Senin, 28 Desember 2015

Coban Tundo dan Bonusnya.



"Tak kalah dengan orang gedean 
Dalam rasakan senang 
Walau lembaran gaji sebulan 
Hanya cukup untuk kakus 
Soal rekreasi sih harus..."
(Libur Kecil Kaum Kusam, by Iwan Fals)

Peserta kali ini tidak jauh berbeda dengan perjalanan-perjalanan terdahulu. Masih dengan saya, Angga, Ahmad, dan Danang. Turut ikut juga mas Saiful rekan Ahmad, dan juga Faris yang kami ‘ciduk’ secara mendadak di rumahnya. Hari itu sebenarnya bertepatan dengan acara Pilkada Serentak, yaitu 9 Desember 2015. Hanya saja karena kami semua berdomisili di daerah kota, kami tidak turut berpartisipasi dalam perhelatan tersebut. Di wilayah Malang Raya sendiri, acara tersebut hanya diadakan di daerah Kabupaten Malang dan Kota Batu.

Personelnya, ki-ka: Danang, Faris, saya, Angga, Mas Saipul, dan Ahmad (juru foto)
Pukul 7.40, kami meluncur dari rumah Faris di daerah Tanjung, Malang. Dari rumah Faris, kami mengambil rute menembus ‘pedalaman’ Mergosono yang mengantarkan kami ke daerah Bumiayu. Lanjut Bululawang, Turen, Talok, hingga seterusnya menuju daerah Sumbermanjing Wetan yang kini beken dengan istilah ‘Sumawe’. Cuaca sendiri hari itu Alhamdulillah cukup cerah. Kami awalnya sempat tak percaya dengan artikel yang kami baca mengenai jarak tempuh dari Kota Malang menuju Coban Tundo yang mencapai 100 km dan memakan waktu tempuh hingga tiga jam lebih. Pasalnya, jarak sejauh itu bisa dibilang sama dengan jarak Kota Malang menuju Surabaya. Tetapi belakangan kami akhirnya mengerti sendiri ‘petualangan’ yang harus kami lalui, yang membuat jarak menuju tempat tujuan kami terasa begitu jauh. Kami berpatokan pada salah satu artikel yang menyebutkan bahwa jalan masuk menuju Coban Tundo berada di pertigaan sebelum pom bensin yang konon merupakan pom bensin terakhir di Sumbermanjing.

Menanti timing yang tepat untuk menyalip truk di depan
Hutan jati di daerah Sumbermanjing
Padat merayap
Sampailah kami di pom bensin tersebut. Di sini kami sempat kebingungan mencari jalan mana yang harus kami tempuh untuk mencari Coban Tundo. Untuk menuju desa Sidoasri (desa terdekat dengan lokasi Coban Tundo), menurut artikel kami memang harus melalui pertigaan sebelum pom bensin ini. Tetapi beberapa warga memberikan jawaban yang berlainan. Menurut penuturan mereka, untuk menuju desa Sidoasri kami tetap harus menempuh jalan ke arah Pantai Sendang Biru. Kami pun kemudian memutuskan untuk berbalik arah menuju pertigaan sebelum pom bensin. Sesuai artikel yang kami baca, di pertigaan tersebut kami berbelok menuju arah Klepu. Sebelum masuk lebih jauh, kami kembali bertanya pada warga sekitar mengenai keberadaan desa Sidoasri. Mereka memberikan jawaban bahwa desa Sidoasri memang bisa ditempuh melalui Klepu, tetapi jalurnya nanti akan melalui hutan perkebunan dengan jalanan yang rusak (meskipun sebenarnya jalur ini bisa dibilang jalur shortcut).  Karena informasi yang diberikan ‘agak’ mirip dengan yang kami baca di artikel, maka kami pun melanjutkan perjalanan ke arah Klepu.

Gapura pintu masuk menuju arah Klepu
Di beberapa titik dimana terdapat warga berkumpul, kami pasti berhenti untuk kembali meyakinkan bahwa jalan yang kami ambil menuju desa Sidoasri sudah benar. Menurut mereka, kami tidak tersesat. Jalan yang kami ambil untuk menuju desa Sidoasri sudah benar, hanya saja mereka tetap mewanti-wanti perihal medan perjalanan yang nanti akan kurang bersahabat. Meskipun demikian, mereka tetap mengatakan bahwa kendaraan kami masih cukup aman untuk melibas jalanan di sana (kami membawa dua motor matic plus satu motor bebek). Sempat juga tadi kami menyebutkan nama Coban Tundo, tetapi mereka yang kami tanyai malah mengaku kurang tahu menahu mengenai air terjun ini. Tampaknya tempat yang akan kami tuju ini masih benar-benar sepi. Ya, setidaknya itulah ekspektasi awal kami.

"I walked across an empty land
I knew the pathway like the back of my hand
I felt the earth beneath my feet
Sat by the river and it made me complete..."
(Somewhere Only We Know, by Keane) 

Kamipun melanjutkan perjalanan. Awalnya medan perjalanan bisa dibilang biasa-biasa saja, tetapi lama kelamaan kami jadi mengerti kenapa kok di artikel yang kami baca sempat tertulis anjuran untuk tidak menggunakan kendaraan matic. Jalan yang kami tempuh naik turun menembus kawasan hutan perkebunan milik PTPN. Tidak cukup sampai di situ, tekstur jalan juga aduhai gilanya. Lebih banyak rusaknya daripada mulusnya. Kami kini seperti terdampar di dunia yang antah berantah. Sekelililing kami kini didominasi hutan perkebunan yang tumbuh di perbukitan kering. Sesekali kami juga melintas di desa-desa kecil yang bentuk bangunan rumahnya menyerupai bangunan asrama tempo doeloe. Sepertinya desa-desa tersebut dihuni oleh karyawan PTPN yang berdinas di situ. Melihat begitu terpencilnya jalur yang kami lalui, bertemu dengan desa dan manusia seolah menjadi hiburan yang cukup melegakan. Setidaknya ada yang bisa dimintai bantuan kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. 

Jalan rusak di tengah 'dunia yang hilang'
Antah berantah
Kawan, dimanakah kita..?
Batu besar di lereng bukit. Dari manakah asalmu..?
Bagi yang masih sayang dengan tunggangannya, sungguh tidak disarankan melalui jalur ini. Akan lebih baik menuju desa Sidoasri melalui jalur memutar melalui jalan utama ke arah Pantai Sendang Biru. Jalurnya memang akan menjadi sangat jauh, tetapi tentu dapat menjauhkan diri dari kekhawatiran juga. Lantaran berada di daerah yang cukup terpencil itu juga indera pesimis kami sempat terusik. Yaitu kalau misalnya air terjun yang kami cari tidak bisa ditemukan, kami akan pergi ke pantai di daerah Sendang biru saja. Toh di sana banyak pantai yang bagus-bagus. Sebenarnya kami tidak bisa dibilang sendirian juga. Bersama kami, sempat juga ada rombongan lain yang mempunyai tempat tujuan sama. Tetapi akhirnya mereka berpisah dengan kami setelah mereka puas berfoto di sebuah jembatan tua.


Rombongan lain yang juga sama-sama nyasarnya
Melintas di jembatan tua
Pemandangan di dasar jembatan
Kami tidak ingat berapa lama kami menempuh medan berat barusan, sebelum akhirnya kami kembali bertemu dengan ‘peradaban’. Di sebuah desa yang cukup ramai, kami kembali bertanya dengan seorang seorang bapak warga sekitar tentang keberadaan desa Sidoasri. Si bapak pun dengan baik hati mengantarkan kami ke persimpangan di depan, yang salah satu cabangnya mengarah ke desa Sidoasri. Selanjutnya, jalanan yang kami lintasi mulus-mulus saja meskipun tetap naik turun gunung. Di tengah sisa perjalanan menuju Coban Tundo, mata kami sempat menangkap papan bertuliskan Coban Kembar di sisi kiri jalan, tepatnya di depan sebuah warung.  Di sebelah warung tersebut terdapat sebuah jalan setapak yang mengarah ke dalam hutan. Sebenarnya kami sempat berhenti di warung tersebut dan bertanya mengenai keberadaan Coban Tundo. Menurut si pemilik warung, Coban Tundo letaknya masih cukup jauh. Beliaunya juga menyarankan untuk berkunjung ke Coban Kembar yang jalan masuknya di sebelah warungya ini saja. Pasalnya Coban Tundo sekarang sudah kelewat ramai. Tetapi entah karena kurang mawas diri atau apalah sebutannya, kami memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan ke Coban Tundo saja.  Motor pun kembali digeber. Dari ketinggian bukit yang kami lintasi, kami mulai bisa melihat garis pantai. Suatu hiburan tersendiri bagi kami yang mungkin lelah berputar-putar di tempat antah-berantah tadi. Di salah satu pertigaan, kami sempat juga melihat anak panah yang mennjukkan arah menuju pantai yang namanya bisa dibilang agak ‘mengundang’, Pantai Perawan. Tetapi tentu kami tetap fokus ke tujuan awal kami, yaitu Coban Tundo.

Persawahan dengan latar belakang pegunungan di Desa Sidoasri
Entah pukul berapa kami akhirnya tiba di desa terakhir (sepertinya inilah desa Sidoasri). Di beberapa titik terdapat percabangan yang salah satunya mengarah ke sebuah pantai yang namanya terasa asing di tellinga kami, Pantai Klatakhan. Parga warga yang tampaknya sudah paham bahwa kami adalah ‘orang luar’ yang hendak mencari tempat pelesiran di desanya langsung menunjukkan letak Coban Tundo tanpa perlu kami tanya. Di sepanjang jalanan yang membelah desa tersebut, kami sempat beberapa kali mendapati arena permainan bilyard yang mejanya digelar begitu saja di halaman rumah warga dengan beralaskan tanah. Ketika kami akhirnya tiba di sebuah rumah yang sepertinya menyediakan tempat parkir, bapak-bapak yang ada di sana ternyata malah mengarahkan kami ke sebuah jalan setapak yang membelah persawahan. Sepertinya jalan setapak itulah jalan menuju Coban Tundo. Kami pun menurut saja. Toh kami tidak sendirian. Setelah sekitar dua ratusan meter, jalan setapak membelah persawahan tersebut mulai memasuki hutan dan semak-semak. Di titik ini, kami sempat tiga kali menemui kesulitan ketika sepeda motor kami harus menempuh jalan naik turun menyeberangi sungai kecil. Sebenarnya medan jalan setapak semacam ini mungkin hanya layak dipakai untuk berjalan kaki, tapi entah kenapa seolah ’dihalalkan’ untuk digilas roda kendaraan bermotor. Padahal sebenarnya motor yang biasa kita kendarai mungkin hanya dirancang khusus untuk medan beraspal yang enak untuk dilindas.

Melibas jalan setapak
Kalau bisa ngomong, pasti roda sepeda kami sudah mengeluh habis-habisan.
Sampailah kami di tempat parkir kendaraan. Saat kami kesana, tidak ada tarikan karcis sepeserpun selain ongkos parkir. Menurut papan penunjuk jalan, Coban Tundo masih harus ditempuh dengan trekking sejauh 500 meter lagi. Perjalanan dimulai dengan menyeberangi sungai, kamudian berlanjut menyusuri jalan setapak yang relatif menanjak. Ahmad dan Faris langsung ngos-ngosan dibuatnya. “Ngumpo jantung…,” ujar Faris yang sudah lama tak berjalan kaki. Mereka berdua kemudian beristirahat  di sebuah gubuk kecil (yang sepertinya bakal dipakai sebagai warung). Mereka mempersilahkan kami untuk melanjutkan perjalanan, yang sebenarnya mungkin sudah dekat.
Sampailah kami di air terjun Coban Tundo. Benar memang kata ibu di dekat jalan menuju Coban Kembar yang kami tanyai tadi, Coban Tundo sudah ramai. Tapi toh di sini tempatnya relatif bersih. Tak tampak satupun bangunan warung. Air terjunnya sendiri tampak tak terlalu tinggi, tetapi tebing-tebing di sisinya tampak menakjubkan dengan garis-garis relief yang terukir di permmukaannya. Sedangkan kolam di bawah air terjunnya, sungguh sangat menggoda untuk diceburi. Tetapi lantaran begitu dalamnya (dan saya juga tidak bisa berenang), saya akhirnya hanya main air di tepiannya saja. Angga, Danang, dan Mas Saiful yang mahir berenang saja hampir kewalahan. Sekitar setengah jam kemudian, Ahmad dan Faris akhirnya datang dan langsung ikut menceburkan diri. Melepas lelah setelah sektiar 4 jam lebih menempuh perjalanan dari Kota Malang.

Seperti itulah tempat tujuannya
Puas bermain air di air terjun pertama, kami mencoba trekking lagi menuju bagian atas air terjun. Tak terlalu jauh, kami akhirnya sampai di puncak air terjun yang ternyata…. sudah seperti semangkuk es cendol! Kolam-kolam alami di air terjun itu sudah dipenuhi manusia. Bahkan di sekitarnya sudah berdiri warung-warung. Kami juga sempat dicegat oleh beberapa (oknum?) warga sekitar yang meminta sumbangan seikhlasnya sebagai dana kebersihan. Entahlah dengan rekan-rekan saya, terapi saya pribadi agak nggondok dengan pemandangan yang saya saksikan. Bukan karena dimintai uang sumbangan, melainkan oleh keberadaan warung-warungnya. Daerah sekitar air terjun jadi kotor oleh bekas makanan pengunjung yang kurang peduli hal-hal lain selain kesenangan dirinya. Tampaknya bukan saya saja yang ilfeel dengan pemdandangan di hadapan mata kami. Rekan-rekan saya sepertinya juga merasakan hal yang sama. Kami pun memutuskan untuk turun menuju tempat parkir.

Trekking menuju air terjun kedua
Tidak ada sesi foto-foto di air terjun kedua
Sebelum mengambil sepeda motor, kami sempat mengobrol sejenak dengan mas tukang parkirnya. Menurut si mas, air terjun ini ramai didatangi wisatawan semenjak beberapa bulan yang lalu karena keberadaannya terendus oleh mahasiswa yang sedang melakukan KKN. Masih menurut si mas, konon dulunya air dari air terjun itu sering dicari orang lantaran dianggap memiliki khasiat sebagai obat. Hal tersebut berawal dari salah seorang warga sekitar yang selalu mengalami sulit tidur, tetapi setelah meminum air dari air terjun tersebut dia jadi bisa kembali tertidur pulas di malam-malam sesudahnya. Semenjak itu, tersebarlah berita mengenai khasiat air dari air terjun tersebut hingga pernah mengundang warga luar daerah untuk turut menyicipi tuahnya. Tetapi barangkali sekarang euforia tersebut sudah berakhir. Siapa pula orang yang mau meminum air bekas rendaman pengunjung air terjun?

Menuju Pantai Klathakan
Karena hari masih siang, kami pun sepakat untuk melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan berikutnya, Pantai Klathakan. Sebenarnya ini agak di luar rencana, tetapi karena keberadaannya diperirakan tak terlalu jauh dari tempat kami berpijak sekarang, kamipun oke-oke saja mendatanginya. Awalnya medan jalan yang kami tempuh bisa dibilang cukup bersahabat. Setelah jalan beraspal habis, jalanan masih berupa jalanan berlapis semen yang masih ramah kepada roda kendaraan. Tetapi lama kelamaan, setelah jalanan yang mulus itu habis, kami harus melintas di sebuah jalan setapak sempit di tepi tebing. Di sebelah kiri kami berdiri tebing yang menjulang tinggi (plus rawan longsor juga tampaknya), sedangkan di kanan kami menganga jurang yang berbatasan dengan muara sungai. 
Kami sejenak sempat merasa lega karena di bawah kami telah terbentang pemandangan pantai yang begitu sepi dan bersih. Tak tampak sedikitpun aktifitas manusia, apalagi warung. Tapi lama-kelamaan kami heran juga lantaran kami tak kunjung menemukan jalan turun menuju pantai itu. Kami terus berjalan, tapi hingga pantai tersebut lenyap dari pandangan mata kami tak juga menemukan pintu masuk yang kami cari. Di tengah kebingungan, kami kemudian bertemu dengan dua orang -yang dilihat dari senapan yang mereka bawa- sepertinya hendak berburu. Dari penuturan mereka, kami masih harus berjalan beberapa saat lagi untuk bisa sampai di Pantai Klathakan. Karenanya, kami baru sadar bahwa pantai yang kami lihat beberapa saat tadi itu ternyata bukanlah Pantai Klathakan. Dari dua orang pemburu itu juga kami tahu bahwa di Pantai Klathakan juga ada tempat parkirnya. Mereka pun berlalu.

Pantai tak dikenal yang sempat kami kira Pantai Klathakan
Angga yang membonceng saya berkali-kali harus menghentikan laju sepeda motornya. Yang dibonceng dan membonceng juga sama-sama ciut nyalinya menghadapi turunan curam. Tapi toh akhirnya rasa was-was itu terbayar juga ketika kami sampai di Pantai Klathakan. Ya, memang di pantai ini ada sebuah bangunan kecil yang teduh serta dapat menampung sekitar lima buah sepeda motor. Di sebelah bangunan itu bediri sebuah kamar mandi  plus toilet yang cukup luas dengan air tawar melimpah di dalam baknya. Tak tampak seorang pun pengunjung selain dua pemburu yang tadi kami temui. Manusia lain yang juga tampak adalah beberapa nelayan yang sedang berlayar tak jauh dari pantai. Beberapa perahu tampak terparkir dalam posisi terbalik di bawah tempat parkir sepeda motor.

Akhirnya tiba juga di Pantai Klathakan (abaikan foto orangnya)
Kamipun sepakat bahwa pantai ini sepi pengunjung karena memang aksesnya bisa dibilang luar biasa sulit. Mungkin subyektif, tapi pantai ini memang tidak teralu indah. Tetapi karena hal-hal itulah kami jadi bisa menikmati suasana pantai ini dengan lebih leluasa. Tak ada seorang pun pengunjung selain dua orang pemburu yang barusan bertemu dengan kami. Fasilitas paling menyenangkan dan melegakan adalah keberadaan kamar mandi yang airnya tawar dan segar! Ya, tawar dan segar. Tidak seperti di pantai-pantai yang pernah saya kunjungi sebelumnya yang airnya agak asin dan hangat.

Konon, kalau nekad bisa juga ke Australia lewat sini.
Sialnya, ketika asyik bermain bersama ombak, gulungan air dari tengah laut itu menghempaskan tubuh faris yang akhirnya menimpa saya hingga kaki saya tergores batu karang hingga berdarah. Buntutnya, kami tak bisa lagi terlalu berlama-lama bermain bersama ombak. Kami pun akhirnya membilas diri bersama-sama di kamar mandi. Lagipula, hari sudah semakin sore. Sebelum kembali naik motor, saya sempat menambal luka saya dengan plester antiseptik yang sudah saya persiapkan sejak dari rumah. Kesialan yang lain adalah saya kehilangan salah satu celana pendek saya. Celana itu sebenarnya sedianya hendak saya pinjamkan kepada Angga lantaran dia lupa membawa celana ganti. Tapi sepertinya celana itu terjatuh tanpa saya sadari ketika saya packing di Coban Tundo tadi. Ujung-ujungnya, Angga menggeber motornya dengan celana basah.

Oleh-oleh dari pantai, luka akibta tertusuk batu karang
Setelah berhasil keluar dari jalan setapak naik turun di bibir jurang, di sepanjang jalan di desa kami mencari masjid yang ternyata bukan perkara mudah. Sejauh mata memandang tidak terdapat satupun bangunan masjid. Kami baru menemukan masjid setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menitan. Alhamdulillah. Menemukan masjid rasanya seperti kembali menemukan rumah, feels like home. Setelah sholat dan mandi lagi, kami pun bergegas pulang. Sarung  saya akhirnya dipakai Angga. Mumpung di seberang masid ada warung kelontong yang juga menjual bensin eceran, saya kembali mengingatkan Angga untuk mengisi bahan bakarnya. Sebenarnya ini bukan yang pertama kali saya mengingatkan, tetapi bukan yang pertama kali ini juga dia tampak santai-santai saja. Menurutnya, bensinnya masih akan cukup untuk menuju pom bensin di jalan raya Sumbermanjing nanti.
Dalam perjalanan pulang, kami tentu sudah tidak lagi melewati jalan di tengah perkebunan PTPN. Kami melewati jalan raya yang ternyata memakan waktu jauh lebih lama dan jauh! Tetapi karenanya, kami juga jauh dari rasa khawatir dari hal-hal yang tidak diinginkan. Kami kembali sampai di Kota Malang tepat pukul delapan malam.

"I've crossed the deserts for miles
Swam water for time
Searching places to find
A piece of something to call mine (I'm coming)
A piece of something to call mine (I'm coming) (I'm coming)...
"
(Pure Shores, by All Saints)