Selasa, 29 September 2015

My Trip, My Wisdom: Catatan Pendakian Gunung Penanggungan 1653 mdpl via Trawas


"6 Hari sudah lamanya bekerja keras bagaikan kuda
Akhirnya ujung pekan tiba saatnya jalan jalan bersama
Pergi jauh keluar kota lewati desa desa
Pikiran segar hati jadi riang duhai asyiknya"
(Jalan-jalan - Shaggy Dog)

Mereka yang sering mondar-mandir di ruas jalan Malang-Surabaya, entah itu naik bus atau kereta api, pasti sudah tak asing lagi dengan pemandangan gunung ini. 

Seperti Gunung Fuji, terus di jembatan itu ada Shinkansen lewat
Sudah cukup berimajinasinya..? Kalau sudah, yuk mari kita kembali ke kehidupan nyata. Yap, tentu itu bukanlah Gunung Fuji di Japan, melainkan Gunung Penanggungan di Pandaan. Gunung yang juga disebut dengan Gunung Pawitra ini menurut legenda adalah penggalannya Gunung Semeru. Tak berlebihan memang kalau ada legenda yang menyebut demikian, karena memang bentuk puncak Gunung yang berketinggian 1653 mdpl ini sangat mirip dengan kerucut gunung Semeru. 

==============================================================================

G-a-l-a-u...!
Itulah yang saya rasakan ketika saya nerima undangan nikahan. Karena tanggal nikahan itu bentrok sama acara hiking yang sudah disusun jauh-jauh hari. Yap, tanggal 27 September. Seharusnya tanggal itu saya masih menikmati perjalanan turun dari Gunung Buthak, tapi karena ternyata bentrok sama acara nikahan yang tentu saja akan menimbulkan rasa sungkan berkepanjangan kalau sampai nggak hadir, jadinya acara naik gunung harus dinegosiasi ulang. Terlebih lagi, Ivan yang sedianya bakal ikut hiking ternyata juga turut diundang ke acara nikahan tersebut.
Setelah dilakukan negosiasi ulang, akhirnya diambillah kesepakatan bahwa tujuan pendakiannya dipindah. Tidak lagi ke Gunung Buthak, tapi dialihkan ke Gunung Penanggungan. Alasannya utamanya adalah kalau ke Gunung Buthak akan terlalu banyak memakan waktu pendakian, padahal hari Minggu saya dan Ivan sudah harus hadir di acara kondangan. Sedangkan Gunung Penanggungan, (menurut mereka yang sudah pernah mendaki ke sana) bisa ditempuh dalam satu hari PP lantaran tidak terlalu tinggi. Jadi bisalah besok Jumat sore tanggal 25 September kita ke Penanggungan, terus turun hari Sabtunya tanggal 26 September. Acara hiking bisa tetep terlaksana, dan bisa dilanjut besoknya ke acara kondangan buat mamam-mamam ceria menu di acara kondangan yang gak mungkin bisa dinikmati di gunung, wuahahahaha….9989x. 
Peserta pendakiannya sendiri tetap sama seperti trip-trip terdahulu. Tapi kalau masih ngotot mau kenalan, yuk monggo kenalan satu-satu…

Tapi... kayaknya ada yang salah nih...
Nah ini dia yang bener... ki-ka: Saya (Adif), Danang, Ivan, Angga.

25 September 2015
Sebenarnya semua personel dalam rombongan kali ini belum ada satupun yang pernah nanjak ke Penanggungan. Seperti kesepakatan, kita-kita yang dari Malang akan berangkat menuju terminal Pandaan, di mana Angga sudah terlebih dahulu stand by di sana karena tempat kerjanya memang masih di kawasan situ. Hanya saja karena satu dan lain hal, saya, Ivan, dan Danang baru bisa berkumpul di terminal Arjosari menjelang Maghrib.
Setelah sholat Maghrib, kami bertiga pun langsung naik ke dalam bus. Perjalanan Malang-Pandaan yang kalau lancar sebenarnya bisa ditempuh selama 45 menitan harus ditempuh selama satu jam lebih lantaran jalan rayanya mengalami macet. Sebelum sampai di terminal Arjosari tadi pun saya sudah lebih dahulu terjebak kemacetan di daerah Ciliwung dan Blimbing. Lolos dari situ, angkot yang saya naiki kembali terjebak macet ketika hendak memasuki Terminal Arjosari. Maklumlah ini hari Jumat, sudah menjelang malam pula. Jadi pasti berbarengan dengan jadwal orang pulang kerja. Mungkin lantaran saking frustrasinya, di bus Ivan katanya sampai hampir lupa tujuan kita bepergian ini hendak ke mana. Danang yang duduk sendirian di kursi belakang lebih banyak memilih tiduran. Sedangkan saya terus kontak-kontakan dengan Angga yang sepertinya juga hampir ikut frustrasi dan mulai terusik indera pesimisnya lantaran hari semakin malam padahal angkutan yang menuju ke arah Trawas sudah semakin sulit dijumpai.

"We're on a road to nowhere
Come on inside
Takin' that ride to nowhere
We'll take that ride"
(Road to Nowhere - Talking Heads) 

Barulah sekitar jam setengah delapan malam bus yang kami naiki sampai di Pandaan. Sementara Danang dan Ivan belanja logistik, Angga mencari-cari sisa-sisa angkutan yang mungkin masih bersedia berangkat menuju ke arah Trawas. Memang angkutannya berhasil didapatkan, tapi ongkos perjalanannya digetok sama supirnya jadi Rp 150.000. Menurut si supir, kalau naik ojek malah lebih mahal lagi, yaitu jadi Rp 50.000/orang untuk mengantar dari Pandaan hingga ke Trawas sana. Akhirnya kita iyakan sajalah penawarannya pak supir. Per orang jadi membayar ongkos Rp 37.500. Angkutan yang kita naiki berupa mobil L 300 yang sudah disulap menjadi MPU alias Mobil Penumpang Umum, atau yang lazim disebut ‘bison’.

"Someone said life is for the taking
Here I am with my hand out
Waiting for a ride
I've been living on my great expectations
What good is it when I'm stranded here
And the world just passess by?
Where are the signs to help me get out of this place
If I should stumble on my moment in time, how will I know?
If the story's written on my face, does it show?
Am I strong enough to walk on water?
Smart enough to come in out of the rain?
Or am I a fool going where the wind blows?
Where the wind blows..."
(Going Where The Wind Blows - Mr. Big) 

Perjalanan menuju Trawas memakan waktu sekitar 45 menitan. Sesampainya di titik start pendakian, kami langsung mendaftarkan diri. Proses pengurusan simaksi (surat ijin masuk lokasi) di gunung Penanggungan ini bisa dibilang cukup profesional. Petugasnya dengan ramahnya menjelaskan begitu detail ‘do and don’ts’-nya. Meskipun Gunung Penanggungan bisa dibilang tidak terlalu tinggi lantaran ketinggiannya yang ‘hanya’ 1653 mdpl, tetapi para petugasnya memberi para pendakinya peta jalur pendakian beserta nomor telepon petugas yang bisa dihubungi. Selain itu, mereka juga membekali para pendaki dengan tas kresek besar untuk membawa sampah. Mereka tidak hanya menghimbau para pendaki untuk menjaga kebersihan Gunung Penanggungan ini, melainkan juga turut proaktif dengan memfasilitasi pendakinya untuk menjaga kebersihan dengan memberi kantong kresek. Sesuatu yang tampak sederhana, tetapi cukup efektif. Entahlah dengan ‘gunung kembarannya Penanggungan’, dengan biaya masuk yang begitu mahal tetapi petugasnya tidak memberikan selembar kantong kresekpun sebagai bentuk upaya penjagaan kebersihan dan kelestarian lingkungan gunung. Setidaknya itulah yang terakhir saya dapatkan ketika mendaki ke sana pada Mei 2015 yang lalu.

Peta jalur pendakian
Setelah repacking, sekitar pukul 22.10 kami mulai melangkahkan kaki menyusuri jalur pendakian. Awal-awal pendakian, track masih berupa jalanan yang lebar dengan tekstur bebatuan. Mungkin masih cukup dilalui dua buah mobil atau jip ukuran kecil. Kontur jalanan cenderung menurun dan landai. Kanan kiri jalan berupa kebun-kebun milik penduduk. Sempat juga kami melihat sebuah rumah besar semacam vila dan komplek bangunan yang belum selesai dibangun. Jalanan sendiri tampak terang-temaram tertimpa cahaya bulan purnama. Terdapat beberapa buah percabangan, tetapi tidak perlu khawatir bakal tersesat karena terdapat papan penujuk arah yang cukup jelas.
Hingga di pos 2, jalanan masih bisa dikategorikan landai. Pos 2 terletak di sebuah areal terbuka yang cukup luas di tengah hutan, bahkan di sini kita juga masih menemui bangunan warung. Ketika melintas di pos 2 tadi, kami juga bertemu dengan beberapa bapak-bapak yang sedang bikin api unggun. Barulah selepas pos 2 jalanan mulai berkelok, menyempit, dan menanjak. Persis dengan yang tercantum di peta, di ujung tanjakan dan kelokan kami sempat menemui rerimbunan pohon salak. Sejauh kami melangkah kami terus mendengar alunan musik. Awalnya sempat saya kira itu musik gending Jawa yang konon sering menghantui telinga para pendaki di tengah lebatnya hutan gunung, tetapi setelah didengar-dengarkan dengan seksama ternyata itu adalah musik dangdut.
Jalanan terus menanjak sehingga memaksa kami berempat untuk berpegangan sebisanya pada akar dan batang pepohonan. Satu hal yang sangat saya pribadi syukuri adalah saat ini masih musim kemarau. Bisa dibayangkan apabila saat ini sedang musim penghujan dan saat hujan sedang turun, pastilah jalanan menanjak dengan tekstur pasir lembut ini pasti akan jadi jalur berlumpur yang sangat licin –tipikal jalur pendakian yang sungguh saya hindari.
Sekitar satu jam berjalan dari pos 2, sampailah kami berempat di pos 3. Sejenak kami beistirahat melepas lelah. Tak berapa lama kemudian, kami akhirnya bertemu dengan pendaki lain. Ya, sejak tadi memang sepertinya kami terus-menerus berjalan sendirian. Rombongan pendaki yang kesemuanya masih seusia anak sekolahan ini tidak ada satupun yang membawa tas carrier. Setelah mengobrol sebentar, kamipun berpamitan untuk kembali memulai perjalanan.
Perjalanan dari pos 3 menuju pos 4 terasa begitu panjang dan melelahkan. Jalanan terus menanjak (namanya juga gunung, iya kan?). Kami berkali-kali berhenti untuk sekedar mengambil nafas dan meneguk sedikit air minum. Maklumlah tanjakannya memang begitu rupa. Kami sempat juga disalip oleh pendaki-pendaki di belakang kami. Soal air minum itu kami tetap sebisa mungkin melakukan penghematan mengingat di atas sana sama sekali tidak ada sumber air.

Ini saya lagi collapse
Di pos 4 kami hanya berhenti sebentar saja. Kami juga sempat bertemu dengan tiga orang pendaki yang datang lebih dahulu, tapi akhirnya ternyata kita salip (akhirnya bisa nyalip orang juga, hahahaha…9989x). Pos 4 barusan merupakan pos terakhir sebelum Puncak Bayangan. Jalurnya? Lebih curam daripada pos 3 ke pos 4. Di beberapa titik terdapat area di tepi jurang yang cukup terbuka sehingga dari situ kita bisa melihat kerlap-kerlip lampu kota di bawah sana. Hingga titik ini telinga kami masih saja bisa menangkap suara musik dangdut yang sejak tadi kami berangkat terus mengalun. Sesekali suara raungan mesin sepeda motor juga ikut tertangkap oleh telinga.

(abaikan orangnya) Kerlap-kerlip lampu kota, pemandangan yang bisa dinikmati ketika hiking di malam hari.
Sekitar pukul 00.45, sampailah kami di Puncak Bayangan, sebuah areal yang sangat luas dengan latar belakang kerucut puncak Gunung Penanggungan. Suasana Puncak Bayangan sendiri begitu ramai. Lantaran begitu capainya setelah berjalan menanjak begitu rupa, akhirnya kami mendirikan tenda tak jauh dari jalan setapak pintu masuk Puncak Bayangan. Tenda pun berdiri. Angga, Ivan, dan saya kemudian memulai acara masak-memasak makanan seadanya. Ivan cuma bikin teh saja, sedangkan Angga dan saya bikin mie. Lalu bagaimana dengan Danang? Danang tampak ogah-ogahan ikutan makan dan lebih memilih untuk langsung masuk ke dalam sleeping bag-nya. Tapi ternyata begitu mie seduh milik saya matang, saya mendadak malah kehilangan selera makan. Baru makan dua suapan langsung saja perut ini berontak dan menolak untuk diisi lagi. Daripada saya muntah akhirnya mie seduh itu saya berikan ke Ivan. Angga pun akhirnya makan malam sendirian.

Kerucut Gunung Penanggungan yang begitu megah di tengah malam, dilihat dari camp Puncak Bayangan. Terlihat dua titik cahaya headlamp pendaki yang sedang summit attack.

26 September 2015
Seperti yang sudah-sudah, ketika berkemah saya selalu menjadi orang pertama yang terbangun. Jam tangan saya menunjukkan pukul 03.47. Di luar sendiri tak terlalu terdengar suara ramai para pendaki. Saya langsung membangunkan teman-teman seisi tenda, “Jadi muncak apa nggak?” yang hanya mereka jawab dengan, “Ha… iya…” lalu tidur lagi.  Kita memang baru saja tertidur sekitar dua setengah jam yang lalu, jadi bisa dibayangkanlah ngantuknya seperti apa. Karena yang saya bangunkan masih gitu-gitu saja responnya, saya pun memilih berbaring kembali, mencoba tidur lagi di pagi yang masih begitu buta. Memang hari masih begitu dini, bahkan sayup-sayup adzan subuh pun belum terdengar.
Seisi tenda baru benar-benar terbangun sekitar jam setengah lima pagi. Setelah sholat subuh sebisanya, tanpa sarapan sekitar pukul 05.20 kami berangkat muncak. Ini bisa dibilang kesiangan mengingat rencana sebelumnya kita mau muncaknya itu jam setengah 4 pagi. Tapi karena ‘satu dan lain hal’ (baca: tidur), kami jadi molor sampai sesiang ini. Kami empat orang berjalan menyusuri jalan setapak menanjak di punggungan menuju puncak Gunung Penanggungan. Perjalanan summit attack ini barangkali terasa lebih berat bagi dua orang rekan setim saya karena mereka menahan ‘beban berlebih’. Pasalnya di sekitar Puncak Bayangan ini arealnya begitu terbuka dan jarang terdapat pepohonan, semak-semak, ataupun tempat yang agak tersembunyi untuk ‘buang sampah organik’.


Awal-awal jalur pendakian menuju puncak Gunung Penanggungan

Jalan menuju puncak Gunung Penanggungan memiliki kemiringan antara 60-80 derajat. Awal-awal tanjakan berupa medan berpasir membelah padang rumput kering. Medan berpasir ini juga dipenuhi oleh bebatuan yang labil sehingga kalau terinjak tak jarang malah melorot dan menggelinding ke bawah sehingga membahayakan orang yang ada di bawah kita. Jalan setapak menanjak ini bercabang-cabang yang kesemuanya mengarah menuju puncak. Semakin ke atas, kemiringan jalur semakin curam. 


Miring banget kan lerengnya...?

Tak perlulah galau meskipun baru mendapat sunrise di tengah jalan
Puncak Bayangan dilihat dari jalur pendakian
Puncaknya masih jauh sepertinya
Jejak pesawat yang di langit... garis putih lurus memanjang...
Menjelang puncak, terdapat bongkahan batu-batu besar dan juga goa kecil yang mungkin cukup dihuni 4 sampai 5 orang. Dari titik ini ke puncak, memakan waktu sekitar 30 menitan. Meniti jalan menanjak dari Puncak Bayangan menuju puncak tertinggi Gunung Penanggungan akan sangat melelahkan dan terasa sangat panas apabila dilakukan pada siang hari.

Tuh... dibaca...
Apakah dengan meninggalkan coretan semacam ini membuat dia terkenal..?
Dinding goanya tak luput dari coretan-coretan ulah pendaki norak


Puncak bongkahan batu di atas goa, yang katanya Angga seperti puncak Garuda-nya Merapi. Dia memang sudah 7 kali ke Merapi (kalo untuk ini saya bo'ong, haha..9989x)
Kondisi jalur berbatu di sekitaran puncak
 Batu batu cadas merintih kesakitan
ditikam belatimu yang bermata ayal
hanya untuk mengumumkan pada khalayak
bahwa disana ada kibar bendera mu
(Pecinta Alam - Rita Ruby Harlan)

Tepat pukul 07.30 kami berempat mencapai Puncak Pawitra, sebutan untuk puncak Gunung Penanggungan. Puncak gunung berupa areal luas dengan lembah-lembah kecil yang cukup ideal untuk mendirikan tenda. Puncak Gunung Penanggungan sendiri waktu itu anginnya tak terlalu besar seperti yang pernah saya baca di artikel-artikel terdahulu, tetapi entahlah dengan musim-musim lain. Dari  Puncak Penanggungan ini, kita bisa begitu jelas menikmati pemandangan puncak Gunung Arjuno-Welirang, Semeru, dan juga kota-kota nan jauh di bawah sana. Konon kalau cuaca benar-benar sedang cerah, laut pun juga bisa terlihat. Keindahannya, ya… mungkin bisa dibayangkan sendirilah seperti apa keindahan di puncak gunung.

Gunung Welirang - Arjuno di kejauhan
Candi apa itu ya? Kami nggak sempat turun ke situ
Seperti yang sering saya lihat di media-media sosial, ternyata fenomena pendaki berfoto sambil bawa kertas itu memang begitu marak dan nyata adanya. Yang saya lihat kemarin, mereka naik ke puncak gunung sambil membawa buku gambar, lalu di puncak mereka sobek kertasnya untuk selanjutnya mereka tulisi ungkapan hati mereka (kebanyakan sih ungkapan perasaan kepada seserang). Saya hingga sekarang masih gagal paham terhadap fenomena semacam itu. 

Tuh ada yang siap-siap mau nulis-nulis di kertas
Sekitar satu jam di puncak (yang sebagian besar habis dipakai untuk berfoto ria –tapi nggak pakai kertas), kami pun turun menuju Puncak Bayangan. Perjalanan turun ternyata tak lebih mudah dibandingkan dengan naiknya.  Kita tetap harus waspada terhadap bebatuan yang kita injak supaya tidak jatuh dan mengenai pendaki di bawah kita. Pun kita harus tetap hati-hati terhadap gelindingan batu dari atas. Yahh… hampir-hampir seperti kalau kita sedang melangkahkan kaki di tanjakan berpasir di lereng puncak Semeru lah. Bagi saya pribadi, turun dari Puncak Pawitra menuju areal camping di Puncak Bayangan memakan waktu sekitar satu setengah jam. Angga dan Danang yang sebelumnya sepertinya ada jauh di belakang saya entah bagaimana caranya ternyata bisa mencapai tenda 10 menit lebih awal daripada saya. Sementara Ivan baru datang sekitar setengah jam setelah kedatangan saya.

Medan turun menuju Puncak Bayangan
Tanpa beristirahat terlebih dahulu (juga tanpa sarapan), begitu semua personel berkumpul kami langsung packing. Kami mulai start turun sekitar pukul 10.15. Berhubung matahari semakin naik, maka terbayang sudah betapa panasnya track yang akan kami tempuh. Jalurnya begitu berdebu, tapi untungnya saya menutup hidung memakai buff. Sama seperti turun dari Puncak Pawitra tadi, perjalanan turun dari Puncak Bayangan juga tak lebih mudah. Bahkan menurut saya pribadi lebih sulit. Saya berkali-kali harus jatuh bangun karena terpeleset. Tapi saya tetap bersyukur karena… ini bukan musim hujan.

"Aku tak bisa berbuat apapun
Hanya menunjukkan ke pemandangan ini
Dari kesedihan atau kesepian
Saat kau merasa jatuh pun kau sendirilah,
Mendongak.. Dan melihat langit"
(Himawari - JKT48)

Tetapi tetap saja ada yang bikin rada nggondok…, saya sempat terpencar dari rombongan dan hampir nyasar. Gara-garanya saya menghindari jalur yang sempit dan terjal dengan berpencar ke jalur sebelah yang lebih lebar dan sedikit landai. Tahunya jalur yang lebar itu ternyata pasirnya lebih labil sehingga membuat saya berkali-kali tetap terjatuh. Saya pun akhirnya turun pakai ngesot. Tetapi saya tidak sendirian. Di depan saya ada satu rombongan lagi, seingat saya sekitar tiga cowok dan dua cewek. Tanpa bertegur sapa, saya pun mengikuti kemana saja mereka berjalan, hingga pada akhirnya jalur yang saya lewati semakin menyempit, dan saya tidak lagi mendengar tawa teman-teman saya di jalur sebelah. Wah, saya pasti nyasar. Saya teriaki juga mereka tidak ada yang menyahut. Saya pun sempat beberapa kali menemukan persimpangan, dan ternyata rombongan yang saya ikuti itu juga terlihat sama-sama bingungnya. Yahh… sama-sama nyasar dah. Saya mencoba mengambil hikmahnya saja ya, setidaknya saya tidak nyasar sendirian. Saya selalu cenderung mengambil jalur ke arah kiri –jalur yang saya yakini akan membawa saya kembali ke track yang semestinya, yang pada akhirnya memang benar. Saya kembali bergabung ke track utama, diikuti rombongan di belakang saya yang barusan juga sama-sama nyasarnya.

"Tolonglah Tuhan... beri petunjukMu...
Jalan yang benar... menuju jalanMu...
Agar tak tersesat... Di persimpangan jalan..."
(Kuldesak - Ahmad Dhani & Andra) 

Di dekat persimpangan jalan itu saya beberapa kali bertanya pada setiap orang yang datang dari atas, “Mas, ketemu orang gendut pake jaket orange apa nggak?”, yang dijawab mereka dengan cukup melegakan, “Oh… ada, Mas. Di atas lagi ngaso.” Wahh syukur Alhamdulillah ternyata saya tidak ketinggalan. Jadilah untuk sementara saya nunggu rombongan saya sendirian. Tak berapa lama kemudian Ivan datang, nah ini dia ‘orang gendut pake jaket orange’. Ciri-cirinya memang paling gampang dikenali, jadi saya tadi nggak salah kan kalau nanya kayak gitu..? Hahaha. Soalnya saya sebelumnya sempat nanya gini, "Mas, ngelihat orang yang kaosnya dipakai ninja-ninjaan (Danang), nggak?" yang dijawab, "Wah, banyak, Mas" oleh yang saya tanyai. Atau, "Mas, lihat orang pake celana motif tentara sama topi R*I item (Angga) nggak...?" yang ternyata malah bikin bingung orang yang saya tanyai. Saya pun akhirnya kembali bergabung dengan rombongan
Kami sempat beristirahat sebentar di pos 4. Tak terlalu lama, kami kembali melanjutkan perjalanan. Seingat saya, pada perjalanan turun ini kami jarang bertemu dengan mereka yang hendak naik. Barangkali banyak yang sudah paham kalau naik ke Penanggungan pada siang hari akan terasa menyengat, menguras energi, dan tentunya perbekalan air minum. Kami tak terlalu banyak berhenti, dan baru kembali rehat di pos 3 yang waktu itu dipenuhi oleh rombongan anak sekolah sedang melakukan diklat. Menjelang sampai di pos 2, ada kejutan yang cukup menggoda… ada bapak-bapak penjual es sari tebu (tentunya bukan bapaknya yang menggoda, melainkan sari tebunya). Bisa dibayangkan, cuaca panas, capek habis mendaki gunung, terus ada yang jualan es sari tebu, seperti apa itu sensasinya..? Tapi entah kenapa kami rada malas buat jajan. Pun ketika sampai di pos 2. Pos dengan areal luas itu malah banyak warungnya, ramai pula. Kami masih belum tergoda untuk jajan dan memilih untuk melanjutkan perjalanan karena seingat kami jarak antara pos 2 menuju pos 1  tidak terlalu jauh.
Entahlah dengan teman-teman setim saya, tetapi setiap kali pulang mendaki dan hendak sampai kembali di titik start pendakian, saya selalu semakin lemas dan lemas. Seolah jarak yang ditempuh begitu panjang dan semakin panjang, Saya merasa sudah mengerahkan seluruh sisa-sisa tenaga saya untuk melangkah, tapi saya toh tetap tidak bisa berbohong pada diri saya sendiri bahwa saya capek. Setelah beberapa kali beristirahat dan disalip pendaki-pendaki lain, akhirnya sampai juga kami di pos 1 yang juga merupakan titik awal pendakian sekaligus pos pendaftaran pendaki. Perjalanan turun dari Puncak Bayangan menuju pos 1 seingat saya memakan waktu sekitar dua setengah jam. Kamipun langsung menuju warung. Ah capek ya berhenti sajalah, toh ini kan acaranya mendaki gunung, bukan balapan karung. Jadi monggo yang mau nyelip, hehe...

"Aku pernah berjalan di sebuah bukit 
Tak ada air 
Tak ada rumput 
Tanah terlalu kering untuk ditapaki 
Panas selalu menghantam kaki dan kepalaku"
(Cerita Tentang Gunung dan Laut - Payung Teduh) 

Yang bikin acara istirahat di warung itu terasa lebih nikmat adalah karena oleh si pemilik warungnya diputarkan lagu-lagu mancanegara yang evergreen. Peeuuhhh…. Rasanya capek-capek itu hilang semua (setidaknya bagi saya). Mendengar lagu-lagu semacam itu di tempat terpencil semacam ini bisa dibilang adalah momen yang langka kalau bukan para pendaki yang memutarnya. Tapi kali ini yang memutarnya adalah si pemilik warung. Tetapi meskipun demikian, saya entah kenapa masih kurang bernafsu makan. Saya hanya memesan es teh saja. Sementara Angga, Danang, dan Ivan bisa dengan lahapnya makan nasi pecel. Mungkin saya memang kurang enak badan.
Setelah mandi dan sholat dhuhur, kami langsung turun menuju terminal Pandaan. Perjalanan turun ini ternyata ongkosnya lebih ringan. Sopirnya cuma mematok tarif 70 ribu rupiah saja alias cuma Rp 17.500/orang. Supirnya yang mengaku beranak empat itu pun sangat ramah serta gemar melontarkan quotes dalam bahasa Jawa yang sepertinya dia dapatkan dari acara pengajian yang dia ikuti. Karenanya, dalam pendakian kali ini terlontar plesetan dari jargon ‘My Trip My Adventure’ yang sering digaungkan oleh para pendaki kekinian menjadi ‘My Trip, My Wisdom’.
Awalnya, di terminal Pandaan kami hendak naik bus. Tapi entah kenapa bus tujuan Malang yang kami tunggu-tunggu tidak kunjung datang, padahal penumpang yang hendak bepergian ke arah Malang terus menerus berdatangan. Terbayang sudah pasti badan yang sudah lelah ini masih akan dipaksa berdiri bergelayutan dan berdesakan di dalam bus nanti, terlebih ini adalah weekend. Tak berapa lama kemudian, datanglah seorng mas-mas kenek bison menawari untuk naik ke bison yang dia awaki. Si mas berujar kalau rombongan kami ini mau naik ke bisonnya, nanti pasti langsung berangkat dan tidak dioper di tengah jalan. Janjinya ini ternyata juga ikut dijamin oleh pak petugas Dishub di terminal Pandaan. Karenanya, kami okelah pulang naik bison menuju terminal Arjosari. Ongkosnya sama seperti naik bus, Rp 7500 per orang, tapi dengan naik bison ini kami mendapatkan tempat duduk yang ya… relatif nyaman lah. Berdesakan tentu tetap berdesakan, tetapi kami berempat tetap bisa tertidur.
Terima kasih yang terhingga kami sampaikan kepada Allah SWT yang telah memberi kami kekuatan, perlindungan, dan keselamatan, Juga pada pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu...

"On an island in the sun...
We'll be playing and having fun...
And it makes me feel so fine 
I can't control my brain...
We'll run away together... 
We'll spend some time forever...
We'll never feel bad anymore"
(Island in the Sun - Weezer)

Selamanya Indonesia
SEKIAN