Mungkin kalau disebutkan nama
aslinya, mereka yang kurang dekat dengan dunia pendakian akan lazim menyebut
gunung ini dengan sebutan Gunung Putri Tidur. Memang kalau dilihat dari
kejauhan, kontur gunungnya terlihat seperti profil seorang putri yang sedang
berbaring terlentang. Gunung ini terletak di sebelah barat Kota Malang. Membujur dari selatan ke utara, bagai dinding kokoh yang menjadi pagar bagi kawasan Malang Raya. Sebenarnya saya pribadi kurang tahu persis dimanakah letaknya Gunung Buthak ini, mengingat di jajaran Gunung Putri Tidur terdapat begitu banyak puncak.
Awalnya sebenarnya saya hendak
hiking ke Lawu, tapi berhubung dua orang teman saya mendadak tidak bisa ikut
serta, ditambah lagi saya diajak Ivan yang sudah mengoordinir teman sekantornya
buat pergi ke Gunung Buthak, akhirnya saya ikut pergi juga ke gunung yang berketinggian 2868 mdpl ini. Tentu
saya tidak serta merta ikut begitu saja, beberapa hari sebelumnya saya juga
browsing-browsing di internet, seperti apa sih Gunung Buthak ini? Pertanyaan itu
tentu nantinya baru akan kami ketahui secara aktual ketika kami langsung terjun
ke sana. Menurut info yang saya dapatkan dari Mbah
Google, gunung ini bisa didaki dari
beberapa titik. Yang pertama adalah dari Wlingi di kabupaten Blitar sana, dan merupakan jalur pendakian resmi. Kemudian
dari Desa Gadingkulon kecamatan Dau kabupaten Malang, dan juga dari jalur
pendakian Gunung Panderman. Jalur Panderman inilah yang kami pilih. Selain
jalur-jalur tersebut, konon Gunung Buthak bisa juga didaki dari arah Gunung
Kawi via Kepanjen.
Jumat, 14 Agustus 2015
Seperti yang sudah-sudah, janjian
jam 5 sore kumpul di kampus ternyata molor juga. Barulah sekitar jam 8
malam, para personil bisa berkumpul semua di kontrakannya Deddy. Ada 5 orang
personil yang ikut serta. Yang pertama adalah Deddy yang didapuk jadi ketua
tim. Kemudian ada Dwi. Dwi dan Deddy ini sebelumnya sudah pernah ke Buthak tapi
belum mendapatkan kesempatan untuk menggapai sabana di puncaknya. Karena itulah
mereka begitu antusias untuk mengikuti acara pendakian kali ini. Selanjutnya
ada Ivan yang bertugas sebagai koordinator tim. Lalu ada Beryl teman
sekontrakannya Deddy, dan terakhir ada Udin teman sejurusan saya pas kuliah
dulu. Sekitar jam 9 malam, kami berenam meluncur ke Dusun Toyomerto, Desa
Pesanggrahan. Di desa ini sudah tersedia tempat parkir bagi mereka yang hendak
menanjak ke Panderman, plus loket untuk mendaftarkan diri. Per orang cukup
dikenakan biaya tiga ribu rupiah saja. Setelah mendaftarkan diri, kami berenam
pun melangkahkan kaki memulai pendakian. Selain rombongan kami, ada juga satu
rombongan lagi, tapi sepertinya mereka hanya hendak ke Panderman saja.
Sorotan lampu headlamp menjadi satu-satunya penerangan bagi perjalanan kami malam itu, maklum tidak sedang bertepatan dengan bulan purnama. Berjalan sekitar 15 menit, Beryl
mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa dia kurang enak badan. Pendakian yang baru
saja dimulai itu untuk sementara harus break terlebih dahulu untuk melakukan
proses repacking. Kami pun berhenti di jalur ber-paving yang membelah perkebunan
penduduk. Beban di tas Beryl pun dibagi-bagi ke rekan setim, tapi ternyata dia
masih belum menunjukkan tanda-tanda bahwa badannya sudah kembali bugar. Di
jalanan yang bahkan belum masuk ke atah hutan ini kami beristirahat satu jam
lebih untuk menunggu Beryl supaya kondisi tubuhnya kembali pulih. Belakangan,
akhirnya dia memohon maaf kepada rekan-rekan setimnya karena ternyata dia tidak
bisa melanjutkan perjalanan. Dengan diantar Dwi, Beryl pun kembali ke parkiran
motor untuk selanjutnya kembali turun ke kota Malang seorang diri. Sekembalinya
dari mengantar Beryl ke parkiran, Dwi sempat dikagetkan oleh sesosok pria tua
membawa cangkul dan sarung tanpa membawa senter. Ternyata itu adalah sosok
bapak warga sekitar yang hendak pergi ke kebunnya. Akhirnya Dwi pun berjalan
bersama si bapak sambil betanya ini itu mengenai pendakian ke Gunung Buthak. Menurut
penuturan si bapak, hutan di Gunung Buthak sebenarnya sedang terbakar. “Tapi ndak apa-apa kalau sampean mau ke sana,” tutur si bapak, pernyataan yang sebenarnya
cukup mengundang ambigu. Karena namanya hutan terbakar kan tentu kondisinya
tergolong berbahaya, tapi entah kenapa beliau mengatakan kalau kita ndak apa-apa pergi kesana. Barulah
sekitar pukul 24.15, kami melanjutkan perjalanan. Kini kami hanya tinggal
berlima, tanpa Beryl yang tengah melanjutkan perjalanan pulangnya menuju Kota
Malang.
![]() |
Peserta pendakian. Ki-ka: Ivan, Deddy, Dwi, Udin, dan saya (Adif) |
Sabtu, 15 Agustus 2015
Bagi mereka yang baru pertama
kali mendaki ke Gunung Panderman atau Gunung Buthak, pasti akan bingung karena
terdapat begitu banyak jalan bercabang di tengah-tengah kebun-kebun penduduk. Memang
di beberapa titik terdapat papan penunjuk arah yang menunjukkan jalan menuju
Gunung Panderman atau Gunung Buthak. Tapi meskipun demikian, hingga tulisan ini
dibuat saya jujur saja masih belum bisa mengingat persis jalan mana yang semestinya
diambil untuk menuju ke Gunung Buthak. Seingat saya, kami sempat mengikatkan
tali rafia pada ranting pohon di beberapa titik percabangan yang kami lewati.
Sebagai penanda biar kami nanti tidak bingung lagi ketika pulang. Jalan yang
kami lewati masih berupa jalanan yang cukup lebar. Dari sorotan headlamp, terdapat
jejak-jejak ban sepeda motor yang tercetak di jalanan berpasir ini. Jalanan ini
mungkin setiap harinya dilewati kendaraan warga sekitar untuk menuju ke
kebunnya atau mencari pakan untuk ternaknya.
Sekitar satu jam berjalan,
barulah kami menemui jalan setapak memasuki hutan. Karena malam begitu gelap,
kami tidak tahu persis apa yang ada di sekeliling kami. Tetapi dari sisa-sisa
hasil ingatan saya, kontur jalan pada awalnya mendatar, lalu menurun sedikit,
selanjutnya datar hingga sekitar 2 kilometer ke dapan. Selanjutnya, jalanan
berubah menjadi tanjakan yang seolah tiada ampun. Hampir mirip dengan tanjakan
disekitar pos 3 jalur pendakian ke Ranu Kumbolo, hanya saja yang ini lebih
panjang tanjakannya. Sempat beberapa kali kami berhenti di tengah-tengah
tanjakan. Mengatur nafas yang digenjot habis-habisan menapaki tanjakan yang
entah berapa ratus meter panjangnya. Hal yang membuat kami bersyukur adalah
pada malam itu cuaca sangat cerah dan tidak begitu dingin. Bisa dibayangkan
sendiri bagaimana jadinya kalau saat ini sedang musim hujan, tentulah tanjakan
berpasir ini pasti sudah berubah menjadi tanjakan lumpur, yang tentunya akan semakin menambah ‘penderitaan’ bagi siapa
saja yang hendak mendakinya.
Sepanjang perjalanan kami hampir
tidak pernah bertemu seorang pun. Sepi sekali, hanya ada suara kami berlima
ditambah sura desiran angin plus hewan-hewan nocturnal. Iseng-iseng saya dan Ivan membandingkan kondisi
pendakian di Gunung Buthak ini dengan Gunung Semeru yang sekarang lebih mirip
tempat rekreasi keluarga daripada tempat pendakian. Dan ternyata, sekitar jam 4
dini hari kami tahu bahwa kami tidaklah sendirian. Di tengah-tengah jalan setapak
yang tentunya tidak begitu luas, ada sebuah tenda berdiri. Tentu kami senang
karena akhirnya kami bertemu lagi dengan manusia. Di dalam tenda itu ada tiga
orang mas-mas yang juga hendak menanjak ke puncak Gunung Buthak. Awalnya kami
sempat terpikir untuk ikut mendirikan tenda di dekatnya tenda mas-mas ini. Tapi karena kondisinya kurang memungkinkan, kami pun berpamitan dan melanjutkan
perjalanan. Mencari tempat yang lebih layak untuk mendirikan tenda. Setelah
berjalan sekitar setengah jam menapaki jalan menanjak, kami pun menemukan areal
datar yang cukup terbuka dan sepertinya cukup untuk mendirikan dua buah tenda.
Jadilah kami mendirikan tenda di areal ini dan sejenak melepaskan lelah setelah
menempuh perjalanan selama hampir empat jam.
Setelah beristirahat plus
sarapan, sekitar pukul 9.15 kami melanjutkan perjalanan. Ketika sarapan tadi,
mas-mas yang sempat kami temui sebelumnya sempat melintas untuk melanjutkan
perjalanan mereka ke puncak Gunung Buthak. Medan perjalanan sendiri relatif datar,
menembus semak-semak dan pepohonan kering. Kami kembali menemukan areal luas
yang cukup ideal untuk mendirikan beberapa tenda. Beberapa kali langkah kaki
terhenti karena harus melompati batang pepohonan yang tumbang dan melintang di
tengah jalan setapak. Pemandangan sepanjang perjalanan mungkin tidak terlalu indah,
tetapi lebih bervariasi. Jalan setapak terkadang terbentang di punggung gunung dengan tebing di salah satu sisinya serta jurang di sisi lainnya. Kami juga sempat memasuki semak belukar dengan hiasan bunga-bungaan kecil berkelopak putih. Sesekali jalan setapak juga menembus
hutan tropis yang cukup lebat dan teduh, yang tentunya akan menggoda siapa saja untuk sejenak melepaskan lelah. Menurut penuturan Deddy dan Dwi yang sudah pernah mendaki ke gunung ini sebelumnya, menjelang puncak nanti kita juga akan memasuki hutan cemara. Hutan cemara itulah titik terjauh yang sempat mereka capai pada pendakian mereka sebelumnya. Bayangan saya mungkin hutan cemara itu mirip dengan hutan cemara di hutan Lalijiwo yang tidak jauh dari Lembah Kidang di jalur pendakian Gunung Arjuno via Tretes. Dua jam berjalan, kami kembali sampai
di sebuah areal cukup luas dimana terdapat titik percabangan. Yang ke arah kanan
adalah jalur menuju puncak Gunung Buthak, sedangkan yang ke arah kiri kami
tidak tahu kemana arah jalan setapak yang menurun itu. Kami sempat menduga jalur
menurun itu adalah jalur menuju Desa Gading Kulon.
![]() |
Lokasi camp. Cukup untuk menampung 2-3 tenda ukuran sedang. |
![]() |
Belakang Gunung Panderman |
![]() |
Jalan setapak membelah semak belukar |
![]() |
Sesekali jalan setapak juga menembus hutan tropis |
![]() |
Jalan setapak membelah sisa-sisa kebakaran hutan. |
![]() |
Abu bercampur pasir akan berhamburan ketika kita injak. Jadi jangan lupa mengenakan masker |
![]() |
Inilah korban kebakaran hutan. Sol sepatu saya leleh. Ini baru saya ketahui ketika saya sampai di rumah. |
![]() |
Terus menanjak |
Deddy dan saya pun kembali ke rombongan,
menceritakan kondisi medan di depan yang kami lihat barusan itu seperti apa. Ivan
dan Dwi yang sepertinya kurang puas dan kurang percaya dengan kondisi yang saya
ceritakan pun berinisiatif untuk ikut memerkisa kondisi di depan.
Awalnya, mereka sempat berteriak, “Aman, rek… Aman…!” tapi tak lama kemudian
mereka bilang, “Bahaya… bahaya...!” Di jalan setapak di tengah hutan itu pun
kami melakukan rapat mendadak. Pertimbangan utamanya adalah, kalaupun kita
nekad dan berhasil menuju sabanya di puncak Gunung Buthak, kami belum tentu
bisa kembali pulang mengingat mungkin saja kebakaran hutan akan menutup jalur
pendakian. Tetapi kalau mengambil opsi tersebut, tentu mungkin kurang
menyenangkan bagi Deddy dan Dwi karena ini akan menjadi yang kedua kalinya bagi
mereka gagal meraih kesempatan meraih puncak Gunung Buthak. Bahkan, pendakian
kali ini mungkin yang lebih sial bagi mereka mengingat pada pendakian yang
sebelumnya mereka berdua bisa mencapai hutan cemara yang letaknya di seberang
hutan yang terbakar itu. Sementara bagi saya pribadi, saya pun juga tak bisa
memendam rasa kecewa karena tidak bisa mencapai sabana di puncak Gunung Buthak yang
konon ada sumber airnya. Tapi saya selalu berpedoman bahwa puncak hanyalah
bonus, sementara pulang dengan selamat adalah sukes yang utama. Sedangkan Ivan,
dia pun juga sama kecewanya, tapi dia bilang dia ikut apa saja keoutusannya
Deddy sebagai leader. Lalu bagaimana
dengan Udin? Dia tampak diam saja, tidak memberikan pendapat apa-apa. Setelah
semua berdiam diri selama beberapa saat akhirnya dipambil keputusan bahwa kita
akan turun kembali ke tempat camping
terdekat, yaitu di tanah lapang yang ada persimpangannya yang tadi sempat kami
lewati.
Karena jalan yang menurun, dari
tempat kami melakukan rapat dadakan hingga ke pos persimpangan tidak terlalu
memakan banyak waktu. Terlebih bagi Deddy dan saya yang terkadang menempuhnya
dengan berlari. Tak sampai satu jam, Deddy dan saya pun sudah mencapai lokasi
camp. Setelah semua personel lengkap, kamipun mendirikan tenda dan mulai
memasak. Di tempat ini, kami belakangan mulai tahu bahwa Gunung Buthak ini
ternyata juga menjadi salah satu gunung yang banyak didaki orang. Satu persatu
rombongan mulai berdatangan. Lokasi camp yang tadinya begitu sepi dan hanya ada
rombongan kami pun mulai berubah menjadi ramai, terutama setelah Maghrib. Saya
tak tahu apa saja yang terjadi setelah itu. Saya, Udin, dan Dwi memilih tidur
saja, sementara Ivan dan Deddy mengobrol dengan para pendaki yang baru saja
datang. Dari dalam tenda, samar-samar terlihat bayang-bayang api unggun. Ivan sempat bercerita kalau dia, Deddy, dan rekan-rekan pendaki dari tenda-tenda sebelah sempat membuat pop corn. Sayang saya tak sempat ikut menikmatinya.
![]() |
Beberapa pendaki ada yang menyebut tempat kami mendirikan tenda ini sebagai pos 5. |
![]() |
Membuat api unggun, Menjalin persahabatan dengan sesama rekan pendaki. |
Minggu, 16 Agustus 2015.
“Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kukuh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata. Untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah).”
(QS Qaf : 7 - 8)
![]() |
Suasana pagi di camp 'persimpangan jalan'' |
![]() |
Mentari yang terbit akan selalu terlihat indah, terlebih apabila disaksikan di alam bebas. |
![]() |
Dari tempat foto ini diambil hingga dua orang di bawah itu tentu bisa disimpulkan tingkat kecuramannya. |
![]() |
Sumber airnya ada di dasar jurang ini. |
![]() |
Di tempat ini, saya sempat terpeleset. |
Terima kasih yang tak terhingga kepada Allah SWT, kepada rekan-rekan sependakian, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Salam lestari. Selamanya Indonesia.
"From my seat I see the fields move by,
coulours strong- it's been a long, long time.
It's the first time I see summer on the Westhill.
I lean back and let my eyes just go
floating now where they want to float.
They seem to take to the horizon.
Now I know there is a world beyond
the small place I was coming from.
I feel at home here in the middle of nowhere."
(Kings of Convenience - Summer on the West Hill)
coulours strong- it's been a long, long time.
It's the first time I see summer on the Westhill.
I lean back and let my eyes just go
floating now where they want to float.
They seem to take to the horizon.
Now I know there is a world beyond
the small place I was coming from.
I feel at home here in the middle of nowhere."
(Kings of Convenience - Summer on the West Hill)
![]() |
Sampai jumpa lagi. |