Karena satu dan lain hal, rencana pendakian ke Gunung Semeru
yang sudah disusun jauh-jauh hari akhirnya dialihkan tujuannya ke Gunung
Panderman. Secara jarak, waktu tempuh, dan biaya, perjalanan ke Panderman dari
kota Malang memang teramat sangat jauh lebih terjangkau. Saya yang awalnya
sedianya berencana nanjak berdua bareng Ivan belakangan ketambahan satu
personel lagi. Yoga, kawan satu SMA kami yang sehari-harinya bekerja di Jakarta
ini lagi liburan di Malang. Karena punya hobi nanjak, jadi dia langsung
mengiyakan saja ajakan Ivan untuk mendaki Gunung Panderman.
Gunung Panderman adalah salah satu gunung yang termasuk
dalam gugusan ‘Gunung Putri Tidur’. Disebut demikian karena bentangannya
terlihat layaknya seorang gadis yang sedang terbaring terlentang, dimana Gunung
Panderman adalah kakinya, Gunung Kawi adalah dada dan perut, sedangkan Gunung
Buthak adalah kepalanya. Gugusan gunung-gunung tersebut membentang begitu gagah
bagai sebuah benteng kokoh yang memagari Malang Raya di sebelah barat.
SABTU, 21 APRIL 2018
Sesuai kesepakatan, seusai Isya kami berkumpul di kantornya
Ivan di kampus UB. Setelah repacking,
kami langsung mengorder taksi online
untuk mengantar kami bertiga menuju gapura Desa Pesanggrahan Kota Batu sebagai
titik awal pendakian Gunung Panderman. Tarif taksi online ini sekitar 60 ribu, yang kami bayar dengan patungan. Kemacetan
langsung menyambut taksi kami begitu keluar dari kampus. Maklum ini memang
sedang bertepatan dengan malam Minggu. Karenanya, untuk menghindari kemacetan
menuju Batu kami tidak lewat jalur utama, melainkan lewat ‘jalur dalam’. Kami lewat
jalur Dau yang jalanannya lebih lengang.
"Orang anti kata antri
Semua mau berlari
Berlarilah sampai mati"
Semua mau berlari
Berlarilah sampai mati"
Navicula - Metropolutan
Dari gapura Ind*m*r*t, kami bertiga memulai acara pendakian
kami dengan berjalan kaki menapaki jalan beraspal. Jalan yang membelah
pendesaan tersebut awalnya landai, tetapi lama kelamaan terus bertambah tingkat
kecuramannya. Sempat sih kami nyari tukang ojek, barangkali ada yang mau
mengantar sampai pos pendaftaran di atas sana. Tetapi hingga sekitar dua puluh
menit kami jalan, di pinggir-pinggir jalan masih tampak sepi-sepi saja. Meskipun
nggak ada yang ngomong, tapi barangkali dalam hati kami bertiga sudah mulai
mantap dan sepakat bakal terus jalan kaki menyusuri jalan menanjak ini sampai
pos pendaftaran.
![]() |
Gapura gerbang masuk jalur pendakian Gunung Panderman |
![]() |
Malem-malem lewat kampung orang sambil bawa barang beginian |
Hingga akhirnya di sebuah tanjakan kami melihat adanya kerumunan
orang-orang disertai dengan lambaian-lambaian lighstick merah khas tukang parkir. Ternyata sumber keramaian
tersebut adalah tempat parkir kendaraan para calon pendaki. Bagi mereka yang
fanatik terhadap motor dari spesies matic,
kini tak lagi bisa melanjutkan perjalanannya hingga ke tempat parkiran pos
pendaftaran. Pasalnya, perjalanan pulang menggunakan matic itu rawan kecelakaan
sehingga kini motor dari jenis tersebut dilarang naik. Karenanya, selain
disediakan tempat parkir sebagai tempat penitipan, juga disediakan
tukang-tukang ojek dari warga setempat
yang sudah tentu lebih paham medan. Tarifnya 10 ribu mulai dari tempat
parkir hingga pos pendaftaran.
“Ojek, mas. Sepuluh ribu… sepuluh ribu… Sampai pos…” ujar
para tukang ojek tersebut, menawarkan jasa tunggangan mereka. Entah karena kami
terlalu songong, merasa terlalu kuat,
(atau merasa tarif tersebut kemahalan? hehehe), kami bertiga cuek saja.
Lagipula di depan sana juga ada beberapa rombongan calon pendaki yang lebih
milih jalan kaki, jadi kayaknya kalau memang harus jalan kaki kami bakal tetap enjoy karena banyak temannya. Di
samping itu, kan dengan jalan kaki sejak awal begini bisa dijadikan pemanasan.
Iya toh? Sejenak langsung teringat pengalaman beberapa tahun silam dimana saya
jalan kaki sendirian dari gapura di bawah sana sampai hampir masuk ke dalam
hutannya Gunung Panderman. Waktu itu saya nggak jadi lanjut karena takut
nyasar, hehehe.
"On bended knee is no way to be free
Lifting up an empty cup I ask silently
That all my destinations will accept the one that's me
So I can breath.."
Lifting up an empty cup I ask silently
That all my destinations will accept the one that's me
So I can breath.."
Eddie Vedder - Guaranteed
Berjalan sekitar lima puluh meteran dari parkiran, di sebuah
tanjakan kami tiba-tiba ditegur oleh seorang mas-mas bersepeda motor yang
menawarkan pick-up untuk mengantarkan
pendaki ke pos pendarftaran. Pasalnya dia mellihat kok banyak banget yang nekad
jalan kaki sampai ke pos. “Sampean tanya
ke rombongan depan dulu aja, mas”, jawab Ivan ketika ditawari jasa tumpangan
tersebut. Dengan motornya, mas-mas itu pun mengejar dua rombongan di depan
untuk menawarkan jasa yang sama. Ternyata mereka setuju, dan kami pun akhirnya
ikut . Kami bertiga serombongan ditarik 20 ribu, sedangkan rombongan lain yang
jumlahnya delapan orang itu ditarik 50 ribu.
Setelah menunggu beberapa saat, datanglah sebuah mobil pick-up. Kami rombongan para pendaki ini
pun langsung naik ke mobil bak terbuka ini. Dalam perjalanan, tentu kami
ngobrol-ngobrol dengan kawan-kawan dari rombongan lain ini. Personel dari salah
satu rombongan bercerita bahwa personel mereka belum pernah ada
yang naik ke Panderman. “Nggak dingin apa, mas?”, tanya salah seorang dari mereka
yang heran ngelihat saya malam-malam gini naik gunung cuma pakai celana pendek,
hehehe. Sedangkan di lain pihak, salah seorang mas-mas yang cuma berdua dengan
seorang cewek membeberkan rencana mereka yang pengen nanjak ke Gunung Buthak.
![]() |
Gemerlap kota |
Karena kami bertiga duduk menghadap ke belakang, sedangkan
mobil pick-up-nya terus melaju di
tanjakan, kami jadi bisa memandangi keindahan kerlap-kerlip lampu-lampu Kota
Batu di bawah sana. Lantaran sedang bulan purnama dan langit juga bersih tanpa
awan, kami juga bisa memandangi kegagahan Gunung Arjuno. Selain itu, di kanan
dan kiri jalan kami sempat menemui satu dua bangunan semacam villa super besar
nan mewah yang terlihat begitu kontras dengan bangunan rumah pedesaan dan hutan
di sekitarnya. Yup, Panderman yang sekarang bisa dibilang lebih ‘komersil’,
sudah berbeda jauh dengan terakhir kali saya ke sini sekitar tiga atau empat
tahunan yang lalu.
"They paved paradise,
and put up a parking lot
With a pink hotel, a boutique,
and a swinging hot spot"
Counting Crows - Big Yellow Taxi
Mobil pick-up yang
kami tumpangi berhenti tepat di depan pos pendaftaran. Bangunan pos ini cukup
besar dan keseluruhan bangunannya terbuat dari kayu. Bentuknya sekilas mirip
dengan model rumah-rumah kayu ala pedesaan di Amerika seperti yang sering kita
lihat di film-film. Terdapat sebuah jendela besar yang berfungsi sebagai loket.
Bangunan pos ini sendiri adalah bangunan baru. Saya tak tahu sejak kapan pos
pendaftaran ini berpindah lokasi. Terakhir kali saya mendaki Panderman, pos
pendaftaran pendaki ini berada di depan rumah terakhir di jalur pendakian dan
bentuknya masih seperti poskamling. Sekarang, pos pendaftaran sudah dipindah
lebih masuk ke jalur pendakian. Enaknya, jarak pendakian ke Panderman jadi
terpangkas sedikit lebih dekat. Nggak enaknya…
dari awal kita turun (gapura Ind*m*r*t) jadi lebih jauh. Tarif untuk
pendakian Gunung Panderman maupun Gunung Buthak sama-sama dipatok sebesar Rp.
7000. Cukup murah. Cukup ramai juga ternyata yang mau mendaki.
![]() |
Turun dari pick up |
![]() |
Pos pendaftaran Gunung Panderman. Abaikan foto saya |
![]() |
Dibaca, dipahami, ditaati! |
Perjalanan kami mulai dengan menyusuri jalan setapak di
samping pos pendaftaran. Awal-awal perjalanan, jalur masih relatif landai
membelah perkebunan penduduk dengan saluran air yang mengalir di salah satu
sisinya. Saluran air ini adalah satu-satunya sumber air di jalur pendakian
Gunung Panderman. Jadi alangkah baiknya perbekalan air dilengkapi sekalian di
sini. Lepas dari sumber air tersebut, kami berbelok ke kanan dan langsung
disambut dengan tanjakan. Suara gemericik dari saluran air tersebut menimbulkan
sensasi kesegaran tersendiri, tetapi lama kelamaan lenyap tertelan jarak dan
suara-suara nafas para pendaki yang mulai ngos-ngosan. Bulan purnama yang
bersinar terang cukup membantu menerangi jalur pendakian, sehingga beberapa
kali saya mematikan headlamp untuk
menghemat baterai.
Bersama kami bertiga, ikut rombongan yang tadi juga satu pick up dengan kami (selanjutnya saya
sebut rombongan si fulan). Selain mereka, juga ada rombongan - yang sepertinya
lagi family gathering, dimana ada
seorang anak kecil seusia sekitar kelas satu SD yang turut serta. Rombongan ini
kalau saya perhatikan sedari bawah sama sekali tidak pernah menampakkan rasa
capek. Ketawa-ketawa terus dan selalu ceria, pun demikian dengan si anak
kecilnya yang sama sekali nggak menujukkan rasa takut gelap, takut diganggu
hewan nocturnal, atau takut ketemu
hantu dan semacamnya. Seolah gunung ini adalah tempat bermainnya.
Sementara itu, salah seorang cewek dari rombongan si fulan
setelah menanjak beberapa meter mulai merasa kepayahan. Ternyata penyakit
asmanya kambuh. Kami yang sudah satu rombongan sejak di mobil pick up tadi pun ikut berhenti semua
setiap kali cewek tersebut berhenti untuk mengambil nafas. Salah seorang cowok
di rombongan tersebut terus memotivasi si cewek supaya terus semangat sambil
dibujuk-bujuki dengan ‘pembohongan’ khas dunia pendakian, “Bentar lagi udah
nyampai… posnya udah deket”, hehehe. Dia juga ngajari si cewek cara jalan dan
bernafas yang benar. Memang sebenarnya dari pos pendaftaran hingga ke pos Latar
Ombo jaraknya tidak terlampau jauh, tapi nggak bisa dibilang dekat juga soalnya
tanjakan-tanjakannya minim bonus.
"Petualang merasa sunyi
Sendiri di hitam hari
Petualang jatuh terkapar
Namun semangatnya masih berkobar
Petualang merasa sepi / merasa sunyi
Petualang merasa sepi / merasa sunyi
Sendiri dikelam hari
Petualang jatuh terkulai
Namun semangatnya bagai matahari"
Iwan Fals - Sang Petualang
Demi efisiensi, akhirnya rombongan pun dipecah. Dari
rombongan si fulan tersebut, dua orang yang membawa tenda berangkat duluan
bersama saya dan Yoga yang juga sama-sama kebagian tugas bawa tenda. Tujuannya
agar tenda bisa segera didirikan. Ivan sendiri memilih menemani sisa-sisa
rombongan si fulan tersebut, soalnya di antara mereka tidak ada sosok
seniornya. Saya pribadi sebenarnya juga punya penyakit asma, tapi syukur Alhamdulillah selama beberapa kali
melakukan pendakian penyakit saya tersebut tidak pernah kambuh. Malah pernah
dulu ada kejadian saya lagi sakit asma, saya pakai ke gunung malah sembuh
asmanya, hehehe. Sebenarnya ada trik tertentu untuk menyiasati tanjakan supaya
tidak cepat lelah. Saya biasanya berjalan dengan langkah kecil dan lambat,
bernafas melalui hidung, selalu mengatupkan mulut dan tidak banyak bicara, serta
menahan diri untuk tidak sering-sering berhenti. Cara tersebut selama ini
terbukti efektif ketika saya terapkan setiap kali ikut acara nanjak-nanjak ke
gunung. Berjalan pelan tak mengapa yang penting tetap terus berjalan. Alon-alon asal kelakon. Toh kita naik
gunung bukan untuk balapan kan?
"Who can say where the road goes?
Where the day flows?
Only time"
Where the day flows?
Only time"
Enya - Only Time
Jalan setapak menuju Latar Ombo di beberapa titiknya
terdapat percabangan. Di percabangan pertama, saya, Yoga, dan dua orang dari
rombongan si fulan hampir belok ke kiri. Karena ragu, kami lantas berhenti
sambil teriak-teriak nanya ke Ivan jalan mana yang benar. Ternyata teriakan
kami masih bisa didengar Ivan, yang lantas balik teriak nyuruh ambil jalur ke
kanan. Kami pun lanjut ke kanan dan terus menyusuri jalur hingga akhirnya kami
menemui persimpangan lagi. Kali ini ada tanda panahnya jadi kami ikut saja
sesuai arahan tanda panah tersebut. Bukan apa-apa, soalnya terakhir kali rombongan
saya ke Panderman sempat salah ambil jalur, dimana jalur tersebut tanjakannya
ampun-ampunan hampir 90 derajat, dan sama sekali nggak mempersingkat jarak
tempuh meskipun pada akhirnya kembali bertemu dengan jalur yang benar ke Latar
Ombo. Biarpun sudah diterangi oleh headlamp
atau senter, kadangkala perjalanan pada malam hari yang gelap memang tetap
berpotensi menyesatkan karena tubuh lebih terfokus untuk mengatur stamina dan
menahan kantuk ketimbang masalah orientasi jalur.
Sekitar setengah dua belas malam kami sampai di Latar Ombo.
Setelah istirahat lima belas menitan, kami mulai cari tempat yang pas untuk
mendirikan tenda. Tenda belum selesai didirkan, ternyata Ivan sudah sampai
duluan bareng sisa-sisa rombongan si fulan. Mereka memutuskan untuk rehat dulu
satu jam-an sebelum langsung muncak. Sedangkan kami bertiga memilih untuk tidur
terlebih dahulu dan baru berangkat muncak setelah sholat subuh.
MINGGU, 29 APRIL 2018
Kami bertiga baru berangkat muncak sekitar setengah enam
pagi. Molor sih ini, soalnya rencananya kan berangkat muncaknya itu sekitar
subuh-subuh. Karena berangkatnya sudah kesiangan, sudah tentu tak ada pemandangan
sunrise yang tersisa bagi kami
bertiga. Tanpa sarapan, kami langsung menyusuri jalan setapak yang terus
menanjak. Jalurnya berupa jalan setapak bercabang-cabang yang berujung di
lintasan yang sama. Kanan kiri kami masih rapat oleh pepohonan, yang
akar-akarnya dapat dijadikan pijakan dan pegangan. Rencananya kami nanti mau
sarapan di puncak dengan menu yang tergolong langka di gunung, soto. Untuk itu
kami bawa air cukup banyak sekalian untuk cuci peralatan makan.
“Bangun, sebab
pagi terlalu berharga ‘tuk kita lewati dengan tertidur.
Bangun. Sebab hari terlalu berharga ‘tuk kita lalui dengan bersungut-sungut.
Berjalan lebih jauh, menyelam lebih dalam.
Bangun. Sebab hari terlalu berharga ‘tuk kita lalui dengan bersungut-sungut.
Berjalan lebih jauh, menyelam lebih dalam.
Jelajah semua warna
bersama. Bersama~”
Berjalan Lebih Jauh – Banda Neira
Pos setelah Latar Ombo adalah Watu Gede, yang memang
ditandai dengan keberadaan batu-batu berukuran besar. Kalau mau sebenarnya bisa
juga lho mendirikan tenda di pos ini, tapi sifatnya spekulatif soalnya areanya
tidak terlalu besar. Kami beristirahat sejenak di pos ini, dan kembali ketemu
dengan rombongan family gathering
plus anak kecilnya yang juga hendak nanjak ke puncak. Ada juga dua buah tenda
yang didirikan di balik batu. Setelah cukup mengatur nafas, kami bertiga
kembali melanjutkan perjalanan menuju Puncak Bayangan.
Tanjakan menuju Puncak Bayangan sungguh luar biasa panjang
dan curamnya. Karenanya kami bertiga lebih sering merangkak dibandingkan
berjalan layaknya manusia normal, hehehe. Dalam benak saya, langsung terbayang perjalanan
turun nanti yang sepertinya tak akan lebih mudah. Kami beberapa kali berpapasan
dengan pendaki yang hendak turun. Ada yang turun sambil ngesot pakai celana…,
ada yang bingung nyari pegangan…, ada juga yang nekad berlari. Melihat mereka yang
nekad turun pakai lari-larian itu langsung saja kami bertiga merasa benar-benar
sudah berumur. Lha soalnya, kalau
saja kami masih semuda mereka, kami pasti tak pikir panjang buat melakukan
aksi-aksi yang tergolong berbahaya semacam itu. Tanjakan ini sendiri jalurnya bercabang-cabang
tetapi tetap bermuara ke Puncak Bayangan.
Setelah merangkak hampir satu jam, ketika mendongakkan
kepala saya mulai melihat ada area terbuka di ujung tanjakan. Beberapa meter
kemudian sampailah kami di Puncak Bayangan, sebuah area terbuka dan memanjang
dengan jurang di kiri dan kanannya. Pemandangan di Puncak Bayangan ini jauh
lebih indah apabila dibandingkan dengan puncak sejati Gunung Panderman sendiri.
Karenanya beberapa rombongan pendaki memilih untuk mendirikan tendanya di sini.
Sama halnya dengan di Watu Gede, mendirikan tebda di sini sifatnya juga
spekulatif karena tempatnya tidak terlalu luas. Di samping itu karena tempatnya
yang terbuka jadi rawan terjangan angin kencang. Tempat mendirikan tenda yang ideal
adalah di Latar Ombo atau sekalian di puncak.
![]() |
Pemandangan di Puncak Bayangan (abaikan orangnya, hehehe) |
![]() |
Pemandangan di salah satu titik di tengah bonus menuju Puncak Panderman (abaikan juga orangnya, hehehe) |
Bonus trek datar akhirnya habis. Jalur kembali menanjak
cukup curam meskipun tidak sepanjang tanjakan menuju Puncak Bayangan. Ranting-ranting
pepohonan di ujung tanjakan bergoyang-goyang lantaran dipakai loncat-loncatan
oleh kawanan monyet penghuni endemik Gunung Panderman. Saya memilih tidak merhatiin tingkah monyet monyet itu
karena khawatirnya kalau sampai terjadi kontak mata nanti mereka ngiranya saya
nantang mereka. Monyet-monyet ini sama sekali tidak takut ataupun terganggu
oleh keberadaan para pendaki.
"Kuyakinkan restu bumi
Bangunkan jiwaku
Basuhi raga kita
Restu bumi leburkan hati
Sucikan dari debu dunia"
Bangunkan jiwaku
Basuhi raga kita
Restu bumi leburkan hati
Sucikan dari debu dunia"
Restu Bumi – Dewa 19
Sampailah kami di puncak yang ternyata cukup ramai. Kami
kembali bertemu dengan rombongan si fulan
full team yang ternyata hendak pamitan mau turun. Lantaran perut sejak
bangun tadi cuma terisi air, kami lantas segera mencari medan yang cukup teduh
dan datar sebagai tempat memasak. Sialnya kami lupa bawa flysheet yang sedianya bakal digelar untuk alas duduk. Jadinya kami
duduk begitu saja beralas tanah. Menu sarapan pagi kali ini adalah soto ayam.
Gak ada nasi, bihun pun dijadikan pengganti nasi yang direbus bersamaan dengan
pemasakan soto. Lebih praktis. Kami sarapan sambil mengamati perilaku
monyet-monyet penghuni Puncak Panderman, yang ternyata doyan makan bumbu mi
instan, hehehe.
![]() |
Puncak Panderman. Ki-ka: Yoga, Ivan, saya (Adif) |
Sekitar pukul 9.15, kami mulai turun dari puncak. Dan
seperti yang sudah saya duga sebelumnya, perjalanan turun lebih menantang
daripada perjalanan ketika berangkat. Entah berapa kali kami bertiga harus
ngesot, jongkok, terpeleset, dan juga gelantungan di batang pohon sebelum
akhirnya kami sampai kembali ke Latar Ombo. Kami juga berkali-kali berhenti dan
sempat juga ragu terhadap jalan setapak yang kami ambil soalnya terlalu sempit
dan sepi, tapi ternyata jalur tersebut kembali bertemu dengan jalur utama
menuju Latar Ombo.
Ketika kami packing,
sayup-sayup kami mendengar raungan suara sepeda motor yang semakin lama semakin
mendekat. Dan tak berapa lama kemudian sebuah sepeda motor trail datang dan
berhenti di dekat pos. Entahlah dengan rekan setim atau pendaki lain, saya
pribadi merasa aneh (cenderung terganggu)
kalau sampai ada kendaraan masuk ke dalam area pendakian seperti ini. Perjalanan
pulang kami sempat tertunda sebentar lantaran ada kawanan monyet yang berantem
di pepohonan di atas jalan setapak akses keluar dari Latar Ombo. Rombongan
pendaki lain yang hendak turun pun tampak ikut mengurungkan niatnya untuk nekad
lewat di pergumulan kawanan hewan primata tersebut.
"Comes the morning
When I can feel
That there's nothing left to be concealed
Moving on a scene surreal
No, my heart will never
Will never be far from here
When I can feel
That there's nothing left to be concealed
Moving on a scene surreal
No, my heart will never
Will never be far from here
Sure as I am breathing
Sure as I'm sad
I'll keep this wisdom in my flesh
I leave here believing more than I had
And there's a reason I'll be
A reason I'll be back"
Sure as I'm sad
I'll keep this wisdom in my flesh
I leave here believing more than I had
And there's a reason I'll be
A reason I'll be back"
Eddie Vedder - No Ceiling
Perjalanan turun dari Latar Ombo menuju Pos Pendaftaran
kami tempuh melewati jalur yang sama
ketika kami berangkat. Sebenarnya masih ada satu jalur lagi yang bisa dilewati.
Jalur tersebut lebih landai dan lebar, karenanya sepeda motor pun bisa dipacu
sampai Latar Ombo. Pemandangan di jalur
tersebut sebenarnya juga lebih indah, tetapi
memutar cukup jauh. Karena kami harus lekas pulang maka kami memutuskan untuk melewati
jalan yang sama dengan yang kami lewati ketika berangkat. Dalam perjalanan
turun, kami sempat ketemu dengan salah seorang pendaki difabel yang beserta
kawan-kawannya dari Karang Taruna sedang melakukan acara penghijauan di lereng
Panderman. Salut sekali buat mereka.
Setelah lapor di pos pendaftaran, Ivan mencoba bertanya pada
salah seorang tukang ojek yang mangkal di parkirannya pos pendaftaran.
Ongkosnya sepuluh ribu sampai parkiran di bawah, dan lima belas ribu kalau mau
sampai di gapura jalan raya dekatnya Ind*m*r*t. Ongkosnya tidak bisa ditawar.
“Komersil amat ya…?”, batin saya bergumam sendiri. Dan enggak enaknya mereka
njawabnya pakai acuh tak acuh sambil main catur. Okelah, kita jalan kaki saja
sampai bawah. Bukankah kita pendaki?
"There's a big
A big hard sun
Beaten on the big people
In the big hard world"
A big hard sun
Beaten on the big people
In the big hard world"
Eddie Vedder - Hard Sun
Di tengah hari yang terik, kami menyusuri jalan berlapis paving stone yang segera berubah menjadi
jalan beraspal. Dalam perjalanan, kami melewati rumah terakhir di jalur
pendakian ini yang halaman depannya dulunya dijadikan pos pendaftaran
pendakian. Sisa-sisa posnya sudah tidak ada. Rumah itu sendiri waktu itu sedang
direnovasi. Di belakangnya, langsung tampak puncak Gunung Panderman yang
berdiri gagah. Tampak sangat jelas tanpa sedikitpun tertutup awan. Tak percaya
rasanya bahwa beberapa jam yang lalu kami bertiga baru saja turun pakai ngesot
dari atas sana. “Ampun-ampun, dah..”, ungkap Yoga ketika ditanyai apakah dia
masih mau nanjak ke Panderman lagi, hehehe. Memang meskipun tak
terlalu tinggi, Gunung Panderman menawarkan jalur pendakian yang curam sehingga
sama sekali tak bisa dipandang remeh. Meremehkan medan pendakian sama artinya
dengan mempertaruhkan keselamatan.
"Someone said life is for the taking
Here I am with my hand out waiting for a ride
Here I am with my hand out waiting for a ride
I've been living on my great expectation
What good is it when I'm stranded here
And world just passes by
What good is it when I'm stranded here
And world just passes by
Where are the signs
To help me get out of this place"
To help me get out of this place"
Mr. Big - Going Where the Wind Blows
Perjalanan turun sepertinya masih cukup jauh. Di sebuah tikungan,
mata kami bertiga menangkap keberadaan sebuah mobil pick up yang tengah berhenti menaikkan penumpang ke atas baknya. Itu
kayaknya mobil yang kita naiki waktu kita berangkat kemarin. Ivan pun lantas
melambaikan tangannya, yang lantas dibalas oleh pak sopirnya. Di luar dugaan,
ternyata pak sopirnya bersedia mengangkut kami secara cuma-cuma. Soalnya saat
itu dia sebenarnya juga sedang mengantar anaknya beserta rombongannya turun ke
desa di bawah. Alhamdulillah dapat
tumpangan gratis. Ternyata pak sopirnya bukan orang yang nawarin pick up ini kemarin.
Cukup sial bagi
Yoga, dia yang tidak kebagian tempat di bak pick
up terpaksa harus berdiri sambil tangannya pegangan di bahu saya. Di mobil
tersebut kami ngobrol dengan rombongan anak-anak SMP tersebut, yang ternyata
baru saja latihan Pramuka di Gunung Buthak. Kami diturunkan pak sopir itu di
sebuah perempatan desa yang sudah dekat dengan gapura jalan raya. Kami juga
diundang mampir ke rumahnya yang ternyata hanya berjarak lima puluh meteran
dari tempat kami diturunkan. Setelah pamitan dan mengucapkan terimakasih, kami
lantas langsung mengorder taksi online
untuk pulang ke Malang.
![]() |
Alhamdulillah, dapat tumpangan pick up gratis |
Alhamdulillah,
selesai sudah perjalanan kami bertiga. Kurang dan lebihnya mohon maafkan.
Puncak
hanya bonus, kembali pulang dengan selamat adalah sukses yang sejati.
Salam
lestari.
SEKIAN