Tulisan ini mungkin sedikit basi mengingat
kejadiannya sudah sekitar setahunan lebih. Mungkin karena tingginya ‘hanya’
2000 mdpl, jadinya banyak orang yang meremehkan gunung ini. Beberapa ada yang
meragukan bahwa ini bukanlah gunung, melainkan hanya sebuah bukit. Gunung ini
memang nggak terlalu tinggi. Apalagi starting point-nya saja dari kota Batu
yang memang tingginya sudah diatas 800 mdpl. Tapi untuk Panderman ini, saya
pribadi lebih suka menyebutnya gunung, dan berapapun tingginya sebenarnya akan
lebih baik kalau tidak disepelekan. Gunung ini cocok buat yang pengen mendaki
tapi nggak punya terlalu banyak waktu, alias bisa naik dan turun di hari yang
sama.
25 Desember 2010
Oh iya, sebelum melakukan perndakian, ada baiknya kita perkenalkan dulu pelaku2 dalam cerita ini, he..9989x
![]() |
Para pelaku |
Sekitar jam
10.00, saya dan teman-teman saya ngumpul dulu di kosnya Panjul di daerah
Dinoyo. Cuma saya sama Ivan saja yang bawa tas carrier. Sedangkan yang lainnya
cuma bawa daypack biasa, alias tas yang sehari-harinya dipakai buat kuliah.
Malah Iis pas njemput ke rumah saya dia datang sambil bawa kardus. Pas saya tanya,
“Lho, itu kardus isinya apa?”, si Iis menjawab, “Lhah, ini barang bawaan saya”.
Terus saya buka kardus itu, ternyata isinya sepatu, jas hujan, sama mi instan.
Dalam hati jujur saya pengen ketawa melihat teman saya yang baru pertama kali
mendaki ini malah mirip orang yang mengumpulkan barang-barang buat bakti
sosial, he..9989x. Saya tidak tahu tas carriernya Ivan itu diisi apa, tapi tas
saya lebih banyak diisi oleh jagung dan arang yang bakal jadi makanan kita di
gunung malam hari nanti.
Sekitar jam 14.00
kita meluncur ke Batu naik motor. Perjalanan ke Batu ini memakan waktu sekitar
45 menitan. Kita akhirnya sampai di pintu masuknya jalur pendakian gunung
Panderman (maaf, saya lupa nama daerahnya). Perjalanan menuju desa terakhir itu jalannya berupa jalanan beraspal
yang nanjak terus. Angga yang membonceng saya sempat khawatir pada kondisi
sepeda motornya yang notabene adalah sepeda hadiah jalan sehat, pasalnya
sepedanya itu nggak kuat kalau dipaksa nanjak terus-terusan.
Sekitar 30 menit kemudian, kita sampai di sebuah rumah yang merupakan rumah terakhir di
desa ini yang berbatasan dengan jalur pendakiannya gunung Panderman. Rumah
terakhir ini sudah umum dijadikan tempat menitipkan kendaraan buat mereka yang
mau naik ke Panderman (dengan memberikan imbalan sewajarnya tentunya, lha wong
namanya saja parkir).
![]() |
Rumah terakhir tempat menitipkan kendaraan |
![]() |
Pak tua pemilik rumah |
![]() |
Berdoa dulu sebelum berangkat. Tuh di belakang Pandermannya udah kelihatan |
![]() |
Awal-awal jalur pendakian |
![]() |
Pembawa tenda gaban, he..9989x |
Nah, dari pos ‘mata air’ ini, kita mulai ragu soalnya
di antara kita-kita ini nggak ada satupun yang pernah muncak ke Panderman. Saya
dulu memang pernah kesini sendirian, dan nemu semacam goa juga. Berhubung waktu
itu saya takut nyasar akhirnya saya balik kucing saja, terus pulang, he..9989x.
Soal pendakian kali ini, kita ragu apakah mau ngikutin jalur yang saya lewatin
dulu, apa ngelewatin jalan setapak di dekat pos ini. Mengingat bahwa pendaki
yang tadi berangkat duluan mereka lewat jalan setapak, akhirnya diputuskan kita
akan lewat jalan setapak.
Beberapa meter kita jalan, kita nemuin persimpangan. Kitapun
bingung lagi, dan sibuk diskusi lagi enaknya ngambil jalur yang mana.
Berdasarkan analisanya Ivan, dia bilang belok kanan saja soalnya katanya dia
barusan sekelebat melihat tas carriernya pendaki yang sudah jalan duluan. Kita
pun jalan lagi. Jalan dan jalan, kita lagi-lagi nemu persimpangan. Kalau ke
kiri jalurnya agak nggak kelihatan soalnya ketutup rumput dan kelihatannya
nanjak banget, terus kalau ke kanan kondisi jalurnya sama hanya saja sedikit
menurun terus nanjak lagi. Di gunung ini memang banyak persimpangan, jadi harus
hati-hati biar nggak nyasar. Setelah diskusi cukup lama sambil mikir-mikir,
akhirnya diputuskan kita ngambil jalur yang belok ke kiri, berdasarkan
pertimbangan atas ditemukannya jejak sepatu plus bungkus permen disitu. Kita
pun jalan lagi. Yang badannya rada overweight mulai ngos-ngosan.
![]() |
Iis ngos-ngosan, he..9989x |
Setelah persimpangan barusan, kita tak menemukan
persimpangan lagi. Cuma jalan yang terus menanjak dan sedikit licin. Saya
berkali-kali jatuh. Angga dan Panjul meskipun tak membawa tas carrier tapi
bawaan mereka juga nggak kalah ribet (dan berat juga). Angga membawa tenda,
sedangkan Panjul kebagian membawa alas tenda. Saya sama Ivan yang bawa
tiangnya. Sedangkan Iis nggak bawa apa-apa selain daypacknya sendiri. Memangnya
tenda apaan sih yang kita bawa? Tenda tipe A alias tenda besar yang punya tiang
penyangga itu lho…. Soal pemilihan tenda ini juga jadi masalah pas kita mau
berangkat. Seharusnya cukup bawa tenda dome saja yang agak besar supaya bawanya
ringan n nggak ribet soalnya bisa dimasukkan ke dalam tas. Padahal kita cuma
berlima, tapi kok bawa tenda segede gaban, apalagi besoknya kita juga sudah
turun. Tapi berhubung sudah terlanjur yang dipesan yang tenda yang besar itu,
jadi ya sudah kita berangkat saja… Kita ambil saja hikmahnya dari kesalahan
semacam ini, biar nggak terulang lagi di kehidupan nanti, he..9989x.
Hari sudah gelap waktu kita sampai di basecamp kedua
yang dikenal dengan nama Latar Ombo. Ternyata disitu situasinya cukup ramai
juga. Pas kita barusan datang, kita ditawarin kopi anget sama anak-anak SMK
yang lagi nge-camp di situ. Tawaran bagus! Tidak akan kita sia-siakan,
he..9989x. Sambil ngopi-ngopi itu, kita ngobrol-ngobrol sama mereka yang
berujung janjian bahwa kita bakal muncak sama mereka pas tengah malam nanti.
![]() |
Di dalam tenda pengungsian, he.9989x |
![]() |
Di depan tenda pengungsian, he..9989x |
Tenda pun didirikan. Waktu mendirikan tenda,
kelihatan cuma Panjul yang paling ahli mendirikan tenda gede macam gini. Nggak
heran karena semasa SMA dia sering diajak anak-anak PMR pas ada kegiatan
outdoor padahal dia bukan anak PMR, he..9989x. Setelah tenda berhasil
didirikan, kita orang berlima ini masuk ke dalamnya bersama semua barang bawaan
kita. Seketika tenda besar yang tadinya dipakai buat acara fun hiking ini
berubah jadi semacam tenda pengungsian, he..9989x. Bekal berupa jagung yang
sejak tadi saya bawa langsung kita bakar rame-rame. Biar lebih mantep laparnya
kita juga masak mi disitu.
Tepat tengah malam kita plus rombongan anak-anak SMK
berangkat menuju puncak. Kita berlima ini ngikut saja kemana anak SMK ini mau
jalan karena kita nggak ada yang pernah kesini sebelumnya, sedangkan anak-anak
SMK ini adalah dari pecinta alam di sekolahnya yang sudah pernah kesini.
Ivan jalan di urutan paling depan sambil membawa tas carriernya yang terisi penuh (entah apa isinya, belakangan diketahui kalau ternyata tas carriernya itu dibawakan oleh salah seorang dari rombongan anak SMK, he..9989x). Saya kurang tahu Panjul ada di urutan mana. Seingat saya di depan saya ada salah satu dari rombongan anak SMK ini ada yang muntah. Kata temannya, anak ini emang sejak mau berangkat mendaki kemarin sudah nggak enak badan. Di belakang saya ada Iis n Angga yang berjalan bergandengan tangan. Katanya Angga biar bisa saling menjaga kalau-kalau didatengin hewan buas atau ‘makhluk lain’ penunggu Panderman.
![]() |
Berangkat muncak |
![]() |
Jalan setapak ke puncak |
Ivan jalan di urutan paling depan sambil membawa tas carriernya yang terisi penuh (entah apa isinya, belakangan diketahui kalau ternyata tas carriernya itu dibawakan oleh salah seorang dari rombongan anak SMK, he..9989x). Saya kurang tahu Panjul ada di urutan mana. Seingat saya di depan saya ada salah satu dari rombongan anak SMK ini ada yang muntah. Kata temannya, anak ini emang sejak mau berangkat mendaki kemarin sudah nggak enak badan. Di belakang saya ada Iis n Angga yang berjalan bergandengan tangan. Katanya Angga biar bisa saling menjaga kalau-kalau didatengin hewan buas atau ‘makhluk lain’ penunggu Panderman.
Subuh-subuh kita nyampai di puncak. Tadinya saya kira
di puncak saya bisa melihat sunrise tapi ternyata sunrisenya ketutupan pohon,
jadinya pemandangan indah itu jadi susah terlihat. Dari puncak Panderman ini,
kita langsung berhadapan dengan pemandangan gunung Arjuno. Aacara selanjutnya
adalah berfoto-foto ceria. Di puncak ini kita juga ketemu sama penghuni endemik
puncak Panderman.
Puas foto-foto, kita langsung turun. Pas perjalanan
turun ini hari sudah terang sehingga saya baru menyadari kondisi jalur yang
saya lewati semalam ternyata seperti ini toh… Mirip-mirip medan di hutan
Arcopodo di lerengnya Semeru. Pas turun ini juga saya menemukan tumpukan
batu-batu besar. Menurut yang udah pernah kesini, daerah ini namanya WatuGede.
Nyampe di tenda kita langsung sarapan (lagi-lagi mi
instan). Cuaca nggak begitu cerah. Kabut yang sejak tadi menemani perlahan jadi
gerimis. Setelah gerimis reda, tenda kemudian dibongkar. Masih seperti kemarin,
yang kebagian bawa tenda tetap Angga dan Panjul. Perjalanan turun ini juga
nggak lebih mudah daripada waktu naik. Turunannya curam-curam dan bikin kita
berkali-kali harus jatuh. Berkali-kali jatuh, saya jadi ingat salah satu
quotation di film Batman Begins: Kenapa kita harus jatuh? Agar kita bisa
kembali bangkit.----------------------------------------------------à Salam Super
Nah, pas turun ini saya sama Ivan yang jalan duluan
di depan ternyata sempat salah ngambil jalur. Kita dua orang ini gak sadar
tahu-tahu jalur yang kita lewati ini mengarah ke arah jalan setapak penuh
lumpur di kebunnya penduduk. Jalur yang
kita lewati ini langsung tembus ke jalan berpaving dan nggak ngelewatin pos
yang ada sumber airnya. Sambil istirahat di pos lapor di tepi belokan, kita
menunggu Angga, Panjul, plus Iis yang baru datang sekitar lima belas menit
kemudian.
Alhamdulillah… selesai sudah perjalanan kita. Puncak
cuma bonus, terpenting pulang dengan selamat,.
Salam lestari.