang di luar tenda saya mintain
tolong untuk membuatkan teh manis panas. Mas Ari yang ikut terbangun dan paling
hobi memasak lantas di tengah malam buta ini mulai nyiap-nyiapin bancakan. Di hari yang begitu dini
dimana semua pendaki terlelap tidur kami malah masak-masak. Bukan makanan
berat, cuma bakwan berisi sosis dan potongan-potongan kol sisa bikin sop
kemarin pagi. Gorengan dan juga teh manis panas sungguh mujarab, penyakit saya
langsung minggat tanpa harus minum obat kimia. Kami mencoba tidur lagi. Sementara
dari luar tenda para pendaki mulai terdengar suaranya. Dari obrolan-obrolan
mereka kami tahu bahwa mereka juga berencana muncak.
Sebenarnya kami berencana untuk berangkat muncak sekitar jam
3 pagi dan sholat shubuh di puncak. Tapi karena hingga waktu yang kami
jadwalkan tersebut tiba cuaca masih belum bersahabat (gerimis berat disertai
angin cukup kencang), kami mengurungkan niatan muncak tersebut. Hingga akhirnya
setelah sholat shubuh, tepat pukul 05.30 kami mulai berjalan menapaki jalan
setapak membelah padang rerumputan. Langit masih agak mendung disertai dengan
angin yang berhembus cukup kencang. Pohon-pohon edelweiss menyambut kami di
perbatasan padang rumput dengan hutan cemara yang rapat. Di dalam hutan
tersebut, jalan setapak mulai menanjak dan terus menanjak, hingga akhirnya
sekeluarnya dari hutan kami melewati jalan sempit diapit tebing-tebing batu dengan
kemiringan hampir 75 derajat. Di salah satu titik, pijakan antar batunya cukup
tinggi sehingga agak menyulitkan kami untuk berjalan ke arah atas. Medan
seperti ini di luar ekspektasi saya, saya bahkan hampir grogi lantaran
kesusahan untuk menggapai pijakan dan pegangan di tebing batu tersebut masih
ditambah dengan terpaan angin kencang.
![]() |
Jalan setapak di menembus hutan di bawah puncak Gunung Buthak |
![]() |
Tebing terjal, titik tersulit |
Lepas dari area bebatuan tersebut, jalan setapak menjadi
agak landai, semakin landai, dan akhirnya datar. Dari titik tempat saya berdiri
ini, keindahan alam khas puncak gunung sudah dapat dinikmati, tetapi saya belum
benar-benar sampai di puncak. Setelah disusul mas Ari, Ivan, dan Yoga, barulah
saya melanjutkan perjalanan menuju puncak sejati gunung Buthak yang luar biasa
pemandangannya. Meskipun mendung dan tidak kebagian sunrise di puncak, kami masih bisa menikmati pemandangan indah yang
jauuuh membentang. Menurut saya pribadi, gunung ini meskipun tidak terlalu populer apalagi ketinggiannya yang 'hanya' 2868 mdpl tetapi menyajikan bentangan pemandangan yang lebih banyak, lebih dekat, dan lebih detail.
![]() |
Kota Blitar, Gunung Kelud, Gunung Ngliman, dan samar-samar Gunung Lawu di sisi barat. |
![]() |
Bendungan Karangkates dan Bendungan Lahor di sisi selatan (abaikan orangnya). Tampaknya ada daerah yang sedang diguyur hujan deras. |
![]() | ||
Gunung Arjuno dan secuil Gunung Panderman di sisi utara (abaikan orangnya) |
![]() |
Formasi lengkap tim kami.Ki-ka (Yoga, saya, Ivan, mas Ari) |
"Ah, ah,
We come from the land of the ice and snow,
From the midnight sun where the hot springs blow
The hammer of the gods
Will drive our ships to new lands,
To fight the horde, singing and crying,
Valhalla, I am coming!"
(Immigrant Song - Led Zeppelin)
Turun dari puncak juga tak lebih mudah, terlebih di daerah
tebing batu. Begitu masuk ke dalam hutan, langkah kaki susah untuk tidak diajak
berlari menuruni jalan setapak. Sesampainya di tenda kami langsung menyiapkan
sarapan dengan menu bergizi yang lain, soto ayam.
Kami baru meninggalkan sabana
sekitar pukul 11.00 siang. Cuaca yang agak mendung membuat kami harus segera
bergegas, khawatirnya nanti di tanjakan PHP (sekarang jadi turunan PHP) hujan
turun sehingga membuat lintasannya jadi licin. Mas Ari yang jalannya paling
cepat kami suruh berangkat duluan dan menunggu di pos 3. Dengan membawa sampah,
Ivan, yoga, dan saya berjalan bareng meninggalkan sabana Buthak.
![]() |
Ngantri menuruni tebing yang hampir vertikal |
![]() |
Packing sebelum pulang, jangan pernah lupa untuk membawa turun sampah-sampahnya |
![]() |
Bye-bye savanna |
...
"Now I know there is a world beyond
The small place I was coming from.
I feel at home here in the middle of nowhere"
"Now I know there is a world beyond
The small place I was coming from.
I feel at home here in the middle of nowhere"
(Summer on the Westhill - King of Convenience)
Perjalanan turun tidak terlalu memakan waktu. Kami bertiga
berjalan setengah berlari menuruni jalan setapak yang membelah hutan cemara.
Akhirnya sampai juga kami di pos 3 dimana mas Ari sudah tiba dan menunggu
kedatangan kami bertiga sambil leyeh-leyeh.
Mas Ari yang kemudian pamit untuk kembali melanjutkan perjalanan dalam sekejap
sudah tidak kelihatan lagi. Sementara itu kami bertiga personel yang tersisa
berjalan santai saja menyusuri jalan setapak menembus hutan tropis. Banyaknya
genangan air dan beceknya jalan setapak di hutan ini seakan memberitahu kami
kalau semalam di daerah ini diguyur hujan deras. Efeknya saya jadi berkali-kali
terpeleset. Syukur Alhamdulillah semalam di sabana kami sama sekali tidak
mengalami hujan deras. Di hutan ini kami saling susul dengan beberapa tim yang sempat
kami temui di puncak Buthak beberapa saat lalu. Karena jalurnya tergolong
datar, waktu tempuh yang kami habiskan dari pos 3 menuju pos 2 masih berkisar
di angka 1 jam. Sama dengan ketika kami berangkat.
![]() |
Lhah tanahnya miring begitu, pantesan kemarin kami melorot pas lagi tidur |
Di pos 2, kami sejenak beristirahat. Mas Ari kembali pamit
untuk jalan duluan dan akan langsung menunggu kami di pos pendaftaran. Kami
bertiga langsung berhadapan dengan turunan yang cukup curam menjelang pos
bayangan di bawah pos 2. Selepas pos bayangan, medan yang paling kami waspadai
pun akhirnya kami jumpai. Turunan PHP, membuat langkah kaki kami susah untuk
direm. Untungnya cuaca sedang cerah sehingga tanahnya tidak licin seperti
ketika kami berangkat kemarin. Kontur tanah yang menurun membuat perjalanan
terasa jauh lebih cepat. Ketika tengah menuruni jalan curan tersebut, di
sebelah kanan saya menemukan sebuah percabangan yang entah mengarah ke mana. Kami
juga sempat beberapa kali berpapasan dengan pendaki yang terengah-engah
menapaki tanjakan PHP ini.
Saya dan Yoga melepas lelah sejenak di bawah tanjakan PHP,
sedangkan Ivan pamit untuk langsung berjalan menuju pos pendaftaran. Kami sempat mengobrol
dengan seorang bapak -sepertinya penduduk lokal- menurutnya ada percabangan di
pos 1 yang mengarah ke atas tapi beliau tidak mengatakan titik pertemeuan
percabangan tersebut di daerah mana. Dugaan saya, jalan bercabang tersebut
pasti mengarah ke percabangan yang tadi sempat saya lihat di tengah-tengah
tanjakan PHP. Dugaan saya ini juga didasari oleh informasi yang diberikan
pendaki yang sempat kami temui ketika berangkat, yang sempat bikin kami bingung
tapi akhirnya tetap milih lewat tanjakan PHP. Tetapi ini masih hanya sebatas
dugaan saja lho, jangan dicoba-coba kalau nggak pengen nyasar.
![]() |
Seperti ini ternyata awal tanjakan PHP-nya |
Jalan yang kami lalui selanjutnya cenderung datar dan
menurun. Setelah berjalan sekitar setengah jam, barulah saya dan Yoga bertemu
dengan Ivan di jalur antara pos 1 dengan perkebunan penduduk. Menjelang perjalanan
berakhir, penyakit saya kumat. 'Acute
Mountain Sickness'. Bukan puyeng akibat ketinggian, tapi kaki mulai terasa kaku
dan keras sehingga bikin malas jalan kaki padahal saya sedang tidak capek.
Hampir setiap kali naik gunung saya selalu merasakannya. Entah kenapa, apa
karena alam pegunungan terlalu sayang untuk ditinggalkan? Sampai sekarang saya
masih belum tahu penyebabnya.
Total perjalanan turun kami habiskan cuma 4 jam 15 menitan
termasuk waktu istirahatnya. Sedangkan berangkatnya, kami memakan waktu hingga sekitar
8 jam berjalan kaki. Biarpun begitu kami bersyukur karena segala yang kami lalui
ternyata berjalan sesuai rencana. Tak ada badai yang menghadang kami, pun tak
ada hujan yang terlalu deras mengguyur tubuh kami. Alhamdulillah. Positive thinking itu penting.
Puncak hanyalah bonus, pulang dengan selamat adalah
kesuksesan yang sejati.
SEKIAN
SEKIAN