Rabu, 19 Agustus 2015

Summer on the Westhill: Catatan Perjalanan Pendakian Gunung Buthak via Panderman.


Mungkin kalau disebutkan nama aslinya, mereka yang kurang dekat dengan dunia pendakian akan lazim menyebut gunung ini dengan sebutan Gunung Putri Tidur. Memang kalau dilihat dari kejauhan, kontur gunungnya terlihat seperti profil seorang putri yang sedang berbaring terlentang. Gunung ini terletak di sebelah barat Kota Malang. Membujur dari selatan ke utara, bagai dinding kokoh yang menjadi pagar bagi kawasan Malang Raya. Sebenarnya saya pribadi kurang tahu persis dimanakah letaknya Gunung Buthak ini, mengingat di jajaran Gunung Putri Tidur terdapat begitu banyak puncak.


Gunung Putri Tidur dilihat dari kawasan Bumiayu, Kota Malang.
Awalnya sebenarnya saya hendak hiking ke Lawu, tapi berhubung dua orang teman saya mendadak tidak bisa ikut serta, ditambah lagi saya diajak Ivan yang sudah mengoordinir teman sekantornya buat pergi ke Gunung Buthak, akhirnya saya ikut pergi juga ke gunung yang berketinggian 2868 mdpl ini. Tentu saya tidak serta merta ikut begitu saja, beberapa hari sebelumnya saya juga browsing-browsing di internet, seperti apa sih Gunung Buthak ini? Pertanyaan itu tentu nantinya baru akan kami ketahui secara aktual ketika kami langsung terjun ke sana. Menurut info yang saya dapatkan dari Mbah Google, gunung ini bisa didaki dari beberapa titik. Yang pertama adalah dari Wlingi di kabupaten Blitar sana, dan merupakan jalur pendakian resmi. Kemudian dari Desa Gadingkulon kecamatan Dau kabupaten Malang, dan juga dari jalur pendakian Gunung Panderman. Jalur Panderman inilah yang kami pilih. Selain jalur-jalur tersebut, konon Gunung Buthak bisa juga didaki dari arah Gunung Kawi via Kepanjen.

Jumat, 14 Agustus 2015
Seperti yang sudah-sudah, janjian jam 5 sore kumpul di kampus ternyata molor juga. Barulah sekitar jam 8 malam, para personil bisa berkumpul semua di kontrakannya Deddy. Ada 5 orang personil yang ikut serta. Yang pertama adalah Deddy yang didapuk jadi ketua tim. Kemudian ada Dwi. Dwi dan Deddy ini sebelumnya sudah pernah ke Buthak tapi belum mendapatkan kesempatan untuk menggapai sabana di puncaknya. Karena itulah mereka begitu antusias untuk mengikuti acara pendakian kali ini. Selanjutnya ada Ivan yang bertugas sebagai koordinator tim. Lalu ada Beryl teman sekontrakannya Deddy, dan terakhir ada Udin teman sejurusan saya pas kuliah dulu. Sekitar jam 9 malam, kami berenam meluncur ke Dusun Toyomerto, Desa Pesanggrahan. Di desa ini sudah tersedia tempat parkir bagi mereka yang hendak menanjak ke Panderman, plus loket untuk mendaftarkan diri. Per orang cukup dikenakan biaya tiga ribu rupiah saja. Setelah mendaftarkan diri, kami berenam pun melangkahkan kaki memulai pendakian. Selain rombongan kami, ada juga satu rombongan lagi, tapi sepertinya mereka hanya hendak ke Panderman saja.

Peserta pendakian. Ki-ka: Ivan, Deddy, Dwi, Udin, dan saya (Adif)
Sorotan lampu headlamp menjadi satu-satunya penerangan bagi perjalanan kami malam itu, maklum  tidak sedang bertepatan dengan bulan purnama. Berjalan sekitar 15 menit, Beryl mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa dia kurang enak badan. Pendakian yang baru saja dimulai itu untuk sementara harus break terlebih dahulu untuk melakukan proses repacking. Kami pun berhenti di jalur ber-paving yang membelah perkebunan penduduk. Beban di tas Beryl pun dibagi-bagi ke rekan setim, tapi ternyata dia masih belum menunjukkan tanda-tanda bahwa badannya sudah kembali bugar. Di jalanan yang bahkan belum masuk ke atah hutan ini kami beristirahat satu jam lebih untuk menunggu Beryl supaya kondisi tubuhnya kembali pulih. Belakangan, akhirnya dia memohon maaf kepada rekan-rekan setimnya karena ternyata dia tidak bisa melanjutkan perjalanan. Dengan diantar Dwi, Beryl pun kembali ke parkiran motor untuk selanjutnya kembali turun ke kota Malang seorang diri. Sekembalinya dari mengantar Beryl ke parkiran, Dwi sempat dikagetkan oleh sesosok pria tua membawa cangkul dan sarung tanpa membawa senter. Ternyata itu adalah sosok bapak warga sekitar yang hendak pergi ke kebunnya. Akhirnya Dwi pun berjalan bersama si bapak sambil betanya ini itu mengenai pendakian ke Gunung Buthak. Menurut penuturan si bapak, hutan di Gunung Buthak sebenarnya sedang terbakar. “Tapi ndak apa-apa kalau sampean mau ke sana,” tutur si bapak, pernyataan yang sebenarnya cukup mengundang ambigu. Karena namanya hutan terbakar kan tentu kondisinya tergolong berbahaya, tapi entah kenapa beliau mengatakan kalau kita ndak apa-apa pergi kesana. Barulah sekitar pukul 24.15, kami melanjutkan perjalanan. Kini kami hanya tinggal berlima, tanpa Beryl yang tengah melanjutkan perjalanan pulangnya menuju Kota Malang.

Sabtu, 15 Agustus 2015
Bagi mereka yang baru pertama kali mendaki ke Gunung Panderman atau Gunung Buthak, pasti akan bingung karena terdapat begitu banyak jalan bercabang di tengah-tengah kebun-kebun penduduk. Memang di beberapa titik terdapat papan penunjuk arah yang menunjukkan jalan menuju Gunung Panderman atau Gunung Buthak. Tapi meskipun demikian, hingga tulisan ini dibuat saya jujur saja masih belum bisa mengingat persis jalan mana yang semestinya diambil untuk menuju ke Gunung Buthak. Seingat saya, kami sempat mengikatkan tali rafia pada ranting pohon di beberapa titik percabangan yang kami lewati. Sebagai penanda biar kami nanti tidak bingung lagi ketika pulang. Jalan yang kami lewati masih berupa jalanan yang cukup lebar. Dari sorotan headlamp, terdapat jejak-jejak ban sepeda motor yang tercetak di jalanan berpasir ini. Jalanan ini mungkin setiap harinya dilewati kendaraan warga sekitar untuk menuju ke kebunnya atau mencari pakan untuk ternaknya.
Sekitar satu jam berjalan, barulah kami menemui jalan setapak memasuki hutan. Karena malam begitu gelap, kami tidak tahu persis apa yang ada di sekeliling kami. Tetapi dari sisa-sisa hasil ingatan saya, kontur jalan pada awalnya mendatar, lalu menurun sedikit, selanjutnya datar hingga sekitar 2 kilometer ke dapan. Selanjutnya, jalanan berubah menjadi tanjakan yang seolah tiada ampun. Hampir mirip dengan tanjakan disekitar pos 3 jalur pendakian ke Ranu Kumbolo, hanya saja yang ini lebih panjang tanjakannya. Sempat beberapa kali kami berhenti di tengah-tengah tanjakan. Mengatur nafas yang digenjot habis-habisan menapaki tanjakan yang entah berapa ratus meter panjangnya. Hal yang membuat kami bersyukur adalah pada malam itu cuaca sangat cerah dan tidak begitu dingin. Bisa dibayangkan sendiri bagaimana jadinya kalau saat ini sedang musim hujan, tentulah tanjakan berpasir ini pasti sudah berubah menjadi tanjakan lumpur, yang tentunya  akan semakin menambah ‘penderitaan’ bagi siapa saja yang hendak mendakinya.
Sepanjang perjalanan kami hampir tidak pernah bertemu seorang pun. Sepi sekali, hanya ada suara kami berlima ditambah sura desiran angin plus hewan-hewan nocturnal. Iseng-iseng saya dan Ivan membandingkan kondisi pendakian di Gunung Buthak ini dengan Gunung Semeru yang sekarang lebih mirip tempat rekreasi keluarga daripada tempat pendakian. Dan ternyata, sekitar jam 4 dini hari kami tahu bahwa kami tidaklah sendirian. Di tengah-tengah jalan setapak yang tentunya tidak begitu luas, ada sebuah tenda berdiri. Tentu kami senang karena akhirnya kami bertemu lagi dengan manusia. Di dalam tenda itu ada tiga orang mas-mas yang juga hendak menanjak ke puncak Gunung Buthak. Awalnya kami sempat terpikir untuk ikut mendirikan tenda di dekatnya tenda mas-mas ini. Tapi karena kondisinya kurang memungkinkan, kami pun berpamitan dan melanjutkan perjalanan. Mencari tempat yang lebih layak untuk mendirikan tenda. Setelah berjalan sekitar setengah jam menapaki jalan menanjak, kami pun menemukan areal datar yang cukup terbuka dan sepertinya cukup untuk mendirikan dua buah tenda. Jadilah kami mendirikan tenda di areal ini dan sejenak melepaskan lelah setelah menempuh perjalanan selama hampir empat jam.

Lokasi camp. Cukup untuk menampung 2-3 tenda ukuran sedang.
Belakang Gunung Panderman
Setelah beristirahat plus sarapan, sekitar pukul 9.15 kami melanjutkan perjalanan. Ketika sarapan tadi, mas-mas yang sempat kami temui sebelumnya sempat melintas untuk melanjutkan perjalanan mereka ke puncak Gunung Buthak. Medan perjalanan sendiri relatif datar, menembus semak-semak dan pepohonan kering. Kami kembali menemukan areal luas yang cukup ideal untuk mendirikan beberapa tenda. Beberapa kali langkah kaki terhenti karena harus melompati batang pepohonan yang tumbang dan melintang di tengah jalan setapak. Pemandangan sepanjang perjalanan mungkin tidak terlalu indah, tetapi lebih bervariasi. Jalan setapak terkadang terbentang di punggung gunung dengan tebing di salah satu sisinya serta jurang di sisi lainnya. Kami juga sempat memasuki semak belukar dengan hiasan bunga-bungaan kecil berkelopak putih. Sesekali jalan setapak juga menembus hutan tropis yang cukup lebat dan teduh, yang tentunya akan menggoda siapa saja untuk sejenak melepaskan lelah. Menurut penuturan Deddy dan Dwi yang sudah pernah mendaki ke gunung ini sebelumnya, menjelang puncak nanti kita juga akan memasuki hutan cemara. Hutan cemara itulah titik terjauh yang sempat mereka capai pada pendakian mereka sebelumnya. Bayangan saya mungkin hutan cemara itu mirip dengan hutan cemara di hutan Lalijiwo yang tidak jauh dari Lembah Kidang di jalur pendakian Gunung Arjuno via Tretes. Dua jam berjalan, kami kembali sampai di sebuah areal cukup luas dimana terdapat titik percabangan. Yang ke arah kanan adalah jalur menuju puncak Gunung Buthak, sedangkan yang ke arah kiri kami tidak tahu kemana arah jalan setapak yang menurun itu. Kami sempat menduga jalur menurun itu adalah jalur menuju Desa Gading Kulon.
Jalan setapak membelah semak belukar
Sesekali jalan setapak juga menembus hutan tropis
Kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Di sebuah jalan setapak yang menanjak, kami berhenti sejenak. Mungkin tidak bisa dikatakan sejenak juga, ya. Kami duduk dan tidur di sini hampir satu jam lebih. Puas berisitirahat, kami pun kembali mengayunkan kaki menapaki jalanan sempit yang terus menanjak. Kali ini tantangannya semakin bertambah. Apabila sebelumnya hanya menanjak, kini kami harus mulai berhadapan dengan sisa-sisa hutan yang terbakar. Di beberapa titik, api masih tampak menyala di ranting-ranting pohon yang tumbang. Sesekali kami harus berjalan melompati batang-batang pohon yang hangus dan masih terasa panas. Di kanan kiri jalan setapak sendiri cukup susah ditemui warna hijau. Jalan setapak begitu gersang. Debu pasir yang ada di jalan setapak mudah sekali berhamburan, dan bercampur dengan debu abu hasil kebakaran hutan sehingga menimbulkan rasa pedih pada mata apabila kita sampai kelilipan. Debu pun mudah sekali masuk ke pernafasan kita apabila kita tidak mengenakan masker. Sementara itu, di kejauhan samar-samar terlihat sebuah bukit yang tinggi menjulang dan tampak paling tinggi dibandingkan bukit-bukit lain di sekitarnya. Sepertinya itulah puncak Gunung Buthak. Pepohonan di puncak bukit itu terlihat cukup jelas dari tempat kami berdiri. Sepertinya perjalanan menuju puncak sudah semakin dekat. Mungkin tinggal satu atau dua jam saja, begitulah estimasi saya.

Jalan setapak membelah sisa-sisa kebakaran hutan.
Abu bercampur pasir akan berhamburan ketika kita injak. Jadi jangan lupa mengenakan masker
Inilah korban kebakaran hutan. Sol sepatu saya leleh. Ini baru saya ketahui ketika saya sampai di rumah.
Jalan masih menanjak, tetapi Alhamdulillah sepertinya kami sudah lepas dari kepungan sisa-sisa kebakaran hutan. Ketika rombongan beristirahat, kami sayup-sayup sempat mendengar suara kayu-kayu terbakar yang sepertinya berasal dari tempat yang tak begitu jauh di depan kami. Ketika beberapa personel beristirahat, Deddy dan saya mencoba memeriksa jalur di depan apakah layak untuk dilewati. Api kebakaran memang tak terlihat, tapi semakin jauh Deddy dan saya melangkah, suara ‘klatak-klatak’ kayu terbakar semakin terdengar keras. Tak terlalu jauh di hadapan kami berdiri, di sebelah kanan terdapat hutan-hutan kering dengan bunyi suara kayu terbakar yang begitu nyaring, sementara di sebelah kirinya terdapat kepulan asap yang cukup tebal. Melihat kondisi sedemikian rupa, Dedy dan saya pun sempat berunding. Mencari jalan keluar bagaimana ke depannya, tetap lanjut dengan resiko terkepung kebakaran hutan atakah kembali ke lokasi perkemahan terdekat. Keputusan awalnya adalah sebaiknya kita kembali ke lokasi camp terdekat. Pertimbangannya adalah, kalaupun kita nekad dan berhasil menuju sabana di puncak Gunung Buthak, kami belum tentu bisa kembali pulang mengingat mungkin saja kebakaran hutan akan menutup jalur pendakian.

Terus menanjak
Deddy dan saya pun kembali ke rombongan, menceritakan kondisi medan di depan yang kami lihat barusan itu seperti apa. Ivan dan Dwi yang sepertinya kurang puas dan kurang percaya dengan kondisi yang saya ceritakan pun berinisiatif untuk ikut memerkisa kondisi di depan. Awalnya, mereka sempat berteriak, “Aman, rek… Aman…!” tapi tak lama kemudian mereka bilang, “Bahaya… bahaya...!” Di jalan setapak di tengah hutan itu pun kami melakukan rapat mendadak. Pertimbangan utamanya adalah, kalaupun kita nekad dan berhasil menuju sabanya di puncak Gunung Buthak, kami belum tentu bisa kembali pulang mengingat mungkin saja kebakaran hutan akan menutup jalur pendakian. Tetapi kalau mengambil opsi tersebut, tentu mungkin kurang menyenangkan bagi Deddy dan Dwi karena ini akan menjadi yang kedua kalinya bagi mereka gagal meraih kesempatan meraih puncak Gunung Buthak. Bahkan, pendakian kali ini mungkin yang lebih sial bagi mereka mengingat pada pendakian yang sebelumnya mereka berdua bisa mencapai hutan cemara yang letaknya di seberang hutan yang terbakar itu. Sementara bagi saya pribadi, saya pun juga tak bisa memendam rasa kecewa karena tidak bisa mencapai sabana di puncak Gunung Buthak yang konon ada sumber airnya. Tapi saya selalu berpedoman bahwa puncak hanyalah bonus, sementara pulang dengan selamat adalah sukes yang utama. Sedangkan Ivan, dia pun juga sama kecewanya, tapi dia bilang dia ikut apa saja keoutusannya Deddy sebagai leader. Lalu bagaimana dengan Udin? Dia tampak diam saja, tidak memberikan pendapat apa-apa. Setelah semua berdiam diri selama beberapa saat akhirnya dipambil keputusan bahwa kita akan turun kembali ke tempat camping terdekat, yaitu di tanah lapang yang ada persimpangannya yang tadi sempat kami lewati.
Karena jalan yang menurun, dari tempat kami melakukan rapat dadakan hingga ke pos persimpangan tidak terlalu memakan banyak waktu. Terlebih bagi Deddy dan saya yang terkadang menempuhnya dengan berlari. Tak sampai satu jam, Deddy dan saya pun sudah mencapai lokasi camp. Setelah semua personel lengkap, kamipun mendirikan tenda dan mulai memasak. Di tempat ini, kami belakangan mulai tahu bahwa Gunung Buthak ini ternyata juga menjadi salah satu gunung yang banyak didaki orang. Satu persatu rombongan mulai berdatangan. Lokasi camp yang tadinya begitu sepi dan hanya ada rombongan kami pun mulai berubah menjadi ramai, terutama setelah Maghrib. Saya tak tahu apa saja yang terjadi setelah itu. Saya, Udin, dan Dwi memilih tidur saja, sementara Ivan dan Deddy mengobrol dengan para pendaki yang baru saja datang. Dari dalam tenda, samar-samar terlihat bayang-bayang api unggun. Ivan sempat bercerita kalau dia, Deddy, dan rekan-rekan pendaki dari tenda-tenda sebelah sempat membuat pop corn. Sayang saya tak sempat ikut menikmatinya.

Beberapa pendaki ada yang menyebut tempat kami mendirikan tenda ini sebagai pos 5.
Membuat api unggun, Menjalin persahabatan dengan sesama rekan pendaki.

Minggu, 16 Agustus 2015.

“Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kukuh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata. Untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah).” 
(QS Qaf : 7 - 8)

Suasana pagi di camp 'persimpangan jalan''
Mentari yang terbit akan selalu terlihat indah, terlebih apabila disaksikan di alam bebas.
Menurut informasi yang diperoleh Ivan dan Deddy dari para pendaki lain, ternyata jalur menyimpang yang menurun itu bukanlah jalur menuju Desa Gading Kulon, melainkan menuju sumber air. Setelah selesai sarapan, Ivan dan Deddy berangkat lebih dahulu menyusuri jalan setapak di lereng jurang itu, kemudian disusul saya, Udin, dan juga Dwi. Jalan setapak menuju sumber mata air itu begitu curam, dan pasti licin apabila musim hujan. Menapakkan kaki pun juga harus sangat hati-hati kalau tidak ingin sampai tergelincir. Tetapi informasi mengenai keberadaan sumber air itu memang ternyata benar adanya. Di dasar jurang ada sebuah sungai kecil yang airnya mengalir begitu jernih. Rasnya? Sudah tak perlu diragukan lagi, air sumber yang berasal dari alam tentu rasanya teramat jauh lebih segar dibandingkan dengan air es dalam kemasan ber-merk. Melihat air yang sesegar ini, kami sempat merasa menyesal telah membawa begitu banyak air di dalam tas carrier kami. Tapi tentu berjaga-jaga sejak awal memang tak ada salahnya. Bagi saya pribadi, berhasil mencapai sumber air ini sepertinya telah menghapus kekecewaan  saya lantaran belum mendapatkan kesempatan untuk mencapai puncak Gunung Buthak.

Dari tempat foto ini diambil hingga dua orang di bawah itu tentu bisa disimpulkan tingkat kecuramannya.
Sumber airnya ada di dasar jurang ini.
Di tempat ini, saya sempat terpeleset.
Puas menemukan sumber air, kami pun mulai proses packing. Berkemas untuk kembali melanjutkan perjalanan pulang. Tak lupa pula sebelum turun gunung, kami juga mengemasi sampah-sampah yang kami hasilkan untuk seterusnya kami baa turun. Tak lupa juga kami mematikan api di bekas-bekas api unggun yang kami buat semalam, dan memastikan bahwa tak ada sedikitpun titik api yang tersisa. Seperti yang sudah-sudah, perjalanan pulang tak terlalu menyita waktu dan tenaga mengingat jalur yang dilewati terus menurun. Pada perjalanan pulang ini, kami semakin sering bertemu dengan manusia – sesuatu yang sama sekali tidak terlintas dalam bayangan kami berlima sebelumnya.  Mereka yang berpapasan dengan kami pun sering bertanya, dan rata-rata pertanyaannya berkisar antara “puncaknya masih jauh apa nggak, mas?” atau “hutannya kebakar apa nggak, mas?” yang kami jawab apa adanya sebisa kami. Pun karena hari sudah begitu terang kami jadi mengerti bahwa ternyata di jalur yang kami lewati kemarin malam itu terdapat beberapa tempat relatif luas yang sebenarnya cukup untuk menampung beberapa tenda. Jalur di Gunung Buthak ini sepertinya memang tidak memiliki pos-pos yang diberi nama atau penomoran secara pasti. Jadi, dimanapun ada areal cukup luas yang dipandang layak untuk dijadikan tempat berkemah, sepertinya disitulah letak pos-posnya. Perjalanan pulang yang jalurnya sebagian besar berupa turunan dan dataran itu membuat waktu tempuhnya begitu tidak sebanding dengan perjalanan berangkat. Apabila perjalanan berangkat memakan waktu tempuh delapan hingga sembilan jam lebih, untuk perjalanan turunnya hanya memakan waktu tak kurang dari empat jam. Empat jam itupun sebenarnya sudah termasuk waktu tidur siang kami selama satu jam.

Terima kasih yang tak terhingga kepada Allah SWT, kepada rekan-rekan sependakian, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Salam lestari. Selamanya Indonesia.

"From my seat I see the fields move by,
coulours strong- it's been a long, long time.
It's the first time I see summer on the Westhill.
I lean back and let my eyes just go
floating now where they want to float.
They seem to take to the horizon.
Now I know there is a world beyond
the small place I was coming from.
I feel at home here in the middle of nowhere."
(Kings of Convenience - Summer on the West Hill)

Sampai jumpa lagi.