Kamis, 28 April 2016

Catatan Perjalanan Gunung Kelud (Perjalanan Menengok Proyek)


Sabtu, 23 April 2016.

Lakone: Angga, Saya (Adif). Philip, Ivan, Danang
Setelah hampir 3 minggu rapat ini itu via Whatsapp, akhirnya tanggal 23 April kemarin saya bersama teman-teman saya jadi juga mengeksekusi hasil rapat itu. Dengan mobil sewaan, sekitar pukul 21.30 kami meluncur ke Gunung Kelud via Blitar. Pemilihan rute via Blitar ini didasari faktor safety, karena rutenya tidak terlalu banyak tikungan dan tanjakan yang bikin was-was sekaligus mual seperti kalau lewat Pujon. Soal lebih jauhnya jarak yang  harus ditempuh tak jadi masalah, soalnya waktu kami sangat surplus. Dari 24 jam waktu penyewaan, perkiraan hanya akan terpakai sekitar tiga perempatnya saja. Kami memperkirakan akan sampai di gerbangnya Gunung Kelud sekitar dini  hari. Seperti biasa, Philip menjadi sopir bergantian dengan Ivan. Sedangkan saya duduk di jok kedua diapit Danang dan Angga.  Kami mampir dahulu ke rumah Philip untuk mengambil charger. Tak lupa pula kami  ‘menjarah’ semua jajanan dan buah suguhan di meja rumahnya Philip buat tambahan pengisi perut di jalan.
 Perjalanan menuju Blitar relatif lancar. Kami memilih melalui jalur yang melintasi tepian bendungan Lahor. Ya, lagi-lagi memang agar lebih aman saja, pasalnya jalur satunya yang melewati bendungan Karangkates memang berkelok-kelok, naik turun, gelap, dan nanti pasti ketemu kendaraan-kendaraan berat. Sementara kalau lewat jalur Lahor ini, jalurnya minim tikungan meski kadang tetap berkontur juga. Pemandangan yang sempat tertangkap dari balik kaca mobil adalah…. orang pacaran di kegelapan malam! Lampu-lampu temaramnya  memang ‘sangat mendukung’. Kami ternyata juga masih harus berbagi jalan dengan sekumpulan pemuda kurang kerjaan yang menjadikan jalan raya sebagai tempat trek-trekan. Selain itu, tidak ada kendala apa-apa selain rasa lapar yang mulai menggerogoti perut kami. Karenanya, sekitar jam 12 malam kami berputar-putar di sekitar alun-alun kota Blitar untuk mencari warung makan.
Hal yang cukup mengejutkan, ternyata malam di kota Blitar begitu hidup oleh warung-warung pinggir jalan dan mereka yang nongkrong. Beberapa komunitas kendaran juga tampak berkumpul dan memajang tunggangan kebanggaan mereka di tepian jalan. Lagi-lagi kami juga masih bertemu dengan segelintir anak muda kurang kerjaan yang menjadikan jalan raya sebagai arena balap liar. Yang bikin nggondok… ternyata dari balik jendela mobil kami sempat beberapa kali melihat penampakan ‘kupu-kupu malam’. Lazimnya, mereka itu berjenis kelamin betina, tetapi yang kami lihat kemarin itu kok ya yang berjenis kelamin sebaliknya. Wajah garang tapi bibirnya bergincu, plus tak ragu juga memamerkan kaki gaharnya yang terbalut rok di emperan toko. What the…! Tidak usah dibayangkan! (hayo… pasti pada membayangkan ya..? Hahahaha…) Penampakan yang sungguh sempat membuat heboh seisi mobil. Setelah berkeliling, sampailah kami di sebuah warung yang menyajikan menu-menu ikan dan sayuran pedas. Semua pada memesan makanan kecuali saya yang cuma memesan teh panas lantaran sudah membawa bekal dari rumah.
Setelah mengisi bensin di sebuah SPBU, perjalanan pun berlanjut. Di sebuah jalan desa, kami sempat bingung mengambil arah di sebuah persimpangan. Tak ada seorang pun di luar sana yang bisa ditanyai. Maklum memang sudah jam 1 malam. Tapi untunglah sinyal internet masih cukup kuat sehingga kami masih bisa mengakses peta via internet. Sekitar jam 2 dini hari, sampailah kami di sebuah rest area yang sepi. Tak tampak seorang pun yang menjaga warung-warung di rest area tersebut. Begitu sunyi dan gelap gulita. Langit malam sendiri sedikit berawan, tetapi tetap terang-temaram oleh bulan purnama yang memancarkan cahaya nan lembut. Setelah mengecek kondisi sekitar, Ivan, Philip, dan Danang kembali ke mobil. Ivan dan Danang yang sama-sama membawa sleeping bag + matras sepakat untuk tidur di luar mobil. Sementara Philip yang sejak berangkat tampak kurang enak badan tampak ogah mengikuti mereka yang tidur di tempat terbuka, dan memilih untuk tidur di mobil bersama Angga dan saya. Seperginya Ivan dan Danang, dari luar mulai terdengar rombongan lain yang datang dengan mobil. Lantaran saking ngantuknya, kami jadi ogah mengecek di mana keberadaan mereka.  

“Merepih alam…
…di malam berselubung kabut kelam
Wajah pun meredup…
… tercermin haus cahaya…”

(Merepih Alam - Chrisye)

Minggu, 24 April 2016.

"Kuhirup udara pagi
Bersama indah mentari
Kulalui hari ini
Dengan hati bersemi"
(Damai - Wayang)

Bunyi alarm di hape saya seketika membangunkan seisi mobil. Tapi lantaran masih males keluar, akhirnya kami pun tidur lagi. Sepertinya Ivan dan Danang di luar sana pun juga masih enggan beranjak dari tempat tidurnya, yang berupa gazebo kecil berbentuk rumah panggung tanpa dinding. Entahlah dengan mereka berdua, tapi saya pribadi merasa hawa di sini sama sekali tidak dingin seperti lazimnya daerah pegunungan. Cukup susah juga mencari tempat buang hajat di sini, karena toilet-toilet yang ada semua pintunya masih terkunci. Pun untuk ber-wudlu, kami harus menggunakan air (yang sepertinya) tampungan air hujan di tong-tong belakang warung. Sholat subuh kami lakukan secara bergantian di gazebo kecil tempat Ivan dan Danang tidur semalam.  Belakangan baru kami sadari bahwa ternyata salah kiblat!

Rocky Mountain KW, he..9989x
Setelah hampir setengah jam memacu mobil melibas jalanan menanjak dan berliku, perjalanan kami pun terhenti oleh hadangan seorang bapak. Pasalnya di depan kami terjadi kecelakaan. Kami tak bisa mengorek informasi lebih jauh lantaran seorang bapak petugas yang menghadang kami tersebut enggan memberikan keterangan lebih rinci. Si bapak hanya menyuruh kami untuk turun dan baru boleh naik setelah proses evakuasi selesai. Tanpa Danang yang tampaknya penasaran dengan kecelakaan itu, kami dan kendaraan-kendaraan di belakang kami pun akhIrnya balik kucing. Dugaan kami, pasti ada kendaraan yang nyelonong ke jurang.  Tapi kendaraan macam apa dan penyebabnya kami belum tahu. Kami akhirnya memarkir mobil di depan sebuah warung yang masih tutup, berdampingan dengan mobil lain. Warung di seberang jalan juga dipenuhi oleh calon pengunjung yang tampaknya juga senasib dengan kami.
Sempat bingung juga mau ngapain. Akhirnya kami membunuh waktu dengan ngobrol dan foto-foto. Beberapa kali kami melihat para calon pengunjung berseliweran, tapi akhirnya balik kucing juga. Danang kemudian datang, tapi tak memberikan informasi apa-apa. Ivan yang ternyata penasaran pun akhirnya gantian pergi ke TKP, tapi tak berapa lama kemudian dia balik lagi dengan air muka sedikit kecut. Pasalnya, dia barusan disemprot petugasnya dengan perkataan yang kira-kira berbunyi, “Bukan urusan anda!” . Selepas kedatangan Ivan, giliran Philip dan Angga yang pergi ke TKP (pengen disemprot juga sepertinya, hahaha..). Saya pribadi males ikutan pergi melihat TKP. Selain karena malas disemprot, lagipula saya bukan orang yang berkepentingan, juga tidak kuasa untuk memberikan pertolongan. Jadinya saya tetap nongkrong di mobil saja bersama Ivan dan Danang. 

Menunggu hingga batas waktu yang belum ditentukan
Calon pengunjung lain, 'rekan-rekan sepenantian'
Bekas aliran lahar Gunung Kelud
Hutan-hutan di sekitar bekas aliran lahar.
 Dua jam pun berlalu tanpa kepastian. Di saat saya mulai dihinggapi rasa kantuk, hape saya tiba-tiba berdering. Angga mengabarkan bahwa proses evakuasi hampir selesai dan setelah kendaraan yang ringsek berhasil dibawa turun, kami diperbolehkan melanjutkan perjalanan. Mendengar kabar yang cukup melegakan tersebut, Ivan pun mulai memanasi kembali mesin mobil. Benar saja, tak lama kemudian dari atas datanglah iring-iringan mobil ambulans yang diikuti oleh mobil polisi dan truk derek yang menarik sebuah truk besar dengan moncong ringsek. Tampaknya truk itulah yang nyelonong ke jurang. 

TKP yang berubah menjadi obyek tontonan.
Di bekas TKP, Angga dan Philip pun naik ke mobil. Tak terlalu lama kemudian, kami mendapati bahwa… ternyata dari TKP kecelakaan tadi hingga ke parkiran utama jaraknya tak sampai 10 menit! Ah… sudahlah tak perlu disesali. Toh kami sudah sampai. Kami pun langsung menuju warung yang tampak sepi dan memesan makanan.  Tiket masuk per orang sebesar 5000 rupiah saja, sementara tarif parkir mobil sebesar 10.000.

Area parkiran utama Gunung Kelud
 Sempat juga kami ketemu dengan serombongan keluarga yang membawa beberapa tas koper. Rasanya memang janggal melihat orang mendaki gunung membawa tas koper. Oh ya, tapi ini kan gunung untuk rekreasi keluarga, jadi sepertinya oke-oke saja kalau mau membawa benda-benda di luar standard pendakian. Usut punya usut, ternyata mereka hendak melakukan sesi pre wedding di puncak sana. Ok, monggo, barangkali memang itu yang lagi trend. Kalau nikah harus pakai pre wedding. Ah sudahlah…  Yuk dilanjut sarapannya..
             Ivan, Philip, dan saya sebenarnya sudah pernah berkunjung ke gunung ini sekitar tahun 2009 dan 2010 lalu. Dua kali perjalanan itu, tak pernah sekalipun terencana dengan matang. Semuanya serba mendadak, tapi ternyata ya tetap bisa having fun. Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu, sekarang dari parkiran mobil, perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki dengan jarak sekitar tiga kilometeran. Alternatif lainnya adalah dengan naik ojek. Tapi tentu kami memilih berjalan kaki. Karena rencananya kan memang naik gunung, bukannya naik ojek. Medan perjalanan sendiri berupa jalan beraspal menanjak dan berliku yang diapit oleh jurang di kedua sisinya.

Jalanan yang menanjak, dengan angkutan ojeknya.
Mirip seperti di Isla Sorna di film-film Jurassic Park
Setinggi inilah kita harus berjalan, dan ini masih terus berlanjut.
Sepanjang perjalanan, kamu sering sekali bertemu dengan pengunjung yang mengenakan kaos bertuliskan seperti ini  :

Memang sedang nge-hits
 Setelah berjalan hampir satu jam (termasuk untuk foto-foto), sampailah kami di titik terjauh yang bisa kami capai. Sepertinya jaraknya masih sekitar setengah jam dengan area kawah yang sebenarnya menjadi tempat tujuan utama para pengunjung. Yup, pengunjung memang tidak diperbolehkan berjalan lebih jauh lagi. Pasalnya, jauh di depan sana sedang ada proyek perbaikan infrastruktur jalan menuju kawah Gunung Kelud.

Papan peringatan
Kalau tidak salah, di balik bukit dan di bawah tebing tinggi itulah letak kawah Gunung Kelud.
Walhasil, setelah berjalan menanjak, di titik terjauh yang bisa dicapai, pengunjung ‘hanya’ akan disuguhi pemandangan pengerjaan proyek. Kami jadi seperti sedang memantau progress sebuah proyek, hahaha... Tak mengapalah. Toh di titik terakhir itu pengunjung juga masih bisa menyaksikan ‘sisa-sisa’ keindahan Gunung Kelud, termasuk dasar jurang yang menjadi bekas aliran lahar, dan puncak tebing tertinggi Gunung Kelud yang menjulang jauh di belakang area proyek. Semoga saja proyek perbaikan infrastrukturnya lekas selesai. Rombongan pre-wedding tadi juga tak sungkan (dan mungkin tak malu pula) untuk tetap menggelar acaranya di tempat yang mungkin saja ternyata tak sesuai dengan yang mereka harapkan.  Perjalanan turun kami tempuh lebih cepat (kendati lebih capek juga, karena kaki jadi terlalu banyak menahan beban tubuh). Kami sempat berpapasan dengan bule perempuan yang berpakaian agak terbuka (dan pakai sepatu high heels!). Dia tampak cuek saja meskipun menjadi pusat perhatian. 

 “They pave paradise… 
...and put up a parking lot.
With a pink hotel, a boutique…
… and a swinging hot spot ” 
(Big Yellow Taxi – Counting Crows)

Karena waktu pengembalian mobil masih sangat lama (masih jam 9 malam nanti!), kami pun sepakat untuk mencari destinasi lain. Dalam perjalanan, sering sekali kami menemukan perkebunan buah nanas di kanan kiri jalan. Rumah-rumah di pedesaan yang kami lintasi pun banyak yang ditanami buah berkulit keras itu di pelatarannya yang luas. Sayang sekali kami tidak sempat mengabadikannya.
 Kami memilih Candi Penataran lantaran lokasinya satu jalur dengan arah perjalanan pulang kami. Sebenarnya bukan ke candinya sih, tetapi ke pemandiannya. Sebelum sampai ke lokasi pemandian, di sebuah titik kami sempat berhenti di sebuah gapura (plus loket?) yang mengharuskan kami untuk membayar sejumlah retribusi (Rp 3000/orang)untuk masuk ke kawasan Penataran. Cukup bikin nggondok juga, pasalnya ternyata di lokasi pemandian kami masih harus membayar lagi sebesar lima ribu rupiah per orang untuk masuk ke dalam kolam renang. Dengan hati yang sedikit mengganjal (tetapi lantaran sudah terlanjur datang) akhirnya kami ya tetap ikut mengantri juga. Angga, Ivan, dan Danang pun tanpa ba bi bu langsung nyemplung ke kolam. Sedangkan Philip, dia masih tanda tanya mau ikut berenang atau tidak. Kalau saya, sejak semula memang tidak ada rencana berenang, jadi saya ya tidak ikutan nyebur ke dalam kolam. Saya memang belum bisa berenang (dan tidak membawa ganti daleman juga). Tetapi meskipun tidak bisa berenang, kalau bawa ganti 'CD' saya biasanya pasti ikutan menceburkan diri juga. Akhirnya saya cuma duduk-duduk saja di tepian kolam, menjaga barang bawaan bersama Philip yang ternyata juga tidak ikutan berenang.


Kolam renang Penataran
Tak terlalu lama kami berada di pemandian. Selepas dhuhur (dan tanpa makan siang), kami langsung memutuskan pulang. Badan yang capek plus ngantuk membuat seisi mobil tampak malas mampir-mampir ke tempat lain. Mobil yang sejak dari Blitar dikemudikan Ivan lancar-lancar saja, akhirnya mengalami sedikit trouble di atas jembatan di bendungan Lahor. Anehnya, ketika setir mobil diambil alih oleh Philip, mobilnya langsung mau hidup lagi. Selanjutnya, perjalanan relatif lancar hingga kota Malang. Sesuai estimasi saya, kami akhirnya sampai kembali di kota Malang selepas Asar.

“There are places I remember…
All my life… those some have changes…
Some forever not for better…
Some have gone… and some remain…”
 
(In My Life – The Beatles)