Sabtu, 05 Mei 2018

Catatan Perjalanan Pendakian Gunung Panderman. Panderman kesekian kalinya.


Karena satu dan lain hal, rencana pendakian ke Gunung Semeru yang sudah disusun jauh-jauh hari akhirnya dialihkan tujuannya ke Gunung Panderman. Secara jarak, waktu tempuh, dan biaya, perjalanan ke Panderman dari kota Malang memang teramat sangat jauh lebih terjangkau. Saya yang awalnya sedianya berencana nanjak berdua bareng Ivan belakangan ketambahan satu personel lagi. Yoga, kawan satu SMA kami yang sehari-harinya bekerja di Jakarta ini lagi liburan di Malang. Karena punya hobi nanjak, jadi dia langsung mengiyakan saja ajakan Ivan untuk mendaki Gunung Panderman.
Gunung Panderman adalah salah satu gunung yang termasuk dalam gugusan ‘Gunung Putri Tidur’. Disebut demikian karena bentangannya terlihat layaknya seorang gadis yang sedang terbaring terlentang, dimana Gunung Panderman adalah kakinya, Gunung Kawi adalah dada dan perut, sedangkan Gunung Buthak adalah kepalanya. Gugusan gunung-gunung tersebut membentang begitu gagah bagai sebuah benteng kokoh yang memagari Malang Raya di sebelah barat. 

SABTU, 21 APRIL 2018
Sesuai kesepakatan, seusai Isya kami berkumpul di kantornya Ivan di kampus UB. Setelah repacking, kami langsung mengorder taksi online untuk mengantar kami bertiga menuju gapura Desa Pesanggrahan Kota Batu sebagai titik awal pendakian Gunung Panderman. Tarif taksi online ini sekitar 60 ribu, yang kami bayar dengan patungan. Kemacetan langsung menyambut taksi kami begitu keluar dari kampus. Maklum ini memang sedang bertepatan dengan malam Minggu. Karenanya, untuk menghindari kemacetan menuju Batu kami tidak lewat jalur utama, melainkan lewat ‘jalur dalam’. Kami lewat jalur Dau yang jalanannya lebih lengang. 

"Orang anti kata antri
Semua mau berlari
Berlarilah sampai mati"
Navicula - Metropolutan

Dari gapura Ind*m*r*t, kami bertiga memulai acara pendakian kami dengan berjalan kaki menapaki jalan beraspal. Jalan yang membelah pendesaan tersebut awalnya landai, tetapi lama kelamaan terus bertambah tingkat kecuramannya. Sempat sih kami nyari tukang ojek, barangkali ada yang mau mengantar sampai pos pendaftaran di atas sana. Tetapi hingga sekitar dua puluh menit kami jalan, di pinggir-pinggir jalan masih tampak sepi-sepi saja. Meskipun nggak ada yang ngomong, tapi barangkali dalam hati kami bertiga sudah mulai mantap dan sepakat bakal terus jalan kaki menyusuri jalan menanjak ini sampai pos pendaftaran.

Gapura gerbang masuk jalur pendakian Gunung Panderman
Malem-malem lewat kampung orang sambil bawa barang beginian
Hingga akhirnya di sebuah tanjakan kami melihat adanya kerumunan orang-orang disertai dengan lambaian-lambaian lighstick merah khas tukang parkir. Ternyata sumber keramaian tersebut adalah tempat parkir kendaraan para calon pendaki. Bagi mereka yang fanatik terhadap motor dari spesies matic, kini tak lagi bisa melanjutkan perjalanannya hingga ke tempat parkiran pos pendaftaran. Pasalnya, perjalanan pulang menggunakan matic  itu rawan kecelakaan sehingga kini motor dari jenis tersebut dilarang naik. Karenanya, selain disediakan tempat parkir sebagai tempat penitipan, juga disediakan tukang-tukang ojek dari warga setempat  yang sudah tentu lebih paham medan. Tarifnya 10 ribu mulai dari tempat parkir hingga pos pendaftaran.
“Ojek, mas. Sepuluh ribu… sepuluh ribu… Sampai pos…” ujar para tukang ojek tersebut, menawarkan jasa tunggangan mereka. Entah karena kami terlalu songong, merasa terlalu kuat, (atau merasa tarif tersebut kemahalan? hehehe), kami bertiga cuek saja. Lagipula di depan sana juga ada beberapa rombongan calon pendaki yang lebih milih jalan kaki, jadi kayaknya kalau memang harus jalan kaki kami bakal tetap enjoy karena banyak temannya. Di samping itu, kan dengan jalan kaki sejak awal begini bisa dijadikan pemanasan. Iya toh? Sejenak langsung teringat pengalaman beberapa tahun silam dimana saya jalan kaki sendirian dari gapura di bawah sana sampai hampir masuk ke dalam hutannya Gunung Panderman. Waktu itu saya nggak jadi lanjut karena takut nyasar, hehehe.


"On bended knee is no way to be free
Lifting up an empty cup I ask silently
That all my destinations will accept the one that's me
So I can breath.."
Eddie Vedder - Guaranteed


Berjalan sekitar lima puluh meteran dari parkiran, di sebuah tanjakan kami tiba-tiba ditegur oleh seorang mas-mas bersepeda motor yang menawarkan pick-up untuk mengantarkan pendaki ke pos pendarftaran. Pasalnya dia mellihat kok banyak banget yang nekad jalan kaki sampai ke pos. “Sampean tanya ke rombongan depan dulu aja, mas”, jawab Ivan ketika ditawari jasa tumpangan tersebut. Dengan motornya, mas-mas itu pun mengejar dua rombongan di depan untuk menawarkan jasa yang sama. Ternyata mereka setuju, dan kami pun akhirnya ikut . Kami bertiga serombongan ditarik 20 ribu, sedangkan rombongan lain yang jumlahnya delapan orang itu ditarik 50 ribu.
Setelah menunggu beberapa saat, datanglah sebuah mobil pick-up. Kami rombongan para pendaki ini pun langsung naik ke mobil bak terbuka ini. Dalam perjalanan, tentu kami ngobrol-ngobrol dengan kawan-kawan dari rombongan lain ini. Personel dari salah satu rombongan bercerita bahwa personel mereka belum pernah ada yang naik ke Panderman. “Nggak dingin apa, mas?”, tanya salah seorang dari mereka yang heran ngelihat saya malam-malam gini naik gunung cuma pakai celana pendek, hehehe. Sedangkan di lain pihak, salah seorang mas-mas yang cuma berdua dengan seorang cewek membeberkan rencana mereka yang pengen nanjak ke Gunung Buthak. 

Gemerlap kota
Karena kami bertiga duduk menghadap ke belakang, sedangkan mobil pick-up-nya terus melaju di tanjakan, kami jadi bisa memandangi keindahan kerlap-kerlip lampu-lampu Kota Batu di bawah sana. Lantaran sedang bulan purnama dan langit juga bersih tanpa awan, kami juga bisa memandangi kegagahan Gunung Arjuno. Selain itu, di kanan dan kiri jalan kami sempat menemui satu dua bangunan semacam villa super besar nan mewah yang terlihat begitu kontras dengan bangunan rumah pedesaan dan hutan di sekitarnya. Yup, Panderman yang sekarang bisa dibilang lebih ‘komersil’, sudah berbeda jauh dengan terakhir kali saya ke sini sekitar tiga atau empat tahunan yang lalu.

"They paved paradise, 
and put up a parking lot
With a pink hotel, a boutique,
and a swinging hot spot"
Counting Crows - Big Yellow Taxi

Mobil pick-up yang kami tumpangi berhenti tepat di depan pos pendaftaran. Bangunan pos ini cukup besar dan keseluruhan bangunannya terbuat dari kayu. Bentuknya sekilas mirip dengan model rumah-rumah kayu ala pedesaan di Amerika seperti yang sering kita lihat di film-film. Terdapat sebuah jendela besar yang berfungsi sebagai loket. Bangunan pos ini sendiri adalah bangunan baru. Saya tak tahu sejak kapan pos pendaftaran ini berpindah lokasi. Terakhir kali saya mendaki Panderman, pos pendaftaran pendaki ini berada di depan rumah terakhir di jalur pendakian dan bentuknya masih seperti poskamling. Sekarang, pos pendaftaran sudah dipindah lebih masuk ke jalur pendakian. Enaknya, jarak pendakian ke Panderman jadi terpangkas sedikit lebih dekat. Nggak enaknya…  dari awal kita turun (gapura Ind*m*r*t) jadi lebih jauh. Tarif untuk pendakian Gunung Panderman maupun Gunung Buthak sama-sama dipatok sebesar Rp. 7000. Cukup murah. Cukup ramai juga ternyata yang mau mendaki.

Turun dari pick up
Pos pendaftaran Gunung Panderman. Abaikan foto saya
Dibaca, dipahami, ditaati!
Perjalanan kami mulai dengan menyusuri jalan setapak di samping pos pendaftaran. Awal-awal perjalanan, jalur masih relatif landai membelah perkebunan penduduk dengan saluran air yang mengalir di salah satu sisinya. Saluran air ini adalah satu-satunya sumber air di jalur pendakian Gunung Panderman. Jadi alangkah baiknya perbekalan air dilengkapi sekalian di sini. Lepas dari sumber air tersebut, kami berbelok ke kanan dan langsung disambut dengan tanjakan. Suara gemericik dari saluran air tersebut menimbulkan sensasi kesegaran tersendiri, tetapi lama kelamaan lenyap tertelan jarak dan suara-suara nafas para pendaki yang mulai ngos-ngosan. Bulan purnama yang bersinar terang cukup membantu menerangi jalur pendakian, sehingga beberapa kali saya mematikan headlamp untuk menghemat baterai.
Bersama kami bertiga, ikut rombongan yang tadi juga satu pick up dengan kami (selanjutnya saya sebut rombongan si fulan). Selain mereka, juga ada rombongan - yang sepertinya lagi family gathering, dimana ada seorang anak kecil seusia sekitar kelas satu SD yang turut serta. Rombongan ini kalau saya perhatikan sedari bawah sama sekali tidak pernah menampakkan rasa capek. Ketawa-ketawa terus dan selalu ceria, pun demikian dengan si anak kecilnya yang sama sekali nggak menujukkan rasa takut gelap, takut diganggu hewan nocturnal, atau takut ketemu hantu dan semacamnya. Seolah gunung ini adalah tempat bermainnya.
Sementara itu, salah seorang cewek dari rombongan si fulan setelah menanjak beberapa meter mulai merasa kepayahan. Ternyata penyakit asmanya kambuh. Kami yang sudah satu rombongan sejak di mobil pick up tadi pun ikut berhenti semua setiap kali cewek tersebut berhenti untuk mengambil nafas. Salah seorang cowok di rombongan tersebut terus memotivasi si cewek supaya terus semangat sambil dibujuk-bujuki dengan ‘pembohongan’ khas dunia pendakian, “Bentar lagi udah nyampai… posnya udah deket”, hehehe. Dia juga ngajari si cewek cara jalan dan bernafas yang benar. Memang sebenarnya dari pos pendaftaran hingga ke pos Latar Ombo jaraknya tidak terlampau jauh, tapi nggak bisa dibilang dekat juga soalnya tanjakan-tanjakannya minim bonus. 

"Petualang merasa sunyi
Sendiri di hitam hari 
Petualang jatuh terkapar
Namun semangatnya masih berkobar
Petualang merasa sepi / merasa sunyi 
Sendiri dikelam hari 
Petualang jatuh terkulai 
Namun semangatnya bagai matahari"
Iwan Fals - Sang Petualang

Demi efisiensi, akhirnya rombongan pun dipecah. Dari rombongan si fulan tersebut, dua orang yang membawa tenda berangkat duluan bersama saya dan Yoga yang juga sama-sama kebagian tugas bawa tenda. Tujuannya agar tenda bisa segera didirikan. Ivan sendiri memilih menemani sisa-sisa rombongan si fulan tersebut, soalnya di antara mereka tidak ada sosok seniornya. Saya pribadi sebenarnya juga punya penyakit asma, tapi syukur Alhamdulillah selama beberapa kali melakukan pendakian penyakit saya tersebut tidak pernah kambuh. Malah pernah dulu ada kejadian saya lagi sakit asma, saya pakai ke gunung malah sembuh asmanya, hehehe. Sebenarnya ada trik tertentu untuk menyiasati tanjakan supaya tidak cepat lelah. Saya biasanya berjalan dengan langkah kecil dan lambat, bernafas melalui hidung, selalu mengatupkan mulut dan tidak banyak bicara, serta menahan diri untuk tidak sering-sering berhenti. Cara tersebut selama ini terbukti efektif ketika saya terapkan setiap kali ikut acara nanjak-nanjak ke gunung. Berjalan pelan tak mengapa yang penting tetap terus berjalan. Alon-alon asal kelakon. Toh kita naik gunung bukan untuk balapan kan?

"Who can say where the road goes?
Where the day flows?
Only time"
Enya - Only Time

Jalan setapak menuju Latar Ombo di beberapa titiknya terdapat percabangan. Di percabangan pertama, saya, Yoga, dan dua orang dari rombongan si fulan hampir belok ke kiri. Karena ragu, kami lantas berhenti sambil teriak-teriak nanya ke Ivan jalan mana yang benar. Ternyata teriakan kami masih bisa didengar Ivan, yang lantas balik teriak nyuruh ambil jalur ke kanan. Kami pun lanjut ke kanan dan terus menyusuri jalur hingga akhirnya kami menemui persimpangan lagi. Kali ini ada tanda panahnya jadi kami ikut saja sesuai arahan tanda panah tersebut. Bukan apa-apa, soalnya terakhir kali rombongan saya ke Panderman sempat salah ambil jalur, dimana jalur tersebut tanjakannya ampun-ampunan hampir 90 derajat, dan sama sekali nggak mempersingkat jarak tempuh meskipun pada akhirnya kembali bertemu dengan jalur yang benar ke Latar Ombo. Biarpun sudah diterangi oleh headlamp atau senter, kadangkala perjalanan pada malam hari yang gelap memang tetap berpotensi menyesatkan karena tubuh lebih terfokus untuk mengatur stamina dan menahan kantuk ketimbang masalah orientasi jalur.
Sekitar setengah dua belas malam kami sampai di Latar Ombo. Setelah istirahat lima belas menitan, kami mulai cari tempat yang pas untuk mendirikan tenda. Tenda belum selesai didirkan, ternyata Ivan sudah sampai duluan bareng sisa-sisa rombongan si fulan. Mereka memutuskan untuk rehat dulu satu jam-an sebelum langsung muncak. Sedangkan kami bertiga memilih untuk tidur terlebih dahulu dan baru berangkat muncak setelah sholat subuh.


MINGGU, 29 APRIL 2018
Kami bertiga baru berangkat muncak sekitar setengah enam pagi. Molor sih ini, soalnya rencananya kan berangkat muncaknya itu sekitar subuh-subuh. Karena berangkatnya sudah kesiangan, sudah tentu tak ada pemandangan sunrise yang tersisa bagi kami bertiga. Tanpa sarapan, kami langsung menyusuri jalan setapak yang terus menanjak. Jalurnya berupa jalan setapak bercabang-cabang yang berujung di lintasan yang sama. Kanan kiri kami masih rapat oleh pepohonan, yang akar-akarnya dapat dijadikan pijakan dan pegangan. Rencananya kami nanti mau sarapan di puncak dengan menu yang tergolong langka di gunung, soto. Untuk itu kami bawa air cukup banyak sekalian untuk cuci peralatan makan. 

Bangun, sebab pagi terlalu berharga ‘tuk kita lewati dengan tertidur.
Bangun. Sebab hari terlalu berharga ‘tuk kita lalui dengan bersungut-sungut.
Berjalan lebih jauh, menyelam lebih dalam.
Jelajah semua warna bersama. Bersama~”
Berjalan Lebih Jauh – Banda Neira

Pos setelah Latar Ombo adalah Watu Gede, yang memang ditandai dengan keberadaan batu-batu berukuran besar. Kalau mau sebenarnya bisa juga lho mendirikan tenda di pos ini, tapi sifatnya spekulatif soalnya areanya tidak terlalu besar. Kami beristirahat sejenak di pos ini, dan kembali ketemu dengan rombongan family gathering plus anak kecilnya yang juga hendak nanjak ke puncak. Ada juga dua buah tenda yang didirikan di balik batu. Setelah cukup mengatur nafas, kami bertiga kembali melanjutkan perjalanan menuju Puncak Bayangan.
Tanjakan menuju Puncak Bayangan sungguh luar biasa panjang dan curamnya. Karenanya kami bertiga lebih sering merangkak dibandingkan berjalan layaknya manusia normal, hehehe. Dalam benak saya, langsung terbayang perjalanan turun nanti yang sepertinya tak akan lebih mudah. Kami beberapa kali berpapasan dengan pendaki yang hendak turun. Ada yang turun sambil ngesot pakai celana…, ada yang bingung nyari pegangan…, ada juga yang nekad berlari. Melihat mereka yang nekad turun pakai lari-larian itu langsung saja kami bertiga merasa benar-benar sudah berumur. Lha soalnya, kalau saja kami masih semuda mereka, kami pasti tak pikir panjang buat melakukan aksi-aksi yang tergolong berbahaya semacam itu. Tanjakan ini sendiri jalurnya bercabang-cabang tetapi tetap bermuara ke Puncak Bayangan.



Setelah merangkak hampir satu jam, ketika mendongakkan kepala saya mulai melihat ada area terbuka di ujung tanjakan. Beberapa meter kemudian sampailah kami di Puncak Bayangan, sebuah area terbuka dan memanjang dengan jurang di kiri dan kanannya. Pemandangan di Puncak Bayangan ini jauh lebih indah apabila dibandingkan dengan puncak sejati Gunung Panderman sendiri. Karenanya beberapa rombongan pendaki memilih untuk mendirikan tendanya di sini. Sama halnya dengan di Watu Gede, mendirikan tebda di sini sifatnya juga spekulatif karena tempatnya tidak terlalu luas. Di samping itu karena tempatnya yang terbuka jadi rawan terjangan angin kencang. Tempat mendirikan tenda yang ideal adalah di Latar Ombo atau sekalian di puncak.

Pemandangan di Puncak Bayangan (abaikan orangnya, hehehe)
Puncak Bayangan sendiri waktu itu cukup ramai dengan beberapa tenda yang penghuninya sibuk berfoto-foto ria. Setelah ikut-ikutan memenuhi hasrat narsis, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak. Berjalan nanjak sekitar lima belas menitan, akhirnya kami mendapatkan bonus yang lumayan panjang. Jalan setapak yang membentang di depan sangat datar sehingga membuat kami bisa berjalan dengan lebih santai. Walaupun demikian, kewaspadaan tetap harus dijaga mengingat sebelah kiri kami berupa jurang. Di beberapa titik juga terdapat cekungan yang kalau kita terperosok ke dalamnya, maka kita akan langsung terjatuh ke dasar jurang di kaki gunung.

Pemandangan di salah satu titik di tengah bonus menuju Puncak Panderman (abaikan juga orangnya, hehehe)
Bonus trek datar akhirnya habis. Jalur kembali menanjak cukup curam meskipun tidak sepanjang tanjakan menuju Puncak Bayangan. Ranting-ranting pepohonan di ujung tanjakan bergoyang-goyang lantaran dipakai loncat-loncatan oleh kawanan monyet penghuni endemik Gunung Panderman. Saya memilih tidak merhatiin tingkah monyet monyet itu karena khawatirnya kalau sampai terjadi kontak mata nanti mereka ngiranya saya nantang mereka. Monyet-monyet ini sama sekali tidak takut ataupun terganggu oleh keberadaan para pendaki. 

"Kuyakinkan restu bumi
Bangunkan jiwaku
Basuhi raga kita
Restu bumi leburkan hati
Sucikan dari debu dunia"
Restu Bumi – Dewa 19

Sampailah kami di puncak yang ternyata cukup ramai. Kami kembali bertemu dengan rombongan si fulan full team yang ternyata hendak pamitan mau turun. Lantaran perut sejak bangun tadi cuma terisi air, kami lantas segera mencari medan yang cukup teduh dan datar sebagai tempat memasak. Sialnya kami lupa bawa flysheet yang sedianya bakal digelar untuk alas duduk. Jadinya kami duduk begitu saja beralas tanah. Menu sarapan pagi kali ini adalah soto ayam. Gak ada nasi, bihun pun dijadikan pengganti nasi yang direbus bersamaan dengan pemasakan soto. Lebih praktis. Kami sarapan sambil mengamati perilaku monyet-monyet penghuni Puncak Panderman, yang ternyata doyan makan bumbu mi instan, hehehe. 

Puncak Panderman. Ki-ka: Yoga, Ivan, saya (Adif)
Sekitar pukul 9.15, kami mulai turun dari puncak. Dan seperti yang sudah saya duga sebelumnya, perjalanan turun lebih menantang daripada perjalanan ketika berangkat. Entah berapa kali kami bertiga harus ngesot, jongkok, terpeleset, dan juga gelantungan di batang pohon sebelum akhirnya kami sampai kembali ke Latar Ombo. Kami juga berkali-kali berhenti dan sempat juga ragu terhadap jalan setapak yang kami ambil soalnya terlalu sempit dan sepi, tapi ternyata jalur tersebut kembali bertemu dengan jalur utama menuju Latar Ombo.
Ketika kami packing, sayup-sayup kami mendengar raungan suara sepeda motor yang semakin lama semakin mendekat. Dan tak berapa lama kemudian sebuah sepeda motor trail datang dan berhenti di dekat pos. Entahlah dengan rekan setim atau pendaki lain, saya pribadi merasa aneh (cenderung  terganggu) kalau sampai ada kendaraan masuk ke dalam area pendakian seperti ini. Perjalanan pulang kami sempat tertunda sebentar lantaran ada kawanan monyet yang berantem di pepohonan di atas jalan setapak akses keluar dari Latar Ombo. Rombongan pendaki lain yang hendak turun pun tampak ikut mengurungkan niatnya untuk nekad lewat di pergumulan kawanan hewan primata tersebut.

"Comes the morning
When I can feel
That there's nothing left to be concealed
Moving on a scene surreal
No, my heart will never
Will never be far from here
Sure as I am breathing
Sure as I'm sad
I'll keep this wisdom in my flesh
I leave here believing more than I had
And there's a reason I'll be
A reason I'll be back"
Eddie Vedder - No Ceiling

Perjalanan turun dari Latar Ombo menuju Pos Pendaftaran kami  tempuh melewati jalur yang sama ketika kami berangkat. Sebenarnya masih ada satu jalur lagi yang bisa dilewati. Jalur tersebut lebih landai dan lebar, karenanya sepeda motor pun bisa dipacu sampai Latar Ombo.  Pemandangan di jalur tersebut sebenarnya  juga lebih indah, tetapi memutar cukup jauh. Karena kami harus lekas pulang maka kami memutuskan untuk melewati jalan yang sama dengan yang kami lewati ketika berangkat. Dalam perjalanan turun, kami sempat ketemu dengan salah seorang pendaki difabel yang beserta kawan-kawannya dari Karang Taruna sedang melakukan acara penghijauan di lereng Panderman. Salut sekali buat mereka.
Setelah lapor di pos pendaftaran, Ivan mencoba bertanya pada salah seorang tukang ojek yang mangkal di parkirannya pos pendaftaran. Ongkosnya sepuluh ribu sampai parkiran di bawah, dan lima belas ribu kalau mau sampai di gapura jalan raya dekatnya Ind*m*r*t. Ongkosnya tidak bisa ditawar. “Komersil amat ya…?”, batin saya bergumam sendiri. Dan enggak enaknya mereka njawabnya pakai acuh tak acuh sambil main catur. Okelah, kita jalan kaki saja sampai bawah. Bukankah kita pendaki?

"There's a big
A big hard sun
Beaten on the big people
In the big hard world"


Eddie Vedder - Hard Sun

Di tengah hari yang terik, kami menyusuri jalan berlapis paving stone yang segera berubah menjadi jalan beraspal. Dalam perjalanan, kami melewati rumah terakhir di jalur pendakian ini yang halaman depannya dulunya dijadikan pos pendaftaran pendakian. Sisa-sisa posnya sudah tidak ada. Rumah itu sendiri waktu itu sedang direnovasi. Di belakangnya, langsung tampak puncak Gunung Panderman yang berdiri gagah. Tampak sangat jelas tanpa sedikitpun tertutup awan. Tak percaya rasanya bahwa beberapa jam yang lalu kami bertiga baru saja turun pakai ngesot dari atas sana. “Ampun-ampun, dah..”, ungkap Yoga ketika ditanyai apakah dia masih mau nanjak ke Panderman lagi, hehehe.  Memang meskipun tak terlalu tinggi, Gunung Panderman menawarkan jalur pendakian yang curam sehingga sama sekali tak bisa dipandang remeh. Meremehkan medan pendakian sama artinya dengan mempertaruhkan keselamatan.

"Someone said life is for the taking
Here I am with my hand out waiting for a ride
I've been living on my great expectation
What good is it when I'm stranded here
And world just passes by
Where are the signs
To help me get out of this place"
Mr. Big - Going Where the Wind Blows


Perjalanan turun sepertinya masih cukup jauh. Di sebuah tikungan, mata kami bertiga menangkap keberadaan sebuah mobil pick up yang tengah berhenti menaikkan penumpang ke atas baknya. Itu kayaknya mobil yang kita naiki waktu kita berangkat kemarin. Ivan pun lantas melambaikan tangannya, yang lantas dibalas oleh pak sopirnya. Di luar dugaan, ternyata pak sopirnya bersedia mengangkut kami secara cuma-cuma. Soalnya saat itu dia sebenarnya juga sedang mengantar anaknya beserta rombongannya turun ke desa di bawah. Alhamdulillah dapat tumpangan gratis. Ternyata pak sopirnya bukan orang yang nawarin pick up ini kemarin.

Alhamdulillah, dapat tumpangan pick up gratis
Cukup sial bagi Yoga, dia yang tidak kebagian tempat di bak pick up terpaksa harus berdiri sambil tangannya pegangan di bahu saya. Di mobil tersebut kami ngobrol dengan rombongan anak-anak SMP tersebut, yang ternyata baru saja latihan Pramuka di Gunung Buthak. Kami diturunkan pak sopir itu di sebuah perempatan desa yang sudah dekat dengan gapura jalan raya. Kami juga diundang mampir ke rumahnya yang ternyata hanya berjarak lima puluh meteran dari tempat kami diturunkan. Setelah pamitan dan mengucapkan terimakasih, kami lantas langsung mengorder taksi online untuk pulang ke Malang.
Alhamdulillah, selesai sudah perjalanan kami bertiga. Kurang dan lebihnya mohon maafkan. 

Puncak hanya bonus, kembali pulang dengan selamat adalah sukses yang sejati. 
Salam lestari. 


SEKIAN