Rabu, 26 Desember 2012

(Pasar) Ranu Kumbolo

Entah karena dorongan apa, tiba-tiba temen saya yang namanya Angga mengajak pergi ke Ranu Kumbolo. Setelah rapat kecil-kecilan, akhirnya diputuskan untuk pergi ke danau tertinggi pulau Jawa itu pada tanggal 22 Desember 2012. Peserta acara jalan-jalan ini adalah saya (Adif), Angga, Danang, dan juga Ivan yang merupakan satu-satunya personil yang sudah berkeluarga.

Sabtu malam tgl 22 kita berempat meluncur ke Tumpang ke rumahnya mas Teguh (orang yang punya koneksi supir-supir truk dan jip ke Ranupane). Kita bertiga nginep disitu. Lho kok bertiga? Iya..., si Ivan pamit mau pulang dulu, dan janji sebelum subuh sudah balik ke Tumpang lagi.
Re-Packing di Tumpang

Saya dan Danang, nampang di depan jip, he..he..
Minggu pagi tanggal 23 Desember, sekitar jam setengah 6 kita berangkat naik jip. Sebenernya naik jip ini benar-benar di luar dugaan karena rencana sebenarnya kita mau naik truk biar lebih murah. Tapi berhubung supir truknya lagi nggak ada yang bernagkat ke Ranupane, maka terpaksalah kita naik itu jip. "Nggak opo-opo rek..., ben koyok ndek film 5 cm," begitu kata Angga. Di daerah Tulusayu, jip berhenti buat ngangkut rombongan pendaki lain. Total penumpang yang naik jip ini jadi 10 orang. Sewa jip harganya Rp 450.000 dibagi 10 orang jadi tiap orang kudu bayar 45rebu. Ya Allah..., duit saya jadi langsung menipis soalnya rencana sebelumnya kita mau naik truk yang tiap orang cuma butuh bayar 30rebu saja. Tapi nggak apa-apalah..., kita nikmati saja perjalanan ini ya....

Jam setengah 8 kita sampai di Ranupane. Busseeet...., ramai bener ya Ranupanenya. Nggak berasa Ranupane, berasanya kayak di mall. Temen satu jip kita tadi juga malah ada yang dandan anak gaul macam mau pergi ke mall. "Jangkrik..., arek iku niat mendaki opo niat nang Matos? Ha..ha..," ucap saya dalam hati.

Sekitar jam setengah 9 kita mulailah acara jalan-jalan ini. Ivan sudah berangkat sejak tadi, soalnya dia merasa badannya paling subur dan paling lama kalau berjalan, jadi dia berangkat lebih dahulu, Pasti tersusul! Sedangkan saya, Angga, dan Danang berjalan bareng teman-teman satu jip kita tadi. Dari obrolan-obrolan kita, mereka bilang kalau mereka baru pertama kali ini datang ke daerah Semeru dan punya rencana muncak tapi nggak tahu jalan. Makanya itu mereka pengen bareng sama rombongan saya. Ya sudahlah..., ayok ikut.
Jalan dan jalan..., lama-lama mereka kok semakin ketinggalan di belakang ya? Sampai-sampai saya tingggal jalan bertiga saja sama Angga dan Danang. Tenang saja, temen satu jip kita itu nggak bakalan nyasar kok..., soalnya jalur ke Ranukumbolo ya cuma ada satu ini saja dan nggak ada percabangan.

Tahu-tahu di tengah jalan ada sesosok tubuh gendut berbaring terlentang. Masya Allah..., ternyata itu si Ivan sedang tidur di tengah jalan! Habis kita bangunkan, dia akhirnya ikut bergabung lagi hingga pos 1. Di pos 1, giliran Danang yang berpencar, dia memilih jalan lebih dulu, sedangkan saya, Angga, dan Ivan ngaso dulu di pos 1.

Habis rehat, kita bertiga jalan lagi. Ivan katanya nggak apa-apa jalan di belakang, saya sama Angga disurunhnya jalan duluan saja saolnya biar bisa cepat mendirikan tenda. Okelah kita lanjut jalan berdua dan akhirnya bisa ketemu lagi dengan Danang. Kita jalan bertiga sambil susuk menyusul dengan pendaki lain. Saya sempat juga kesengsem sama pendaki cewek yang manis luar biasa, ha..ha..


berlagak susah, ha..ha..
Sekitar jam setengah satu siang, sampailah kita bertiga di Ranukumbolo. Subhanallah..., tempat ini benar-benar nggak membosankan meskipun sudah saya datangi berkali-kali. Saya merasa feels like home sekali di sini, entah kenapa bisa begitu.
Masalah air sudah terpecahkan, ha..ha..

Nampang dulu...

paradise
 Tenda pun kita dirikan. Selang satu jam tenda berdiri, Ivan akhirnya datang juga dalam kondisi terengah-engah sambil mengaku kakinya sakit keram. Waduh..., ternyata bukan hanya Ivan yang kondisinya nggak sehat, Angga pun tiba-tiba collapse dan pusing-pusing. Alhamdulillah mereka bisa rada baikan setelah makan dan minum obat. Menu makanan kali ini sedikit lain daripada biasanya. Soalnya Ivan membawa dua bungkus mi telor yang biasanya dipakai buat acara selamatan itu lho..., ha..ha..

Hujan juga sempat turun. Begitu hujan reda, kita sempatkan diri untuk mendaki Tanjakan Cinta dan menikmati pemandangan Ranu Kumbolo beserta Oro-oro ombo dari puncaknya. Subhanallah...

Merayapi Tanjakan Cinta

Kapan ya bisa ke Puncak Semeru lagi?

Bersama sahabat mencari damai, mengasah pribadi mengukir cinta

View from the westhill
Melemnya untuk mengisi kebosanan gara-gara lupa membawa kartu remi, akhirnya kita berempat main 'ABC-ABC'an. Pertanyaannya pun macam-macam, dan lama kelamaan berlanjut jadi cerita yang rada nyerempet-nyerempet 'daerah bawah perut', ha..ha.

Ranu Kumbolo semakin malam bukannya semakin sepi tapi justru malah semakin ramai, mirip pasar malam di alam terbuka. Tenda kita sendiri semakin ramai soalnya Ivan membawa speaker portable, jadilah kita memutar lagu-lagu tentang alam, tentang cinta, tentang kehidupan, bahkan sampai lagu soundtracknya White Snake Legend itu lho juga kita putar, ha..ha... Meskipun ramai begitu, saya bisa tidur cukup nyenyak di dalam tenda. Paling-paling terbangunnya gara-gara Angga dan Ivan yang tiba-tiba kumat sakit batuknya.

Angga lagi collapse, ha..ha..

 Pagi hari buka tenda, kita mendapati Ranu Kumbolo benar-benar penuh dengan tenda pendaki.

'Pasar' Ranu Kumbolo
Kabut pagi yang menyamarkan sunrise
'Selamatan' pakai menu mi telor cap dua ayam, ha..ha..
Ada yang alih profesi jadi tukang pijat, ha..ha..
Mbak..., namanya sampean siapa mbak? he..9989x
 Setelah sarapan dan packing-packing, sekitar jam setengah 9 kita mulai berjalan meninggalkan Ranu Kumbolo. Jujur saja saya rada trenyuh setiap kali meninggalkan tempat ini. Gak tahu kapan bisa kembali lagi ke sini. Agak lebay sih, ha..ha.. Tapi bener lho..., tempat ini benar-benar feels like home banget.

Siap pulang dari 'Pasar' Ranu Kumbolo

Seperti kemarin waktu berangkat, saat pulang kali ini pun si Ivan minta jalan duluan. Ya sudahlah..., akhirnya kita kembali berjalan bertiga saja. Malah lama-kelamaan saya jalan sendirian sampai pos 1, soalnya sejak di pos 4 si Danang yang bertindak sebagai leader nyuruh saya jakan duluan saja, sedangkan dia dan Angga jaln di belakang. Saya pun nurut saja sama perintahnya komandan, dan jalan sendirian sampai pos 1.

Di sana nyalimu teruji oleh ganas cengkeraman hutan rimba

Tebing Watu Rejeng

Narsis sendirian, ternyata saya masih ganteng setelah berjalan sebegitu lelahnya, ha.9989x
 Di pos 1 saya ketemu Ivan yang ternyata juga barusan nyampai di situ. Setelah rehat sejenak lantaran belum berhenti sama sekali, akhirnya saya berdua Ivan jalan meningalkan pos 1 sambil menunggu kedatangan Angga dan Danang yang baru nongol sekitar satu jam kemudian. Belakangan diketahui kalau Angga dan Danang fisiknya sama-sama mulai ngedrop.



Sekitar jam setengah 12 kita sampai kembali di Ranupane. Kita naik teruk menuju Tumpang yang sialnya juga mematok tarif seperti terifnya jip. Berhubung yang naik truk ini lebih banhyak, jadi ongkosnya jadi lebih murah, 32ribu per orang. Selama perjalanan ke Tumpang, truk terus bergoncang-goncang, bahkan sempat anjlok di pinggir jalan. Untung saja anjloknya ini di bawah tebing, bukan ke jurang.

Ban truk yang terperosok ke dalam tanah
Proses evakuasi yang benar-benar manual, hanya pakai cangkul! Itupun dicangkulnya sendiri.
Ditarik dengan truk lain biar bisa kembali ke jalan yang benar, he..he..
Usut punya usut, ternyata pak sopirnya yang udah tua itu ngantuk, terlebih karena dia tidak membawa kenek. Setelah dibantu truk lain, akhirnya truk yang kita niki ini berhasil dievakuasi, dan berhasil sampai di Tumpang jam 2 siang dengan selamat tanpa kurang suatu apa.


Alam membuat kita bisa mengenal siapa diri kita yang sebenarnya.
Alhamdulillah..., sampai berjumpa lagi, salam lestari,


Sabtu, 04 Februari 2012

Panderman Fun Hiking


Tulisan ini mungkin sedikit basi mengingat kejadiannya sudah sekitar setahunan lebih. Mungkin karena tingginya ‘hanya’ 2000 mdpl, jadinya banyak orang yang meremehkan gunung ini. Beberapa ada yang meragukan bahwa ini bukanlah gunung, melainkan hanya sebuah bukit. Gunung ini memang nggak terlalu tinggi. Apalagi starting point-nya saja dari kota Batu yang memang tingginya sudah diatas 800 mdpl. Tapi untuk Panderman ini, saya pribadi lebih suka menyebutnya gunung, dan berapapun tingginya sebenarnya akan lebih baik kalau tidak disepelekan. Gunung ini cocok buat yang pengen mendaki tapi nggak punya terlalu banyak waktu, alias bisa naik dan turun di hari yang sama.
25 Desember 2010
               Oh iya, sebelum melakukan perndakian, ada baiknya kita perkenalkan dulu pelaku2 dalam cerita ini, he..9989x
Para pelaku
                Sekitar jam 10.00, saya dan teman-teman saya ngumpul dulu di kosnya Panjul di daerah Dinoyo. Cuma saya sama Ivan saja yang bawa tas carrier. Sedangkan yang lainnya cuma bawa daypack biasa, alias tas yang sehari-harinya dipakai buat kuliah. Malah Iis pas njemput ke rumah saya dia datang sambil bawa kardus. Pas saya tanya, “Lho, itu kardus isinya apa?”, si Iis menjawab, “Lhah, ini barang bawaan saya”. Terus saya buka kardus itu, ternyata isinya sepatu, jas hujan, sama mi instan. Dalam hati jujur saya pengen ketawa melihat teman saya yang baru pertama kali mendaki ini malah mirip orang yang mengumpulkan barang-barang buat bakti sosial, he..9989x. Saya tidak tahu tas carriernya Ivan itu diisi apa, tapi tas saya lebih banyak diisi oleh jagung dan arang yang bakal jadi makanan kita di gunung malam hari nanti.
                Sekitar jam 14.00 kita meluncur ke Batu naik motor. Perjalanan ke Batu ini memakan waktu sekitar 45 menitan. Kita akhirnya sampai di pintu masuknya jalur pendakian gunung Panderman (maaf, saya lupa nama daerahnya). Perjalanan menuju desa terakhir itu jalannya berupa jalanan beraspal yang nanjak terus. Angga yang membonceng saya sempat khawatir pada kondisi sepeda motornya yang notabene adalah sepeda hadiah jalan sehat, pasalnya sepedanya itu nggak kuat kalau dipaksa nanjak terus-terusan.

Sekitar 30 menit kemudian, kita sampai di  sebuah rumah yang merupakan rumah terakhir di desa ini yang berbatasan dengan jalur pendakiannya gunung Panderman. Rumah terakhir ini sudah umum dijadikan tempat menitipkan kendaraan buat mereka yang mau naik ke Panderman (dengan memberikan imbalan sewajarnya tentunya, lha wong namanya saja parkir).
Rumah terakhir tempat menitipkan kendaraan
Pak tua pemilik rumah 
          Setelah sholat di Mushola terdekat, sekitar jam 15.30 dengan kondisi gerimis berat acara pendakian kita mulai. Di depan kita juga ada pendaki yang udah berangkat duluan. Awal-awal jalur pendakian berupa jalanan lebar yang sudah dipaving. Di tepi belokan jalur pendakian ada sebuah pos. Pos ini sebenarnya digunakan untuk tempat lapor buat mereka yang mau mendaki, tapi karena nggak ada yang menjaga jadi ya kita terus saja.
Berdoa dulu sebelum berangkat. Tuh di belakang Pandermannya udah kelihatan
Awal-awal jalur pendakian
Pembawa tenda gaban, he..9989x
          Jalan sebentar kita nemu sebuah pos lagi. Di dekat pos ini ada sumber air. Ini adalah sumber air terakhir karena sampai muncak sana kita nggak akan lagi menemukan yang beginian. Jalur pendakian memang konon nggak begitu jauh, tapi akan lebih baik kalau bawa bekal air yang banyak.
Nah, dari pos ‘mata air’ ini, kita mulai ragu soalnya di antara kita-kita ini nggak ada satupun yang pernah muncak ke Panderman. Saya dulu memang pernah kesini sendirian, dan nemu semacam goa juga. Berhubung waktu itu saya takut nyasar akhirnya saya balik kucing saja, terus pulang, he..9989x. Soal pendakian kali ini, kita ragu apakah mau ngikutin jalur yang saya lewatin dulu, apa ngelewatin jalan setapak di dekat pos ini. Mengingat bahwa pendaki yang tadi berangkat duluan mereka lewat jalan setapak, akhirnya diputuskan kita akan lewat jalan setapak.
Beberapa meter kita jalan, kita nemuin persimpangan. Kitapun bingung lagi, dan sibuk diskusi lagi enaknya ngambil jalur yang mana. Berdasarkan analisanya Ivan, dia bilang belok kanan saja soalnya katanya dia barusan sekelebat melihat tas carriernya pendaki yang sudah jalan duluan. Kita pun jalan lagi. Jalan dan jalan, kita lagi-lagi nemu persimpangan. Kalau ke kiri jalurnya agak nggak kelihatan soalnya ketutup rumput dan kelihatannya nanjak banget, terus kalau ke kanan kondisi jalurnya sama hanya saja sedikit menurun terus nanjak lagi. Di gunung ini memang banyak persimpangan, jadi harus hati-hati biar nggak nyasar. Setelah diskusi cukup lama sambil mikir-mikir, akhirnya diputuskan kita ngambil jalur yang belok ke kiri, berdasarkan pertimbangan atas ditemukannya jejak sepatu plus bungkus permen disitu. Kita pun jalan lagi. Yang badannya rada overweight mulai ngos-ngosan.
Iis ngos-ngosan, he..9989x
Setelah persimpangan barusan, kita tak menemukan persimpangan lagi. Cuma jalan yang terus menanjak dan sedikit licin. Saya berkali-kali jatuh. Angga dan Panjul meskipun tak membawa tas carrier tapi bawaan mereka juga nggak kalah ribet (dan berat juga). Angga membawa tenda, sedangkan Panjul kebagian membawa alas tenda. Saya sama Ivan yang bawa tiangnya. Sedangkan Iis nggak bawa apa-apa selain daypacknya sendiri. Memangnya tenda apaan sih yang kita bawa? Tenda tipe A alias tenda besar yang punya tiang penyangga itu lho…. Soal pemilihan tenda ini juga jadi masalah pas kita mau berangkat. Seharusnya cukup bawa tenda dome saja yang agak besar supaya bawanya ringan n nggak ribet soalnya bisa dimasukkan ke dalam tas. Padahal kita cuma berlima, tapi kok bawa tenda segede gaban, apalagi besoknya kita juga sudah turun. Tapi berhubung sudah terlanjur yang dipesan yang tenda yang besar itu, jadi ya sudah kita berangkat saja… Kita ambil saja hikmahnya dari kesalahan semacam ini, biar nggak terulang lagi di kehidupan nanti, he..9989x.
Hari sudah gelap waktu kita sampai di basecamp kedua yang dikenal dengan nama Latar Ombo. Ternyata disitu situasinya cukup ramai juga. Pas kita barusan datang, kita ditawarin kopi anget sama anak-anak SMK yang lagi nge-camp di situ. Tawaran bagus! Tidak akan kita sia-siakan, he..9989x. Sambil ngopi-ngopi itu, kita ngobrol-ngobrol sama mereka yang berujung janjian bahwa kita bakal muncak sama mereka pas tengah malam nanti.
Di dalam tenda pengungsian, he.9989x
Di depan tenda pengungsian, he..9989x
Tenda pun didirikan. Waktu mendirikan tenda, kelihatan cuma Panjul yang paling ahli mendirikan tenda gede macam gini. Nggak heran karena semasa SMA dia sering diajak anak-anak PMR pas ada kegiatan outdoor padahal dia bukan anak PMR, he..9989x. Setelah tenda berhasil didirikan, kita orang berlima ini masuk ke dalamnya bersama semua barang bawaan kita. Seketika tenda besar yang tadinya dipakai buat acara fun hiking ini berubah jadi semacam tenda pengungsian, he..9989x. Bekal berupa jagung yang sejak tadi saya bawa langsung kita bakar rame-rame. Biar lebih mantep laparnya kita juga masak mi disitu.
Tepat tengah malam kita plus rombongan anak-anak SMK berangkat menuju puncak. Kita berlima ini ngikut saja kemana anak SMK ini mau jalan karena kita nggak ada yang pernah kesini sebelumnya, sedangkan anak-anak SMK ini adalah dari pecinta alam di sekolahnya yang sudah pernah kesini.
Berangkat muncak
Jalan setapak ke puncak

Ivan jalan di urutan paling depan sambil membawa tas carriernya yang terisi penuh (entah apa isinya, belakangan diketahui kalau ternyata tas carriernya itu dibawakan oleh salah seorang dari rombongan anak SMK, he..9989x). Saya kurang tahu Panjul ada di urutan mana. Seingat saya di depan saya ada salah satu dari rombongan anak SMK ini ada yang muntah. Kata temannya, anak ini emang sejak mau berangkat mendaki kemarin sudah nggak enak badan. Di belakang saya ada Iis n Angga yang berjalan bergandengan tangan. Katanya Angga biar bisa saling menjaga kalau-kalau didatengin hewan buas atau ‘makhluk lain’ penunggu Panderman.
Subuh-subuh kita nyampai di puncak. Tadinya saya kira di puncak saya bisa melihat sunrise tapi ternyata sunrisenya ketutupan pohon, jadinya pemandangan indah itu jadi susah terlihat. Dari puncak Panderman ini, kita langsung berhadapan dengan pemandangan gunung Arjuno. Aacara selanjutnya adalah berfoto-foto ceria. Di puncak ini kita juga ketemu sama penghuni endemik puncak Panderman.
Puas foto-foto, kita langsung turun. Pas perjalanan turun ini hari sudah terang sehingga saya baru menyadari kondisi jalur yang saya lewati semalam ternyata seperti ini toh… Mirip-mirip medan di hutan Arcopodo di lerengnya Semeru. Pas turun ini juga saya menemukan tumpukan batu-batu besar. Menurut yang udah pernah kesini, daerah ini namanya WatuGede.
Nyampe di tenda kita langsung sarapan (lagi-lagi mi instan). Cuaca nggak begitu cerah. Kabut yang sejak tadi menemani perlahan jadi gerimis. Setelah gerimis reda, tenda kemudian dibongkar. Masih seperti kemarin, yang kebagian bawa tenda tetap Angga dan Panjul. Perjalanan turun ini juga nggak lebih mudah daripada waktu naik. Turunannya curam-curam dan bikin kita berkali-kali harus jatuh. Berkali-kali jatuh, saya jadi ingat salah satu quotation di film Batman Begins: Kenapa kita harus jatuh? Agar kita bisa kembali bangkit.----------------------------------------------------à Salam Super
Nah, pas turun ini saya sama Ivan yang jalan duluan di depan ternyata sempat salah ngambil jalur. Kita dua orang ini gak sadar tahu-tahu jalur yang kita lewati ini mengarah ke arah jalan setapak penuh lumpur di kebunnya penduduk.  Jalur yang kita lewati ini langsung tembus ke jalan berpaving dan nggak ngelewatin pos yang ada sumber airnya. Sambil istirahat di pos lapor di tepi belokan, kita menunggu Angga, Panjul, plus Iis yang baru datang sekitar lima belas menit kemudian.
Alhamdulillah… selesai sudah perjalanan kita. Puncak cuma bonus, terpenting pulang dengan selamat,.
Salam lestari.